Elit serikat buruh Indonesia beraliansi dengan tentara dan polisi demi perbaikan kondisi perburuhan dengan menggulingkan rezim. Setelah berhasil menggulingkan Soekarno dan menghancurkan gerakan buruh militan, elit serikat buruh ditinggalkan, dibatasi ruang geraknya dan kondisi perburuhan makin memburuk.
Tanggal 1 Mei 1966 dan 1 Mei 1967 berwarna merah di kalender. Tandanya hari libur. Di Indonesia, hari libur biasanya berkaitan dengan hari raya keagamaan atau pergantian tahun seperti Idulfitri, Iduladha, tahun baru Masehi, Hijriah, dan Imlek. Tapi peliburan 1 Mei tidak berkaitan dengan hari raya keagamaan dan pergantian tahun, tapi peringatan hari buruh internasional.
1 Mei 1966, tepat di hari Minggu. Bersamaan dengan peringatan Hari Asyura 10 Muharram 1386 Hijriah. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Buruh 1966 berlangsung tegang dan mewah. Malahan 1 Mei 1967, yang jatuh di hari Kamis sama sekali tidak ada peringatan Hari Buruh.
Peringatan 1 Mei 1966 dirancang oleh Panitia Pusat Perayaan 1 Mei. Acaranya dari 25 April hingga 17 Mei. Beberapa mata acaranya adalah aksi sosial buruh dari 25 hingga 17 Mei, rapat raksasa pada 30 April, ziarah ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata dan Taman Makam Pahlawan Ampera di Kebayoran serta malam hiburan, pertunjukan kesenian dan resepsi pada malam 1 Mei di Hotel Indonesia. Resepsi mewah dan di tempat mewah yang tidak biasa dilakukan dalam peringatan Hari Buruh Internasional, seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Rapat raksasa dilaksanakan pada 30 April di Lapangan Banteng. Tanpa spanduk “Anti-Imperialisme”, “Ganyang Kabir”, “Usir Nekolim”, dan slogan-slogan heroik lainnya. Tidak terlihat poster Karl Marx, Lenin maupun tokoh-tokoh revolusioner lainnya. Tidak dihadiri Soekarno, SOBSI, Lekra, Gerwani dan Pemuda Rakyat, dan tidak ada lagu Internationale. Hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mars Pancasila. Jumlah massanya sekitar 10 ribu orang. Serikat-serikat buruh yang hadir dalam acara tersebut adalah serikat buruh yang tergabung dalam KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia) dan organisasi massa lain yang tergabung dalam Front Pancasila.
Tokoh-tokoh yang hadir adalah Awaloedin Djamin, Achmad Sjaichu, dan Menpangak (Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian) Soetjipto Joedodihardjo. Tokoh-tokoh yang berpidato dalam rapat rakasasa tersebut mengecam kebijakan-kebijakan Soekarno, menolak peringatan 1 Mei karena telah dijadikan alat pemecah belah dan tidak berjiwa Pancasila, 1 Mei sebagai hari kampanye kemenangan kaum komunis, dan mendorong pelaksanaan Supersemar (surat perintah supersemar) oleh Letnan Jenderal Soeharto.1 Dalam kesempatan tersebut Awaloedin Djamin pun mengatakan, akan membuat hari buruh nasional (Kompas, 7/5/2006).
Rapat rakasasa menghasilkan resolusi yang ditandatangani oleh 10 wakil konfederasi serikat buruh, yaitu Sarbumusi, Gasbiindo, GOBSI-Indo, KBIM, KBKI, Kubu Pancasila, SOKSI, Kespekri, Sob-Pancasila dan KBM. Isi resolusi sebagai berikut:2
Bertekad untuk terus bergabung dan bekerja giat untuk meningkatkan produksi sandang pangan demi suksesnya revolusi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Demi tercapainya stabilitas politik, keamanan dan keselamatan jalannya revolusi serta terjaminnya kewibawaan dan kepemimpinan PBR Bung Karno, mengharapkan agar Surat Perintah 11 Maret 1966 terus dipertahankan sampai pemilihan umum yang akan datang.
