MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Sawit, Serikat Buruh dan Reproduksi Sosial (Bagian 2)

https://i0.wp.com/forestsnews.cifor.org/wp-content/uploads/2017/03/Icaro-2017-02-22-37.jpg?resize=566%2C400&ssl=1

Dominasi Laki-laki dalam Serikat Buruh

Beban ganda buruh perempuan juga memengaruhi partisipasi perempuan dalam serikat buruh. Dari ketiga pertemuan dengan serikat buruh di Sambas di atas, yang paling nampak dengan jelas adalah dominasi kehadiran buruh laki-laki. Meskipun  semakin banyak jumlah buruh perempuan yang berserikat, pertemuan-pertemuan serikat buruh masih didominasi oleh kehadiran buruh laki-laki.

Dari ketiga pertemuan dengan serikat buruh yang saya ikuti, dua pertemuan diadakan pada malam hari. Sementara, pertemuan yang paling banyak kehadiran buruh perempuan adalah pertemuan yang dilakukan pada siang hari. Ini tidaklah mengherankan karena alasan keamanan dan reproduksi sosial. Tentu saja pertemuan serikat buruh pada malam hari menimbulkan risiko yang lebih tinggi bagi buruh perempuan dibandingkan bagi buruh laki-laki. Dari pengamatan saya, buruh perempuan dapat hadir dalam pertemuan serikat buruh pada malam hari karena suaminya juga ikut serta dalam pertemuan serikat buruh tersebut. Selain alasan keamanan, pada sore dan malam hari, buruh perempuan umumnya sibuk melakukan kerja domestik yang tidak dapat dilakukan  ketika buruh perempuan bekerja di kebun.

Sudah banyak tulisan yang mengangkat kritik tentang serikat buruh dalam hal gender. Dalam studinya tentang Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) di Surabaya, Juwita H. Prastiwi (2007) menunjukkan bahwa buruh perempuan menghadapi ketidakadilan dalan serikat dalam hal stereotipe, diskriminasi, subordinasi, kekerasan dan peran ganda. Kritik sering kali menunjukkan dominasi buruh laki-laki dalam kepengurusan serikat buruh.    

Menurut pengakuan ketua Serbuk Komwil (Komite Wilayah) Sambas, Muzakir, kaderisasi pengurus perempuan sedang digalakkan dan Serbuk Komwil Sambas berusaha untuk merekrut buruh-buruh perempuan yang dipandang memiliki karakter kepemimpinan.  Istri Pak Muzakir, Bu Prapti, adalah salah satu bendahara Serbuk Kota Singkawang. Bu Prapti mengikuti perjalanan kami dalam melakukan pertemuan dengan Serbuk SBA di perkebunan sawit di Sambas.  

Bu Prapti berpartisipasi dalam kelompok-kelompok diskusi yang khusus dilakukan dengan para buruh perempuan BHL di ketiga SBA. Ini mungkin juga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Serbuk untuk menjaring kader pengurus perempuan. Bu Prapti terlihat aktif dalam kelompok-kelompok diskusi dengan buruh perempuan BHL. Sementara, dalam pertemuan internal yang dilakukan dengan pengurus Serbuk Komwil Kalbar, diskusi masih didominasi oleh pengurus laki-laki.

Menurut Indrasari Tjandraningsih (2018), buruh perempuan yang berserikat menanggung bukan hanya beban ganda, melainkan  juga beban berlipat tiga. Dalam hal ini, buruh perempuan memiliki peran dan tanggung di tempat kerja, dalam rumah tangga buruh dan juga dalam serikat. Ketiga beban tersebut, menurut Tjandraningsih, menjadi faktor utama yang menyulitkan partisipasi aktif buruh perempuan dalam gerakan buruh. Selanjutnya, buruh perempuan merasa kepentingannya tidak tersalurkan melalui serikat buruh. Tentu saja, serikat buruh mengakomodasi kepentingan buruh perempuan dalam hal-hal normatif, dalam arti pemenuhan hak perburuhan.

Subagya dkk. (2013) berpendapat bahwa penguatan serikat buruh  merupakan salah satu elemen penting dalam pengarusutamaan gender di level perusahaan. Akan tetapi, kebutuhan buruh perempuan melampaui hak-hak normatif yang diperjuangkan oleh serikat buruh. Akibatnya, buruh perempuan beralih ke bentuk pengorganisasian yang lain, misalnya serikat komunitas/community union, atau ke gerakan-gerakan sosial masyarakat yang lain.

