DKI Jakarta – Puluhan buruh lintas sektor industri dan wilayah yang tergabung dalam Komite Hidup Layak (KHL) menolak pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, Senin 27 November 2023. Formulasi penghitungan upah minimum dalam beleid anyar tersebut, tidak mempertimbangkan pengeluaran riil buruh, di antaranya kebutuhan rumah tangga dan tanggungan buruh. Komite Hidup Layak pun menuntut kenaikan upah berdasarkan hidup layak, menuntut pemerintah menjamin tidak terjadi PHK setelah kenaikan upah minimum, menurunkan harga Sembako dan menurunkan harga BBM.
Jelang penetapan upah minimum 2024, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dengan begitu, PP Nomor 36 tahun 2021 tidak lagi berlaku.
Melalui peraturan pemerintah yang baru, kenaikan UMP atau UMK, tidak lagi hanya mempertimbangkan faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, menambahkan faktor indeks tertentu dalam formulasi penetapan upah. Indeks tertentu digambarkan dalam simbol alfa. Dengan pembatasan dari 0,01 sampai dengan 0,03. Penentuan nilai alfa ditentukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Kota/Kabupaten.
Di tengah kecaman buruh terhadap aturan baru tentang formulasi penetapan upah minimum, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan tentang pengeluaran riil per kapita penduduk Indonesia tahun 2023. Menurut BPS, pengeluaran hidup riil penduduk Indonesia hanyalah sebesar Rp11,89 juta per kapita tahun atau Rp 990.833 per kapita bulan (Katadata.com, 21 November 2023).
Kebalikan dengan temuan BPS, survei pengeluaran rumah tangga buruh yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak, memperlihatkan angka yang lebih besar ketimbang klaim BPS. Rata-rata biaya pengeluaran rumah tangga buruh per kapita per bulan sebesar Rp3.428.186,69, dengan tanggungan hidup sebanyak 2,7 orang per rumah tangga dari 181 responden survei. Besaran nilai pengeluaran per kapita ini lebih besar 245,99 persen dari data BPS.
Komite Hidup Layak telah melakukan survei dan diskusi terfokus bersama 181 responden, pada 18 September 2023 hingga 18 Oktober 2023 di tiga Kota dan delapan Kabupaten di empat provinsi. 1) Provinsi Jawa Barat survei dilakukan di Kota Sukabumi; 2) Provinsi Banten di Kota dan Kabupaten Tangerang; 3) Provinsi Jawa Tengah di Kabupaten Klaten, Grobogan, Boyolali, Sukoharjo serta Kota dan Kabupaten Semarang; 4) Sulawesi Tengah di Kabupaten Morowali dan Buol.
Survei menggunakan metodologi sampel yang ditentukan (purposive sampling). Responden yang dipilih berasal dari pengurus atau anggota dari serikat buruh dan buruh yang tidak berserikat, yang berasal dari sektor manufaktur, gig economy (ojek daring), pertambangan, dan perkebunan.
Komite Hidup Layak mengajukan 89 pertanyaan dengan memeriksa jumlah pengeluaran buruh berdasarkan jenis konsumsi makanan dan nonmakanan dengan 12 pertanyaan untuk jenis pengeluaran konsumsi makanan dan 77 pengeluaran nonmakanan.
Temuan survei menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga buruh untuk jenis pengeluaran konsumsi makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan. Pengeluaran untuk jenis makanan sebesar Rp 2.332.641,44 atau 25,08 persen. Sedangkan, sebesar Rp 6.967.025,21 atau 74,92 persen merupakan pengeluaran jenis nonmakanan.
“Jenis pengeluaran nonmakanan itu bukan berarti buruh konsumtif, suka berfoya-foya apalagi tidak pandai mengatur keuangan. Karena yang dibeli oleh buruh adalah jenis barang yang dapat menunjang pekerjaannya, seperti sepeda motor untuk keperluan bekerja, memperbaiki tempat tinggal agar buruh dapat beristirahat,”
Kokom Komalawati, koordinator Komite Hidup Layak.
“Kalau menjadi driver Ojol memang lebih banyak pengeluaran untuk nonmakanan seperti membeli bensin dan kuota,”
Reni Sondari, pengemudi ojek online di Sukabumi
“Buruh di pertambangan memang lebih banyak mengirim uang ke keluarga mereka di kampung halaman,”
Fatrisia Ain, organisator buruh tambang dan kebun di Sulawesi Tengah.
Tidak hanya itu, sebanyak 35 responden atau 19,3 persen, meskipun dengan status lajang atau belum menikah, ditemukan memiliki tanggungan sosial. Rata-rata tanggungan hidup sebesar tiga orang. Melalui hasil temuan dapat dikatakan, bahwa formulasi penghitungan upah yang tidak mempertimbangkan tanggungan sosial sama saja dengan menyederhanakan realitas sosial kompleks yang hidup di dalam masyarakat.