Mendukung sepenuhnya pernyataan Waperdam Ekubang (Wakil Perdana Menteri, Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan) Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang dinyatakan pada tanggal 4 dan 12 April 1966 dan pernyataan Waperdam Sosial-Politik/Menteri Luar Negeri Adam Malik tentang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah RI.
Laksanakan UUD 1945 secara konsekwen, dan bersihkan lembaga-lembaga negara, antara lain DPA, MPRS, dan DPR-GR, baik di pusat maupun daerah, dari oknum-oknum G-30-S/PKI dan kaum “plin-plan” serta kontra-revolusioner lainnya, serta dudukan wakil-wakil rakyat yang betul progresif-revolusioner berjiwa Ampera, anti G-30-S/PKI.
Foto: Tampak dua tentara di hadapan massa buruh dari berbagai organisasi yang menghadiri peringatan 1 Mei 1966 di Lapangan Benteng Jakarta. Sumber: Perpusnas
Bukan hanya kali itu KABI mengangkat isu yang bersifat politis. Pada 17 November 1965, aliansi KABI melakukan rapat rakasa di Lapangan Banteng Jakarta, yang diklaim dihadiri 100 ribu orang. Komposisi serikat buruhnya masih sama, yaitu KBM, Saburmusi, Kubu Pancasila, KBKI, Kespekri, Sentral Organisasi Buruh Pancasila, Gasbiindo, GOBSI Indonesia, Kongkarbu, SOKSI, dan KBIM. Mereka menuntut pembubaran PKI dan organisasi massanya dan menjelaskan pembubaran partai dan organisasi massa tersebut, membersihkan kabinet dari unsur yang kontra revolusi, dan menggantinya dengan unsur progresif revolusioner.3
KABI didirikan oleh Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Sekber Golkar didirikan oleh Letnan Jenderal Soeharto dan Letnan Kolonel Suhardiman pada 1964.
Saat ini kita diberikan berbagai fakta hasil penelitian bahwa aksi-aksi massa Front Pancasila untuk mengganyang kaum komunis dan simpatisannya diorganisasikan oleh kekuatan militer, terutama Angkatan Darat. Peneliti Jess Melvin (2019: 63) menemukan bahwa gerakan Front Pancasila dari pembunuhan hingga aksi massa merupakan sesuatu yang direncanakan, dilatih, diperintahkan, dan dikoordinasikan oleh Soeharto, yang menjabat Panglima Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) dan menjadi Wakil Panglima KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Dengan dua jabatan mentereng tersebut, Soeharto dapat memerintah Kodam-Kodam dan RPKAD yang waktu itu dipimpin Sarwo Edhi Wibowo.
Aksi massa pengganyangan kaum komunis dan simpatisannya menyebabkan setidaknya setengah juta hingga sejuta orang dibunuh, ratusan ribu lainnya ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Di luar pembantaian dan penahanan, terdapat ratusan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan di sektor pemerintahan, pendidikan, manufaktur, media massa dan perusahaan milik negara.