Berbicara tentang kasus buruh garmen perempuan di PT Panarub, Nonon Cemplon (2022) menyebutkan bahwa beberapa alasan dipilihnya pengorganisasian buruh berbasis tempat tinggal antara lain adalah (1) permasalahan-permasalahan di luar upah yang dihadapi buruh; (2) pemecatan buruh.

 Model pengorganisasian di atas berangkat dari kritik akan kakunya organisasi serikat buruh, yaitu serikat buruh sebagai organisasi yang muncul ketika ada hubungan kerja dan sering kali hanya merekrut buruh tetap. Yang paling utama, menurut Nonon Cemplon, serikat buruh berbasis tempat kerja memiliki tiga kelemahan yang menyulitkan khususnya bagi situasi yang dialami oleh para buruh garmen PT Panarub. Tiga kelemahan tersebut adalah: (1) kesulitan melakukan pertemuan rutin di tempat kerja; (2) tempat kerja tidak bisa menjadi lokasi yang penting ketika buruh ter-PHK; (3) fokus pada tempat kerja sering kali mengabaikan situasi di mana manajemen memengaruhi keluarga buruh dalam rangka menekan perlawanan buruh.

****

Serikat Buruh dan Reproduksi Sosial

Sementara serikat buruh masih didominasi oleh buruh laki-laki, peranan penting buruh perempuan dalam kegiatan-kegiatan serikat buruh sering kali tidak kelihatan. Sebelum pertemuan kami dengan serikat buruh perkebunan PT Sawit Makmur beserta para anggotanya yang dilangsungkan di sekretariat serikat buruh, kami melakukan pertemuan internal dengan para pengurus serikat buruh tersebut di rumah ketua serikat buruh, Pak Efendi (bukan nama sebenarnya).

Pada sore itu istri Pak Efendi, yang bernama Bu Rani (bukan nama sebenarnya), sudah sibuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk konsumsi selama rapat internal bahkan termasuk makan malam kami. Selama melakukan pertemuan dengan serikat buruh Serbuk SBA di Sambas, kami menginap di rumah Pak Efendi. Dan tentu saja, Bu Rani yang harus bekerja keras agar kebutuhan makan dan minum kami selama tinggal di sana dapat terpenuhi. Bu Rani tidak sendiri dalam mengerjakan semuanya. Kakaknya, Bu Rida, ikut membantu. Bu Rani tidak bekerja di kebun karena sedang hamil anak kedua, sementara Bu Rida adalah buruh BHL di perkebunan PT Sawit Sentosa (bukan nama sebenarnya), yang letaknya tidak jauh dari perkebunan PT Sawit Makmur dan PT Sawit Abadi. Meski saya dan beberapa rekan yang lain yang ikut menumpang di situ mencoba membantu, Bu Rani tidak memperbolehkan kami. “Jangan, Kak, biar kami saja.” Ucap Bu Rani ketika saya menawarkan bantuan.  Sambil menunggu pertemuan internal dimulai,  saya dan rekan-rekan perempuan yang lain pun akhirnya hanya menemani Bu Rani dan Bu Rida di dapur sambil bercakap-cakap.

Sementara para pengurus laki-laki duduk di ruang tamu sambil menunggu pengurus yang lain datang. Di sini sepertinya pemisahan masih terlihat. Ruang tamu rumah Pak Efendi tentunya sering menjadi tempat berkumpulnya pengurus serikat buruh dan tempat di mana keputusan penting serikat sering diambil. Namun tanpa kerja keras Bu Rani dan Bu Rida pertemuan kami dengan anggota Serbuk SBA di Sambas tidak mungkin berjalan, begitu pula dengan munculnya tulisan ini. Meski Bu Rani dan Bu Rida bukanlah pengurus serikat buruh, peran penting mereka dalam serikat buruh tidak dapat terelakkan lagi. Dari observasi ini, tampak masih ada dikotomi dalam serikat buruh, yang pada akhirnya membuat kerja-kerja reproduktif dalam serikat tidak kasat mata.