“Meskipun lajang, tidak berarti pendapatan buruh untuk menanggung hidupnya sendiri. Karena buruh itu memiliki tanggungan baik itu orang tua, saudara atau keponakan,” Kokom Komalawati.
Kokom Komalawati, koordinator Komite Hidup Layak
Terjerat Utang Hingga Memperpanjang Jam Kerja
Survei juga menemukan sebanyak 76,8 persen responden atau 139 orang bertahan hidup dengan cara berutang. Rata-rata rumah tangga buruh memiliki pengeluaran utang sebesar Rp Rp 1.466.316,55 per bulan. Porsi utang dalam pengeluaran rumah tangga sebesar 45,2 persen dari total pendapatan mereka. “Karena pendapatan keluarga buruh sangat kecil, sementara harus tetap bertahan hidup, keluarga buruh terjerat utang baik ke rentenir, bank dan pinjaman online,” tambah Kokom Komalawati.
“Driver Ojol tidak memiliki kepastian pendapatan. Pendapatan kami selalu dipotong oleh aplikasi sebanyak 20 persen, belum ditambah biaya jasa aplikasi. Itu yang membuat driver Ojol terjerat utang,”
Reni Sondari, pengemudi ojol di Sukabumi
Bahkan di Industri Kelapa Sawit, ditemukan 30 persen upahnya untuk membayar utang koperasi perusahaan. “Buruh panen di perkebunan rata-rata memiliki utang untuk pembelian alat kerja karena perusahaan tidak menyediakan alat kerja, seperti egrek,” jelas Fatrisia.
Besarnya porsi utang dalam pengeluaran rumah tangga, menandakan ekonomi rumah tangga buruh rapuh akibat kebijakan upah murah. Karena keberlangsungan hidup rumah tangga harus ditopang dan dilayani dari utang. Layanan pinjaman keuangan berbasis komunitas arisan, perbankan, koperasi, hingga pinjaman daring (Pinjol) menjadi tumpuan hidup sebagian besar responden.
Selain berutang, untuk mempertahankan keberlangsungan rumah tangga, sebagian responden memperpanjang waktu kerja mereka dengan bekerja sampingan dan mengikuti lembur. Sebanyak 35,8 persen responden berasal dari industri manufaktur, pertambangan, dan perkebunan harus bekerja lembur–tidak termasuk jenis pekerjaan Ojek Daring. Sementara, 21,5 persen responden mengaku harus menambah penghasilan dengan bekerja sampingan di sektor informal.
“Dalam jangka panjang, keadaan ini berbahaya bagi kelangsungan generasi keluarga buruh. Kualitas hidup buruh terus menurun demi menopang pertumbuhan ekonomi yang menjadi ambisi pemerintah,”
Kokom Komalawati, koordinator Komite Hidup Layak.
Tidak hanya bersiasat hidup melalui utang dan memperpanjang jam kerja, rumah tangga buruh juga melibatkan anggota rumah tangga untuk bisa mempertahankan keberlangsungan hidup. Sebesar 55,25 persen atau 100 orang responden harus melibatkan anggota rumah tangga bekerja di sektor informal atau formal. Tujuannya menambah sumber pemasukan rumah tangga. Memperpanjang jam kerja dengan kata lain menambah risiko kerja kepada buruh seperti terjadinya kecelakaan kerja, ancaman kekerasan dan pelecehan berbasis gender hingga dampak jam kerja panjang bagi fisik dan mental. Hal ini juga semakin meningkatkan risiko terkena penyakit akibat kerja anggota rumah tangga buruh. Sehingga, berdampak pada pembesaran pengeluaran biaya kesehatan.
“Kalau buruh kebun ada yang disebut ‘buruh tempel’. ‘Buruh tempel’ merupakan jenis buruh yang diajak oleh buruh lain agar mencapai target pekerjaan di perusahaan. ‘Buruh tempel’ bekerja seperti buruh biasa tapi tidak mendapat jaminan apapun dari perusahaan karena upah dan keselamatannya ditanggung oleh buruh yang membawanya,”
Fatrisia Ain, organisator buruh kebun dan tambang di Sulawesi Tengah.
“Driver Ojol itu bisa bekerja hingga 18 jam, kadang bekerja hingga larut malam,”
Triono, driver Ojol dan Ketua Serikat Transportasi Roda Dua (Serdadu) Banten.
“Memburuknya kehidupan buruh di empat sektor ini, yaitu manufaktur, gig economy, pertambangan dan perkebunan merupakan bukti kuat bahwa penyelenggara abai terhadap hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan,”
Tuti Wijaya Kusuma, organisator buruh dari Jawa Tengah.
