Potret Buram Lingkungan dan Operandi Produksi Industri TGSL
Perluasan dan pertumbuhan industri tekstil, garmen, kulit, dan alas kaki (TGSL/Textile, Garment, Shoes and Leather) memiliki beberapa implikasi negatif. Dalam skala global misalnya, industri yang bergerak di sektor garmen, tekstil dan konveksi dianggap menjadi salah satu industri yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (Anguelov, 2015). Menurut Anguelov, daya dukung lingkungan berkaitan erat konsep perkembangan mode pakaian ‘sekali pakai’ atau fast fashion. Hal ini mendorong produksi pakaian secara masif. Produksi pakaian yang masif diikuti dengan mode tren pakaian yang berkembang cepat membuat sebagian besar individu menjadi lebih konsumtif untuk membeli pakaian baru.
Gambar 1. Tumpukan sampah garmen dan tekstil di Bangladesh (Sumber: https://www.vox.com-Andrew Aitchison/In Pictures via Getty Images)
Jika dilihat dari rantai produksi hingga distribusi, fenomena fast fashion memiliki implikasi serius pada perusakan lingkungan, seperti pencemaran udara dan tanah (Prithviraj et. al, 2002). Selain pencemaran, proses produksi garmen dan tekstil tidak terlepas dari penggunaan cairan kimia yang merusak tubuh (Bick, et. al. 2018). Belum lagi penggunaan air skala besar dalam proses produksinya. Hal ini menjadi catatan serius dalam penggunaan serta pengelolaan sumber daya alam (Niinimäki, K. et al., 2020). Sementara dari segi distribusi, kita dapat menjumpai bagaimana limbah sampah kain atau banyaknya pakaian tidak terpakai menjadi sampah yang menggunung (Prithviraj et. al, 2002). Fenomena demikian dapat dijumpai di negara-negara Asia selatan seperti India, Bangladesh, Vietnam dan lainnya.
Sedangkan, di Indonesia terdapat sekitar 29 industri garmen dan tekstil di Jawa Tengah yang mendapatkan sanksi administratif dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah karena dinilai bermasalah dalam pengelolaan limbah industrinya.[1] Pada 2021, beberapa wilayah di Pekalongan sempat digegerkan dengan fenomena banjir berwarna merah, tepatnya di daerah Jenggot, Degay dan Pasir Kraton Kramat.[2]
Nama PT Pajitex terseret dalam kasus pencemaran lingkungan di Pekalongan. Tepatnya pada 2021, ketika dua orang warga RT 13 dan 14 RW 07 Desa Watusalam, yakni Muhammad Abdul Afif dan Kurohman diangkut oleh Polres Kota Pekalongan. Kedua warga tersebut dilaporkan oleh PT Pajitex dengan tuduhan melakukan aksi pemecahan kaca milik perusahaan pada 3 Mei 2020.
Aksi kedua warga tersebut bukan tanpa sebab. Pasalnya, warga telah meminta pertanggungjawaban perusahaan atas polusi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara untuk proses produksi perusahaan. Namun, pihak manajemen perusahaan tidak pernah menanggapi tuntutan warga tersebut. Amarah sudah naik seleher, tuntutan polusi yang tidak ditanggapi berujung pada protes warga. Akumulasi kemarahan warga yang menumpuk kepada manajemen pabrik, membuat sejumlah orang warga desa melakukan pelemparan batu dan memecahkan kaca yang berada di dalam area kawasan pabrik.
Konflik antara PT Pajitex dan warga atas dampak lingkungan yang terjadi selanjutnya menjadi perbincangan di media digital. Sorotan pemberitaan beragam dari keluhan warga terkait dengan polusi udara, getaran mesin, sungai tercemar,[3] hingga aksi geruduk warga ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang dampak lingkungan yang dirasakan sudah cukup mengganggu.[4]
Ada dua faktor penyebab kemarahan warga dari RT 13 dan 14 RW 07 desa Watusalam. Pertama, pencemaran udara akibat penggunaan batu bara untuk kegiatan produksi di PT Pajitex. Perlu diketahui, pembakaran batu bara menghasilkan dua jenis limbah, yakni fly ash dan bottom ash. Abu dari hasil pembakaran yang keluar melalui cerobong asap dengan karakter lembut seperti pasir dinamakan limbah fly ash. Sementara, abu dengan karakter seperti kerak; menyerupai batu dinamakan bottom ash. Kedua limbah hasil pembakaran batu bara inilah yang mencemari udara di sekitar pemukiman rumah warga Desa Watusalam.