Foto: Dapur Bu Rani (Dokumen pribadi)

Mungkin gejala dikotomi ini juga memengaruhi pandangan para buruh kebun sebagai anggota serikat buruh mengenai isu lingkungan. Dalam pertemuan dengan para anggota serikat buruh Serbuk SBA perkebunan PT Sawit Makmur,  isu lingkungan tidak langsung mengemuka dalam diskusi antarburuh. Pada awal diskusi, salah satu buruh kebun laki-laki berujar,

Kalau kita masyarakat desa dengan adanya perusahaan ekonomi yang di desa dan kebun semakin giat. Kalau dampak tidak terlalu kami perhatikan. Karena menurut kami ada yang mengurusnya nanti. Kalau nanti toh ada dampak yang kurang bagus untuk masyarakat pasti ada yang mengurusnya kalau dari kami.”

Buruh kebun di Kalimantan Barat

Pendapat buruh kebun di atas menunjukkan seakan-akan ada kesenjangan pengetahuan buruh kebun mengenai dampak lingkungan. Kesenjangan ini berangkat dari anggapan bahwa urusan lingkungan bukanlah urusan buruh. Gejala dikotomi antara produksi dan reproduksi sosial secara tidak langsung mengakibatkan keterasingan buruh dari lingkungannya.

Sementara buruh PKS memiliki pengetahuan yang berbeda mengenai isu lingkungan. Tidak seperti buruh kebun, salah satu pengurus serikat yang hadir, yang juga adalah buruh PKS, menceritakan tentang masalah limbah dari pengolahan kelapa sawit, yang dapat mengakibatkan dampak pada lingkungan sekitar dalam jangka panjang. Setelah berjalannya diskusi terungkap bahwa suatu kali sempat terjadi kebocoran dari pengelolaan limbah yang kemudian menyebabkan kematian ikan-ikan di sungai yang tercemar.  Adanya perbedaan pengetahuan tentang isu lingkungan ini menunjukkan bagaimana pembagian kerja dalam perkebunan membuat buruh terasing dari permasalahan di sekitarnya.

Pembagian kerja yang membuat buruh terasing tidak hanya terjadi di kebun, tetapi juga di rumah. Beban kerja reproduktif yang masih harus ditanggung oleh buruh perempuan bahkan dalam kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh secara tidak langsung memengaruhi keterasingan serikat buruh dari persoalan-persoalan sosial di luar hak-hak normatif. Mengingat hal ini, tulisan ini hendak mengusulkan perlunya perubahan paradigma tentang serikat buruh dan kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh, yaitu dengan menjadikan serikat buruh sebagai lembaga dalam reproduksi sosial. Saya akan menjelaskan lebih lanjut di bawah ini.

***

Kerja Serikat Buruh sebagai Kerja Reproduktif

Dalam pertemuan internal dengan serikat buruh Serbuk Komwil Kalimantan Barat, terungkap bahwa salah satu tantangan dalam pengorganisasian anggota adalah keterbatasan personil.

Saat ini Serbuk Komwil Kalimantan Barat memiliki empat orang pengurus. Sementara, posisi geografis perkebunan sawit yang cukup jauh sering kali menyulitkan mobilisasi  dan penguatan SBA dan anggotanya.

Perjalanan kami bertemu dengan para SBA di Sambas dijadikan momentum oleh pengurus Komwil Kalimantan Barat untuk juga sekaligus memberikan penguatan kepada para SBA. Ini sepertinya menunjukkan bahwa mobilisasi dan kegiatan pengorganisasian SBA di perkebunan di Sambas tidak bisa rutin dilakukan.

Menurut pengakuan Agyl, salah satu dari keempat pengurus Serbuk Komwil Kalimantan Barat, keterbatasan personil pengurus yang membuat Serbuk tidak langsung menerima SBA baru meski mendengar banyak serikat buruh di perkebunan yang ingin bergabung. Sementara, buruh sering kali melihat serikat buruh sebagai dokter, yang berarti, buruh baru mengandalkan serikat buruh ketika menghadapi masalah.

Dalam pertemuan dengan para buruh di PT Sawit Makmur, salah satu buruh laki-laki mengatakan bagaimana serikat buruh dianggap seperti bapak angkat oleh buruh. Perumpamaan ini diungkapkan buruh ketika menceritakan persoalan tentang kepastian hukum bagi para buruh akibat perubahan manajemen perusahaan dari awalnya milik grup Wilmar menjadi milik grup KPN (Karunia Prima Nastari). Ini juga, sekali lagi, menunjukkan bagaimana buruh berpaling kepada serikat buruh hanya ketika memiliki masalah. Hal ini membutuhkan adanya perubahan paradigma.

Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, serikat buruh tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem sosial masyarakat. Itu sebabnya pengaruh sistem masyarakat yang patriarkis juga menghantui serikat buruh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, berbagai studi menunjukkan bagaimana buruh perempuan masih mengalami berbagai kendala dalam berpartisipasi secara aktif dalam serikat buruh. Menghadapi masalah ini, dan juga masalah paradigma buruh dalam memandang serikat buruh, tulisan ini hendak mengusulkan untuk mengubah paradigma dalam memandang serikat buruh, yaitu paradigma yang memandang kerja-kerja kolektif dalam serikat buruh sebagai aspek dalam reproduksi sosial.

Memandang serikat buruh sebagai lembaga penting dalam reproduksi sosial kembali menekankan peran penting serikat buruh dalam reproduksi sosial buruh. Tentu saja serikat buruh merupakan lembaga yang mewadahi kekuatan kolektif buruh untuk memperjuangkan isu-isu perburuhan yang pada akhirnya merupakan aspek penting untuk reproduksi buruh. Hanya saja, buruh sering kali memandang serikat buruh sebagai organisasi formal yang dibutuhkan ketika ada masalah. Akibatnya, kerja mobilisasi dan penguatan solidaritas antara buruh juga sering diserahkan kepada pengurus. Semestinya ini adalah kerja-kerja reproduktif. para buruh dalam serikat buruh.

Selain itu,  seperti yang sudah dijelaskan di atas, reproduksi sosial buruh tidak hanya terbatas pada hak-hak normatif, seperti upah dan K3, tetapi juga mencakup isu lingkungan. Dalam hal ini, paradigma yang memandang serikat buruh sebagai lembaga reproduksi sosial dapat memperluas cakupan aktivitas serikat buruh. Perluasan cakupan aktivitas serikat buruh juga dapat meyakinkan para buruh perempuan bahwa serikat buruh dapat menjadi lembaga yang mengusung aspirasi dan kepentingan buruh perempuan.

Sebagai tambahan, perluasan cakupan isu yang menjadi agenda serikat buruh dapat mendorong terbentuknya kerja sama dan aliansi dengan organisasi kemasyarakatan lainnya. Dengan memandang serikat buruh sebagai lembaga reproduksi sosial, dikotomi produksi-reproduksi dalam serikat buruh dapat dileburkan. Hal ini juga berarti bahwa diskusi serikat buruh tidak harus berada di tempat kerja atau sekretariat serikat buruh, tetapi juga dapat bertempat di dapur-dapur buruh perempuan atau di tempat lain.

Paradigma bahwa serikat buruh adalah lembaga reproduksi sosial juga mendorong para pengurus dan buruh untuk memikirkan ulang tentang mekanisme pendanaan serikat dan alat tukar dalam serikat.

Iuran anggota sebagai pendanaan serikat buruh dikenakan berdasarkan asumsi bahwa buruh mendapatkan penghasilan, atau dengan kata lain adanya relasi kerja. Sementara, apa yang terjadi jika buruh tidak bekerja dan tidak terikat dengan relasi kerja lagi? Atau bagaimana dengan perempuan-perempuan yang melakukan kerja-kerja reproduktif dalam serikat buruh meski para perempuan ini tidak bekerja dan tidak memiliki relasi kerja, contohnya Bu Ranti?               

Baru-baru ini terdapat tulisan yang menunjukkan bagaimana buruh perempuan rentan terjerat utang karena relasi kuasa yang dihadapinya. Dalam tulisan tersebut, terungkap bahwa serikat buruh justru menawarkan pinjaman bagi buruh perempuan dengan syarat buruh perempuan menjadi anggota serikat buruh tersebut. Dalam hal ini peran serikat buruh pada akhirnya tidak berbeda dengan rentenir dan buruh perempuan menjadi pihak yang berutang pada serikat buruh. Padahal buruh perempuan pada umumnya berperan dalam kerja-kerja reproduktif serikat buruh yang tidak dibayar.[]

***

Ilustrasi foto: Icaro Cooke Vieira/CIFOR