Moda Penghancuran Gerakan Perlawanan Warga
Perusahaan tidak tinggal diam dalam menghadapi perlawanan dari warga Desa Watusalam. PT Pajitex melakukan berbagai upaya untuk memecah, meredam, hingga membungkam gerakan perlawanan. Hal demikian dilakukan agar kepentingan akumulasi kapital tetap berjalan. Alhasil, surplus tetap muncul dan keuntungan akan tetap dihasilkan. Kami memotret beragam upaya perusahaan mempertahankan roda produksinya dalam dinamika sosial dan upaya penghancuran gerakan warga.
Represi Massa
Ada beberapa upaya represif perusahaan untuk memukul gerakan warga. Upaya represif tersebut meliputi represi gerakan, mobilisasi warga, kriminalisasi warga, intimidasi kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Pertama, represi gerakan terjadi pada 6 Oktober 2021, situasi Desa Watusalam mendadak memanas. Semula warga Desa Watusalam akan menggelar aksi damai di depan kantor Bupati Pekalongan. Tujuan aksi mendesak Bupati untuk segera menghentikan kasus kriminalisasi dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex. Namun, pada pagi harinya warga mendapatkan informasi tentang adanya upaya pihak perusahaan melibatkan serikat buruh sebagai massa tandingan.
Iqbal yang merupakan salah seorang tim advokasi dari Walhi Jawa Tengah menceritakan dengan nada suara menggebu-gebu ketegangan situasi tersebut.
“Besoknya kita mau aksi. Disebarkan isu bawah warga sini mau menutup pabrik. Lantas buruh dikeluarkan semua untuk melakukan aksi tandingan. Itu bendera sudah siap semua. Akhirnya aku memutuskan, jangan! Jangan sampai kita diadu. Udah kita bikin saja acara doa bersama aja. Karena potensi waktu itu akan chaos gede banget!”
Iqbal, Walhi Jawa Tengah.
Menurut Iqbal, kejadian tersebut merupakan momentum pertama kali PT Pajitex menggunakan serikat buruh sebagai alat politik untuk memobilisasi aksi tandingan.[1] Sebagian besar serikat buruh adalah warga Desa Watusalam yang terdiri dari RT 16, RT 15, dan RT 17 RW 08, serta RT 01 RW 05 Kertoharjo. Massa yang tergerak merupakan hasil dari produksi wacana penutupan pabrik yang dimainkan oleh pihak perusahaan. Potensi bentrokan antarsesama warga yang besar, membuat warga RT 13 dan RT 14 membatalkan aksi damai menuju Kantor Bupati. Warga kemudian bersepakat mengadakan pembacaan salawat Nariyah dan do’a bersama sebagai upaya penguatan gerakan warga.
Kedua, mobilisasi warga. Upaya ini memiliki keterkaitan dengan upaya sebelumnya. Selain membuat aksi tandingan yang melibatkan serikat buruh. Perusahaan juga memobilisasi beberapa warga RT 16, RT 15, dan RT 17 RW 08 untuk memberikan tanda tangan pada kain yang dipampang lebar di depan perusahaan dengan bertuliskan: “Kami Ingin Pabrik Tetap Berjalan!”.
Adanya bukti pemasangan kain geber dengan tanda tangan pabrik dan bendera serikat buruh X itu, warga itu juga dimobilisasi warga dan ada dua lagi wanita yang masuk-masuk ke rumah warga dan meminta tanda tangan. Bahwa mereka ingin pabrik tetap berjalan,” tukas Sulton, mantan buruh PT Pajitex.
Kala itu, seorang warga bernama Sulton terheran-heran, karena perusahaan mampu memengaruhi serikat buruh dan beberapa warga yang secara nyata juga merasakan dampak pencemaran lingkungan dari perusahaan. Jika kembali melihat lanskap peta pencemaran, warga RT 16, RT 15, dan RT 17 RW 08 tidak terlalu merasakan dampak pencemaran udara, namun mereka mengeluhkan getaran dan pencemaran air yang dapat ditemui di sudut selokan RW tersebut.
Ketiga, upaya represif lain yakni kriminalisasi warga. Seperti yang telah diulas dalam sub bab bagian gejolak protes dan eskalasi gerakan, setelah upaya benturan yang dilakukan oleh perusahaan, kabar buruk kembali menimpa warga Desa Watusalam. Polres Kota Pekalongan resmi melakukan penahanan kepada Muhammad Abdul Afif dan Kurohman. Keduanya ditahan di Rutan kota Pekalongan. Proses kriminalisasi ini yang selanjutnya cukup menghabiskan waktu dan energi. Selain itu, kriminalisasi warga tersebut memiliki pengaruh pada psikologi massa warga yang protes. Pasalnya warga yang dikriminalisasi di atas merupakan orang yang memiliki pengaruh dalam gerakan. Kriminalisasi ini berpengaruh pada politik pecah-belah gerakan.
