Tionghoa di Indonesia selalu menjadi kambing hitam, rakyat buangan yang lebih rendah dari istilah rakyat jelata, manusia yang bukan manusia, penyerap kemarahan dan keresahan rakyat yang tidur dalam dongeng indah penguasa. Setiap perubahan dan krisis di Indonesia, dari zaman VOC hingga Reformasi, menghasilkan kehausan darah dan kegilaan kolektif rakyat yang selalu berujung pada genosida dan pemerkosaan kami, etnis Tionghoa. Dalam hal ini, posisi pemerintahan Hindia Belanda, kaum progresif revolusioner pemerintahan Soekarno, maupun rezim diktator Soeharto semuanya sama saja dalam bermain wayang tentang keadilan sembari merampas, menindas, dan membunuh kami.
Ketika berbicara rakyat, yang dimaksud adalah orang Indonesia, bukan orang Cina maupun keturunannya. Ketika berbicara tentang perempuan bukan perempuan Cina, atau saat membahas masyarakat adat, bukanlah orang Cina. Selamanya darah daging orang Cina lenyap dari imajinasi Indonesia, kecuali sebagai halusinasi kolektif dimana kami dibayangkan sebagai pengusaha kaya berhidung pesek yang gemar kong kali kong dengan penguasa untuk menindas rakyat sembari membuang ludah sembarang.
Hampir semua orang Cina di Indonesia adalah pekerja biasa dengan kecenderungan pola konsumsi kelas menengah. Artinya, tenaga dan hidup kami juga dihisap oleh kelas pengusaha yang bekerja sama dengan negara dan militer korup. Lantas bagaimana asal-usul munculnya stigma pada kami dan mengapa kebohongan tentang kami begitu kejam? Tentu bukan karena orang Indonesia kekurangan kacamata, karena kacamata di Indonesia pun dirancang untuk hidung yang tidak pesek. Segala kesadaran subjektif yang timbul di dunia muncul sebagai manifestasi kondisi objektif kehidupan nyata. Dengan kalimat lain, kesadaran muncul dari kehidupan, bukan kehidupan dari kesadaran.
Sejarawan Ong Hok Ham menulis bahwa dari sepuluh pengusaha besar di Indonesia, tujuh sampai delapan daripadanya adalah orang Cina. Asal usulnya, banyak orang Cina dan Eropa yang datang ke Indonesia untuk berdagang. Seiring perkembangan arus sejarah, bangsa Eropa menjadi monopoli raksasa, perusahaan multinasional, dan penjajah kolonial, sementara pedagang Cina masuk ke celah menjadi pedagang perantara.
Namun demikian kebanyakan orang Cina di Indonesia karena didatangkan oleh Hindia Belanda sebagai buruh perkebunan dan pertambangan, bukan pengusaha. Berbagai tulisan tentang kedatangan orang Cina sebagai pedagang yang diuntungkan kebijakan kolonial adalah suatu kebohongan bengis yang berumur ratusan tahun. Bahkan setelah tambang habis dan kebun bangkrut, kecenderungan orang Cina berubah profesi menjadi petani, pelacur, tukang kayu, dan lama-kelamaan menjadi masyarakat adat setempat, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat. Bahkan Sebelum era kolonial, juga tidak sedikit orang Cina yang berasimilasi dalam masyarakat adat, yang kerap kali tidak membedakan orang Cina dengan bukan-Cina. Sebenarnya sebelum zaman kolonial, tidak ada yang namanya “orang Cina”, karena yang sekarang kita kenal sebagai negara Cina daratan bukanlah suatu negara kesatuan. Kekuasaan kekaisaran pada masa itu pun tidak mencakup seluruh Cina daratan.
Masyarakat adat yang terorganisasi secara demokratis dan horizontal juga, pada umumnya, tidak mendiskriminasi sesama manusia. Justru relik Cina yang didapat dari sebelum era kolonial menjadi benda sakral dalam masyarakat adat Dayak. Munculnya istilah “orang Cina” sebagai suatu kumpulan “orang Cina” yang riil, adanya konsep “orang Cina” dan bahasa untuk membedakan “Cina”, semuanya adalah produk sejarah kolonialisme di Indonesia.
Orang Cina pada zaman VOC, baik sebagai buruh migran yang miskin maupun pedagang perantara, justru menghadapi diskriminasi dari pemerintahan Hindia Belanda dengan ancaman deportasi dan pemerasan uang. Pada 1740, orang Cina sebagai kaum pekerja yang diperas oleh perusahaan gula, ratusan pekerja Cina menghancurkan pabrik gula dan membunuh limapuluh tentara Belanda. Setelah ditekan oleh ribuan tentara, api perlawanan orang Cina menyala lebih terang dan membara, setidaknya hampir sepuluh ribu pekerja Cina terlibat dalam perlawanan tersebut. Sayangnya pemberontakan ini dibalas oleh tentara Hindia Belanda dengan pembakaran rumah dan pembunuhan massal perempuan, anak kecil, dan orang tua kami oleh tenaga ganda orang Bali dan Bugis yang termakan propaganda tentara Hindia Belanda. Maka tidak tepat untuk menyatakan bahwa kami adalah lintah yang menjilat sepatu kolonial dan ikut menghisap darah nusantara bersama Hindia Belanda.