Pada 1967, WFTU melaporkan aksi massa pengganyangan hal-hal berbau komunis telah mengorbankan buruh dan para pimpinannya. Laporan tersebut disampaikan kepada ILO. Dalam laporannya WFTU menyebutkan pemenjaraan tanpa hukum terhadap 55 ribu anggota SOBSI dan hukuman mati terhadap Ketua Umum dan Wakil Presiden WFTU Nyono, dan penghilangan paksa terhadap Ketua Serikat Buruh Konstruksi dan Perkayuan Internasional dan Federasi Serikat Buruh Konstruksi dan Irigasi Sudarno Heru. ILO bergeming. Kasus pengaduan WFTU ditutup pada 1971. Alasan yang dikemukakan, informasi yang terkumpul tidak memadai untuk menarik kesimpulan karena Pemerintah Indonesia tidak bersedia memberikan informasi.4
Meskipun acara 1 Mei 1966 disusun oleh Panitia Pusat Perayaan 1 Mei dan kegiatannya dihadiri oleh elemen buruh, Peringatan 1 Mei 1966 lebih mirip pembajakan hari buruh untuk meneguhkan kepentingan kekuatan militer melayani investor. Resolusi 1 Mei 1966 bersifat politis dan sama sekali tidak menyatakan kepentingan buruh, bahkan tidak mencerminkan semangat Hari Buruh Internasional. Misalnya, dukungan terhadap pernyataan Waperdam Ekubang (Wakil Perdana Menteri, Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan) Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan pernyataan Waperdam Sosial-Politik/Menteri Luar Negeri Adam Malik. Hamengku Buwono IX dan Adam Malik berkomitmen untuk mengembalikan perekonomian Indonesia kepada investasi asing. Padahal, delapan tahun sebelumnya gerakan buruh telah bersusah payah merebut perusahaan asing agar menjadi milik bangsa Indonesia.
Isi resolusi tersebut bertolak belakang dengan isi resolusi 1 Mei 1965. Pada 1 Mei 1965, gerakan buruh menghasilkan tujuh tuntutan. Di antaranya, mendorong pembentukan undang-undang yang berpihak pada buruh, mendorong nasionalisasi perusahaan asing dengan membentuk dewan buruh dan mendukung pelaksanaan konferensi buruh Asia-Afrika (Ridwan, 29 April 2024).
Seperti diketahui, peringatan Hari Buruh 1965 berlangsung 10 hari dari 30 April hingga 9 Mei. Acaranya meriah dan gegap gempita. Berbagai kegiatan dari ziarah ke Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, Rapat Umum di Istora Senayan Jakarta, Pawai Berdikari, pertunjukan kesenian, pemutaran film, pertunjukkan drama dan perlombaan berbagai cabang olah raga. Soekarno dan jajaran Kabinet Dwikora II hadir dan menyampaikan pidato dalam acara tersebut (lihat, Ridwan, 29 April 2024).
Menaklukkan Gerakan Buruh
Para sejarawan, termasuk tulisan saya (2006) kerap mengira bahwa peringatan 1 Mei 1966 merupakan Hari Buruh pertama dan terakhir di periode awal rezim Soeharto berkuasa. Sehingga ditafsirkan watak antiburuh dimulai dari rezim Soeharto, yang ditandai dengan mengganti istilah menteri perburuhan menjadi tenaga kerja dan menghapus hari buruh dua tahun setelahnya.
Namun, sebagaimana diketahui, langkah militerisasi birokrasidan mengontrol gerakan buruhtelah berlangsung lama, terutama di periode 1950-an dan 1960-an, yang diperlihatkan dengan menyerahkan perusahaan asing hasil pendudukan buruh kepada militer, menyetujui pembentukan BKS-BuMil (Badan Kerja Sama Buruh Militer) untuk mencegah pemogokan, melarang dan mengancam pidana bagi buruh yang mogok di perusahaan negara melalui Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951, pembentukan organisasi tunggal OPPI (Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia) untuk buruh swasta dan PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri) untuk buruh negara.
Pada 1962, Letnan Kolonel Suhardiman, sekaligus perwira Markas Besar Angkatan Darat, yang mengenyam pendidikan Amerika Serikat, pengelola perusahaan-perusahaan hasil pendudukan buruh membentuk PKPN (Persatuan Karyawan Perusahaan Negara), yang berubah menjadi SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia). SOKSI merupakan penggagas Sekber Golkar.5 Dengan demikian, inisiatif militer membentuk BKS-BuMil, OPPI maupun Sekber Golkar merupakan upaya militer-pengusaha menyiapkan barisan melawan gerakan buruh.