Selain itu, keempat, upaya represif lain yakni intimidasi kerja. Roji salah satu mantan buruh PT Pajitex menjelaskan bahwa dirinya kerap mendapat beberapa intimidasi selama bekerja. Roji adalah salah satu buruh di bagian boiler, ia merupakan buruh yang cukup tekun dan memiliki sertifikat training dalam pengoperasian mesin boiler. Selama bekerja Roji diminta oleh manajemen produksi PT Pajitex untuk menjaga keadaan asap pada boiler (fly ash) agar tidak mengepul. Padahal, kepulan asap merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakan jika menggunakan pembangkit energi batu bara.
“… Ada beberapa intimidasi selama bekerja. Satu dipanggil, kedua itu manajemen meminta diusahakan jangan sampai ngebul, nek ngebul selalu di WA (Whatsapp). Ngebul pie tolong diperhatikan. Perlakukan ini berlakukan khusus untuk semua operator…,”
Roji, Buruh PT Pajitex.
“…[Y]ang namanya boiler, obong-obong batu bara ya pasti ngebul…,” Imbuh Roji dengan nada tinggi.
Selain intimidasi dan ancaman pribadi dalam pengaturan fly ash, ia menambahkan bahwa dirinya untuk diminta tutup mulut dan tidak perlu terlibat dengan permasalahan pencemaran lingkungan yang diprotes warga. Padahal, Roji juga merupakan salah satu warga RT 14 yang menjadi wilayah terdampak akibat polusi udara batu bara.
Intimidasi tidak hanya dirasakan oleh Roji selama bekerja. Rekan kerja Roji lainnya, yakni bernama Sulton, juga mendapatkan hal yang serupa. Baik Roji dan Sulton, keduanya merupakan buruh sekaligus warga Desa Watusalam RT 14 yang ikut berjuang.
“… [P]ola intimidasi atau tekanan yang saya dapat sebelum mengundurkan diri adalah tidak boleh ikut campur gak usah ikutan masalah protes pencemaran, diminta secara langsung untuk tidak terlibat. ’Kamu kalau masih ingin kerja di sini, apa yang kamu anggap yang terbaik untuk diri saya untuk dapat bekerja di pabrik!’, intinya kan gak boleh ikut demo dan protes pabrik,”
Sulton, Buruh PT Pajitex.
“… [A]ku dipanggil dua kali, pertama sendiri waktu itu aku tanda tangan soal supaya aku jauh dari ikutan protes, keduanya masih ikut dipanggil lagi malah aku dan empat anak yang dipanggil. Aku, Sulton, Tabrani, dan Jamong, kami menolak karena tidak ada bukti perusahaan yang ditunjukkan. TTD soal disuruh untuk menjauh dari permasalahan lingkungan itu. Tidak boleh ikutan aktivitas protes warga..,” tambah Sulton.
Sulton, Buruh PT Pajitex.
“…’Jika ada ikut ikutan siap mengundurkan diri,’” ada kata-kata itu. Tidak ada prosedur SP1, SP2, SP3, tidak ada bukti yang jelas, tidak ada surat tuduhan, tidak ada surat TTD itu juga aku tidak foto, hanya dipanggil lewat Satpam, dan tidak ada bukti. Sekali lagi itu hanya omongan saja, bahwa aku ikut-ikutan demo. Ditambah rumahku selalu kesorot ketika protes warga, waktu yang pertama kali, ijek ning umah sing mburi onok wartawan ning mburi. Itu saya diingatkan,”
Sulton, Buruh PT Pajitex.
Tidak hanya ancaman pemecatan, intimidasi juga dilakukan dengan cara lain. Pada kasus Roji misalnya. Ia mengaku pernah dipanggil langsung oleh manajemen perusahaan PT Pajitex. Roji menjelaskan bahwa pemanggilan dirinya dikarenakan aktivitas politik yang mengorganisasikan warga untuk melakukan protes atas pencemaran.