Sejarah membuktikan sebaliknya. Setelah pemberontakan yang dikenal dengan Geger Pecinan tersebut, orang Cina dibatasi untuk tinggal dalam daerah yang ditentukan pemerintahan. Kami digiring ke dalam peternakan manusia yang tidak boleh kami tinggalkan. Terbukti kembali bahwa tidak ada kebijakan pemerintah kolonial yang mendukung orang Cina secara umum, justru sebaliknya terjadi penindasan tenaga kerja dan pembunuhan massal untuk menekan perlawanan kami. Lebih kurang sepuluh ribu orang Cina terbunuh dengan keji dalam peristiwa ini. Maka secara turun temurun tersampaikan dalam komunitas kami, bahwa arti dari nama sungai Angke dalam dialek Hokkian adalah merah. Merah! Merah mengalirnya darah segar kami, merah garangnya hasil kerjasama rakyat dengan pemerintah kolonial, merahnya darah kami yang menjadi tinta tertulisnya dan terbentuknya sejarah nusantara. Merah dalam bendera merah putih juga tidak jauh berbeda. Sebagaimana Partai Nasional Indonesia yang dibentuk oleh Soekarno pada tahun 1927 hanya memperbolehkan orang Cina mendaftar sebagai peninjau, tidak sebagai anggota.
Revolusi Indonesia sendiri melibatkan perampasan dana dari orang Cina dan pemerkosaan perempuan Cina. Seiring terjadinya revolusi Indonesia dan terusirnya penjajah kolonial dari tanah air nusantara, terbentuklah kekosongan kekuasaan dalam segi politik kenegaraan dan ekonomi perdagangan. Orang Indonesia mengisi politik kenegaraan sementara orang Cina yang memiliki pengalaman berdagang dan tidak diterima dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia hanya berperan dalam ekonomi perdagangan.
Alasan lain dari transisi ini adalah kebudayaan dan karakter orang Cina yang ditarik paksa ke Hindia Belanda. Sejarawan Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa banyak orang Cina dari daerah pesisir diubah kekuasaan kolonial menjadi buruh migran di Indonesia, membanting tulang dalam kemiskinan dan terpisahkan dari anak istri mereka. Daerah pesisir, pada umumnya, jauh dari pusat kekuasaan kekaisaran Cina, sehingga orang Cina pesisir hidup secara lebih demokratis, setara, dan gotong royong. Mereka cenderung memiliki semangat independen, kreatif, tidak taat pada atasan, dan gemar bekerja. Watak kebudayaan ini memang cocok menjadi pedagang kecil.
Pada 1959, pemerintahan Soekarno menerbitkan Peraturan Presiden N0.10 (PP10), yang melarang orang Cina berdagang dan tinggal di daerah tertentu. Pramoedya memperkirakan bahwa lebih kurang 500,000 orang Cina terdampak oleh kebijakan tersebut. Mayoritas pedagang yang terdampak bukanlah kaum pengusaha besar yang menindas rakyat, namun pedagang kecil eceran yang mengisi kurang lebih 80% dari porsi pedagang Cina. Banyak dari kami lari ke Cina daratan untuk kabur dari rezim otoriter dan rasis ini. Buku Pramoedya yang berjudul Hoakiau di Indonesia mendokumentasikan skandal PP10 dan betapa banyaknya pejabat revolusioner Indonesia yang terbukti hanya mengulang propaganda rasis Hindia Belanda selayaknya burung kakaktua. Kepentingan yang menjadi landasannya: mengusir pengusaha Cina agar pengusaha bukan Cina bisa melahap pasar dan menyalurkan kegelisahaan dan kemarahan rakyat pada orang Cina.
Revolusi Indonesia bukanlah revolusi yang memanusiakan manusia. Justru ia dipimpin oleh manusia yang terbakar kepentingan dan hasrat berkuasa, menggila dalam mimpi setengah sadar, untuk menjadi penindas jenis baru, rasisme jenis baru, dan penjajahan jenis baru. Semua hal menjijikan ini dilaksanakan atas nama kemerdekaan tanah terjajah di sekeliling dunia. Bahkan, Pramoedya ditahan oleh militer Indonesia dan dipenjara selama sembilan bulan karena tulisannya yang membela martabat, kemanusiaan, dan kontribusi orang-orang Cina di Indonesia. Hal ini adalah kontradiksi primer dalam nurani, identitas, dan karakter orang Indonesia, dari Soekarno hingga dinasti Jokowi sekaligus: perceraian antara ideologi Indonesia yang tebal dengan perbedaan, tradisi, dan kemerdekaan, dengan kenyataan Indonesia yang selalu membasmi minoritas, membunuh tradisi masyarakat adat, dan menjajah rakyat Indonesia. Tong kosong nyaring bunyinya.