Kesalahan tersebut bersumber dari pernyataan Awaloedin Djamin di media massa maupun memoarnya Awaloedin Djamin: Pengalaman Seorang Perwira Polri (1995), yang mengindikasikan bahwa dirinya telah diangkat sebagai menteri tenaga kerja di Mei 1966. Ia menyebut, “… agar tidak menimbulkan geger tidak perlu” dan “… Orde Baru adalah antiburuh, padahal yang benar kita adalah antikomunis…” (lihat, Wanhar, 2 Mei 2014; Kompas.com, 1 Mei 2016; Matanasi, 1 Mei 2020; Hera, et.all., 2024). Dalam tafsir tersebut, Awaloedin Djamin, dianggap sebagai sosok netral dari kepolisian untuk menengahi persaingan kubu komunis dan tentara-pengusaha.6
Sebetulnya, 1 Mei 1966 berlangsung di bawah Kabinet Dwikora III yang bertugas dari 27 Maret 1966 hingga 25 Juli 1966. Saat itu, Soekarno pun masih menjabat sebagai Presiden. Di Kabinet Dwikora III istilah menteri perburuhan telah diganti dengan menteri tenaga kerja, yang dipegang oleh Mayor Jenderal Satrio.7
Sebagai organisator KABI, untuk melaksanakan Peringatan 1 Mei 1966, Awaloedin Djamin berkonsultasi dengan Letjen Soeharto bukan dengan yang lain. Saat itu, Soeharto menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat. Jadi peringatan 1 Mei 1966 merupakan bagian dari tuntutan pembubaran Kabinet Dwikora III dengan tambahan tuntutan agar Soekarno melaksanakan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Lalu siapa Awaloedin Djamin di periode 1 Mei 1966, yang mengaku sebagai ‘menteri tenaga kerja di Mei 1966’? Awaloedin Djamin adalah doktoral lulusan Universitas Pittsburg, AS (Master of Public Administration) dan Universitas Southern California Amerika Serikat. Saat itu, Amerika Serikat sedang getol mengampanyekan perang melawan komunisme di Asia. Awaloedin Djamin adalah ‘anak didik’ Kepala Djawatan Kepolisian Negara (DKN) Said Soekanto. Soekanto merupakan salah satu polisi yang ditugaskan oleh Muhammad Hatta untuk mencari bantuan dana dan senjata ke Amerika Serikat dengan konsensi membasmi kaum komunis di Indonesia (Historia.id, 4 Juli 2019). Hasil dari lawatan Soekanto adalah para perwira polisi yang sekolah ke Amerika Serikat dan operasi ‘razia Agustus 1951’.
Awaloedin Djamin menjabat sebagai anggota DPR GR perwakilan ABRI dari 1964 hingga 1966. Saat itu, kepolisian telah diintegrasikan dalam ABRI (Tokoh.id, 16 Oktober 2002). Di tahun tersebut, ia pun berperan sebagai Direktur Kekaryaan Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) yang bertugas sebagai panitia penyaring untuk menyingkirkan simpatisan PKI dari kepolisian (Hera, et.all., 2024).
Awaloedin Djamin diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet Ampera I yang bertugas dari 28 Juli 1966 hingga 14 Oktober 1967. Kabinet Ampera I adalah hasil desakan aksi massa yang tergabung dalam Front Pancasila di mana Awaloedin Djamin sebagai salah satu tokohnya. Karena tidak dianggap penting maka urusan perburuhan hanya subbagian dari Bidang Kesejahteraan dengan nama Departemen Tenaga Kerja dalam Kabinet Ampera I.
Gambar: Susunan Kabinet Ampera I yang dibentuk dan diumumkan oleh Letjen Soeharto berlaku dari 28 Juli 1966 hingga 14 Oktober 1967. (ANRI)
Di periode Ampera I pun Soekarno masih menjabat sebagai presiden, namun peranannya semakin terkucil. Pasalnya, salah satu basis pendukung Soekarno, yakni SOBSI, BTI, PKI dan lain-lain telah dibubarkan. Pada Maret 1966, Soeharto dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 Perihal Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keppres tersebut memerintahkan pembubaran dan melarang Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan larangan menyebarkan ajaran komunis/marxisme-leninisme (Kompas.com, 12 Maret 2016).
