Tulisan ini merupakan bagian kedua dari Gerakan Buruh Indonesia di Simpang Jalan. Pada bagian ini, Dawam Rahardjo menjelaskan bagaimana pola gerakan buruh di Indonesia banyak dipengaruhi politik aliran ketimbang politik kelas.
Pola Gerakan Buruh
Bersumber dari perkembangan ilmu manajemen yang lebih partisipatif dan etika bisnis yang lebih manusiawi di satu pihak dan perkembangan di kalangan buruh di lain pihak, berkembang apa yang disebut “demokrasi industrial” yang menyangkut mekanisme demokratis dalam hubungan industrial. Demokrasi industrial ini mencakup empat bidang. Pertama, berkembangnya serikat buruh dan perundingan bersama. Kedua, lahirnya dewan perusahaan –dewan konsultasi antara manajemen dan buruh. Ketiga, pengakomodasian wakil-wakil buruh dalam dewan direktur perusahaan dan peranan buruh dalam pengambilan keputusan. Dan keempat, kontrol buruh atas industri.
Dari sinilah ikut berperan aspirasi buruh dalam perusahaan dan manajemen dalam beberapa hal yang menjadi kepentingan utama buruh, misalnya upah, kondisi kerja dan kekuasaan manajemen terhadap buruh. Inilah yang disebut sebagai trade uniuonism atau aspirasi organisasi buruh, yang oleh Lenin dilawankan dengan kesadaran kelas yang revolusioner. Namun ada sejumlah isu yang memengaruhi nasib buruh tetapi berada di luar ruang lingkup kemampuan serikat buruh untuk mengatasinya melalui perundingan bersama, yaitu misalnya masalah investasi atau masalah penutupan perusahaan, dan berbagai isu yang menyangkut kebijaksanaan ekonomi suatu negara. Di sinilah, kaum buruh memerlukan organisasi lain, yaitu partai politik. Untuk keperluan itu ada dua langkah yang bisa diambil. Pertama, organisasi serikat buruh, bekerjasama atau mendukung suatu partai politik tertentu, khususnya partai politik berhaluan Kiri atau membentuk suatu partai politik tertentu.
Jika membentuk partai yang dipilih, maka buruh memiliki dua alternatif, sesuai dengan cara perjuangan yang dipilih. Pertama adalah mengikuti pandangan Lenin, yaitu membentuk partai sosialis atau partai komunis sebagai penyalur aspirasi buruh tapi seperti ide Lenin, bertugas membangun kesadaran kelas untuk suatu perjuangan revolusioner guna membangun sebuah negara sosialis. Kedua, membentuk partai politik, misalnya seperti Partai Buruh (Labour Party) di Inggris atau di Negeri Belanda ataupun partai sosial demokrat yang berjuang melalui jalur parlementer dengan mengikuti pemilihan umum.
Jalan pertama ditempuh di negeri-negeri yang sekarang sudah menjadi negara komunis, seperti bekas Uni Soviet dan RRC. Ketika itu, partai komunis dibentuk dalam rangka menumbangkan kerajaan atau negara kolonial. Karena itu, partai komunis versi Lenin berkembang di negara-negara yang masih berada di bawah kolonialisme dan berlanjut sesudah terbentuknya negara baru yang berdaulat. Di negara-negara jajahan, partai komunis pada umumnya menunggangi gerakan nasionalis bahkan juga gerakan keagamaan seperti dalam kasus Sarekat Islam (SI) di Indonesia.
Negara-negara Eropa Barat, menempuh jalan kedua, yaitu membentuk partai buruh, partai sosialis atau partai sosial demokrat, sebagai bagian dari gerakan buruh. Partai sosialis pertama yang berbasis gerakan buruh didirikan di Jerman pada 1869. Di Inggris, gerakan buruh lebih bersifat reformis daripada revolusioner. Partai buruh di Inggris yang muncul dan bekerja dalam sistem demokrasi parlementer baru lahir pada 1906. Ternyata partai-partai buruh di berbagai negeri yang berorientasi internasional memiliki kesamaan sikap politik dalam melakukakan oposisi terhadap rejim-rejim politik kapitalis. Sukses Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917 berpengaruh pada partai-partai buruh dan partai sosialis.
