MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Eksploitasi Seksual, Bukan Bahan Candaan!

Sekitar pukul 19.30 WIB, di tengah rutinitas mengembalikan mood setelah aksi massa memperingati Hari Buruh Internasional, dua pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Walaupun sudah memasuki hari keempat setelah aksi massa badan terasa ringsek. Bawaannya mager.

Saya lihat pesan itu. Ternyata dia mengirim sebuah link berita dari media massa daring lokal, Fajarpendidikan.co.id. Tertera, Viral, Perusahaan di Cikarang HRD Haruskan Karyawati Staycation untuk Perpanjangan Kontrak.

“Ini lagi rame ya?” Lanjut pesan itu. 

Saya terperangah.

“Aih parah, kalau beneran, jahanam nih perusahaan,” balas saya.

“Perusahaan apa ya?” lanjut balasan saya.

“Kalau di TikTok ramai. Konon nama pabriknya PT M dan PT E,” tegas pengirim pesan.

Selepas May Day saya memang lebih banyak rebahan. Sesekali mengintip berita-berita online dan status Whatsapp orang lain. Kadang tergoda mengomentari drama ‘cium tangan’, dukung mendukung Capres dan klarifikasinya. Rupanya saya ketinggalan berita yang lebih penting.

Informasi di media daring tersebut di tulis pada 2 Mei 2023. Sebenarnya, tidak layak disebut berita karena sekadar pernyataan tanpa bukti. Tapi, tidak menunggu lama, saya pun membuka aplikasi Tiktok, platform yang dulu saya bilang alay.

Setelah menekan tombol searching dengan cepat saya pun mendapatkan informasi yang dicari. Betul saja, di TikTok sudah banyak yang membuat video tentang kejadian ‘staycation karyawan Cikarang’.

Saya memilih salah satu video dan mengintip beberapa komentar yang jumlahnya ratusan. Seluruh komentar tidak membenarkan peristiwa ‘HRD meniduri buruh dengan alasan perpanjangan kontrak’. Dari semua komentar saya menyimpulkan dua jenis komentar. Pertama, komentar yang mewajarkan peristiwa tersebut. Kedua,  yang menyalahkan buruh perempuan karena rela ditiduri atasan demi perpanjangan kontrak. Komentarnya, ada yang disampaikan dengan cara bercanda, ada pula yang disampaikan dengan serius.

Berikut saya mencatat beberapa komentar yang mewajarkan kejadian tersebut:

“Ah itu mah bukan hal baru dah dari tahun 2006”.

“Iya temenku ada yang hamil. Disuruh nikah sama laki-laki yang mau, tapi dibiayain sama tuh HRD “.

“Emang udah sering sih kalau itu hampir di semua PT”.

“Mau kerja harus bayar, mau diperpanjang kontrak harus @$%^&”.

Komentar-komentar yang menyalahkan buruh perempuan:

“Ah itu mah sekalian open BO aja”

“Cita-cita jadi HRD Cikarang”

“Kok mau sih gadaikan harga diri demi status Kartap”

Lebih dari 30 menit saya scroll Tiktok dengan kata kunci, “Staycation Cikarang”. Jantung saya berdebar. Kepala saya terasa panas. Perasaan saya diaduk-aduk antara muak, sedih, dan heran. Sekilas terlintas, “Kok bisa buruh perempuan bersedia diajak begitu oleh atasannya. Emang gak bisa menolak?!”.

Setelah saya pikir-pikir, peristiwa itu tidak sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Orang lain menyebutnya: relasi kuasa. Yang jelas, kejadian tersebut tidak boleh dijadikan bahan guyonan, tidak bisa diwajarkan, apalagi menyalahkan buruh perempuan.

Buat saya, berita ‘Syarat staycation agar kontrak diperpanjang atau agar tetap bekerja’ adalah pukulan telak bagi kita, bagi serikat buruh. Mestinya sih, kejadian tersebut merupakan bahan evaluasi bagi dinas ketenagakerjaan. Apalagi berita tersebut muncul di Hari Buruh Internasional, hari di mana semua buruh memperingati perjuangan menuntut pengurangan jam kerja, kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.

***

Saya jadi teringat zaman-zaman sekitar tiga belas tahun yang lalu. Di satu pabrik pembuat sepatu merek internasional di Kota Tangerang.