Pada 1966, seluruh aktivitas kenegaraan nyaris dipegang kelompok Soeharto. Saat itu, dalam Kabinet Ampera I Soeharto berperan sebagai Ketua Presidium. Misalnya, UU Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967, yang menjamin perusahaan tidak akan dinasionalisasi ditandatangani oleh Soekarno pada 10 Januari 1967. UU tersebut merupakan hasil lobi para akademisi yang dikenal dengan Mafia Berkeley, yang di kemudian hari akan menjadi tim ekonomi rezim Soeharto.8 Tentu saja UU tersebut bertentangan kehendak massa rakyat yang menuntut nasionalisasi perusahaan asing sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.
Soekarno diberhentikan oleh MPRS yang dipimpin AH Nasution pada 12 Maret 1967. Posisi presiden diganti oleh Soeharto sebagai pejabat presiden atau presiden sementara dari 7 Maret 1967 hingga 25 Maret 1968. 1 Mei 1967 masih dinyatakan libur sebagai hari buruh. Namun, sama sekali tidak ada peringatan Hari Buruh.
Soeharto diresmikan menjadi presiden pada 26 Maret 1968. Soeharto memimpin Kabinet Ampera II yang bertugas dari 17 Oktober 1967 hingga 6 Juni 1968. Menteri Tenaga Kerja Brigjen Awaloedin Djamin.
Pada 18 April 1968 Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 148 Tahun 1968. Isinya, menghapus 1 Mei sebagai hari libur nasional. Dengan alasan formal bahwa 1 Mei tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Jadi sepanjang Awaloedin Djamin menjabat Menteri Tenaga Kerja tidak pernah mengadakan peringatan 1 Mei
Dari Buruh ke Pekerja: Reorganisasi dan Politik Penundukan Bahasa
Sejak 6 Juni 1968 hingga 27 Maret 1973, Soeharto memimpin Kabinet Pembangunan I. Menteri Tenaga Kerja didapuk oleh Laksamana Muda Laut Mursalin. Pada 1971, Menteri Tenaga Kerja diganti oleh Moh Sadli. Pada 1973-1978, Menteri Tenaga Kerja diganti oleh Letnan Dua Subroto. Demikian seterusnya kabinet berganti-ganti. Namun, Soeharto bercokol selama 32 tahun.
Sejak rezim Soeharto-lah militerisasi birokrasi negara makin menguat. Kedudukan kementerian perburuhan seringkali diserahkan kepada aktor yang menaruh curiga kepada gerakan buruh alih-alih menteri tenaga kerja menjadi ‘pengeras suara’ investor. Begitu pula, nomenklatur menteri tenaga kerja atau ketenagakerjaan secara resmi menggantikan istilah perburuhan hingga sekarang.9
Awal 1970-an, organisasi-organisasi massa berhasil disatuwadahkan, yaitu organisasi perempuan dalam Dharma Wanita, organisasi pemuda-mahasiswa dalam KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), tani dalam HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), buruh yang bekerja di perusahaan dan lembaga negara digabungkan dalam KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Sementara itu, gerakan buruh swasta masih sulit dikendalikan meskipun elit serikat buruhnya berhasil ditaklukkan. Hal ini ditandai dengan berbagai pemogokan yang masih terjadi di pabrik-pabrik (Hadiz, 2024: 180). Padahal pada pertengahan 1969, dengan disponsori Pemerintah Indonesia, elit serikat buruh seperti Agus Sudono dari GASBIINDO (Gabungan Serikat Buruh Islam), Adolf Rachman dari KONGKARBU-SOKSI (Konsentrasi Golongan Karya Buruh-Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), Darius Marpaung dari KESPEKRI (Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia), PDF Manuputty dari SOB Pantjasila, A Dahlan Siregar dari SARBUMUSI dan MO Tambunan dari KBM telah mendatangi dan meyakinkan investor-investor di Eropa bahwa gerakan buruh tidak akan mengancam modal asing dan menudukung implementasi kebijakan Soeharto (Hadiz, 2024: 123).