Banyak gerakan buruh internasional mengkordinasi kegitan revolusioner dan membentuk partai komunis yang terpisah. Guna mendapat dukungan, partai-partai komunis di Inggris, Jerman dan AS memainkan peranan dalam gerakan buruh yang berbeda-beda atau telah bersatu. Tetapi di Prancis, gerakan komunis harus membentuk dan menguasai serikat buruh tersendiri, karena mereka harus bersaing dengan serikat buruh di bawah gerakan sosialis dan Kristen. Melalui gerakan parlementer di Inggris, partai buruh baru berhasil memperoleh suara besar yang dominan bersama-sama dengan Partai Konservatif, walaupun lebih kecil perolehan suaranya daripada Partai Konservatif sesudah Perang Dunia Kedua.
Di AS, gerakan buruh terpecah menjadi dua organisasi besar yang bersifat nasional. Pertama adalah American Federation of Labour dan kedua, Congress of Industrial Organization, tetapi keduanya tidak terpisah oleh ideologi. Konflik di antara buruh terjadi juga atas dasar rasial di samping menghadapi masalah korupsi di antara pimpinan gerakan buruh. Tapi, di AS tidak ada partai buruh. Suara buruh pada umumnya diberikan kepada Partai Demokrat, yang berhaluan sosial demokrat.
Dengan demikian, maka gerakan buruh di luar dunia sosialis secara keseluruhan terdiri dari dua bentuk. Pertama, serikat buruh yang membentuk collective bargaining berhadapan dengan manajemen dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan buruh yang khas, seperti masalah upah, kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan. Kedua adalah partai politik yang memperjuangkan kepentingan politik yang berkaitan dengan posisi buruh dan lingkungan hidup buruh, misalnya kebijaksanaan ekonomi, program kesejahteraan atau kepemilikan perusahaan oleh negara. Di Eropa Barat, umumnya, gerakan buruh mendukung pembentukan dan operasi BUMN atau penguasaan saham oleh buruh melalui berbagai lembaga, seperti dana pensiun atau lembaga asuransi.
Gerakan Buruh di Indonesia
Di Indonesia, gerakan buruh dan partai sosialis secara terpisah telah muncul pada awal abad ke-20. Bahkan organisasi buruh pertama yang beranggotakan para guru sudah lahir pada 1879. Pada abad pertama-tama berdiri organisasi pegawai kereta api dan trem pada 1908, bersamaan dengan lahirnya Boedi Oetomo. Di berbagai tempat, gerakan buruh merupakan cikal bakal partai komunis lokal. Gerakan buruh di Indonesia ternyata tidak mengikuti sebuah ideologi tunggal, melainkan mengikuti berbagai ideologi partai politik. Karena itu, maka sebagaimana yang terjadi di Prancis, Partai Komunis Indonesia (PKI) harus menguasai organisasi buruh tertentu untuk dijadikan underbow, sebagaimana dilakukan oleh hampir semua partai terpenting di Indonesia.
Organisasi buruh di Indonesia yang berafiliasi dengan partai komunis adalah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Sebagaimana di Prancis, serikat buruh di bawah PKI tersebut bersaing dengan serikat buruh yang didirikan oleh berbagai partai politik lainnya, seperti SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia) yang didirikan oleh kalangan Partai Masyumi, Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia yang merupakan bagian dari Partai Nasional Indonesia (PNI) atau SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia) yang didirikan di lingkungan NU (Nahdhatul Ulama).
Dengan demikian, maka gerakan buruh di Indonesia terpecah oleh ideologi politik yang dikenal dengan “politik aliran”. Sebenarnya, setelah kemerdekaan, berdiri sebuah organisasi buruh pertama dan satu-satunya, pada 15 September 1945 dengan nama Barisan Buruh Indonesia (BBI). Tapi pada kongresnya yang pertama sebulan kemudian, telah terjadi perpecahan dengan berdirinya Partai Buruh Indonesia (PBI) secara terpisah yang memiliki haluan politik. Pada Juli 1946, BBI pecah lagi menjadi dua organisasi, yaitu Gabungan Serikat Buruh Indonesia dan Gabungan Sarekat Buruh Vertikal. Tapi kedua organisasi itu kemudian bergabung kembali dengan nama baru, yaitu SOBSI. Organisasi inilah yang kemudian dimasuki dan dipimpin oleh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) timbul upaya untuk menggabungkan semua serikat buruh yang menjamur ketika itu dalam wadah “Himpunan Serikat-Serikat Buruh Indonesia (HISSBI). Tapi, sekali lagi, karena perselisihan politik, SOBSI keluar dari himpunan ini. Melihat pengaruh politik dan partai politik yang menyebabkan perpecahan, maka pernah timbul gagasan untuk membentuk serikat buruh yang terpisah dengan ide politik. Tapi agaknya, yang menonjol adalah organisasi yang berafiliasi dengan partai politik model Lenin, walaupun dengan ideologi politik yang berbeda-beda. Politik aliran lebih menonjol dari politik kelas. Empat aliran yang paling menonjol adalah nasionalis, Islam modernis, Islam-tradisional dan komunis. Tapi yang paling rapi organisasinya dan paling mendalam pengaruhnya terhadap gerakan buruh adalah aliran komunis, sehingga gerakan buruh nyaris identik dengan gerakan komunis.
