MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pantai Manulusu, Menjelang May Day 2008

***

Hari itu bukan kado istimewa
Di balik bukit Blok Cibadak
Ketika api menjalari Karangsari

Sudah tahu siapa yang luka
Jika peluru hanya dibalas kerikil batu
Ketika ber-TANI diteror senjata api

Tak ada yang mengiring di kelokan jalan
Ketika kawan mendekam dalam tahanan
Terasa diri kehilangan pegangan
Di senja hari menjelang malam

Ini bukan kado istimewa
Karena meninggalkan pantai selatan
Berlayar ke pulau buangan

Kawan! benar katamu
Negara terlalu Condong
Membela Perusahaan.

Pantai Manulusu, 30 April 2008

***

Macam ular, rombongan truk pengangkut ratusan aparat merayap ke arah gundukan bukit. Mereka berasal dari markasnya, di kota Garut. Arah selatan membentuk siluet menggantikan background pantai Manalusu. Sementara Warna jingga langit utara, merona atas ribuan hektar pucuk kelapa sawit, terpapar debu kemarau. Sebelah timur gerombolan sapi merumput pelan pada hamparan padang kerontang, mencari sisa-sisa rumput segar.

Tetiba sapi berlarian, tersentak raungan truk. Selain polisi tampak sejumlah serdadu turut serta. Diikuti  kijang bak terbuka dengan muatan 700 sipil dengan pakaian corak loreng macan. Mereka coba datang  dalam senyap.

Selain rombongan sapi, mengularnya iringan aparat hanya diketahui oleh ratusan pasang mata petani. Mereka sedang melakukan aksi pendudukan lahan, berada di balik bukit Cibadak, menjadi satu-satunya pihak yang dituju aparat.

Dari kabar lamat-lamat, aparat datang diminta perusahaan untuk membubarkan pendudukan yang sudah berlangsung hampir sepekan.

Seolah tahu sang tamu sudah dekat, kesibukan mulai terlihat. Semisal berusaha tiarap serapat mungkin. Rombongan makin dekat…

. “Prêt, prepeeeeeeeeet, brooooot !!!”.

Yang ganjil di telinga itu memecah sunyi. Jelas itu bukan suara tembakan yang ditakutkan. Mereka celingukan mencari sumber. Sebagian tutup mulut menahan geli.

Asli, ieu bau hui nu peuting”. Celetuk orang di ujung selatan. Kebetulan angin bertiup ke arahnya.

Hitut eta teh, cik tahan heula”. Suara KENTUT, bikin riuh sesaat.

Terpaksa kembali fokus mengantisipasi kemungkinan terburuk. Tergambar raut cemas dari wajah anak-anak dan emak-emak yang bangkit dari tiarapnya. Mereka perlahan dievakuasi menuju kampung. Sebagian pemuda juga membereskan tenda serta alat-alat dapur.

Firasat menempel dalam pikiran masing-masing, bahwa kedatangan aparat beserta gabungan ormas itu bukan menginginkan solusi. Melainkan datang atas laporan perusahaan, bertujuan membubarkan barisan aksi.

Firasat buruk coba disikapi dengan tenang, misalnya mengatur barisan. Maksud barisan di sini adalah membentuk formasi aksi. Layaknya sususan aksi long march di jalanan. Memposisikan barisan pelopor berada di garis depan. Barisan itu terdiri dari para pemuda bertubuh tegap. Biasanya mereka piawai bela diri silat. Tugas badan pelopor cukup berat, mereka diwajibkan melindungi massa aksi, menjadi benteng sekaligus panah pertama, ketika kordinator aksi memberi komando.

Di jalanan, dalam dua tahun terakhir petani ini cukup terlatih lakukan aksi. Aku tahu, tuntutan mereka awalnya sangat sederhana, atau di kalangan aktivis bilang “enggak progresif”. Mereka menuntut pemerintah membangun saluran irigiasi bagi lahan pertanian.

Karangsari menjadi target pengorganisasian tidak banyak ku ketahui. Sejak Rohmat, teman satu kampung halaman mengajaku bergabung dengan Tim Kerja pembangunan organisasi tani, Karangsari sudah menjadi topik diskusi sehari-hari.

Dari berbagai catatan, tanah konflik petani dengan perusahaan perkebunan berawal dari di tetapkannya lahan tersebut sebagai obyek Land Reform dan telah diredistribusikan dengan hak milik kepada masyarakat berdasarkan SK kepala Inspektorat Agraria (Kinag) Provinsi Jawa Barat tgl 16 Desember 1946 No.145/D/VIII/59/1964.

Sesuai data yang bersumber dari kanwil BPN Provinsi Jawa Barat, subyek penerima hak dasar berdasarkan SK Kinag tersebut tercatat sebanyak 664 KK dan obyek redistribusi berupa tanah darat seluas kurang lebih 275,106 ha dan tanah sawah seluas kurang lebih 7,07 ha.