Untuk menaklukkan gerakan buruh, rezim Soeharto menempuh cara lain. Melalui Kongres II FBSI 1985, rezim Soeharto kembali mengubah struktur dan berbagai istilah seputar perburuhan. Kata buruh dalam FBSI diubah menjadi pekerja, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Menurut Sudomo istilah buruh tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan memperlihatkan seseorang yang senantiasa dieksploitasi oleh majikan (Pelita, 17 Juli 1985). Selain itu, pemerintah pun berkeyakinan bahwa dalam satu perusahaan semua orang bekerja sesuai dengan fungsinya. Ada yang bekerja sebagai direktur, manajer, mandor atau operator. Jadi semuanya pekerja, yang dapat saling bekerjasama.
Istilah unjuk rasa dipopulerkan oleh media massa pro-Soeharto pada periode 1970-an untuk mengganti demonstrasi, rapat umum dan rapat raksasa. Istilah tersebut dilegalkan dan disandingkan dengan demonstrasi dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Secara tekstual unjuk rasa berarti pertunjukan atau peragaan perasaan karena ketidakpuasan. Bukan protes sadar terhadap kebijakan yang menindas (Razif, 1994).
Doktrin Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP), yang digagas pada 1974, diresmikan menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) melalui Keputusan Menteri Menteri Tenaga Kerja Nomor 645 Tahun 1985 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. Meskipun istilahnya berubah, doktrin HPP dan HIP semakna, yaitu hubungan perburuhan yang bersifat kekeluargaan, damai dan harmonis dengan semangat merasa ikut memiliki, ikut bertanggung jawab, saling mawas diri. Meskipun dalam kenyataannya buruh terus-menerus diperas. Karena itu, tidak terlalu heran jika terjadi mogok buruh kerap disalahkan sebagai oranga tidak tahu diri, tidak pandai bersyukur dan tidak bertanggung jawab.
20 Februari yang pernah diusulkan sebagai hari buruh nasional oleh FBSI pada 1977 (Suara Karya, 21 Februari 1977), akhirnya diresmikan pada 1991. Dengan nama hari pekerja nasional dan bukan hari libur. Begitulah istilah buruh secara resmi diganti dengan kata pekerja.
Saat ini kita mengetahui bahwa secara legal istilah resmi yang dipergunakan adalah buruh dan pekerja serta serikat buruh dan serikat pekerja yang disandingkan dengan tanda garis miring: buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja. Meskipun empat kata tersebut secara historis berbeda, tapi empat kata tersebut telah didefinisikan dengan makna yang sama dalam konteks ‘hubungan kerja’ dalam kerangka HIP bukan dalam ‘hubungan perburuhan’ atau ‘relasi upahan’.
Dalam percakapan sehari-hari, antarburuh saling menyebut karyawan. “Karyawan mana?” Jika buruh tersebut berasal dari buruh penyalur tenaga kerja maka, “Oh outsourcing? Kontrak?” Penggunaan kata karyawan oleh buruh kepada buruh dipergunakan untuk mengukur derajat kesejahteraan. Dengan ungkapan, “Kalau di perusahaan saya normatifnya terpenuhi”. Sebutan ‘perusahaan saya’ dan ‘normatif’ lumrah dipergunakan oleh buruh. Dan, tentu saja tempatnya bekerja bukan perusahaan miliknya. Sedangkan ‘normatif’ memperlihatkan ruang lingkup hak tidak lebih dari hak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal demikian, HIP telah berhasil menanamkan ‘rasa memiliki’, meskipun mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap kebijakan perusahaan. Konteks itu pula memperlihatkan keberhasilan rezim Soeharto melarang massa buruh memiliki perspektif politik. Tentu saja yang berpolitik adalah elit serikat buruh.
