MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tulang Rusuk (Bagian 2)

Forces of Nature series. Design composed of colorful paint and abstract shapes as a metaphor on the subject of modern art, abstract art, expressionism and spirituality

Syawal tahun 1999. Di pernikahan Bi Nupus, adik bungsu ibuku. Aku saat itu menjadi pagar ayu sedang asyik melihat penampilan salah seorang biduan. Dia asyik bernyanyi sambil goyang Kopi Dangdut.

Tiba-tiba di depanku sudah berdiri seorang laki-laki dengan kemeja kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans biru. Kira-kira tingginya 170 sentimeter. Sawo matang. Hidungnya lumayan mancung. Matanya yang tajam menatapku, “Makmun,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Yah! Makmun yang sekarang menjadi suamiku. Lelaki pertama yang mengenalkankku dengan kata cinta. Lelaki yang membuatku, perempuan yang hampir menjadi perawan tua—kata orang-orang di kampungku, dan lulusan sekolah dasar. Aku yang pemalu, pendiam dan tidak percaya diri dengan kondisiku. Akhirnya menemukan lelaki yang mau menerimaku apa adanya saat itu. Aku merasa betapa beruntungnya.

Dengan menikah aku tidak lagi mendapat pertanyaan: Kapan nikah?. Setiap ada tetangga yang menikahkan anaknya adalah beban bagiku. Ibu atau bapak akan terus menanyaiku, ‘Ipah, kapan kamu nikah; tuh si A yang lebih muda dari kamu udah nikah, Si B anaknya udah mau dua?’

Bukan hanya ibu dan bapak, saudara dan tetangga pun akan menanyakan hal yang sama: Ipah jangan di rumah mulu. Keluar gaul biar ada jodohnya. Nanti jadi perawan tua?!

Sejujurnya aku merasa tertekan dengan semua pertanyaan dan pernyataan itu. Aku merasa malu untuk bergaul. Aku merasa tidak menarik buat siapapun. Tidak mungkin ada lelaki yang mau denganku.

Hanya dua bulan setelah perkenalan, kami memutuskan menikah. Dengan menikah aku akan lepas dari semua pertanyaan itu. Saat itu, aku mengira menikah adalah penyelesaian dari persoalan. Ternyata menikah artinya aku bertemu dengan persoalan baru.

Suamiku bekerja sebagai kenek tukang bangunan. Mamang-nya tukang bangunan. Kalau ada borongan bangunan suamiku ikut bekerja. Kalau sedang sepi dia ikut mencari ikan. Setelah menikah aku kredit motor. Motor itu untuk ngojek suamiku dan bisa antar-jemput aku. Otomatis akulah menjadi topangan utama keuangan keluarga.

Akhirnya aku menyadari: mungkin menikah menyelesaikan satu persoalan. Tapi dengan menikah lahir persoalan baru, seperti yang kualami sekarang. Ketika lajang aku terbebas dari pekerjaan rumah. Ketika mau kerja sudah disediakan bekal, makan tinggal nyuap, dan baju tinggal pakai. Setelah menikah semua berubah.

Setelah menikah aku tinggal di rumah mertua. Suamiku anak pertama. Ia memiliki dua adik laki-laki. Keduanya penganguran. Mertuaku sudah tua. Otomatis aku menjadi perempuan tertua dirumah itu. Semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku.

Setiap hari aku bangun pukul 04.00 pagi: masak dan bersih-bersih rumah. Pukul 05.00 pagi berangkat kerja. Pulang kerja aku tidak bisa langsung istirahat. Di rumah sudah menunggu pekerjaan baru seperti mencuci, masak dan pekerjaan lainnya.

Dua bulan pertama setelah menikah adalah saat-saat indah. Setiap akhir pekan kami jalan-jalan. Paling sering kami jalan ke Tangerang. Sesuatu yang ingin aku lakukan dari dulu. Aku sering melihat teman-teman kerjaku biasanya setelah gajian mereka beramai-ramai belanja ke Pasar Anyar atau ke Tanah Abang. Aku tidak pernah merasakan itu. Aku tidak memiliki banyak teman. Lagi pula, Ibu tidak memberiku uang lebih untuk belanja.

Menginjak bulan keenam pernikahan. Aku hamil anak pertama. Mulai timbul pertengkaran. Karena di tempat kerjaku tidak ada cuti melahirkan di bulan ke delapan kehamilan aku mengundurkan diri. Sejak itu pemasukan hanya dari suamiku yang hanya mengandalkan dari ngojek. Aku harus pintar mengatur keuangan.

Sejak tidak bekerja aku betul-betul merasa tidak ada harganya di depan keluarga suamiku. Aku yang hamil besar harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Setelah tidak bekerja mengandalkan pendapatan suami, yang tidak pasti. Keadaan ini membuatku stress. Hampir setiap hari aku bertengkar dengan suamiku.

Dua bulan setelah melahirkan aku mencoba melamar kesana-kemari. Alhamdulilah akhirnya diterima bekerja di salah satu pabrik sepatu merek terkenal. Namanya PT Pengen Untung. Pabrik ini adalah anak cabang dari pabrik sepatu yang cukup besar dan terkenal di Tangerang. Dua pabrik ini mayoritas buruhnya perempuan.