“… [K]arena aktivitas politik, saya sering dipanggil manajemen, dua kali. Setelah adanya rame-rame (keributan) sama warga. Yang jelas tahun 2021 kurang lebih akhir tahun. Sempet manajemen menentang juga ngajak debat argumen cuma mereka kalah. Intinya saya dipanggil di situ untuk membuat perjanjian gak boleh ikut merongrong pabrik Pajitex. Di situ manajemen yang memanggil saya mengaku tidak enak karena disuruh. Itu adalah Kabag saya sendiri sama Pak Rahmat (personalia/HRD). Yang gak enak itu ya Kabag-ku dewe karena udah biasa kerja. Karena selama ini dalam lingkup bekerja saling berkomunikasi. Dia bilang, aku disuruh manajemen, kamu jangan menuduh aku yang engga-engga. Ya intinya gak boleh ikut merongrong pajitex…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Terakhir, yang kelima adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Setelah berbagai macam intimidasi seperti yang telah diutarakan sebelumnya, titik puncaknya adalah PHK. Roji dan Sulton di PHK tanpa beberapa alasan yang jelas.
“… Itu yang saya sesali, Mas. Saya itu tidak butuh pesangon banyak, mau berapa itu saya tidak butuh. Saya itu punya tanggung jawab. Kalau saya itu memang salah, coba lihatkan salah saya itu apa? Coba diklarifikasi salah saya apa? Gak bisa jawab. Intinya, itu tidak suka dengan saya…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Ia juga kecewa pada serikat buruh pabrik yang tidak membela hak-hak dan kondisi buruh kala itu. Roji mengatakan bahwa serikat buruh justru menjadi alat untuk mendorong kepentingan pabrik. Seharusnya serikat buruh membela sebab Sulton merupakan anggota serikat buruh. Justru sebaliknya, serikat buruh yang ada di pabrik justru memojokan Sulton.
“… [K]enapa serikat buruh X tidak bisa memperkuat saya dengan Mas Sulton? Karena itu kan harusnya tanggung jawab serikat buruh X juga, harusnya membela. Apapun yang terjadi. Kecuali saya sudah melanggar, melakukan kerusakan-kerusakan. Kalau saya salah, saya terima. Serikat buruh X sendiri malah mengeluarkan saran yang seakan-akan memojokkan. Sampean nanti di-PHK dapat pesangonnya sedikit, lebih baik mengundurkan diri, nama baik kamu terjaga, dan bisa melamar kerja lagi…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Di hari Roji di-PHK, ia menjelaskan kepasrahannya akan tekanan keadaan dan baik dari perusahaan maupun serikat.
“… [S]aya tidak bisa tanda tangan hari ini, tapi keputusan harus hari itu juga dan terkesan tidak diberikan waktu untuk berpikir panjang. Padahal, bicara soal pekerjaan kan soal keberlanjutan kehidupan perlu dipikir matang dan dicarikan alternatifnya. Kan saya seharusnya gak bisa memutuskan sekarang ini. Saya punya unek-unek yang harus dirundingkan dulu sama keluarga. Masa harus sekarang? Masalahnya adalah keputusan harus diambil sekarang seakan tidak ada waktu untuk berpikir panjang ke depan tentang kelanjutan hidup saya. Pada akhirnya, karena kondisi demikian saya terpaksa menandatangani hari itu juga..”
Roji, Buruh Pajitex.
“… [P]ada hati kecil saya belum terima. Bener-bener saya bekerja dengan apa yang saya dapatkan dari training saya. Yang saya lakukan juga dengan benar, saya tidak merusak atau bagaimana, tapi saya ya dituduh dan disalahkan operator boiler…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Beragam fitnah dan tuduhan tak berdasar mengarah kepada Roji dan Sulton. Hal tersebut yang menjadi penguat mereka di PHK. Roji pun menjelaskan beberapa tuduhan yang beredar.
“… Saya juga sempet difitnah. Katanya, saya itu keliling mintain tanda tangan atau masuk ke rumah-rumah warga. ‘Koe sih yang minta tanda tangan, untuk menolak pencemaran kuwi!’ Padahal di situ, kan saya belum bilang, mestinya kan ada yang ngomong, saya tanya itu ‘siapa yang ngomong, Pak? Itu orangnya gimana?’ Kalau mau musyawarah mau mencari solusi itu kan ada pihak yang bicara, terus saya yang tersangka, dan sama yang sing nengahi itukan baiknya begitu. Malah dia jawab dengan ’tidak bisa saya sebutkan’…”
Roji, Buruh Pajitex.
