MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan (3)

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan. Di bagian ini kita akan mendiskusikan sebaran modal asal China di Indonesia. Perkembangan investasi asal China di Indonesia sedang menggeser peta penguasaan modal asal Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Di panggung ekonomi internasional kekuatan China dan Amerika Serikat sedang bertarung. Di Indonesia ‘pertarungan’ tersebut lebih terlihat sebagai pembagian lapak penguasaan sumber-sumber ekonomi. Gerakan rakyat membangun kekuatan mandiri.

***

Imperialisme Modal dari China

Industri smelter nikel di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari modal asal Tiongkok. Nilai investasi dari Tiongkok mengalami kenaikan setiap tahun. BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menyebutkan, pada kuartal II 2022 investasi dari Tiongkok sebesar USD 2,3 miliar. Nilai investasi tersebut melompat empat kali lipat di periode yang sama dari tahun sebelumnya. Secara keseluruhan angka tersebut belum dapat mengalahkan nilai investasi asal Singapura dengan besaran mencapai USD 3,1 miliar.

Secara total sepanjang Januari hingga Juni 2022, investasi dari Tiongkok mencapai USD 3,6 miliar dengan 1.020 proyek. Per Agustus 2022, nilai impor dari China merupakan tertinggi dalam sejarah. Nilainya sebesar Rp 9,44 triliun atau USD 633,9 juta. Jenis impor dari China terdiri dari kelompok mesin, peralatan mekanis dan bagiannya; bahan bakar mineral, mesin perlengkapan elektronik dan bagiannya. Posisi tersebut menggeser penguasaan impor dari Jerman, Malaysia, Jepang dan Australia.

Gambar 1. Grafik perkembangan investasi China di Indonesia. (Sumber: BKPM)

Jumlah dan nilai investasi di atas, memperlihatkan kerjasama Indonesia dan China kian erat. Keseriusan kerjasama tersebut diperlihatkan dengan penandatanganan SRF (China Silk Road Fund) senilai 20 miliar yuan atau sekitar Rp44 triliun, pada Juni 2022.

Jumlah dan nilai investasi di atas, memperlihatkan kerjasama Indonesia dan China kian erat. Keseriusan kerjasama tersebut diperlihatkan dengan penandatanganan SRF (China Silk Road Fund) senilai 20 miliar yuan atau sekitar Rp44 triliun, pada Juni 2022.

Green Finance & Development Center dalam Brief: China Belt and Road Initiative (BRI) Investment Report H1, 2022 melaporkan, China dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) sejak 2013 telah mengucurkan dana tidak kurang dari USD 932 miliar.  Rinciannya adalah USD 561 miliar untuk proyek konstruksi dan USD 371 miliar untuk investasi nonkeuangan. Pendanaan terbesar BRI dialokasikan untuk proyek-proyek pendukung pembangunan infrastruktrur, sektor energi dan transportasi serta sektor logam.

Di laporan yang sama, disebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara penerima investasi terbesar dari China dalam skema proyek BRI. Pada awal 2022 investasi China di Indonesia sebanyak USD 560 juta. Nilainya hanya kalah dari Arab Saudi yang menerima investasi sebesar USD 5,5 miliar dan Republik Demokratik Kongo sebesar USD 600 juta.

Beberapa proyek besar China di Indonesia yang bisa diingat antara lain: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pembangunan jalan tol Medan-Kualanamu, dan pembangunan waduk Jatigede di Jawa Barat.

Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau KCIC (Kereta Cepat Indonesia China), merupakan proyek yang ground breaking-nya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Januari 2016. Proyek ini dibiayai oleh CDB (China Development Bank). Projek ini awalnya menelan biaya sekitar USD 6,071 miliar, namun belakangan membengkak hingga mencapai sekitar USD 7,5 miliar atau sekitar Rp 117,75 triliun.

Membengkaknya biaya pengerjaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung mendorong Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Selain menujuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sebagai Kepala Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, Perpres tersebut mengizinkan penggunaan APBN untuk meneruskan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Kemudian Tol Medan-Kualanamu. Jalan tol sepanjang 17,8 kilometer juga dibiayai oleh China, melalui Bank Expor-Impor (Bank Exim) dan dibangun mulai tahun 2012. Biaya untuk membangun jalan bebas hambatan tersebut sebesar Rp1,347 triliun, dengan 90 persen dari pinjaman Bank Exim China dan 10 persen dari APBN.