Sekalipun tidak bersatu secara formal, gerakan buruh Indonesia ternyata berhasil memperjuangkan nasibnya melalui jalan parlementer, yaitu dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang menyangkut peningkatan hak-hak asasi manusia dan standar ketenagakerjaan. Pada UU No. 1 Tahun 1951 umpamanya, tercantum bahwa setiap buruh tidak diperlakukan sebagai faktor produksi semata, melainkan harus diperlakukan sebagai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dalam UU tersebut terkandung pula ketentuan mengenai larangan buruh-anak, pembatasan jam kerja, hak istirahat dan cuti tahunan dan untuk perempuan terkandung ketentuan mengenai cuti haid dan cuti hamil. Dalam UU N0. 3 Tahun 1951 tercantum bahwa UU tentang kecelakaan kerja dalam UU N0. 33/1947 diberlakukan di seluruh Indonesia. Demikian pula dalam UU No. 3 Tahun 1948 tentang pemberlakukan di seluruh Indonesia ketentuan tentang Pengawasan Perburuhan dalam UU No. 23/1948.
Salah satu tonggak sejarah perjuangan kaum buruh adalah keberhasilannya melahirkan UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan yang memberikan hak kepada serikat buruh untuk berunding secara kolektif yang dituangkan dalam perjanjian perburuhan. UU ini dikenal sebagai UU tentang collective bargaining, yang telah menjadi hak buruh di negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara. Pada 1957 gerakan buruh berhasil mencabut ketentan tentang larangan mogok. Hanya saja aksi mogok harus mendapatkan izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4 Daerah), walaupun dalam praktiknya P4D tidak pernah mengijinkan demonstrasi. Kemajuan lain adalah ditetapkannya UU No.45/1960 tentang Dewan Perusahaan, yang memberikan kesempatan kepada buruh di BUMN untuk menempatkan wakilnya di Dewan Perusahaan, sehingga buruh dapat ikut serta menentukan kebijaksanaan perusahaan, khususnya mengenai standar ketenagakerjaan dan sosial-ekonomi yang di negara industri maju disebut sebagai codetermination system. Walaupun UU ini, selain berlakunya tidak mencakup perusahaan swasta, juga dalam praktik tidak pernah efektif. Sungguh pun begitu perkembangan tersebut telah merintis terbentuknya demokrasi industrial di Indonesia.
Dalam perkembangan tersebut mulai nampak keterlibatan pemerintah dalam hubungan perburuhan, sehingga karena itu, masalah perburuhan tidak hanya menyangkut hubungan buruh-majikan, tetapi hubungan segi tiga buruh-majikan-pemerintah. Masalahnya adalah dimana posisi pemerintah? Kepada siapa pemerintah berpihak? Kepentingan pemerintah adalah keamanan dan perkembangan ekonomi. Masalah pemogokan menyangkut soal keamanan maupun iklim perbisnisan dan perkembangan ekonomi. Pemerintah dalam hal ini juga berkepentingan dengan perusahaan-perusahaan yang dianggap vital, karena menyangkut kepentingan rakyat banyak. Karena menyangkut soal keamanan maka Penguasa Tertinggi ikut turut campur membuat peraturan, misalnya Peraturan Penguasa Tertinggi No. 4 Tahun 1960 tentang larangan mogok dan lock out. Terkesan di sini pemihakan pemerintah kepada perusahaan. Dalam masalah-masalah seperti ini, kekuatan internasional, seperti ILO (International Labour Organization) yang merupakan bagian dari PBB, ikut campur dan dimanfaatkan dalam rangka solidaritas gerakan buruh internasional.
Masalah lain dalam sengketa perburuhan adalah tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di perusahaan swasta. Karena PHK menyangkut nasib buruh dan merupakan alat perusahaan untuk mencegah pemogokan, maka serikat buruh berkepentingan untuk ikut mengatur dan meminta pemerintah sebagai penengah. Buruh berhasil mendesak Pemerintah untuk mengundangkan UU No. 12/1964 yang berisikan larangan PHK tanpa izin P4D. Lagi-lagi dalam praktik, pemerintah bersikap berpihak kepada perusahaan dengan mempermudah izin PHK.[]
Penulis
-
M. Dawam Rahardjo
-