“… [A]ku tuh gak pegang surat pengunduran diri, Mas, sebelumnya. Kepalaku sudah mumet, Mas, dengan beragam tuduhan tak berdasar dan diminta untuk mengakuinya. Dari siang sampai Magrib debat. Udah butek, Mas. Mas ku (Sulton) itu nerimo, aku gak trimo aku menentang. Tapi Mas ku itu toh pikirannya udah kacau. Karena harus hari itu juga ambil keputusan…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Pihak manajemen perusahaan enggan untuk musyawarah dan lebih menutupi sumber dari tuduhan yang tertuju pada Roji dan Sulton. Tuduhan tersebut juga disertai desakan untuk segera mengakui tuduhan dan menandatangani surat pernyataan bersalah sebagai legalitas untuk mengundurkan diri.
“…Terus apa masalahnya? Intinya saya minta cari tahu siapa orang yang bilang itu. Terus kata manajemen, ‘Sampean ora usah melu-melu,’ terus mereka gawe surat dan aku disuruh tanda tangan. Saya tidak mau! Kalau saya tanda tangan intinya saya mengakui onone aku (kesalahan aku). Yo aku bingung duwe…,”
Roji, Buruh Pajitex.
Roji tidak menyangka bahwa manajemen PT Pajitex mencurigai dia melakukan sabotase untuk membuat asap cerobong pabrik mengepul hitam. Dirinya tidak menerima tuduhan tersebut, pasalnya ia sudah mengaku bahwa pengoperasian mesin boiler sudah dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Ia dapat memastikan tindakannya sesuai dengan SOP apalagi Sulton mengantongi sertifikasi sebagai tenaga pelatihan untuk pengoperasian mesin boiler di PT Pajitex.
“… [S]aya kan kerja sesuai dengan operasional prosedur yang di-training-kan sama mas Okin dari Bandung. Saya terangin ngene-ngene, lah kok malah nyalahke. Nyalahke intine, ’loh kok ora dibuka harusnya dibuka’. Saya bilang gini, aku selama training mesin baru, ora onok sing iso orang-orang neng kene, saya itu adalah orang yang pertama di tahun 2020 yang ikut training. Selama aku training, koyo atasan itu belajar bareng sama saya. Jadi gak ada yang terlalu pinter. Intinya aku selama training selalu ikut, intinya aku mendapatkan pengetahuan yang banyak. Ya saya dipanggil, dimintai tolong aku mau. Intinya kalau ada teman yang panggil atau Kabag yang panggil ya aku mau ikut tolongin. Terus giliran ada masalah gini aku dipojokkan. Saya debatkan itu manajemen, saya tanya ke Pak Solihin Kabag Boiler atasan, ’Sampean melu training sisan yo, moso sampean meneng gak dukung penjelasanku bilang gitu’. Katanya, ‘Yo sampean bener’. Yo tapi deknen meneng takut…”
Roji, Buruh Pajitex.
Merasa tidak terima, dirinya bercerita ke salah satu rekannya yakni trainer boiler sewaktu di Bandung mengenai tuduhan penyalahgunaan operasionalisasi boiler.
“Saya sempet emosi, untungnya yang salah satu trainer itu kan deket sama saya. Cerito masalahku atas tuduhan penyalahgunaan boiler. Karena selama ini, kalau ada masalah aku minta Mas Okin untuk dimintai pendapat. Mas Okin salah satu itu trainer dan sales-nya mesin uap dari Bandung. Dia bilang bahwa, ’Itu kamu bekerja bener, itu prosedur dari perusahaan’”.
Roji, Buruh Pajitex.
Mendapati penjelasan tersebut, Roji merasa cukup lega karena masih ada seseorang yang percaya kepada dirinya. Roji cukup yakin pemecatan yang dialami oleh dirinya dan Sulton memiliki keterkaitan dengan aktivitas memperjuangkan lingkungan yang sehat bagi desanya.