Ceritanya begini. Saat itu seisi pabrik heboh. Ada satu operator mengalami depresi.

Hari itu, Senin. Ketika sarapan pagi, saya terlibat obrolan.

“Hari Jum’at, si A diajak istirahat sama Pak T,” cerita Ellena (bukan nama sebenarnya) dengan memelankan suaranya.

“Eh, taunya diajak ke hotel X tuh. Ketika Pak T lagi di toilet si A kabur,” tambah Ellena sembari membungkukan punggungnya dan dua bola matanya menatap tajam. “Dia gak bawa apa-apa pokoknya lari aja sambil nangis. Katanya mereka udah sepakat. Pak T nawarin, kalau mau diangkat jadi karyawan tetap, harus mau ke hotel dulu.” Ellena mengakhiri ceritanya sembari menyandarkan badannya ke kursi.

Kisah buruh perempuan yang mengalami depresi berakhir ketika manager HRD turun tangan. Tapi saya mendapat cerita lebih lengkap dari manager HRD. Menurut manager HRD, Pak T telah menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Manager HRD pun menambahkan bahwa korban dari kelakuan Pak T lebih dari tiga orang.

Akhir cerita Pak T dipecat. Tapi beberapa bulan kemudian saya mendapat kabar, Pak T sudah bekerja lagi di salah satu pabrik sepatu di Kabupaten Tangerang.

Bagaimana dengan korban Pak T? Korban-korban Pak T pun rupanya ikut mengundurkan diri dari pabrik. Ketiganya merasa malu dan trauma. Apakah mereka dapat bekerja lagi? Saya tidak dapat informasi. Dugaan saya, tidak semudah mendapat pekerjaan seperti Pak T.

Saya punya cerita lain ketika kita pertama kali mengenal telepon genggam dengan merek Blackberry.

Sebut saja, R. Teman sekerja R, menyebut R cewek Bispak atau BP, singkatan dari ‘Bisa Dipakai’ alias R mudah digauli oleh siapapun di kalangan atasan di pabrik. Stigma itu menempatkan perempuan seperti barang. Saya dapat kabar. Kalau bersedia melayani atasannya, R akan diangkat menjadi buruh tetap, diberikan tambahan upah dan dibelikan handphone merek Blackberry.

R adalah buruh kontrak. Sekali waktu R kedapatan hamil. R pun keluar dari pekerjaan.

Ada pula kasus ‘N’. Ceritanya tidak jauh dari ‘R’. Sekali waktu, N pun hamil. Celakanya, N sulit menentukan bapak dari bayinya. Pasalnya, jumlah atasan yang memanfaatkan N lebih dari satu orang.

Rupanya, atasan-atasan di pabrik tersebut berkonsolidasi. Dalam kasus ‘N’ mereka bersepakat membiayai kelahiran N. Mulanya setelah melahirkan, N tetap bekerja. Tapi, N jadi bahan gunjingan teman sekerjanya. Akhirnya, N pun keluar dari pabrik.

Tidak berhenti di cerita R dan N. Masih ada cerita S, C dan beberapa nama lagi dengan cerita yang sama dan status yang sama yaitu buruh kontrak.

“Saya bingung, Teh. Gak kerja. Gimana harus hidupin anak saya, Emak dan adik-adik saya,” curhatan R ketika saya menengoknya ketika sudah lahiran.

“Kamu sudah coba ngobrol sama bapak anakmu, gimana kedepannya,” tanya saya.

“Udah Teh. Dia memang mau biayain lahiran dan janjinya nanti tiap bulan mau kirim uang,” jawab R dengan tatapan kosong

“Tapi saya juga gak tau berapa uang yang mau dikirim. Selain itu juga saya masih harus nanggung ibu dan adik-adik saya,” tambahnya.

R adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Adiknya dua orang. Adik pertama bersekolah di SMP. Entah kelas berapa. Adik kedua masih kelas empat SD. Bapaknya pedangan buah potong keliling. Ibunya buruh cuci di rumah-rumah tetangganya. R dan keluarganya merantau ke Tangerang. Di Tangerang mereka menempati kontrakan tiga petak yang dibayar bulanan sebesar Rp500 ribu. R adalah anak tertua yang juga tulang punggung keluarga. Bapaknya sudah lama mengidap penyakit paru-paru akut. R memang harus bertahan dalam pekerjaan agar dapat menjadi topangan keluarga. Saya tidak tahu kelanjutan nasib R. Terakhir saya dengar, R menjadi buruh migran.

