Minggu ketiga Juni 2023, saya berkesempatan mengikuti sebuah workshop daring (dalam jaringan) yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh tiga lembaga profesi kesehatan. Workshop yang dilaksanakan dalam rangka memperingati ‘hari keluarga nasional’ tersebut, bertema ‘Membangun Keluarga Tangguh Sejak Dini’.
Tiga poin yang saya tangkap dari paparan ketiga narasumber dalam membangun ketahanan keluarga, pertama, pemenuhan gizi atau asupan makanan anak harus terpenuhi sejak dalam kandungan, atau perlunya ibu hamil makan-makanan yang bergizi untuk pertumbuhan janin. Kedua, secara psikologis, keluarga sehat dan tangguh terbentuk apabila anak tinggal bersama kedua orang tua dengan penuh cinta kasih. Orang tua juga diharapkan memiliki waktu rutin berkumpul bersama keluarga, memiliki komunikasi yang baik dengan anak dan kehadiran penuh orang tua ketika bersama anak. Ketiga, pola dan peran pengasuhan orang tua dalam mendidik anak menentukan sejauh mana perkembangan mental, kognitif dan emosional anak.
Menurut saya, jika hanya merujuk pada konsep tentang bangunan ‘keluarga ideal’, tiga poin tersebut sudah tentu benar dan dapat diterima oleh semua orang. Sebab, memiliki keluarga ideal, sehat dan saling mendukung merupakan dambaan semua orang. Siapa yang tidak ingin ber-quality time bersama keluarga? semua orang tua pasti ingin anaknya berkecukupan secara asupan gizi, bertumbuh kembang dengan baik, cerdas, serta memiliki perkembangan mental dan emosional yang positif.
Tidak ada yang salah dari konsep keluarga ideal tersebut. Namun, rasa-rasanya tak mudah untuk dipraktikan dalam masyarakat industrial. Di mana untuk mendapatkan dan membeli berbagai kebutuhan hidup harus dengan bekerja. Sementara untuk mendapatkan pekerjaan yang ‘layak’ dengan ‘upah layak’ di Indonesia tidak dimiliki setiap orang. Apalagi rezim perburuhan yang fleksibel di Indonesia tidak sama sekali menguntungkan buruh. Dalam aturan ketenagakerjaan, perusahaan diberikan kemudahan untuk merekrut dan memecat buruh tanpa kompensasi, perusahaan juga memanfaatkan upah murah untuk memperpanjang waktu kerja dengan cara lembur.
Hal lain yang mengusik saya ketika mengikuti workshop daring tersebut adalah semua narasumber menekankan bahwa, untuk membangun keluarga sejahtera seolah-olah sepenuhnya dibebankan pada orang tua. Menurut saya, tidak fair jika tidak melihat faktor-faktor lain yang menyebabkan problem-problem dalam keluarga. Utamanya dalam mendidik anak. Terdapat faktor lainnya, seperti sekolah, pemerintah, tenaga kesehatan, tempat kerja, bahkan alam semesta. Bagi saya, untuk menguji sejauh mana konsep tersebut realistis perlu kiranya memberikan konteks sosial yang lebih luas. Karena bagunan keluarga adalah cerminan dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, saya akan bercerita sedikit tentang pengalaman teman saya dan juga pengamatan saya terkait dengan pendidikan dan pengasuhan anak, yang pada akhirnya akan menjadi parameter sejauh mana ketangguhan keluarga.
Waktu kerja dan Beban Perempuan
Teman saya Mira (bukan nama sebenarnya) dan suaminya seorang pekerja di perusahaan jasa keuangan dengan jam kerja dari pukul 07:30 wib hingga pukul 15:30 wib. Meskipun jam formalnya 8 jam kerja, kenyataannya Mira dan suaminya harus menyiapkan untuk berangkat ke tempat kerja jam 05:00 wib, atau minimal 2 jam lebih awal dari waktu jam masuk formalnya. Kadang-kadang ketika Mira dan suaminya berangkat kerja, anaknya masih terlelap.
Begitupun dengan waktu pulang, secara formal mestinya pulang jam 15:30 wib, kenyataanya, Mira dan suaminya kerap menyelesaikan pekerjaannya pada pukul 16:00 wib, atau molor 30 menit dari jam pulang yang ditentukan. Molornya jam kerja mengakibatkan waktu tiba di rumah untuk bertemu anaknya menjadi berkurang. Belum lagi jika perusahaan memerintahkan untuk lembur, sudah pasti Mira dan suaminya akan mendapatkan anak sudah terlelap ketika mereka sampai di rumah.