Politik Pecah-Belah
Politik pecah-belah dilakukan oleh perusahaan untuk meredam gerakan protes warga terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi. Politik pecah-belah gerakan oleh perusahaan dapat dilihat setelah kriminalisasi, yakni ketika salah satu warga yang didakwa perusakan properti perusahaan ketika aksi protes. Salah seorang keluarga terdakwa dijadikan alat politik oleh pihak PT Pajitex untuk membuat kesepakatan perjanjian perdamaian sepihak.[2]
Dalam surat perjanjian perdamaian tersebut, ketentuan mengenai isi perjanjian dibagi ke dalam tiga pasal. Pasal 1 mendesak agar warga Desa Watusalam segera mengakhiri permasalahan mengenai kasus pencemaran lingkungan. Pasal tersebut meminta warga Desa Watusalam menjadi bagian pihak yang saling mendukung kehidupan bermasyarakat, untuk mencapai kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Sementara, pada Pasal 2 terdapat dua ayat yang secara garis besar berisikan upaya-upaya kebaikan yang telah dilakukan oleh perusahaan di dalam merespons masalah pencemaran lingkungan. Respons tersebut salah satunya berupa dana CSR yang dianggap telah memberi manfaat bagi kehidupan warga Desa Watusalam. Sedangkan Pasal 3 Ayat 3 mengatur ketentuan larangan penyampaian pendapat melalui unjuk rasa. Pihak perusahaan menilai tindakan aksi demonstrasi bukan merupakan cara yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sebaliknya, cara yang tepat menurut perusahaan dilakukan dengan cara yang sopan dan melibatkan mekanisme pemerintahan desa.
Proses permintaan tanda tangan ini terhitung cepat dan hanya membutuhkan waktu satu hari. Warga semakin berang lantaran merasa tidak pernah melakukan perundingan apapun, tiba-tiba diminta menyepakati perjanjian perdamaian.
Menurut Narso, surat desakan perdamaian tersebut merupakan upaya pembungkaman dan pelemahan terhadap gerakan warga Desa Watusalam. Pihak perusahaan sengaja memanfaatkan kesempatan kasus kriminalisasi Muhammad Abdul Afif dan Kurohman yang tengah memasuki proses persidangan.
“Datanglah surat dari PT Pajitex. Warga tidak tahu apa-apa. Poinnya, warga seolah dipaksa mengakui, bahwa limbah PT Pajitex telah memenuhi syarat. Kurang lebih yang saya ingat kalimatnya: masyarakat dan PT Pajitex telah berdamai. Poin-poin juga tidak menguntungkan kita. Tidak ada keberpihakan dan tidak ada pernyataan mengenai penangguhan penahanan.”
Narso, Warga Desa Watusalam.
Dalam proses penandatangan surat perdamaian, istri dari terdakwa Muhammad Abdul Afif menjadi operator yang berkeliling dari satu rumah ke rumah warga untuk meminta tanda tangan. Keluarga terdakwa dijanjikan akan memperoleh keringanan hukuman, apabila tanda tangan kesepakatan damai terpenuhi.
Narso merupakan salah seorang dari delapan nama yang tercantum dalam surat perjanjian perdamaian. Sejak awal, ia memang sadar bahwa surat pernyataan damai merupakan alat politik untuk membungkam perjuangan warga Desa Watusalam. Narso menyayangkan sikap keluarga Muhammad Abdul Afif yang dinilai terburu-buru dalam mengambil keputusan.
Rasa kecewa Narso kepada keluarga Afif, tergambar dalam sebuah percakapan daring antara Afif dengan salah seorang warga bernama Ilham. Narso dituduh sebagai orang yang tidak menginginkan kedua terdakwa dibebaskan.
“Istri Haji Afif bilang, ada yang gak mau tanda tangan, Ilham dan Narso, ketika di video call. Afif bilang ke Ilham, kalau kamu ikut-ikutan Ilham, aku bakal ngelumut nang njero kene ora metu-metu kesuwen. Kan semua warga gak saya telantarkan. Saya beri makan, semua biaya saya yang keluarin, kata Haji Afif. Itu yang bikin saya sakit hati!”
Narso, Warga Desa Watusalam.
Pernyataan Afif membuat Narso terpukul. Seolah perjuangan lingkungan yang dilakukan selama ini dianggap hanyalah kepentingan pribadi Afif. Padahal, semua orang yang tergerak di dalam perjuangan merupakan korban dari pencemaran lingkungan PT Pajitex. Setiap orang bersolidaritas berdasarkan kemampuannya masing-masing.
“Aku ingin membalik fakta, apakah kowe mikirke aku mbek keluargaku? Kan nggak. Kan ini solidaritas perjuangan,”
Narso, Warga Desa Watusalam.
Menurut Narso ongkos perjuangan bukan hanya berasal dari Afif semata, semua warga memiliki kontribusinya masing-masing. Bahkan, di tengah perjuangan, setiap orang tetap memenuhi tanggung jawab kepada keluarga dan anak, seperti halnya Narso yang juga sebagai seorang buruh obras serabutan.[3] Namun ketika kembali mengingat pernyataan Afif, seolah perjuangan yang ia lakukan selama ini dianggap tidak bernilai. Lantaran, hanya karena Narso tidak mau menandatangani kesepakatan perdamaian.