Menulis tentang sejarah Cina sebenarnya membosankan karena banyak peristiwa berulang dan monoton: kolonialisme dalam segala variasi bentuknya. Jatuhnya rezim Soekarno dengan revolusi yang diluncurkan fasisme Soeharto disertai kekerasan pada orang Cina yang komunis maupun bukan komunis. Jatuhnya rezim fasis Soeharto disertai pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran toko secara massal pada orang-orang Cina. Dan lain sebagainya.
Sebagai catatan, dua hal yang perlu diingat sebagai landasan diskusi ke depan tentang arus sejarah dan awan mendung pertanda krisis Cina di Indonesia. Pertama, “orang Cina” sebagai suatu golongan dalam masyarakat tidak dilahirkan oleh proses biologis ataupun jatuh tanpa sebab dari langit, namun terbentuk oleh proses penjajahan, sejarah, ekonomi, agrikultur, politik, seksualitas, dan budaya sekaligus, yang tidak sepenuhnya tersampaikan dalam tulisan pendek ini. Kedua, rasisme yang ditujukan pada “orang Cina”, dalam kata lain fasisme di Indonesia, menusuk tuduhan pada dua fenomena Cina, yakni maraknya datang pekerja migran Cina dan kuatnya tenaga ekonomi segelintir orang Cina. Tentu, dua hal ini tidak menjadi dasar ilmiah untuk membenci orang Cina secara umum, bahkan belum pernah dan tidak akan pernah ada dasar ilmiah untuk membenci golongan apapun secara umum. Namun sepanjang sejarah dua hal ini ‘digoreng’ oleh penjajah demi mengalihkan frustasi, kemarahan, dan kegelisahan rakyat tentang situasi krisis kepada orang Cina. Ras berfungsi untuk mempertahankan kapitalisme rasial. Hasilnya luar biasa: penjajah selalu selamat dan Cina selalu kiamat.
Narasi yang sama juga masih kita saksikan hari ini. Jusuf Kalla, mantan wakil presiden RI, berkomentar bahwa kekuatan ekonomi Cina merupakan “tantangan terbesar umat Islam di Indonesia saat ini, karena perekonomian Indonesia dikuasai oleh orang Cina, sementara di Pakistan, yang kaya orang Pakistan”. Komentar Kalla tersebut ketika menyinggung industri nikel dan bauksit di Indonesia yang didominasi oleh modal Cina. Terlihat bahwa retorika politik masih saja menciptakan perbatasan antara umat Islam dan orang Cina. Padahal banyak dari kita yang gotong royong, bertetangga, berteman, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Untuk diketaui kebudayaan Islam di Indonesia terpengaruh oleh orang Cina. Begitupun kebudayaan Cina di Indonesia terpengaruh oleh orang Islam. Bahkan jumlah orang Cina yang beragama Islam di Indonesia sama banyaknya dengan orang Cina yang beragama Konghucu. Fakta itu terkubur ketika memperbandingkan dengan Pakistan. Seolah di Indonesia, yang kaya bukan orang Indonesia, namun orang Cina. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kami bukan orang Indonesia, kami yang turun-temurun berkeluarga di Indonesia, turun-temurun mendukung revolusi Indonesia, dan turun-temurun bersahabat dengan segala umat manusia walaupun setiap dua tiga dekade kami dibantai oleh tetangga kami sendiri?
Menyamakan pengusaha kaya Cina dengan orang Cina secara umum tidaklah fair. Keluarga besar kami tumbuh dalam kesulitan ekonomi, ibu saya menggadaikan perhiasannya demi dapat menyekolahkan anak-anaknya, ayahku membanting tulang dari pagi hingga pukul sembilan malam setiap harinya, walaupun rambutnya sudah memutih dan tubuhnya memendam penyakit. Bahkan untuk tempat tinggal saja, kami menumpang di rumah orang lain sampai tahun lalu. Salah satu alasannya adalah kehidupan kami dikelilingi oleh pekerja miskin lainnya. Kami selalu membantu saat pasien datang ke klinik dengan membawa hidangan ayam tanpa uang dan membantu tetangga kami duduk di pos satpam dengan kaki yang mulai membusuk. Kami paham bahwa harga kemanusiaan lebih tinggi dari giok dan emas. Mayoritas orang Cina hidup dalam kondisi perjuangan yang kurang lebih seperti keluarga saya.