***

Sekilas terpikir, “Kok mau buruh menggadaikan dirinya demi perpanjangan kontrak”, “Kok bisa sih, buruh perempuan melayani atasannya demi pekerjaan?”. Kejadian ‘staycation untuk mempertahankan kontrak kerja’ di Cikarang. Cerita R, N dan banyak perempuan lain yang menyerah dengan bujukan atasannya tidak sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Tapi dapat dirangkum dalam satu kata: dunia kerja semakin buruk. Ketika ingin mendapat pekerjaan harus berhadapan dengan pungutan lowongan kerja. Ketika diterima bekerja berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk dan ancaman pemecatan dengan kompensasi murah. Buruh seperti hidup sendiri tanpa pertolongan siapapun.

Dalam kasus Pak T, R dan N, saya mengajak mengamati relasi itu. Pak T adalah kepala bagian produksi. Ia membawahi empat bagian: preparation, cutting, sewing dan assembling. Ingat ya, empat bagian itu isinya bukan hanya mesin, bahan baku dan jenis-jenis pekerjaan. Ada manusia, yaitu perempuan. Di pabrik sepatu, keempat bagian itu dikerjakan oleh perempuan. Jadi, sebagai laki-laki, Pak T memiliki jabatan sebagai kepala bagian. Dalam jabatan tersebut melekat kekuasaan, pendapatan dan posisi.

Sebagai kepala bagian, Pak T memiliki kekuasaan untuk memutuskan buruh dapat menjadi buruh tetap atau dipecat. Upahnya pun lebih besar. Hubungan kerja Pak T adalah buruh tetap. Posisinya lebih tinggi ketimbang operator. Karena Pak T adalah laki-laki, derajatnya dianggap lebih unggul ketimbang perempuan.

Sementara itu, bawahan-bawahan Pak T adalah buruh perempuan. Sebagai buruh operator, mereka tidak dapat mengambil keputusan. Tugasnya menjalakan perintah atasan. Upahnya lebih kecil ketimbang Pak T. Dapat dipecat kapan pun dan dengan alasan apapun. Sebagai perempuan, para buruh operator dianggap harus patuh kepada laki-laki.

Dua kata: bekerja atau dipecat bukan sekadar kata, tapi menyangkut sumber penghasilan, kelangsungan pendapatan dan status sosial. Jadi jangan menyederhanakan dua kata tersebut. Ketika seseorang bekerja maka statusnya menjadi orang yang bekerja; ekonominya terjamin karena memiliki penghasilan dan memiliki kesempatan merencanakan masa depan; dan terkadang menjadi andalan keluarga. Ketika seseorang dipecat derajatnya turun menjadi: penganggur, beban keluarga, dikucilkan dari lingkungan keluarga, terancam diusir dari kontrakan dan masa depan suram. Lagi-lagi mendapat pekerjaan formal di Tangerang tidak mudah.

***

Mungkin banyak pemuka agama yang mengecam kejadian ‘staycation’ sebagai perbuatan terlarang. Hanya saja masalah bukan hanya di situ. Saat ini, kita berhadapan dengan kebijakan yang merugikan semua kalangan: Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang tersebut membuat kesempatan kerja semakin sulit, buruh semakin dihargai murah tanpa kepastian kerja. Bagi R,N, dan ribuan buruh perempuan yang sedikit memiliki pilihan negara tidak pernah memberikan perlindungan. Mereka hanya dapat mengandalkan dirinya sendiri.

Saya yakin sekali cerita-cerita di atas tidak hanya terjadi di Cikarang atau Tangerang tetapi di banyak daerah. Atasan-atasan di tingkat manajemen baik itu HRD atau kepala bagian memanfaatkan relasi kuasa yang mereka miliki untuk mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki daya tawar dengan iming-iming buruh tetap.

Ketua semua lembaga negara dan agama sibuk memikirkan dirinya sendiri, di mana peran serikat buruh memastikan tidak adanya pelecehan di dunia kerja?[]