Sedangkan pembangunan IMIP dimulai pada 2013 sebagai hasil kesepakatan Presidan Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Xi Jinping pada forum bisnis Indonesia-China Business Luncheon. Kesepakatan tersebut merupakan penanda pembukaan besar-besaran investasi asal China di industri smelter dan pengolahan nikel. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang melarang para penambang mengekspor mentahan nikel sebelum mengolah dan memurnikan bahan baku mineral.

Pada Oktober 2014, Presiden SBY dan Presiden Xi Jinping menandatangani nota kesepahaman untuk membangun smelter nikel dengan nama PT SMI (Sulawesi Mining Investment) dan PT IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park). Dengan modal dasar USD 40 juta, dibangunlah IMIP. Keseriusan SBY mendukung investasi diperlihatkan dengan memberikan insentif pajak melalui tax holiday. Di kemudian hari, PT SMI menjadi perusahaan pengelola IMIP.

Pembangunan IMIP mengubah peta penguasaan produksi nikel di Indonesia. Sebelum 2018, produksi nikel dikuasai oleh PT Vale Indonesia. Pada 2014, PT Vale Indonesia masih memegang 77 persen produksi nikel tanah air, disusul oleh ANTAM yang menguasai 19 persen. Pada 2018 IMIP telah menguasai 50 persen produksi nikel nasional, sedangkan PT Vale Indonesia hanya memegang 22 persen, PT Virtue Dragon 11 persen, Harita Grup sebesar 6 persen, ANTAM sebesar 5 persen dan lainnya 6 persen.

PT Vale Indonesia merupakan perusahaan tambang dan pengolahan nikel terintegrasi yang beroperasi di Blok Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Sahamnya dikuasai oleh Vale Canada Limited (43,79 persen), PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (20,00 persen) dan Sumitomo Metal Mining Co, Ltd. (15,03 persen).

Badan Survei Geologi AS (US Geological Survey) menyebutkan, produksi nikel Indonesia pada 2021 mencapai satu juta metrik ton. Naik sekitar 229.000 metrik ton dari produksi tahun sebelumnya yang sebesar 771.000 metrik ton. Angka tersebut jauh di atas produksi nikel Filipina sebagai produsen nikel terbesar kedua. Filipina memproduksi sejumlah 370.000 metrik ton, pada 2021. Indonesia dan Filipina saat ini memegang lebih dari 30 persen produksi nikel dunia.

Bandingkan dengan China sebagai produsen baja terbesar dunia. China hanya memproduksi 120.000 metrik ton nikel pada 2021. Jumlah produksi tersebut stagnan dari tahun sebelumnya. Cadangan nikel China pun hanya sekitar 2.800.000 metrik ton. Jauh di bawah potensi cadangan nikel Indonesia yang mencapai 21.000.000 metrik ton.

NegaraProduksi Tambang NikelCadangan
20202021  
Amerika Serikat16.70018.000340.000
Australia169.000160.00021.000.000
Brazil77.100100.00016.000.000
Canada167.000130.0002.000.000
China120.000120.0002.800.000
Indonesia770.0001.000.00021.000.000
Kaledonia Baru200.000190.000NA
Philipina334.000370.0004.800.000
Rusia283.000250.0007.500.000
Lainnya373.000410.00020.000.000
Total Produksi Dunia2.510.0002.700.000˃95.000.000
Produksi nikel dunia 2021. Sumber: US Geological Survey – https://pubs.usgs.gov/periodicals/mcs2022/mcs2022-nickel.pdf

 Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya, China sangat tergantung pada impor feronikel dari Indonesia. China memasok 84 persen feronikel dari Indonesia. Sisanya dari Jepang, Kolombia, Myanmar dan Kaledonia Baru. Sayangnya, posisi tersebut tidak membuat Indonesia memiliki daya tawar di hadapan modal baru maupun modal lama. Sebaliknya, Indonesia melemahkan dirinya dengan menyediakan berbagai kemudahan bagi investor dan meminggirkan hak-hak dasar rakyat.[]