Kedua, jenis pembuangan limbah batu bara tersebut, secara umum sudah menjadi penyebab permasalahan lingkungan dalam beberapa kasus di lain tempat dan waktu. Fulekar, M. H., & Dave, J. M. (1986) dalam artikelnya mengatakan, pembuangan fly ash tidak hanya berpengaruh pada kualitas udara, namun juga memiliki dampak yang signifikan pada tanah dan air di sekitar pabrik. Begitu juga hasil penelitian Soomro et. al (2010) yang mengatakan, pembuangan limbah fly ash dan bottom ash yang tidak dikaji dan dipertimbangkan dengan baik akan menjadi ancaman bagi kesehatan warga dan lingkungan hidup. Dalam penelitiannya, ia menyebutkan bahwa operasi produksi perusahaan dengan cerobong batu bara yang menghasilkan fly ash mengandung partikel yang menyebabkan penyakit pernapasan pada buruh. Soomro juga menjelaskan bahwa debu fly ash memengaruhi desa-desa terdekat dengan cara mencemari lahan pertanian, ternak, dan penduduk. Faktor penyebab kedua adalah proses pendirian cerobong asap oleh PT Pajitex tidak pernah melibat persetujuan warga secara keseluruhan sepanjang 2006 – 2020.
Kompleksitas dinamika konflik yang terjadi membuat organisasi non pemerintah (NGO) terlibat dalam proses advokasi. Di sisi lingkungan, warga didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah, untuk mendalami substansi permasalahan lingkungan: pencemaran udara, pencemaran bunyi atau getaran, hingga pengujian kandungan air di sekitar kawasan pabrik.[5] Di sisi legal, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang juga turut andil dalam pendampingan warga yang diintimidasi dan dikriminalisasi.[6]
Dalam rilisnya, LBH Semarang menyebutkan, ada upaya kriminalisasi kepada pejuang lingkungan, ditambah dengan proses yang tidak sah, cacat dan melanggar hukum. Rentetan hal tersebut merupakan upaya pembungkaman kepada masyarakat yang sedang memperjuangkan lingkungan hidup merupakan tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).[7]
Konflik kemudian bergulir hingga di ranah hukum. Pengadilan Negeri Pekalongan pada Rabu, 22 Desember 2021 menjatuhkan sanksi administratif terhadap PT Panggung Jaya Indah Textile (Pajitex) Pekalongan yang telah melakukan pelanggaran aktivitas perusahaan yang berdampak pada lingkungan hidup seperti dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin, kondisi air limbah outfall menuju sungai kupang Pekalongan berwarna hitam dan suhu agak panas, debit air limbah yang dibuang melebihi kapasitas IPAL yang diizinkan, Parameter Total Suspended Solid atau padatan total tersuspensi warna melebihi baku mutu air limbah. Parameter kebisingan di atas ambang baku area pemukiman warga, yakni melebihi 0,1dB dan 0,5 dB. Lebih parahnya lagi, izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun milik PT Pajitex telah habis masa berlaku sejak 5 Oktober 2019.[8] Beberapa kondisi ini yang memotret kerusakan lingkungan dari dampak aktivitas produksi perusahaan.[Lanjut baca bagian 4]
Nama PT Sai Apparel Grobogan mencuat di awal Februari 2023 setelah video dengan caption ‘Pabrik Elit Bayar Lembur Syulit’ beredar di media sosial TikTok dan Instagram. Para jurnalis memburu informasi tersebut dengan melakukan konfirmasi ke pihak-pihak berwenang dan memberitakannya di media massa lokal maupun nasional. Video dengan durasi 2.02 menit tersebut mengungkapkan ‘kerja paksa tidak […]
Sebuah video adu argumen antara buruh perempuan dan Factory Manager Tenaga Kerja Asing (TKA) yang terjadi di PT Sai Apparel Industries Grobogan, mendadak viral di media sosial Tiktok dan Instagram (Tempo.co, 5 Februari 2023). Video tersebut diunggah ke media sosial pada 1 Februari 2023. Dalam video tersebut, terdengar suara seorang perempuan yang mendesak manajer produksi, […]
Moda Penghancuran Gerakan Perlawanan Warga Perusahaan tidak tinggal diam dalam menghadapi perlawanan dari warga Desa Watusalam. PT Pajitex melakukan berbagai upaya untuk memecah, meredam, hingga membungkam gerakan perlawanan. Hal demikian dilakukan agar kepentingan akumulasi kapital tetap berjalan. Alhasil, surplus tetap muncul dan keuntungan akan tetap dihasilkan. Kami memotret beragam upaya perusahaan mempertahankan roda produksinya dalam […]