Memang banyak dari kami tergolong kelas menengah. Namun kelas menengah tidak lain dari kelas pekerja yang pola konsumsinya khas kelas menengah. Pastinya, kami bukan pemilik tambang nikel dan bauksit. Justru perempuan Cina di daerah tambang timah Bangka Belitung banyak yang melahirkan daging berbentuk anggur (keguguran) karena polusi logam berat. Dan perempuan kami yang tersiksa inilah yang selamanya ‘diperkosa’ untuk melampiaskan amarah rakyat. Sementara itu, pengusaha dan politisi raksasa seperti Jusuf Kalla, salah satu pengusaha Bugis terbesar di era reformasi dan raja kumpulan perusahaan di Sulawesi, yang kekayaannya ribuan kali lipat kekayaan orang Cina pada umumnya, justru tidak tersentuh oleh amarah rakyat. Maka untuk kepentingan pengusaha bukan Cina dan juga kepentingan pribadi, kegilaan hasrat penindasan pada orang Cina dibakar oleh segala macam pihak.
Nikel dan bauksit, kata Jusuf Kalla! Perkembangan modal selamanya membentuk orang Cina sebagai kambing hitam untuk kepentingan pengusaha. Jika diperhatikan dengan cermat, hilirisasi nikel awalnya bekerja sama dengan perusahaan PT Aneka Tambang dan PT Vale Indonesia Tbk., yang dulu bernama Inco. Kegiatan PT Aneka Tambang yang mengambil tanah masyarakat adat, memeras buruh, merusak sungai, dan melenyapkan hutan tidak ‘digoreng’ menjadi amarah rakyat. Kegiatan PT Vale Indonesia Tbk., perusahaan pertambangan raksasa Kanada yang diakuisisi Vale dari Brazil, tidak memicu amarah pada orang Kanada dan Amerika Latin. Namun, saat pembangunan smelter bergerak ke arah modal Cina, yang memang menyediakan industrialisasi dengan harga relatif lebih murah daripada pesaingnya, semua ini mulai ‘dibakar’ dan ‘digoreng’.
Alasan lainnya adalah kepentingan modal raksasa, baik yang asalnya nasional maupun multinasional. Terjadi konflik kepentingan antara modal raksasa dari berbagai kubu. Modal raksasa nasional dan multinasional mulai bergesert ingin mempertahankan kekuasaannya dari cakar kepentingan modal raksasa Cina. Alat perang yang digunakan dengan mudah dan murah adalah dengan memanipulasi orang Islam untuk membenci orang Cina dan menuding orang Cina sebagai akar permasalahan kemiskinan di Indonesia. Modal raksasa, terlepas dari ia Cina, nasional, maupun multinasional, selamanya adalah raksasa penindas, karena modal tambang selamanya menghancurkan hutan, sungai, gunung, udara, tanah, dan masyarakat adat. Juga modal secara umum selamanya akan memeras keringat buruh dan menghancurkan kapasitas reproduksi perempuan. Dengan demikian konflik kepentingan ini tidak lain dan tidak bukan adalah peperangan kelas sesama raksasa penindas.
Sudah banyak fakta bahwa kekuatan modal pertambangan hanya akan merusak sungai, gunung dan hutan. Kini kekuatan modal yang sedang berlangsung dari nikel dan bauksit berpotensi mengkambing-hitamkan kembali orang Cina sebagai tumbal dari propaganda penguasa dan pengusaha. Padahal orang Cina secara umum tidak terlibat dengan perusakan alam dan penindasan buruh yang dilakukan oleh perusahaan raksasa yang berasal dari Cina. Dalam kata lain, semua ini adalah masalah modal yang tersulap dan disulap agar berubah menjadi masalah rasial.
Kekuatan kapital mengubah segala hal di muka bumi! Yang nyata diubah menjadi ilusi dan yang ilusi diubah menjadi nyata. Rakyat ‘dininabobokkan’ melalui dongeng-dongeng kemajuan sembari tunduk di hadapan kekuatan penjajahan, penjajahan yang bukan hanya mengisi segala penjuru lautan dengan plastik dan memanaskan udara menjadi racun, namun lebih dari itu: membentuk jiwa manusia beserta segala kesadaran, pemikiran, dan mimpi yang ia miliki. Tenaga yang begitu dinamik dan dahsyat ini, yang telah membentuk sejarah peradaban manusia di segala penjuru bumi dalam empat ratusan tahun terakhir, yang intensitas dan jangkauannya melebihi dongeng Raja Monyet dan satria wayang. Artinya, melebihi segala capaian imajinasi leluhur kita, sekarang menjadikan orang Cina menjadi tumbal demi kepentingannya. Ingatkah pembaca, bahwa PP10 pada zaman Soekarno diterbitkan demi kepentingan pengusaha nasional? Dinamika modal telah membentuk orang Cina sebagai tumbal selama ratusan tahun. Resepnya sama saja, hanya disesuaikan dengan kondisi modern saat ini.