Dengan jadwal kerja yang sama setiap hari, mencari pengasuh anaknya adalah pilihan yang paling harus diambil Mira. Untuk memastikan anak tetap dapat terjaga dan mereka tenang bekerja. Mira merasa terbantu dengan adanya pengasuh, sehingga persoalan makan, tidur, dan bermain anak akan ‘ditangani’ sepenuhnya oleh pengasuh ketika ia bekerja.
Namun, semakin lama Mira merasa ada yang mengganjal. Ia dan suaminya mulai merasa kehilangan banyak waktu bersama anak. Hal yang membuat sedih Mira sebagai seorang ibu adalah ia kehilangan momen-momen penting dalam perkembangan anak. “Tiba-tiba anak tuh udah bisa jalan, anak udah bisa ini, bisa itu, tapi kita gak tahu persis kapan”, terang Mira.
Tak hanya itu, Mira pun merasa kedekatan dengan anaknya tak seperti anak dan orang tua. Baik kedekatan secara fisik, emosional dan bahkan komunikasi. Ia merasa anaknya lebih dekat dengan pengasuh yang setiap hari menemani anaknya ketimbang dengan dirinya. “Kalo sama pengasuhnya, anakku lebih eksploratif dan suka ngomong, tapi kalo sama aku dan ayahnya jadi pendiam, kayak dengan orang lain.”
Melihat hal tersebut, Mira dan suaminya mulai berpikir bahwa bekerja susah payah untuk upah yang baik tidak menjamin keluarganya juga baik-baik saja. Apalagi setelah pulang kerja lelah telah menghampiri, tidur adalah pilihan tepat. Hal lain yang membuat Mira sedih adalah ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengajarkan anaknya belajar karena waktunya telah tersita oleh jam kerja yang padat. Ia harus menyerahkan dan percaya sepenuhnya pola pendidikan anak pada pengasuh. Waktu kerja seolah tak memberikan kesempatan Mira bersama anaknya. Ia pun merasa perusahaannya tidak memperhatikan kebutuhan pekerjanya terutama yang telah berkeluarga.
***
Cerita lain dari Asih, seorang ibu rumah tangga yang suaminya bekerja sebagai buruh perkebunan. Mereka tinggal di desa yang letaknya tak jauh dari tempat kerja suaminya. Beruntung orang tuanya Asih mewarisi sedikit tanah. Dari tanah warisan tersebut, sebagian dibangun rumah, sebagian lagi digunakan untuk menanam padi, sayuran dan beternak ayam. Karena suaminya bekerja dari pagi hingga sore, Asih mengurus pekerjaan di rumah dan di lahan sendiri. Suaminya jarang membantu kecuali dihari libur, itupun jika tidak disuruh lembur oleh atasannya.
Meskipun berat, Asih merasa beruntung karena masih punya sedikit lahan yang bisa digarap, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih bisa mengandalkan hasil dari bertani dan berternak. Sepetak tanah warisan turun temurun tersebut sangat membantu keluarganya. Terutama disaat harga bahan pokok yang makin ‘brutal’.
Menurut Asih, mengarap lahan bukan pekerjaan mudah. Selain membutuhkan tenaga ekstra karena harus digarap sendiri, biaya produksi untuk satu masa tanam pun cukup memusingkan kepala Asih dan Suaminya. Harus membeli bibit, pupuk dan sarana pertanian lainnya yang kadang harus berhutang terlebih dahulu. Agar bisa menekan pengeluaran untuk menggarap lahan, Asih mengerjakan sendiri. Namun problem yang mengintai Asih soal kesehatan yang pada akhirnya harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk berobat. Sementara jika hanya mengandalkan upah dari suaminya, dan dengan dua orang anak yang ditanggungnya, tentu saja tidak cukup. Apalagi sistem pengupahan di tempat suaminya bekerja berdasarkan hasil pekerjaannya. Artinya upah menjadi tak menentu, sementara kebutuhan terus bertambah.
Upah murah, kualitas hidup terjajah
Pengalaman Mira dan Asih di atas tidak jauh berbeda dengan kisah hidup yang dialami buruh pabrik manufaktur di kota-kota industry seperti Tangerang, Bekasi dan Jakarta. Misalnya pabrik yang memproduksi pakaian jadi dan alas kaki. Biasanya perusahaan yang dikategorikan sebagai industry padat karya ini banyak mempekerjakan buruh perempuan. Karena sifatnya yang padat karya atau lebih mengandalkan tenaga manusia, pabrik-pabrik ini memiliki banyak cara untuk mengontrol dan mengendalikan buruh, agar dapat memproduksi barang sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi yang semurah-murahnya.