Sekitar tahun 1976, pihak Perkebunan melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat dari lahan permukiman dan lahan pertaniannya tanpa memberikan ganti rugi. Lahan tersebut kemudian ditanami sawit oleh perkebunan.

Masyarakat lempar ke Kalimantan Selatan (Pelaihari) sebagai transmigran pada 1990-an. Oleh karena khawatir dengan maraknya konflik bernuansa SARA pada tahun 1998, maka sebagian besar masyarakat terpaksa kembali ke kampung halamannya, dan kini mereka di hadapkan konflik baru. 

Awalnya Tim Kerja hanya empat orang yakni Dadi, Rohmat, Abo dan Aku. Namun setahun kemudian, kami mendatangkan Wandi dari Tasik untuk membantu pengorganisasin di Karangsari. Aku tidak akan mengungkap peran yang lain, di Tim Kerja aku bertugas melakukan pendekatan terhadap media massa.

Negosiasi Wandi berlangsung alot. Makian kebun binatang anggota ormas menambah panas suasana.

“Hei, anjing!, PKI!, bubar maraneh!”

Berulang-ulang. Upaya provokasi standar memancing amarah tumpah. Para petani menahan diri. Tanpa membalas kata. Yang terdengar adalah gemertak tulang dalam kepalan tangan, gesekan geraham menahan marah. Tentu saja, nafas mereka terdengar sesak.

Tiba-tiba..

“Buk !”.

“Aduuuh! Sirah uing!”.

Suara itu bersamaan dengan terjungkalnya seorang pemuda. Nampak ia memegangi kepala bagian depan, rembesan darah mengucur dari sela jemarinya. Suasana mendadak riuh. Ibu-ibu yang sempat melihat pun menjerit.

“Ya allohh, Encep! eta tulungan si Encep”.

Dua orang  membopongnya ke tempat aman, menjauhkannya dari lokasi.

Itu bukan satu-satunya lemparan batu, sekarang lebih mirip hujan batu. Formasi aksi pun berubah, semua lebih merapat kearah bukit.

“Serbuuuuuuuu”!. Wei…Serbuuuu…!

Suara itu datang bukan dari komandan pasukan. Melainkan suara petani yang amarahnya pecah melihat anak mereka berlumuran darah.

Sebentar saja, kondisi sudah tak terkendali, Wandi pun tak terlihat lagi lakukan negosiasi. Saling lempar batu pun tak terhindarkan. Dalam waktu singkat Bukit blok Cibadak bak medan pertempuran. Bukit menjadi satu-satunya benteng bagi masing-masing pihak untuk menyerang dan bertahan.

Dua puluh menit kemudian, kobaran api menyala-nyala di seantero bukit. Beberapa batang sawit seolah menjadi bahan bakar mujarab si jago merah.

Perang batu terus berlanjut, tak terhitung lagi berapa yang luka.

Satu jam bertahan, barisan petani akhirnya tunggang langgang. Bukan karena pengecut, tapi lebih memikirkan keselamatan keluarga. Mereka mundur perlahan menuju perkampungan. Aksi pun tinggal menyisakan beberapa pemuda, pun kemudian pertahanannya jebol.

Karenanya, tidak ada opsi terbaik, bersama pertahanan terakhir itulah, aku menyelamatkan diri. Mencari jalan pintas menuju kota untuk sesegera mungkin mengabarkan peristiwa ini.

Tak sempat berbincang dan berkordinasi lagi, aku memilih memutar jalan menuju pantai. Dari sana, diharapkan banyak kendaran membawaku ke kota.

Kupacu langkah kaki, terlebih berkali-kali letusan senjata api memekakan telinga.

Jalan setapak berbatu menuntunku ke bibir pantai, berhasil juga menghubungi teman jurnalis yang kupercaya, untuk mengabarkan apa yang kulihat.

“Tanggal berapa ini?”. Teriak rekan melalui seluler. Setelah kami saling bertukar kabar.

“Entah, coba aku ingat-ingat”.

“Besok May Day Ya?”.

“Oh iya, Di kota rame nih katanya besok buruh aksi”.

 “Kenapa?”. Tanyanya.

“Untuk tanggal berita”.

 ‘Bukan…aku nunggu ucapan’

‘Dari siapa?’

Darinya…’

‘Ya ucapan apa dan dari siapa?

bukan dari Lu Lah’

‘Dari siapa ?

TUUUT, PADAM. Sebulan kemudian ketika kapal SLAVIA dari Tanjung Priok menuju Belitung telah ku tumpangi. Handphone kulempar ke dalam samudera laut Gaspar, ucapan itu tak pernah datang.[]