Lebih tragis lagi adalah kebencian terhadap pekerja migran Cina, yang diciptakan dan menciptakan sentimen anti-Cina dalam lingkaran setan. Masyarakat daerah Lebak, misalnya, mengecam pekerja migran Cina yang dituding tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, membawa penyakit, dan buang air besar sembarangan. Mari kita berikan asumsi murah hati bahwa semua tudingan ini bersifat nyata dan akurat. Perhatikan. Yang dikecam bukanlah sistem pendidikan yang tidak membangun tingkat literasi, bukanlah kondisi kerja perusahaan yang menciptakan pekerja sakit-sakitan, dan bukanlah pihak perusahaan yang tidak menyediakan infrastruktur toilet untuk buang air besar. Namun, yang dikecam adalah buruh Cina yang dianggap menjijikan dan hanya membawa masalah. Yang dikecam adalah yang lemah, sesama buruh, bukan pengusaha atau negara. Yang dikecam adalah sesama kaum tertindas, bukan para penjajah. Sebaliknya, pekerja migran Cina dimanfaatkan perusahaan untuk menjadi prajurit penjajahan.
Hal yang sama juga terjadi di Morowali Utara, pekerja migran Cina yang tidak memahami bahasa, tuntutan mogok kerja dimanipulasi hingga diperintah oleh manajemen perusahaan nikel PT GNI untuk melawan pekerja bukan Cina yang sedang mogok kerja. Manajemen bahkan memberikan pipa besi dan helm pada pekerja Cina untuk menyerang pekerja bukan Cina. Masyarakat lokal yang sebelumnya sudah penuh dengan sentimen anti-Cina berkat digorengnya politik identitas anti-Cina selama pemilu 2019, semakin pekat kebenciannya pada orang Cina. Terjadi perang kelas horizontal antar buruh yang diakhiri dengan kematian pada kedua belah pihak. Mirisnya, pekerja migran Cina mengalami tingkat bunuh diri yang tinggi karena kondisi kerja yang luar biasa buruk, dengan tingkat kecelakaan yang tinggi, pemerkosaan, penyitaan paspor, tidak dibayarnya gaji, pemotongan gaji tanpa alasan, dan jam kerja yang panjang. Semua ini berfungsi untuk menekan biaya produksi nikel di Indonesia agar lebih murah harganya daripada nikel dari Cina daratan. Lagi-lagi, orang Cina jadi korban konflik kepentingan modal.
Politik identitas anti-Cina bukan hanya digunakan untuk kepentingan modal, namun juga kepentingan politik representatif. Demonstrasi raksasa dengan sentimen anti-Cina pada pemilihan gubernur 2017 melawan Ahok digunakan oleh hampir semua pihak untuk menguatkan posisi politiknya. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum dan diikuti dengan rinci oleh komunitas orang Cina. Contohnya, Said Iqbal yang sekarang menjadi presiden Partai Buruh dan Konferensi Serikat Pekerja Indonesia, berpartisipasi dalam aksi 212 dan membakar api momentum aksi dengan mengadakan mogok kerja nasional. Politisi oportunis seperti Iqbal dan organisasi semacam Partai Buruh didukung oleh golongan tertentu dalam kelompok progresif Indonesia adalah simptom penyakit fasis dalam jiwa pergerakan di Indonesia sesuai dengan kecenderungan otoritarianisme dalam sejarah perlawanan di Indonesia.
Skala organisasi 212 bersama dengan jaringan koperasinya yang mewabah di sekitar Indonesia sangat mengkhawatirkan. Gerakan 212 mulai menjadi kumpulan organisasi massa yang memiliki basis riil ekonomi, sejarah mobilisasi, koneksi dengan serikat buruh, simpati politisi, kerjasama dengan tokoh agama mayoritas, penetrasi propaganda yang efektif dalam masyarakat, dan memiliki potensi kekerasan. Teriakan untuk membunuh dan membasmi orang Cina tidak terbatas pada aksi 212 saja. Semboyan anti-Cina telah melaksanakan penetrasi ke dalam politik organisasi serikat buruh secara umum. Beberapa basis serikat buruh di Tangerang dan Jawa Barat keluar dari federasinya dengan alasan tidak menyetujui adanya kepemimpinan beragama Kristen karena identitas agama Kristen erat dengan orang Cina.
Dari tahun ke tahun, demonstrasi pada Hari Buruh Internasional penuh dengan sentimen pengusiran orang Cina, sebagaimana spanduk yang bertulis “Tolak Aseng” dan “Usir Tenaga Kerja Cina”. Bahkan serikat buruh progresif dan independen KASBI memiliki hobi menggunakan kata cukong dan memanfaatkan politik anti-Cina. Terkutip dari media KASBI: “Dimana mana moncong senjata, berdiri gagah… kongkalingkong dengan kaum cukong !!!” Kolaborasi militer dengan pengusaha disampaikan bukan pada kaum pengusaha secara umum, namun dengan kecaman pada kaum cukong, yang memiliki konotasi dan sejarah rasial.