Kooptasi
Kooptasi menjadi salah satu bagian fenomena di dalam dinamika konflik yang terjadi. Tindakan ini diduga melibatkan aparatur pemerintahan negara dengan tujuan melakukan pembelahan terhadap gerakan perlawanan warga. Pertama, penggembosan gerakan ketika advokasi hukum. Hal ini dilakukan ketika momen setelah kriminalisasi warga oleh perusahaan. Dalam perjalannya, proses kriminalisasi tersebut diselesaikan secara hukum formal di ruang sidang. Ketika itu, Narso begitu jengkel, kala kembali mengingat proses penegakkan hukum yang menimpa kedua kawannya.
“Ada keanehan antara pihak polisi aparat di pekalongan. Polres bisa mempertemukan keluarga dan Haji Afif. Padahal kita gak bisa ketemu, rumit alasannya karena COVID. Hancur-lah iman perjuangan mereka keluarga! Terus akhirnya manut pergerakannya sana. Ada oknum yang bermain di sana!”
Narso, Warga Desa Watusalam.
Warga dan tim advokasi tidak bisa berbuat banyak, meskipun mereka tahu ada dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam proses kriminalisasi yang berjalan.
Tiba-tiba, kabar tidak menyenangkan kembali datang. Pada 10 November 2021, seorang supir antar jemput dari salah seorang terdakwa mendatangi kantor LBH Semarang. Ia meminta agar berkas kuasa hukum pendampingan kasus pidana dicabut.
Dhika dari LBH Semarang, yang juga merupakan bagian dari tim advokasi menceritakan situasi saat itu.
“… [Y]ang mencabut berkas itu bukan LBH Semarang, juga bukan Walhi, justru dari pihak keluarga, dia itu memutus surat kuasa kita sebagai pendamping. Kalau dari kami lembaga itu masih berkomitmen untuk melakukan pendampingan di kriminalisasinya, tapi saat itu salah satu supir dari Afif datang ke kantor, untuk meminta pencabutan kuasa. Itu keputusan mereka. Tapi Walhi dan LBH, walaupun surat kuasa sudah dicabut, kita berupaya tetap mendampingi proses perjuangan melawan pencemarannya…”.
Dhika, LBH Semarang.
Pencabutan berkas kuasa hukum kedua terdakwa tidak bisa dipisahkan dari intervensi pihak aparatur negara untuk melemahkan gerakan RT 13 dan 14. Kondisi ini membuat gerakan warga RT 13 dan 14 semakin surut. Padahal, menurut Narso perjuangan masih bisa dimenangkan.
“LBH dan WALHI telah diminta cabut berkas. Sidang kurang tiga hari, itu dicabut. Kami tidak boleh bawa massa, tidak boleh ada pemberitaan, dan tidak boleh ada WALHI dan LBH. Warga hanya diam”.
Narso, Warga Desa Watusalam.
Pada akhirnya, persidangan dari warga yang telah dikriminalisasi tersebut tidak didampingi oleh warga sebagai massa dan pihak WALHI serta LBH. Muhammad Abdul Afif yang salah satu aktor yang memiliki pengaruh terhadap kritik lingkungan pada akhirnya tidak mau bersuara dan bergumul lagi dengan gerakan warga.
Selanjutnya, kedua, kebocoran inspeksi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya, warga melaporkan adanya kerusakan lingkungan kepada DLHK. Kemudian, DLHK menindaklanjuti dengan melakukan inspeksi dan pengecekan kebenaran fakta atas laporan yang diterima. Salah satu area di dalam pabrik yang menjadi lokasi pemeriksaan adalah bagian pencelupan.
Kebocoran informasi Sidak kemudian dibawa pada putaran mediasi yang kedua. Pemda Kabupaten Pekalongan menghadirkan dua pihak yang berkonflik, baik itu dari PT Pajitex dan perwakilan warga Desa Watusalam. Pihak DLHK juga turut dihadirkan dalam mediasi tersebut. Salah seorang staf Bupati Kabupaten Pekalongan bernama Abdul Khalik bertanya kepada DLHK tentang kebocoran informasi Sidak. Namun, semua peserta yang hadir tidak bisa menjawab. Pertanyaan tersebut pada akhirnya menguap begitu saja. Demikian fenomena kooptasi tersebut hanya menjadi cerita lalu saja.