Prinsip bisnis tersebut akan melahirkan situasi dan kondisi kerja yang buruk dan penuh kekerasan di pabrik. Dimarah, dihukum dan dilecehkan merupakan cerita harian bagi buruh garmen dan alas kaki. Buruknya kondisi kerja tersebut juga diperparah dengan upah murah, mudah dipecat dan minimnya hak atas jaminan sosial. Kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi dan memberikan beragam dampak pada keluarga buruh. Mereka terpaksa bekerja sekalipun dengan situasi yang buruk. Sebab, satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya, buruh sepenuhnya mengandalkan upah.
Bagi saya, sulit membayangkan terpenuhinya ketiga poin yang dipaparkan pada workshop tersebut di kehidupan masyarakat kita. Terutama pada keluarga buruh atau orang tua kelas buruh. Bukan tidak ada usaha dan upaya untuk memberikan yang terbaik pada anak agar dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas. Namun kondisi-kondisi material buruh tidak memungkinkan untuk hal tersebut.
Dari segi upah, banyak buruh yang diupah di bawah standar upah minimum. Fenomena ini banyak terjadi di Indonesia. Meskipun undang-undang ketenagakerjaan tidak memboleh kan itu, namun perusahaan memiliki cara untuk tidak membayarkan upah sebagaimana upah minimum. Misalnya dengan memberlakukan system ‘no work no pay’.
Hal lainnya, sejak dikeluarkan PP No.78/2015 tentang pengupahan yang kemudian diserap ke dalam UU Cipta Kerja, penentuan upah minimum tidak lagi mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh, melainkan ditentukan oleh kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan[1]. Itu artinya, aturan tentang pengupahan di Indonesia hanya untuk melegitimasi upah murah. Di sisi lain kenaikan upah tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup. Dari upah rendah itu pula berdampak pada kualitas tempat tinggal buruh. Banyak buruh yang menyewa tempat tinggal di wilayah padat penghuni atau dekat dengan pabrik dengan kualitas udara dan air yang buruk.
Bertahan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal yang sulit mengakses air bersih, minim cahaya hingga udara bersih bukanlah hal yang disengaja. Bukan juga tidak memperhatikan kesehatan lingkungan untuk pertumbuhan anak. Namun, memilih tinggal di sekitar pabrik yang lingkungannya busuk, bagi buruh, bagian dari strategi agar mengurangi pengeluaran untuk biaya transportasi ke tempat kerja. Berkurangnya perngeluaran akan menutupi kebutuhan lainnya. Faktor lainnya biaya sewa yang murah sehingga tidak banyak memotong upah yang diupayakan cukup hingga menerima upah bulan berikutnya. Sebab upah buruh tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan saja, pun untuk membayar pengasuh atau membiayai keluarga lain, bahkan untuk membayar hutang yang barangkali menumpuk setiap bulan. Sebagaimana beberapa cerita buruh di Bekasi, upah satu bulan hanya bertahan untuk hidup tiga minggu, salah satu cara mengatasinya adalah dengan berhutang.
Bukan sekedar persoalan asupan pangan
Dengan upah murah, kebutuhan pangan, kesehatan janin hingga pengasuhan anak menjadi persoalan yang rumit. Bagi buruh perempuan yang hamil, menjaga asupan makan hingga pemeriksaan kesehatan tentu hal yang utama. Namun, lagi-lagi mereka dibenturkan dengan upah dan kondisi kerja yang tidak layak. Beberapa perusahaan mungkin menerapkan peraturan yang memberikan kelonggaran bagi buruh perempuan hamil untuk bekerja. Namun, banyak pula ditemukan buruh hamil yang bekerja seperti kondisi biasa. Jangankan perusahaan mensuport asupan bergizi bagi buruh hamil, tidak memberikan keringanan kepada buruh hamil untuk beristirahat juga kerap ditemukan.
Buruh hamil masih diberikan pekerjaan dengan jam kerja panjang, posisi berdiri lama atau duduk terlalu lama. Adapula yang bekerja dengan paparan debu, zat kimia dan dengan target tinggi. Bahkan karena statusnya sebagai buruh kontrak, buruh perempuan terpaksa harus menyembunyikan kehamilannya agar kontraknya tetap diperpajang. Sebagaimana temuan riset Perempuan Mahardika di KBN Cakung tahun 2017, empat dari 25 buruh perempuan menyembunyikan kehamilannya agar penghasilannya tidak berkurang atau kehilangan pekerjaan. Beberapa problem soal buruh perempuan hamil tersebut tentu berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Itulah yang menyebabkan banyak kasus keguguran dialami oleh buruh perempuan atau kasus stunting juga kerap ditemukan pada masyarakat industry.
Ketika anak lahir, buruh perempuan terpaksa meninggalkan dan menyerahkan pengasuhan buah hatinya kepada orang lain agar mereka bisa kembali bekerja. Waktu cuti melahirkan yang singkat dan sulit untuk diperpanjang membuat buruh tidak dekat dengan anaknya. Apalagi sebagian besar buruh perempuan berstatus kontrak yang mudah dipecat kapan saja menjadi cara perusahaan untuk menundukkan buruh agar mereka terus bekerja dan bekerja. Akibatnya, korban tidak saja buruh, tetapi juga anaknya.
Kebutuhan ruang laktasi untuk buruh perempuan kerap diberikan perusahaan dengan setengah hati, karena hanya untuk memenuhi kebutuhan audit. Mulai dari ruang laktasi yang seadanya tanpa peralatan khusus, di buat jauh dari ruang produksi hingga system target yang tidak memberikan kesempatan buruh untuk mengakses ruang laktasi.
Belum lagi budaya patriarki masih ditemukan di masyarakat menjadi menyebabkan ketidakseimbangan peran suami-istri di dalam keluarga. Perempuan masih banyak menanggung beban ganda, bekerja di luar juga bekerja di rumah. Pekerjaan domestik hingga pengasuhan anak seringkali dilimpahkan pada perempuan. Narasi bahwa laki-laki pencari nafkah utama menjadi salah satu penyebab yang membuat laki-laki lepas dari tanggung jawab pengasuhan dan kerja domestik. Perempuan tidak hanya dituntut untuk dapat mengurus rumah dan kerja di luar, tapi juga memutar otak untuk mengatur keuangan di rumah agar asupan dan kebutuhan keluarga terpenuhi. Dampaknya, perempuan mengalami dua kali lipat tingkat kelelahan baik secara psikis dan fisik. Kesejahteraan mental dalam keluarga pun menjadi terabaikan.
Rezim kerja ekspoitatif sumber masalah keluarga
Pemerintah memang mencanangkan ragam program tentang tumbuh kembang, kesehatan, hingga ketahanan pangan dalam keluarga. Tenaga kesehatan pun ditugaskan untuk memberikan dukungan penuh dalam bentuk sosialisasi tentang hidup sehat dan ragam asupan yang selayaknya dikonsumsi dalam keluarga. Pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil juga digencarkan agar dapat melihat perkembangan dan mendeteksi apabila terdapat sesuatu yang mengganggu pertumbuhan janin. Namun jika rezim produksi tidak dilihat sebagai salah satu sumber masalah barangkali program-program tersebut hanya akan mubajir.
Seperti cerita Mira dan Asih, faktanya hingga hari ini masih banyak anak di luar sana yang kehilangan hak-haknya dalam keluarga. Dalam tulisan ini, siapa saja boleh tidak sependapat, namun inilah nyatanya yang terjadi pada keluarga kelas pekerja. Bahkan mungkin bisa juga terjadi pada orang terdekat kita. Rantai pemiskinan dan kerusakan sistem keluarga yang dialami oleh keluarga buruh di masyarakat kita merupakan bentukan sistem yang jauh dari kelayakan dan perlindungan sosial bagi masyarakat.
Bukan orang tua abai atas waktunya untuk berkumpul bersama sanak keluarga, namun rezim kerja yang mensyaratkan jam kerja panjang telah memisahkan buruh dengan keluarganya. Juga bukan kesengajaan orang tua menelantarkan atau tidak paham asupan gizi anak. Bukan pula berarti keluarga tidak mampu mengelola keuangan atau mengatur asupan makan dalam keluarga. Faktanya, upah buruh tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya. Buruh adalah korban dari rezime produksi yang eksploitatif. Oleh karena itu ketimbang memberikan nasehat terhadap buruh dalam membangun ‘keluarga sejahtera’ sembari menyalahkan orang tua, ada baiknya jika mengkritik apa yang menjadi akar masalahnya. Bagi saya, akar masalahnya rezim kerja yang eksploitatif yang dilegitimasi oleh negara.[]
[1] https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/pengupahan/upah-minimum