Sejak sebelum turunnya rezim Orde Baru, Ong Hok Ham dengan tajam mencatat bahwa penekanan ketimpangan kaya-miskin dalam masyarakat sebagai fenomena rasial Cina akan menjadi bibit holocaust di Indonesia. Ia memprediksi bahwa transisi dari Orde Baru ke pemerintahan lain akan penuh dengan kekerasan rasial. Terbukti bahwa transisi ke era Reformasi dipenuhi pertumpahan darah dan pemerkosaan orang Cina. Jadi, apakah kaum progresif di Indonesia bertujuan membangun dunia tanpa penindasan manusia atas manusia, dunia tanpa kelaparan dan pemerkosaan, dunia dimana manusia hidup dengan harmonis dengan hutan dan cuaca? Atau memang memiliki keinginan mengulangi lingkaran setan fasisme di Indonesia dengan hasrat memicu pembunuhan dan pemerkosaan massal kami lagi?
Belum lagi menimbang perlakuan tidak manusiawi gerakan progresif pada perempuan dan varian seksual secara umum. Saya menulis sebagai pekerja Cina yang bersimpati dan bekerja sama dengan gerakan progresif di Indonesia. Dengan perasaan campur aduk dan bimbang, sampai sekarang saya masih belum bisa meninjau apabila gerakan progresif cenderung ingin membangun dunia dimana kami bisa hidup sejahtera, atau sebatas kumpulan manusia otoriter haus kekuasaan yang menjadi bibit dari rezim otoriter yang baru. Sama sekali tidak mengherankan bahwa partisipasi orang Cina dalam gerakan progresif sangat terbatas.
Meningkatnya jumlah pekerja migran Cina dan pembangunan smelter nikel oleh modal Cina tidak dapat dipisahkan dari partisipasi Indonesia dalam Belt and Road Initiative (BRI). Evaluasi rinci dan menyeluruh pada BRI adalah salah satu kunci memahami arus sejarah detak jantung di daerah Asia dan Afrika, bahkan dunia secara umum. BRI menjadi sumber kekhawatiran besar dan tanda semakin kuatnya Cina bagi kumpulan negara penjajah lama, antara lain Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Maka tidak mengherankan bahwa investasi Cina di negara pelabuhan penting seperti Yunani diblokir oleh Jerman sementara Amerika Serikat melobi Italia untuk tidak berpartisipasi dalam BRI. Eropa menyaingi BRI dengan ‘Inisiatif Tiga Lautan’ sementara Amerika Serikat meluncurkan inisiatif ‘Jaringan Titik Biru’ dan struktur kerjasama baru dengan Jepang, Australia, dan India dalam Dialog Keamanan Kuadrilateral, yang memiliki tujuan melawan Cina dalam segi politik ekonomi, keamanan maritim, infrastruktur digital, dan banyak hal lainnya. Memang dalam hal ini, India bukan negara penjajah lama, namun India memiliki kepentingan melawan negara Cina karena konflik perbatasan wilayah dan kerjasama Cina-Pakistan dalam BRI.
Propaganda bahwa investasi Cina menyebabkan jebakan hutang bagi negara resipien dapat ditelusuri sejarahnya ke institusi India dan Amerika Serikat, khususnya think- tank New Delhi dan universitas Harvard. Hasil propaganda yang amat berhasil. Contohnya, artikel terbitan Kompas.id menganalisa kasus Pelabuhan Internasional Hambantota di Sri Lanka, yang dibangun berdasarkan inisiatif pemerintahan otoriter setempat dan investasi Cina, sebagai berikut: “Seiring berjalannya waktu, terjadi permasalahan internal di Sri Lanka, seperti korupsi dan tekanan politik dari Partai Komunis China. Hal ini mengakibatkan Sri Lanka terpaksa merelakan 99 tahun konsesi pengelolaan pelabuhan serta kepemilikan saham dominan sebesar 70 persen jatuh ke tangan China karena Sri Lanka gagal membayar utang.” Padahal, krisis hutang Sri Lanka tidak disebabkan oleh tekanan Partai Komunis Cina. Justru krisis ekonomi Sri Lanka kebanyakan disebabkan oleh pemerintahan otoriter setempat yang tidak pandai mengatur ekonomi, pasar dunia yang didominasi kepentingan Barat, dan institusi ekonomi dunia seperti IMF yang juga didominasi kepentingan Barat. Hutang pada negara Cina hanya mencakup 9% dari hutang Sri Lanka pada tahun 2016. Jumlah hutang pembangunan pelabuhan ini pun tidak dibayar dengan konsesi pengelolaan pelabuhan pada perusahaan Cina.