Sogok
Sejak 2006 sampai 2022, warga telah memprotes pencemaran lingkungan. Sementara, PT Pajitex hanya merespons dengan memberikan uang kompensasi ditambah dengan kain sarung kepada warga yang diberikan setiap hari raya Idulfitri. Namun, sebagian warga desa menilai justru pemberian uang kompensasi hanya upaya perusahaan agar tetap bisa melanjutkan pencemaran lingkungan. Warga menamai uang kompensasi tersebut dengan istilah uang “tombol kebul”. Pemberian uang tersebut dibagi ke dalam dua kategori radius paparan, yakni ring satu dengan nilai uang sebesar Rp150 ribu dan ring dua dengan nilai sebesar Rp100 ribu.
Seiring berjalanya waktu, nilai kompensasi uang batu bara dan radius paparan mengalami perubahan. Jika sebelumnya, hanya terdapat dua kategori, kini ada penambahan kategori menjadi ring tiga. Pada 2022, nilai uang batu bara pada ring satu menjadi Rp350 ribu plus diberikan kain sarung, ring dua mendapatkan Rp300 ribu juga dengan sarung, dan ring tiga mendapatkan Rp175 ribu juga plus kain sarung.
Setelah protes warga RT 13 dan 14 RW 07 akibat limbah polusi udara batu bara mencuat ke permukaan, PT Pajitex mulai merangkul warga Desa Watusalam. Perusahaan dengan gencar menawarkan maklun[4] kepada warga yang ingin menambah penghasilan. Beberapa jenis pekerjaan yang ditawarkan berupa pekerjaan tahap finishing, seperti obras kain sarung, pengepakan (packaging) kain sarung, pengelolaan limbah padat, dan penjualan kardus bekas, serta besi rongsok.
Praktik informalisasi kerja atau yang dikenal dengan istilah maklun ini utamanya menyasar beberapa warga RT 13 dan 14 RW 07 yang aktif dalam perjuangan lingkungan hidup. Salah seorang warga bernama Rojali yang sebagai buruh di PT Pajitex menjelaskan fenomena tersebut.
“Semenjak ramai kasus lingkungan ini, saya sudah pernah temui perwakilan warga, salah satunya Mas Imron dengan Staf Legal PT Pajitex, Firman Badjri untuk menawarkan pengelolaan limbah padat seperti drum, karung, besi dan lainnya. Pak Firman sendiri juga sudah berusaha mendatangi ke beberapa warga untuk menawarkan pekerjaan finishing, maklun untuk dapat dikerjakan dan memberi manfaat bagi warga sekitar…”.
Rojali, Warga Desa Watusalam.
Rojali menerangkan lebih rinci mengenai skema kerja maklun yang ditawarkan perusahaan kepada warga dan pertaliannya dalam peredaman konflik. Pasalnya, praktik maklun tersebut semakin dibuka lebar ketika konflik pencemaran mencuat.
“Ada sistem maklun kurang lebih dua bulan terakhir. Jumlahnya 150 kodi, maklun ada semenjak konflik. Pak Firman bilang ke saya. Ada yang mau handle bagian pergudangan atau kepala Gudang? Satu kodi dari perusahaan Rp10.000, di subkontrakkan jadi Rp8.000. Ada juga jika ingin menjahit di dalam pabrik tapi sebagai buruh lepas, bayarannya Rp9.000. Biaya sebesar Rp9.000 itu bersih, karena benang plus listrik dibayar oleh pabrik, tapi hanya untuk karyawan PT Pajitex jika ingin mendapatkan pekerjaan tambahan. Pak Firman sebagai salah satu sumber Maklun…”.
Rojali, Warga Desa Watusalam.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ilham ketika merespons tawaran kerja maklun yang diberikan oleh PT Pajitex kepada warga Desa Watusalam. Sasaran tawaran kerja diutamakan kepada beberapa warga Desa Watusalam yang getol berjuang melawan pencemaran limbah.
“Iki baru baru oleh kontak, ono pergerakan, mas Firman ning omah ono pendekatan karo pabrik, ojo nggembosi. Pendekatane Firman ke Mas Roji, Mas Sulton, Mas Imron. Katane, ’Wes warga sopo sing Gurung kerjo, iso ning pabrik’, ’Pabrik ono produksi sarung mentah, sopo warga sing iso pak jahit’, ’Kemasan kardusan di sangganke karo san warga…”.
Ilham, Warga Desa Watusalam.