Istilah buruh akan lebih fasih dikatakan untuk menyebut orang yang bekerja secara fisik, berupah rendah, SDM rendah, kuli, pabrikan, kampungan, dan tukang demo. Sedangkan istilah pekerja berkesan kantoran, bekerja dengan terhormat dan mentereng.
Begitu pula manajemen pabrik akan menyebut dan menyapa buruh dalam briefing atau surat pengumuman dengan istilah karyawan. Karyawan adalah bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan manajemen kepada buruh. Istilah karyawan atau pegawai kadang disematkan juga untuk buruh yang bekerja di perusahaan negara. Kata pegawai umumnya disematkan untuk buruh yang bekerja di lembaga-lembaga negara.
Para elit serikat buruh, meskipun serikat buruhnya bernama ‘serikat pekerja’, jika menyapa massa dalam orasi menyebut ‘hidup buruh!’ ‘bukan hidup pekerja atau hidup karyawan’.
Lawan dari kata buruh/pekerja adalah pemberi kerja atau pengusaha. Lawan dari pemberi kerja tentu saja adalah pencari kerja atau peminta kerja. Dengan pilihan kata tersebut maka pekerjaan bukan lagi sebagai hak tapi pemberian. Dan, tentu saja, dengan istilah tersebut ingin memberikan kesan pengusaha adalah orang-orang yang berhati mulia yang sedang berikhtiar dan berusaha serta membuka lowongan kerja.
Kita tidak menemukan lagi kata majikan. Majikan menurut KBBI VI daring bermakna: orang atau organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan kontrak; dan orang yang menjadi atasan (yang kuasa memerintah bawahan).
Semua perubahan struktur organisasi dan istilah perburuhan dengan tujuan menciptakan buruh yang patuh, murah, terpecah-pecah dengan disiplin kerja yang tinggi, dan melumpuhkan identitas kelas buruh. Untuk itu kita perlu memikirkan ulang mengembalikan makna buruh dalam konteks yang semestinya.
Boks Perubahan-perubahan istilah dari zaman Soekarno hingga
UU 21/1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan Bagian penjelasan. Definisi buruh berdimensi ekonomi-politik Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah Majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja.
UU 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Buruh ialah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah Majikan ialah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh Perselisihan perburuhan ialah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan
Sejak 1964 hingga sekarang istilah tidak konsisten: tenaga kerja, pekerja, karyawan, buruh/pekerja. Dimensi definisi bersifat individual dan dipengaruhi sosiologi fungsionalisme
UU 14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
HPP 1974 Doktrin Hubungan Perburuhan Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal Ali Moertopo dalam sebuah seminar pada 4–7 Desember 1974 di Jakarta, kemudian dilembagakan secara formal melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 645 Tahun 1985 .
HIP 1985 Hubungan Industrial Pancasila diklaim sebagai hubungan industrial khas Indonesia, yang bukan ala Marxis dan bukan free fight liberalism. HIP menekankan bahwa hubungan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah harus terjalin secara harmonis, dinamis, berkeadilan, dan menjamin kelangsungan berusaha
Permenaker 1/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Permenaker ini memperkenalkan istilah karyawan dan pekerja. Misal, Pasal 1 huruf e: Karyawan adalah buruh yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah.