Sebaliknya, uang yang didapatkan dari konsesi digunakan untuk membayar hutang pada negara Barat. Artikel lebih lanjut mengutip pendapat bahwa “negara Barat dalam memberi pinjaman cenderung melibatkan isu hak asasi manusia, lingkungan, dan good governance.” Padahal, jelas bahwa investasi modal dan politik hutang Barat memiliki sejarah pembantaian massal, perusakan lingkungan, dan kongkali kong dengan penguasa nasional maupun setempat, terutama sejak pemerintahan Soeharto. Maka, analisis yang dimuat salah secara faktual, rasis secara ideologi, dan tidak lain dari propaganda yang memihak kepentingan negara penjajah lama, terutama Amerika Serikat. Kepentingan negara penjajah lama marak di Indonesia dan sentimen anti-Cina seringkali menjadi samaran bunglon kepentingan kolonial ini. Perhatikan. Sentimen anti-Cina sekali lagi diproduksi oleh konflik kepentingan antara berbagai negara raksasa, dalam konteks ini pertempuran kepentingan ekonomi negara ekonomi maju. Sentimen anti-Cina sekali lagi dijadikan alat propaganda dan senjata perjuangan yang membakar hasrat dan memperbodoh rakyat demi kepentingan mereka.
Propaganda anti-Cina dalam konteks negara Cina dan anti-Cina dalam konteks komunitas Cina-Indonesia tidak dapat dipisahkan. Ingat bahwa orang Cina-Indonesia tidak dianggap sebagai orang Indonesia, namun orang Cina. Pandangan ini bukan hanya pandangan ideologis Jusuf Kalla dan berbagai tokoh politik lainnya. Dalam survei LSI pada tahun 2022, 41% warga negara Indonesia masih menganggap bahwa kesetiaan orang Cina-Indonesia terletak pada negara Cina. Maka pandangan rakyat pada negara Cina akan erat dengan dan mempengaruhi pandangan rakyat pada orang Cina. Perihal ras dan negara tidak dapat dipisahkan. Sejauh ini propaganda perangkap hutang Cina juga sangat efektif. 60,3% dari responden survei menilai bahwa proyek BRI menciptakan perangkap hutang untuk Indonesia. Hal ini akan menerjemahkan dirinya menjadi sentimen ketidaksukaan pada orang Cina di Indonesia. Patut diperhatikan bahwa tujuan artikel ini bukanlah memberikan peninjauan positif atas BRI di Indonesia beserta segala dampaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi modal Cina di Indonesia penuh dengan masalah buruh, perempuan, lingkungan, masyarakat adat, dan disabilitas. Yang dipermasalahkan adalah fungsi bentuk dan isi fokus pada elemen “Cina” dalam peninjauan dinamika modal asal Cina. Hal ini berfungsi untuk menggoreng dan membentuk sentimen anti-Cina demi kepentingan penindas lainnya dan sistem penjajahan secara umum, bukan kepentingan rakyat.
Segala teori mengandung unsur praktis dan segala kritik mengandung unsur konstruktif. Lantas tinjauan teoritis-kritis selamanya tidak lengkap tanpa tinjauan praktis-konstruktif. Tugas seorang intelektual, terutama intelektual daerah jajahan adalah mempelajari dan mengungkapkan arus sejarah yang membentuk dunia dan kita semua agar arus sejarah itu sendiri bisa dibendung dan dibentuk dengan tujuan terbangunnya dunia tanpa penindasan. Lantas, bagaimana cara membendung dan mengubah sentimen anti-Cina demi perjuangan terbangunnya peradaban yang adil dan sejahtera?
Pergerakan progresif yang beroperasi di daerah dimana ada banyak pekerja migran Cina seharusnya menggerakan sumber daya untuk pembelajaran bahasa Cina dan bekerja sama dengan pekerja migran Cina untuk mengorganisasi mereka. Kasus konflik pekerja migran Cina dengan pekerja lokal di Sulawesi terjadi antara lain karena pekerja migran Cina awalnya tidak bisa memahami tuntutan pekerja lokal yang diungkapkan dalam bahasa lokal. Ada kepentingan ekonomi untuk berorganisasi bersama pekerja migran Cina untuk negosiasi kolektif agar tidak terjadi depresi gaji bagi pekerja lokal, yang pada umumnya terjadi karena masuknya tenaga kerja murah, dan untuk menjamin kesejahteraan pekerja migran Cina sendiri, sebagai bentuk solidaritas dan gotong royong antar sesama pekerja. Modal memiliki kecenderungan semakin menjadi jejaring internasional, dengan pembagian divisi produksi pada skala internasional, situs produksi yang tersebar pada skala internasional, monopoli pasar industri pada skala internasional, dan kelas pekerja yang terlempar dari satu negara ke negara lain pada skala internasional. Berdasarkan dasar kondisi objektif ini, usaha pergerakan melawan penjajahan dan pembangunan tatanan dunia baru harus berjiwa internasional dan terjadi pada skala internasional. Bukankah dalam novel Pramoedya sudah melukiskan sosok pejuang Indonesia sebagai anak semua bangsa yang belajar tentang organisasi modern bersama orang Cina?