Warga dari kelompok perlawanan Desa Watusalam lainnya juga memberikan pernyataan penguat tentang tawaran maklun yang semakin santer mengarah ke beberapa orang kelompok warga. Ilham mengatakan, meskipun tawaran itu benar disampaikan oleh kuasa hukum PT Pajitex namun belum ada warga dari kelompok perlawanan yang mengambil tawaran kerja maklun. Sebaliknya, Ilham merasa bahwa tawaran kerja maklunyang dilakukan secara langsung (door to door) merupakan upaya PT Pajitex untuk semakin melemahkan gerakan perlawan warga Desa Watusalam sehingga mengaburkan tujuan dari cita-cita perlawanan mereka.
“…Warga belum mengambil, ora gelem, upahe murah, aku dewe rapaham, ming kerungune murah. Aku rapaham. Mangkele Mas Roji, Mas Sulton Mas Ilham, sing artine pabrike ono usaha pendekatan, sing warga iki lemah. Juruse pabrik didata karo warga. Firman, gerilya sing nggenah ditemoni Mas Roji, Mas Sulton Mas Imron. Belum ada menerima tawaran”.
Ilham, Warga Desa Watusalam.
Senada dengan Ilham, menurut salah seorang warga RT 13 dan 14 RW 07 lainnya, yakni Narso, tindakan perusahaan untuk menawarkan maklun bukan merupakan bentuk kepedulian yang sesungguhnya terhadap kondisi kerusakan lingkungan hidup warga. Ia sangsi dengan segala bentuk kebaikan perusahaan, baik dalam bentuk tawaran kerja (maklun) atau pemberian THR, hanyalah upaya PT Pajitex untuk menarik simpati kepada warga.
“Soal THR atau tombo kebul itu sudah masalah lama semenjak adanya penggunaan batu bara dan cerobong ya sekitar tahun 2006 an. Lalu, soal maklun itu hanya modus perusahaan saja akhir-akhir ini, setelah adanya ramai konflik agar mendapat simpati dari warga, agar keberadaan perusahaan dianggap memiliki manfaat kepada warga sekitar…”.
Ilham, Warga Desa Watusalam.
Beberapa hal yang telah dijabarkan di atas menunjukan berbagai upaya perusahaan untuk menaklukan gerakan perlawanan warga Desa Watusalam. Pemberian bantuan tahunan (THR), CSR, dan praktik maklun bukan merupakan tindakan untuk menyelesaikan akan permasalahan dari pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex. Sebaliknya, tindakan tersebut merupakan cara pabrik untuk tetap dapat melakukan akumulasi kapital sembari merusak lingkungan hidup buruh dan keluarganya.[]
[1] Aksi mobilisasi masa dengan menggunakan atribut serikat buruh yang dilakukan oleh perusahaan dapat dilihat juga pada liputan berita analisanews.co.id. Selain itu kami juga memiliki dokumentasi dari warga. https://analisnews.co.id/2021/10/warga-berharap-pt-pajitex-tetap-beroperasi.html
[2]Pada 16 November 2021, tiga lembar surat datang ke Desa Watusalam. Surat tersebut menunjuk tiga nama sebagai perwakilan Desa Watusalam, yakni Ahmad Tain sebagai Ketua RT 07, Fauzi DR sebagai RT 14, dan Nurodin Warkum sebagai Ketua RT 13. Ketiga nama ini ditunjuk sebagai pihak pertama. Sementara, pihak kedua merupakan Agung Triyanto sebagai perwakilan manajer pabrik PT Pajitex. Pada lembar terakhir surat, terdapat delapan daftar nama warga Desa Watusalam lainnya yang juga dianggap sebagai perwakilan, yakni: H. Muhammad Abdul Afif, M. Syariful Arif, M. Nuh, M. Rif’an, H. Rohman, M. Ikhwan, dan Kurohman. Kedelapan nama ini juga dimintai tanda tangan. Selain daftar nama warga, isi surat juga menyertakan tiga pihak yang ditunjuk sebagai saksi, yakni: Kepala Desa Watusalam, Kapolsek Buaran, dan Bupati Kabupaten Pekalongan.
[3] Selama ikut terlibat di dalam perjuangan lingkungan, Narso tetap bertanggung jawab untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Ia bekerja sebagai buruh harian obras di daerah Kabupaten Pekalongan Barat. Ia mendapatkan upah harian dari setiap target potongan kain yang diselesaikan.
[4] Maklun merupakan istilah sistem kerja subkontrak yang diberikan oleh perusahaan kepada warga sekitar dengan sistem pembayaran satuan hasil dalam bentuk upah borongan. Praktik subkontrak juga dikenal dengan istilah putting out system yang telah berlangsung sejak era merkantilis.