Bab II Umum Ayat 1 huruf a: Terhadap golongan Pekerja/Karyawan mana saja Kesepakatan Kerja Bersama tersebut berlaku
UU 25/1997 tentang Ketenagakerjaan (Undang-undang ini menjadi salah satu rujukan perumusan UU 21/2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 2/2004 tentang PPHI) Tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah. Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan industrial yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan yang tumbuh serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
UU 13/2003 Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
—————————-
Dua paragraf di atas disarikan dari FX Domini BB Hera, et.all. The Crawling Ban of the Labor Day Celebration in the Age of Indonesian Transition, 1966-1968. JLPH: Journal of Law, Politic, and Humanities. Vol. 5, No. 2, December 2024. https://doi.org/10.38035/jlph. ↩︎
Intarti, S.Pd. Jejak Langkah Pak Harto 1 Mei 1966 – 1991. https://www.hmsoeharto.id/2016/05/jejak-langkah-pak-harto-1-mei-1966-1991.html?m=1 ↩︎
Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6. Rapat Kaum Buruh di Lapangan Benteng Jakarta. https://www.hmsoeharto.id/2016/11/rapat-kaum-buruh-di-lapangan-benteng.html ↩︎
Case No 537 (Indonesia) – Complaint date: 21-SEP-67. World Federation of Trade Unions. https://normlex.ilo.org/dyn/nrmlx_en/f?p=1000:50001:0::NO::P50001_COMPLAINT_FILE_ID:2895315:NO ↩︎
Jacques Leclerc 1973. Vocabulaire social et répression politique : un exemple indonésien. Annales.https://www.persee.fr/doc/ahess_0395-2649_1973_num_28_2_293355 ↩︎
Mengenai kiprah kepolisian mencari bantuan uang, senjata dan program sekolah ke Amerika Serikat dengan janji membasmi kaum komunis di Indonesia, lihat Wawancara Awaloedin Djamin. Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita. Historia.id, 14 Juli 2019. https://historia.id/militer/articles/jenderal-polisi-purn-awaloedin-djamin-soekanto-bapak-polisi-kita-vJjNJ/page/1 ↩︎
Informasi Mayor Jenderal Satrio menduduki Kabinet Dwikora III terdapat di laman Setkab.go.id. Sementara susunan Kabinet Dwikora III dalam Wikipedia.org menyebut Awaloedin Djamin sebagai Menteri Tenaga Kerja. ↩︎
Di antara tokoh yang disebut sebagai Mafia Berkeley adalah Soemitro Djojohadikoesoemo, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, JB Sumarlin, Emil Salim. Untuk diskusi mengenai Mafia Berkeley yang mengubah lanskap politik dan ekonomi Indonesia. Lihat, Jeffrey A Winters. Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa. Jakarta. Sinar Harapan. 1999. ↩︎
Untuk diskusi awal mengenai penindasan politik melalui politik bahasa, lihat Jacques Leclerc. (1973). Vocabulaire social et répression politique : un exemple indonésien. Annales. https://www.persee.fr/doc/ahess_0395-2649_1973_num_28_2_293355 ↩︎
Di banyak negara Hari Buruh Internasional merupakan hari libur nasional. Peliburan 1 Mei di tiap negara merupakan perjuangan panjang gerakan buruh di tiap negara. Mereka menuntut penyelenggara negara mengakui 1 Mei sebagai penghormatan terhadap para mujahidin yang memperjuangkan pengurangan jam kerja, perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah. Hari Buruh Sedunia 2025 diperingati dengan cara pawai, […]
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi manapun. Sehari sebelum Mayday 2025, salah satu kawan bertanya pada saya melalui WhatsApp “Kamu ke Monas atau ke DPR?” Saya merasa, ini pertanyaan yang sangat tricky karena jawaban saya selanjutnya dapat memberikan persepsi bagi kawan saya tersebut apakah saya bersama dia atau tidak. Jawaban […]
1 Mei 2025 siang hari. Hawa panas Jakarta sungguh berlebihan dan tidak biasa. Partisipan massa aksi sudah datang memenuhi gerbang pintu DPR. Beberapa dari mereka sedang berorasi dalam rangka merayakan Hari Buruh. Dari poster yang saya dapati aksi massa memang sudah berlangsung dari jam 8.00 pagi. Diawali dengan aksi massa perempuan pekerja rumah tangga menuntut […]