Tanggung Jawab Negara pada Urusan Publik
Di antara 77 jenis pengeluaran nonmakanan rumah tangga, enam jenis pengeluaran tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia. Keenam jenis komponen pengeluaran tersebut, meliputi: biaya pendidikan, kesehatan, air, listrik, tempat penitipan anak atau lansia, serta bahan bakar minyak (BBM). Keenam jenis pengeluaran ini, setidaknya harus menjadi prioritas pemerintah dalam mengelola urusan hajat hidup publik.
“Pemerintah semestinya menjamin tidak ada kenaikan BBM. Karena pengeluargan Ojol itu lebih banyak untuk membeli BBM,”
Reni Sondari, pengemudi Ojol di Sukabumi.
“Konstitusi menjamin rakyat berhak mendapat jaminan penghidupan yang layak, tapi penyelenggara malah menyerahkan semuanya ke mekanisme pasar dan pemodal,”
Tuti Wijaya Kusuma, organisator buruh dari Jawa Tengah.
Terdapat 97 responden dari 181 orang memiliki tanggungan sekolah. Angka pengeluaran rata-rata perbulan sebesar Rp1.183.023,45. Nilai ini memiliki porsi 36,51 persen dari total rata-rata upah responden survei sebesar Rp 3.240.696,01. Sementara itu, biaya pengeluaran kesehatan per bulan mencapai Rp 380.192,17 atau 11,73 persen dari upah per bulan.
“Komersialisasi pendidikan merupakan salah satu pangkal masalah membengkaknya biaya rumah tangga buruh. Selain pendidikannya bersifat komersil, kualitas pendidikan pun memburuk. Pemerintah semestinya menjamin pendidikan gratis dan berkualitas,” tambah Kokom.
Kokom Komalawati, koordinator Komite Hidup Layak.
Begitu juga dengan pengeluaran pascabayar atau prabayar air dan listrik per bulan. Biaya air per bulan mencapai Rp 107.734,73 atau 3,32 persen dari porsi pendapatan. Sedangkan, untuk biaya listrik perbulan sebesar Rp 115.456,39 atau 3,56 persen dari upah per bulan.
Pengeluaran bahan bakar bakar minyak atau BBM untuk kebutuhan transportasi selama sebulan turut menyumbang porsi pengeluaran terbesar. Nilai pengeluarannya mencapai Rp 394.453 atau 12,2 persen dari porsi pendapatan bulanan.
Hasil survei juga menemukan terdapat 18 responden dari 181 orang memiliki beban pengeluaran biaya pengasuhan anak atau lansia. Rata-Rata biaya pengeluaran sebesar Rp 878.441 per bulan. Keenam porsi pengeluaran di atas membutuhkan keterlibatan penyelenggara negara mengontrol terhadap harga dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal.
Sudah selayaknya hajat hidup publik menjadi agenda prioritas pemerintah Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan rumah tangga buruh. Melimpahkan urusan publik ke dalam pengaturan mekanisme pasar merupakan proses pemiskinan struktural. Hal ini menunjukan bahwa negara kabur dari pemenuhan tanggung jawab konstitusi terhadap warga negaranya.
Oleh karena itu, Komite Hidup Layak mendesak pemerintah Indonesia untuk:
Pertama, segera membuat formulasi kebijakan upah minimum nasional, dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup dan tanggungan rumah tangga buruh.
Kedua, menghentikan praktik relokasi atau ekspansi pabrik ke wilayah agraris dengan tujuan memburu upah murah.
Ketiga, ubah ketentuan hukum perburuhan dari semula menerapkan sistem delapan jam kerja menjadi enam jam kerja, tanpa menambah target kerja serta menjamin tidak melakukan PHK atau putus kontrak. Sebab, kenaikan upah tanpa pengurangan jam kerja hanya akan menambah target kerja produksi di dalam pabrik.
Keempat, pemerintah harus melakukan pengendalian harga pada jenis-jenis pengeluaran nonmakanan, termasuk harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, air, dan Sembako, serta barang-barang urusan publik lainnya.
Kelima, pemerintah indonesia harus memberikan akses jaminan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat indonesia. Selain itu, perlunya memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah.
Keenam, pemerintah indonesia wajib menyediakan fasilitas penitipan anak tingkat daerah dan dunia kerja.
Ketujuh, pemerintah indonesia wajib menyediakan pendidikan murah dan berkualitas.
Kedelapan, pemerintah wajib menyediakan pasar murah di daerah pemukiman buruh sebagai bentuk pengendalian inflasi di tingkat daerah, dengan bekerja sama Kementerian terkait.
Kesembilan, pemerintah membentuk lembaga independen yang mengawasi praktik jahat aplikator yang melakukan praktik suspend dan putus mitra sepihak dan sewenang-wenang kepada driver Ojol.
Kesepuluh, negara harus menjamin pendapatan, kesehatan dan jaminan sosial kepada driver Ojol terutama yang roda dua. Negara harus menjamin perlindungan kerja dan upah driver Ojol sesuai standar perburuhan internasional (ILO).
Penulis
-
Komite Hidup Layak
-