Saking banyaknya perempuan di dua pabrik itu, kerap jadi bahan obrolan di antara sopir Angkot maupun penduduk sekitar. Kata mereka, pabrik itu bukan pabrik sepatu, pabrik susu. Sebutan ‘pabrik susu’ merujuk ke jenis pakaian yang dikenakan para buruh perempuan di pabrik tersebut. Dulu aku mendengarnya biasa-biasa saja. Di kemudian hari aku merasa itu bukan candaan tapi pelecehan.

Walaupun aku bekerja di PT Pengen Untung tapi status kerjaku adalah buruh PT Alim Rugi, sebagai penyalurku. Setelah enam bulan bekerja, aku diangkat buruh tetap. Aku kerja di bagian sewing. Kerjaku adalah jahit coolar lining. Setiap hari aku harus mencapai target 180 pasang sepatu. 

Setelah bekerja tidak ada yang berubah dengan kehidupanku. Bangun pukul 03.30 pagi. Membereskan pekerjaan rumah. Setelah itu berangkat kerja. Anakku dimomong mertua. Walaupun berat tapi mau bagaimana lagi. Ada anak yang harus aku biayai. Tekadku: anakku jangan sampai merasakan hidup seperti aku. Anakku harus mendapatkan yang terbaik. Aku akan bekerja keras untuk itu.

Setelah kehadiran anak aku merasakan perbedaan. Ketika pulang kerja rasa capekku hilang ketika bertemu dengan anakku. Nisa, aku memanggil anak pertamaku. Begitu juga dengan pertengkaran kami hilang dengan sendirinya. Hubunganku dengan suamiku kembali seperti semula. Aku merasa kebahagianku sudah lengkap: aku, Nisa, suamiku dan aku dapat kembali bekerja.

Aku percaya dengan pepatah: anak membawa rejeki. Berbeda dengan di tempat kerja lamaku, di tempat kerja yang baru upah yang diterima sudah sesuai dengan upah minimum. Ada pula uang makan Rp5000. Begitu pula lemburan dibayar sesuai aturan.

Tahun Maret 2010 aku masuk kerja. Setiap hari lembur, bahkan bisa sampai pukul 12 malam. Sabtu pun lembur sampai pukul 8 malam. Pernah dalam sebulan aku mendapat upah sampai Rp2 juta. Nilai Rp2 juta, buatku dan di tahun itu, adalah jumlah yang sangat besar. Walaupun harus ditebus dengan pengorbanan yang juga besar.

Yah pengorbanan besar. Selama bekerja aku harus mengubah diriku menjadi orang yang taat kepada atasanku. Aku tidak pernah membantah atasan. Bukan tidak berani, tapi tidak mau mendapat caci maki dari atasan. Kalau atasan marah semua nama-nama penghuni di kebun binatang dikeluarkan dari mulutnya.

Ketika sakit kupaksakan untuk terus bekerja. Walaupun ada cuti tapi aku tidak pernah merasakannya. Aku tahu mengambil hak cuti atau meminta untuk tidak ikut lembur ibarat menagih utang sama orang lain. Ketimbang utang dibayar malah dimaki-maki. Lagi pula aku butuh uang maka aku harus bekerja dengan baik: mencapai target, tidak bikin reject bahan, tidak telat datang dan tidak ada absen.

Pengorbanan lain adalah Anisa menjadi lebih dekat dengan neneknya. Dia tidur tidak mau lagi sama orang tuanya. Kalau aku di rumah, dia ngebuntutin neneknya. Neneknya pergi ditangisin. Aku pergi dia biasa saja. Sedih rasanya tetapi aku sadar waktunya bersama Nisa sudah diganti dengan uang lemburan. 

Aku tidak tahu tumbuh kembang anakku. Aku hanya mengetahui dia sudah bisa mengucapkan beberapa kata: ‘Mbu’ untuk menyebut Ibu, ‘cucu’ untuk menyebut susu, ‘jajan’ untuk mengatakan mau jajan, dan ‘Maun’ untuk memanggil ayahnya. Kebersamaan dengan anakku sudah dirampas oleh pabrik dengan istilah ‘lembur dan on time!’.

Agustus 2011 aku hamil anak kedua. Beruntung sekali aku mendapat cuti melahirkan selama 3 bulan. Cuti ini adalah anugerah buatku. Aku bisa membayar waktuku dengan Nisa, yang sudah dirampok pengusaha. Selama aku hamil sedikit demi sedikit Nisa dekat denganku. Ketika ibu-ibu lain akan marah karena anaknya susah makan, aku malah menikmatinya.

Setiap pagi dan sore aku dorong sepeda Nisa. Jalan-jalan sambil makan. Aku merasakan memandikannya, mengurusnya ketika demam, dan detik-detik lainnya. Sejak cuti melahirkan hampir setiap hari aku main ke rumah ibu dan bapakku. Akhir Mei 2012 anak keduaku lahir: laki-laki. Kami namakan Apip. Orang-orang bilang anak keduaku lebih banyak kemiripannya denganku.

Bersambung ke Bagian 3

Penulis

Nonon Cemplon
Labour story teller