MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘No Work No Pay’: Buruh Ditumbalkan untuk Resesi Global

Dari Juni hingga Desember 2022, terdapat lebih dari duapuluh perusahaan ekspor garmen, tekstil, dan sepatu di Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah menerapkan kebijakan ‘no work no pay’. Para pemilik perusahaan berdalih pemesanan barang turun 30 hingga 40 persen akibat resesi global. Tidak hanya mengurangi aktivitas kerja, juga menggunting hak hak cuti tahunan, hak upah dan hak kompensasi yang sesuai peraturan perundangan.

Kebijakan ‘no work no pay’ di atas mengambil bentuk:

Pertama, buruh diliburkan di hari tertentu dengan upah penuh, tapi cuti tahunan dipotong. Jika tidak memiliki cuti tahunan dihitung memiliki utang cuti tahunan. Cuti tahunan merupakan hak buruh yang telah bekerja di atas satu tahun. Biasanya diambil oleh buruh untuk keperluan mendesak. Jika diakumulasikan, cuti tahunan dapat diperhitungkan sebagai salah satu kompensasi pemutusan hubungan kerja.  

Kedua, buruh diliburkan di hari tertentu dengan upah 50 hingga 70 persen dari upah pokok. Artinya, total upah buruh diperhitungkan sebagai buruh harian.

Ketiga, merumahkan buruh tanpa diupah.

Keempat, memecat buruh training dan kontrak.

Kelima, memecat buruh tetap dengan kompensasi sekehendak perusahaan atau melalui skema lain yang menurunkan nilai kompensasi pemutusan hubungan kerja, seperti pengunduran diri. Semestinya pengunduran diri merupakan inisiatif buruh untuk berhenti dari pekerjaan. Bukan inisiatif perusahaan menjebak buruh agar keluar dari tempat kerja dengan kompensasi murah.

Ketika pesanan barang berkurang berarti kesalahan pemesan atau penerima pesanan barang. Kesalahan tersebut tidak seyogyanya ditanggung oleh buruh dalam bentuk kebijakan ‘no work no pay’. Peraturan perundangan menyebutkan, ‘kesalahan yang bukan disebabkan oleh buruh’ sehingga tidak ada pekerjaan, buruh berhak upah penuh. Dengan demikian, kebijakan ‘no work no pay’ di atas tidak memiliki pijakan hukum.

Karena tidak memiliki cantolan hukum, kebijakan ‘no work no pay’ ditempuh dengan membuat kesepakatan antara serikat buruh atau perwakilan buruh dengan perwakilan perusahaan. Namun proses pembuatan kesepakatan tidak semuanya melalui proses negosiasi kolektif yang adil. Proses pembuatan kesepakatan lebih mendekati sosialisasi yang diarahkan untuk menyepakati kebijakan yang telah ditetapkan.

Dalam proses pembuatan kesepakatan ‘no work no pay’, salah satu perwakilan serikat buruh mengatakan, mereka diminta menandatangani kebijakan ‘no work no pay’ setelah pengelola pabrik berhasil mengumpulkan tanda tangan dari seluruh buruh tingkat operator. Para buruh operator bersedia membubuhkan tanda tangan dari perwakilan perusahaan karena dihadapkan dua pilihan: dipecat atau dikurangi upah.

Perwakilan serikat buruh lain mengatakan, dikumpulkan oleh pemilik pabrik di kantor perusahaan. Kemudian mendengarkan ceramah resesi global dan dampaknya kepada perusahaan. Perwakilan perusahaan membeberkan bahwa konsumen Eropa dan Amerika Serikat mengurangi pembelian pakaian karena lebih memerhatikan pembelian sembako. Setelah itu, manajer pabrik mengumumkan akan menerapkan kebijakan ‘no work no pay’ dalam periode tertentu. Serikat buruh mengamini kebijakan tersebut dan bersedia mengumumkan kebijakan perusahaan ke buruh lainnya.

Untuk diketahui, dari seluruh surat-surat kesepakatan bersama yang terkumpul, dicantumkan klausul terbuka yang menandai standar ganda ‘no work no pay’. Misalnya, dalam Surat Kesepakatan Bersama PT Taekwang Indonesia dituliskan: bilamana diperlukan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan pada unit kerja tertentu sebagian pekerja atau seluruhnya dapat masuk kerja selama satu bulan penuh. Klausul ‘bilamana diperlukan’ merupakan kondisi bahwa tidak sepenuhnya terjadi penurunan permintaan atau tidak relasi langsung antara resesi global dengan jumlah pemesanan barang.

Dari seluruh proses pembuatan kesepakatan, perwakilan serikat buruh meragukan terjadinya penurunan order. Lagi pula, penurunan permintaandi perusahaan pemasok barang internasional merupakan kejadian lumrah di bulan-bulan tertentu namun tidak pernah mengarah pada kebijakan ‘no work no pay’. Selain itu, sebulan sebelum ramai isu PHK karena resesi global, di pabrik-pabrik yang menerapkan kebijakan ‘no work no pay’ para buruh lembur secara terus menerus dalam sebulan. Lembur merupakan penanda bahwa pesanan barang melebihi kapasitas (Cemplon, 29 November 2022).

Untuk melegalkan kebijakan ‘no work no pay’ di tingkat pabrik, lima asosiasi pengusaha menyampaikan surat tuntutan kepada Kementerian Ketenagakerjaan agar mengeluarkan peraturan tambahan tentang fleksibilitas jam kerja (Kurniawan, 17 Oktober 2022). Upaya mendapat peraturan ‘no work no pay’ disampaikan pula dengan cara siaran pers, mendatangi kantor-kantor redaksi surat kabar serta melakukan audiensi dengan pemerintah dan dewan perwakilan (Kompas.com, 8 November 2022). Di tingkat pabrik, pengelola pabrik melakukan aksi-aksi sepihak dengan melakukan pemecatan terhadap buruh (CNNIndonesia.com, 12 Oktober 2022; Karawang.id, 12 Oktober 2022).

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane