Hubungan negara, pengusaha dan buruh di Indonesia, lebih mirip dengan cerita bawang merah dan bawang putih, ketimbang hubungan politis. Bagaimana tidak, di tengah porakporandanya aktivitas sosio-ekonomi buruh akibat pagebluk Covid-19 dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal pada rentang 2020-2022, pengurus negara malah sibuk ngurus UU Cipta Kerja yang sarat dengan kepentingan pemodal. Buruh diabaikan sebagaimana cerita legenda mengenai bawang putih dalam cerita rakyat.
Padahal, dalam banyak kajian kritis, UU Cipta Kerja jelas-jelas akan menambah kesengsaraan kaum buruh, tani dan miskin kota. UU yang melegalkan perampasan lahan rakyat, pengebirian hak-hak perburuhan dan penyempitan ruang demokrasi, alih-alih menyelamatkan negara dari krisis ekonomi. Oleh karenanya, jelas kaum buruh, tani dan miskin kota adalah pihak yang paling berkepentingan dalam menolak pengesahan UU Cipta Kerja.
Penolakan terhadap UU Cipta Kerja tersebut dilakukan dengan berbagai cara: kampanye di media sosial, konfrensi pers, penggalangan petisi, gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga aksi massa jalanan. Sepanjang 2020 – 2023 setidaknya kita menyaksikan ratusan aksi jalanan yang dilakukan oleh berbagai aliansi serikat buruh, tani, miskin kota dan mahasiswa dalam penolakan UU Cipta kerja. Kita juga menyaksikan betapa brutalnya negara merespons protes tersebut. Mengkriminalisasikan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja menggunakan UU ITE dengan menuduhnya sebagai penyebar ujaran kebencian di media sosial, membajak akun-akun kritis di media sosial hingga tidakan bar-bar dan penuh kekerasan dalam penanganan aksi demonstrasi. Aparatur represif negara dikerahkan untuk menggebuk, menendang, membanting, hingga menerjang para demonstran secara membabi buta. Fasilitas kekerasan negara yang dibeli dari pajak rakyat digunakan untuk membubarkan aksi massa: menyemprotkan air melalui water cannon, menembakkan gas air mata, peluru karet di tengah massa rakyat menyuarakan protesnya dan tak sedikit pula demonstran menjadi korban dari kebrutalan aparat.
Dalam situasi yang demikian, idealnya kerja-kerja jurnalistik menjadi corong yang dapat menegakkan demokrasi. Berita yang merupakan produk dari jurnalisme hendaknya menjadi senjata untuk menyebarkan informasi yang sebenar-benarnya dan berpihak pada rakyat. Sebagaimana prinsip pertama dan kedua dalam 10 elemen jurnalisme: Pertama, jurnalis harus memberitakan kebenaran fungsional yang berguna bagi masyarakat. Kedua, kesetiaan jurnalis dalam menentukan keberpihakan terhadap masyarakat dan kepentingan umum, bukan pada pemilik media atau pengiklan.
Sayangnya, dalam konteks pemberitaan aksi buruh menolak UU Cipta Kerja, jurnalis dan media kerap mengemas pemberitaannya seperti tayangan infotainment yang mengobyok-obyok masalah rumah tangga artis. Judul dibuat se-clickbait[1] mungkin, tuntutan buruh diringkas seperti resume dan terkadang difitnah ‘setajam silet!’ (sembari menirukan suara presenter program infotaiment Fenny Rose). Hal itu juga dijelaskan lewat penempatan proporsi perkataan narasumber yang dikutip secara serampangan, dicomot hanya sebagai pemanis cover booth side,[2] kemudian ditimpali dengan padanan kalimat dan frase negatif dalam teks berita. Berita-berita semacam ini mengabaikan konteks dan mencabut akar permasalahan yang dihadapi buruh.
Hal di atas sejalan dengan temuan riset yang dilakukan oleh Remotivi terkait proporsi narasumber dalam sentimen pemberitaan Omnibuslaw terhadap beberapa media online. Persentase berita dengan sentiment negatif paling besar sebanyak 34,1% ditujukan kepada serikat buruh dan menyusul 22% untuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebaliknya, proporsi berita dengan sentimen positif dari narasumber pemerintah berjumlah 50,08% dan parlemen sebanyak 15,8%. Seolah hanya pemerintah yang paling berkepentingan membahas UU Cipta Kerja. Sementara itu, untuk sebaran topikalisasi wacana (pembahasan umum) media massa online juga terlihat sedang merawat baik-baik para pihak yang pro terhadap UU Cipta Kerja dengan narasi mengutamakan kepentingan bisnis. Indikasi tersebut semakin terlihat dari topik tertinggi yang dibahas para pendukung UU Cipta Kerja, yaitu sektor ekonomi, bisnis dan finansial sekitar 54,9%. (Remotivi.or.id, 2020).
Hal di atas menunjukkan media massa tidak punya itikad baik yang berpihak pada masalah umat. Sebaliknya media hanya memberikan ruang ramah bagi para kaum pendukung UU Cipta Kerja. Di sisi lain, berita-berita mengenai aksi penolakan dan perlawanan buruh terhadap UU Cipta Kerja hanya ditunjukkan media sebagai ruang ghibah politik dan perundungan buruh. Pemberitaan semacam ini berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan wacana dan informasi yang berkembang. Dalam format online, persebaran informasi secara real time (langsung) adalah keutamaannya. Tujuannya, sebagai perlombaan dalam memenangkan perhatian publik dengan perang kata kunci antarmedia massa online untuk memonopoli percakapan publik.
Buruknya lagi, media semacam ini adalah media yang selalu memenangkan perang kata kunci pada pencarian Google. Dengan demikian, bisa diasumsikan hampir seluruh media online semacam ini merupakan, portal berita yang paling sering diakses publik.
Dalam penelitian saya tentang Media dan Diskriminasi Pemberitaan Aksi Unjuk Rasa Buruh Menolak UU Omnibuslaw pada 2022, menemukan bahwa, portal berita CNBC Indonesia termasuk jenis media yang berita-beritanya banyak merundung buruh dalam pemberitaan terhadap aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Meskipun CNBC Indonesia bukan satu-satunya, namun CNBC Indonesia, media yang paling getol melakukan perundungan aksi penolakan UU Cipta Kerja diantara media lainnya,
Sebagai contoh, dua berita yang pernah tayang di portal berita online CNBC Indonesia.com seperti dibawah ini.
- “Alert! Siang ini Massa Buruh Demo DPR Tolak UU Cipta Kerja”
- “Klaster Demo, Perjuangan 7 Bulan Lawan Covid Terasa Sia-sia”
Dari penggunaan judul pertama bisa kita lihat, CNBC Indonesia menggambarkan buruh seolah sebagai sekelompok alien atau makhluk buas yang dipersenjatai benda tajam, senapan mesin dan granat, bersiap menyerang gedung DPR untuk meluluh-lantahkan peradaban manusia. Hanya dengan penggunaan awalan kata kerja “Alert!” atau “Siaga!” lalu dipertegas pada representasi antarkalimat judul berita. Dari judul ini, CNBC Indonesia.com telah berhasil menafikan dan menyimpulkan beragam alasan mengenai aksi massa yang dilakukan buruh.
Pada judul berita kedua, CNBC Indonesia berusaha tampil lebih religius dan meyakinkan. Narasinya seteduh ceramah Aa Gym. Judul dibuat sesedih mungkin agar publik diyakinkan bahwa buruh sebagai kelompok pendosa karena melakukan aksi massa ditengah pandemi Covid-19. Padahal dua kepentingan publik yang berbeda seolah dibenturkan dan dipertandingkan satu sama lain sehingga mengabaikan persoalan bahwa Omnibus law Cipta Kerja akan berdampak pada semua kelompok masyarakat.
‘Si anak singkong’ dan juragan media (iklan)
CNBCIndonesia.com merupakan portal berita online berbahasa Indonesia yang fokus pada pemberitaan bisnis, keuangan, pasar modal, bursa efek dan ekonomi. Media yang baru diluncurkan pada 8 Febuari 2018 ini dikelola oleh PT Trans Berita Bisnis, salah satu bagian dari PT Trans Media Corpora (Trans Media) milik salah satu juragan terkaya di Indonesia, Chairul Tanjung.[3] Melalui Trans Media, mantan menteri di era presiden SBY yang dijuluki dengan ‘si anak singkong’ ini, dikenal sukses dalam bisnis media. Di Bawah Trans Crop, Chairul Tanjung memiliki tiga media berbasis daring, yakni: detik.com, CNNIndonesia.com, CNBCIndonesia.com dan dua perusahaan televisi swasta: Trans TV dan Trans 7. Dua situs beritanya (detik.com dan CNNIndonesia.com) selalu berada di posisi teratas dalam daftar media online yang paling banyak dikunjungi netizen sepanjang lima tahun terakhir.[4]
Dalam industri media, banyaknya kunjungan netizen menjadi ceruk keuntungan untuk menawarkan space iklan di laman media online. Iklan-iklan tersebut pun kerap mengganggu konsentrasi pembaca ketika sedang membaca berita di situs tersebut. Mulai dari yang tiba-tiba muncul ketika asik membaca, atau banyaknya poster iklan yang terpajang di kanan, kiri, atas dan bawah website. Bagi media semacam ini, bisnis utamanya bukanlah pada informasi berita yang disediakan, melainkan pada space iklan yang ditawarkannya. Oleh karena itu, berita-berita yang diproduksi dari media semacam ini kerap menampilkan judul berita yang menarik perhatian pembaca, dengan memainkan frase-frase sentiment publik. Akibatnya, berita yang disediakan terkadang mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme.
Melihat cara CNBC Indonesia merundung aksi buruh
Dari banyaknya media online, media yang paling kerap memberitakan negatif aksi buruh adalah CNBCIndonesia.com. Hal tersebut bisa kita perhatikan dari penggunaan padanan teks kalimat yang keluar dari meja redaksi CNBC Indonesia dalam memberitakan aksi buruh.
Dalam kajian linguistik, judul berita bukan sekedar teks dan kalimat yang tersusun untuk menunjukkan maksud tertentu, tapi merupakan arena politik kesepakatan (konsesnsus). Karena bersifat politis, penggunaan teks tertentu memiliki tujuan di mana sebuah nilai dan makna dalam sebuah wacana akan dikalahkan atau dimenangkan.
Dalam kasus teks berita media massa, pemberitaan yang mendiskriminasi buruh tidak pernah berangkat dari ruang kosong. Produksi berita bukan sekedar ditujukan sebagai informasi, melainkan juga dijadikan alat untuk memenangkan dan menciptakan pengaruh. Pemilihan frase dan teks dalam berita-berita CNBC Indonesia yang cenderung menggunakan frase menyudutkan buruh ini, mencerminkan CNBC Indonesia sedang terlibat dalam proses memengaruhi publik dalam pemenangan wacana yang diproduksi oleh negara ketika melihat UU Cipta Kerja.
Untuk mendukung pernyataan saya tentang CNBC Indonesia sebagai media yang kerap merundung buruh, saya mengunakan produk berita yang diterbitkan CNBC Indonesia dalam rangkaian aksi buruh yang dilakukan selama pandemi Covid-19. Pembahasannya dibatasi pada penjudulan berita terutama yang berkaitan dengan aksi penolakan pengesahan Omnibuslaw Cipta Kerja pada akhir tahun 2020. Pembedahan kalimat judul dilakukan dengan menggabungkan unsur sintaksis (struktur kalimat: SPOK) dan semantik (makna) kata dalam kalimat.
Contoh produk berita dengan sentimen negatif pertama yang akan saya bahas adalah berita dengan judul, “Jokowi Taken Omnibuslaw, Tak Ada Ampun Buruh Langsung Gugat”. Penggunaan bahasa jurnalis pada judul ini secara langsung menggambarkan respon terhadap sebuah tindakan yang ditandingkan dengan tindakan lainnya. Kita dapat melihat unsur sentimen negatif pada susunan kata dalam kalimat keterangan “Tak Ada Ampun” yang ditutup dengan akhiran kalimat deklaratif “buruh langsung gugat” untuk mempertegas kata kerja “gugat” sebagai sebuah tindakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata gugat diartikan sebagai kata kerja yang berarti mendakwa atau menuduh. Pada judul berita tersebut buruh seolah ditampilkan sebagai sosok keras kepala yang akan melakukan tindakan respons yang mengancam hukum dan simbol kehadiran negara, yang diwakili oleh Jokowi sebagai presiden dan Omnibuslaw sebagai produk hukum. Hal ini diwakilkan pula dengan pilihan kalimat “Tak Ada Ampun” yang dipilih oleh wartawan untuk menerangkan keadaan. Hubungan antarkalimat terlihat jelas menempatkan proporsi yang tidak adil serta diskriminatif.
Meminjam istilah taktik menakuti (scare tactic) oleh Van Dijk, secara semantik redaktur CNBC Indonesia menggunakan bahasa pada kalimat judul untuk menakut-nakuti publik kepada aksi massa yang dilakukan buruh. Penggunaan berita dengan unsur scare tactic ini digunakan untuk membiaskan kenyataan dan mengubah persepsi pembaca berita, dengan cara membangun makna, mempersuasi, dan menggiring kesadaran pembaca berita untuk takut terhadap sosok yang ditampilkan.
Penggunaan judul dengan scare tactic juga dapat digunakan untuk menolak seluruh fakta dan informasi di dalam berita. Karena ditujukan untuk menakuti pembaca, berita ini memiliki dua konsekuensi terhadap aksi penolakan buruh. Pertama, mengaburkan isu dan tuntutan yang disuarakan buruh. Kedua, menghilangkan posisi tawar buruh yang kemudian mempertegas dan membenarkan posisi negara. Hal ini juga mengajak pembaca berita membenarkan represi aparat jika sewaktu-waktu dibutuhkan karena massa aksi buruh dianggap sebagai ancaman.
Kemudian pada judul pemberitaan selanjutnya dengan judul, “Buruh Mogok 3 Hari, Rugi besar & Terlambat Pulih dari Corona”. Pada berita ini, CNBC Indonesia, menggiring pembaca berita untuk melihat buruh sebagai sekelompok orang jahat egois dan tidak punya kepedulian terhadap kepentingan bersama.
CNBC Indonesia menempatkan buruh sebagai orang yang menyebabkan permasalahan secara general. Sebagaimana diketahui, dua konteks permasalahan tersebut bukanlah sesuatu kejadian yang terpisah, melainkan sebuah rentetan. Misalnya, buruh tidak akan mogok jika saja perusahaan tidak melakukan pemotongan upah dan merumahkan buruh tanpa jaminan saat krisis akibat Covid-19. Namun disini CNBC Indonesia menempatkan pembingkaian permasalahan berita dalam cara berpikir yang tematis.
Dalam penggunaan bahasa diskriminasi ini juga mencuat melalui penggunaan kalimat interjektif (kalimat yang menunjukkan emosi) dalam hubungannya pada kalimat keterangan yakni pada kalimat “Rugi besar & Terlambat Pulih dari Corona” dengan menghubungkan dua kata sifat “rugi” dan “terlambat” lalu kata “buruh” sebagai subjek digambarkan sebagai pelaku dari permasalahan. Hubungan antarkalimat ini membangun makna negatif untuk buruh hal yang juga disebutkan Van Dijk sebagai representasi negatif lain (Other Negative Representation), yang bertujuan agar publik secara sadar dapat mencari aktor baik dan jahat dalam teks berita.
Narasi berita ini akan menciptakan pertandingan jagoan dan penjahat, yang kemudian berimbas pada opini pembaca yang berkembang luas. Pada tingkat tertentu penggunaaan bahasa yang digunakan jurnalis dan media memungkinkan konflik kepentingan diruncingkan, batasan antara pemerintah dan pengusaha sebagai jagoan dan buruh sebagai penjahat secara wacana semakin diperlihatkan dan diadu domba.
Dalam praktiknya, jika sentimen negatif ini terus-menerus diproduksi dan diterima oleh khalayak, maka konflik ini akan mengakar dalam obrolan sehari-hari publik. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi pengusaha, karena pembaca berita yang tersaring dan dapat dipengaruhi, kemudian akan menjadi juru kampanye secara gratis pemerintah.[]
*Tulisan ini sebagian besar bersumber dari naskah hasil penelitian saya dengan judul: Media dan Diskriminasi Pemberitaan Aksi Unjuk Rasa Buruh Menolak UU Omnibuslaw (Studi Analisis Wacana Kritis Terhadap Pemberitaan Aksi Unjuk Rasa Buruh Tolak Omnibuslaw Di Masa Pandemi Covid -19 Oktober – November 2020 di CNBCIndonesia.com)
[1] Clickbait adalah adalah teknik memancing orang untuk mengonsumsi konten Anda, yaitu dengan membuat judul atau gambar yang menarik dan membuat penasaran, sehingga audiens terpancing perhatiannya dengan konten tersebut.
[2] Cover booth side proses peliputan suatu berita atau informasi yang melibatkan dua sudut pandang yang berbeda atau berlawanan.
[3] Chairul Tanjung memiliki total nilai kekayaan 4,9 USD atau setara dengan Rp 72,5 trilliun yang menjadikannya orang terkaya ke-6 di Indonesia dan ke-569 di dunia (Katadata.co.id, 2023).
[4] Similarweb merilis detik.com dan CNNIndonesia.com berada dalam posisi teratas dalam top web rangking.
Refrensi:
Eriyanto. 2011. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKIS.
Tapsel. Ross. 2017. Kuasa Media Di Indonesia Kuasa Oligarki, Warga Revolusi Digital. Penerjemah : Wisnu Prasetya Utomo. Tanggerang: Marjin Kiri.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme (terj.). Jakarta: Pantau
Van dijk, T.A. 1993. Elite Discourse and Racism. London: Sage Publication
https://goodstats.id/article/10-situs-paling-sering-dikunjungi-warganet-indonesia-sepanjang-2022-google-masih-jauh-unggul-YrufU.
https://katadata.co.id/syahrizalsidik/finansial/6461b820e8f6d/kekayaan-chairul-tanjung-salip-bos-harita-grup.
https://remotivi.or.id/pantau/576/omnibus-law-media-menjadi-humas-pemerintah.