Orang Cina di Indonesia juga perlu mengorganisasi dirinya dan meleburkan diri dalam tatanan hidup rakyat sebagai elemen yang membangun kerjasama demi kepentingan bersama. Paham anti-Cina diperparah dengan kurang adanya titik referensi dalam pergaulan rakyat. Kami cenderung berteman dekat dan berkeluarga dengan sesama orang Cina, bahkan tinggal di perumahan yang dipenuhi sesama orang Cina. Dari sudut pandang orang bukan Cina, fenomena ini dipahami sebagai tanda kesombongan golongan eksklusif. Sebenarnya, akar timbulnya fenomena ini adalah sentimen anti-Cina itu sendiri dan kami laksanakan demi mengejar keamanan komunitas. Maka terbangunlah lingkaran setan. Orang Cina menjauhi orang bukan Cina karena sentimen anti-Cina dan sentimen anti-Cina diperparah karena orang Cina menjauhi orang bukan Cina.
Mari kita semua belajar dari sejarah. Contohnya di Bangka Belitung masa kolonial, orang Cina sangat aktif menginisiasi perlawanan pada tambang timah dan pemerintahan kolonial Belanda melalui perkumpulan rahasia dan serikat buruh. Bersama dengan orang Melayu setempat dan etnis lainnya, orang Cina melawan penjajahan dengan militan dan efektif. Berbagai cara ditempuh, antara lain aksi mogok kerja, boikot produk Jepang, pembakaran rumah pengusaha, pembunuhan pejabat lokal, propaganda di media, dan penyebaran pamflet. Analisa mereka bernyanyi: “Belanda telah menghisap darah kuli Cina”! Harapan mereka meraung: “Bersatulah buruh di seluruh dunia untuk menegakkan haknya”! Internasionalisme lokal di Bangka Belitung terbentuk secara independen dari pergerakan politik revolusioner Indonesia yang terpusatkan di Jawa dengan penyakit dominasi feodal Jawa atas daerah lain dalam Hindia Belanda.
Fenomena menarik semacam ini sebenarnya muncul di seluruh nusantara sebelum zaman Soeharto. Reklamasi penulisan sejarah sebelum dan selama G30S yang bangkit selama zaman Reformasi telah mendorong perbaikan pemahaman sejarah yang penuh kebohongan anti-komunis. Tahap selanjutnya dalam proses sejarah ini – yang tidak lain adalah upaya rakyat untuk menjawab pertanyaan: siapakah kami dan apa yang kami inginkan? – adalah reklamasi penulisan sejarah tersebut yang mewakilkan kontribusi, peran, dan perlakuan orang Cina, masyarakat adat, perempuan, dan varian seksualitas lainnya dalam revolusi Indonesia. Dalam hal ini, sekali lagi Pramoedya melampaui arus sejarah yang membentuknya lebih dari setengah abad yang lalu: “kenalilah minoritas-minoritas Indonesia untuk mendapat gambaran yang jelas tentang tanah air dan rakyat Indonesia”.
Politik yang inklusif bukanlah paham asing dari Amerika Serikat dan dunia kolonial, dalam bentuk jargon “interseksionalitas” yang kini populer dalam kalangan akademisi, aktivis, dan progresif muda di kota besar, bahasa kolonialisme baru yang menghapus sejarah atas nama keadilan. Justru politik revolusioner yang inklusif adalah intisari membara dari identitas Indonesia, suatu mimpi dan harapan yang gagal dibentuk jadi kenyataan oleh revolusi Indonesia, revolusi yang mengkhianati tumpah darahnya sendiri dan akhirnya dijatuhkan oleh rezim fasis. Revolusi Indonesia menghasilkan baik api yang indah maupun abu yang kelam. Yang selamat dan diteruskan hanya abunya. Indonesia sekarang adalah mayat hidup hasil revolusi Indonesia yang malah menjadi penjajahan jenis baru. Mari kita lanjutkan api perjuangan untuk membangun dunia dimana semua makhluk berbahagia, demi melanjutkan sisi baik tradisi, demi terlaksankannya api revolusi Indonesia, dan demi kesejahteraan kita semua.[]
Daftar Pustaka
Ananta Toer, Pramoedya, 1998, “Hoakiau di Indonesia” Garba Budaya, Jakarta.
Ong hok ham, 2005, “Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa” Komunitas Bambu, Jakarta.
Pemerintah Indonesia kembali melangkah mundur dalam upaya melawan krisis iklim. Di tengah berbagai janji untuk menurunkan emisi dan menjaga kelestarian lingkungan, rencana perluasan lahan sawit yang diajukan justru bertolak belakang dengan komitmen tersebut. Kebijakan ini bukan hanya mempercepat kerusakan ekosistem hutan tropis, tetapi juga mengabaikan dampak sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Dalam beberapa dekade […]
“Sebagai serikat pekerja di Indonesia yang setia kepada nilai-nilai Pancasila, kita harus mencegah agar paham komunisme tidak masuk dalam serikat pekerja. Itu sangat berbahaya!” Hantu komunisme terus bergentayangan di kancah perpolitikan –baik elit maupun akar rumput– di Indonesia. Hampir 37 tahun setelah Perang Dingin berakhir dan lebih setengah abad setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan […]
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]