Tanah dirampas, bekerja dengan rentan dari generasi ke generasi
Sekira tigapuluh tahun lalu, Nurlela terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya, lantaran ekonomi keluarga yang pas-pasan. Saat itu ia baru menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Tolitoli dan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Buol pada 1994.
Tipikal kehidupan di banyak kampung saat itu, perempuan yang sudah tidak sekolah atau bekerja, pilihan lainnya adalah menikah atau dinikahkan jika umurnya sudah cukup. Hal itu dirasakan oleh Nurlela saat usianya yang sudah menginjak 19 tahun. “[t]ernyata tidak mudah menikah muda, namun apa boleh buat jalani saja” kenang Nurlela saat mengingat-ingat ketika awal ia membangun rumah tangga.
Masa sulit yang ia rasakan waktu itu adalah kebutuhan ekonomi keluarga. Beruntung setelah satu tahun menikah, ia dan suaminya ikut dalam program transmigrasi lokal yang canangkan oleh pemerintah. Setidaknya dengan ikut program transmigrasi ia dan suaminya punya modal awal untuk bertani. Dengan program itu, ia kemudian mendapatkan sebuah rumah serta lahan untuk digarap bersama suaminya.
Pembagian lahan garapan yang didapatkan masyarakat saat itu beragam. Ada yang mendapatkan lahan garapan di gunung atau bukit, ada pula yang mendapatkan berupa rawa. Namun untuk tempat tinggal, mereka dilokalisir pada tempat yang sama. Hanya lahan rumah transmigran saja yang memiliki akses jalan, sementara untuk lahan garapan, rata-rata jauh dari tempat tinggal transmigran dan belum ada akses jalan.
Lahan garapan Nurlela sendiri sejauh dua kilometer dari tempat tinggalnya. Ia dan suaminya harus berjalan kaki melewati semak belukar untuk dapat menjangkau lahannya. Sehingga yang pertama ia dan suaminya lakukan adalah dengan membuka akses jalan seadanya agar memudahkan mereka ke lahan setiap hari.
Karena kebagian lahan rawa, Nurlela dan suaminya menjadikan lahan tersebut sebagai sawah agar bisa ditanami padi. Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak transmigran lainnya yang mendapatkan lahan berupa rawa. Berbeda dengan transmigran yang lahan garapannya berupa dataran tinggi. Biasanya mereka memanfaatkan lahan tersebut sebagai kebun sayur.
Dengan kerja keras dan semangat gotong-royong sesama transmigran, sawah yang digarap mereka dalam setahun bisa mengasilkan tiga kali panen padi. Kehidupan para transmigran pun secara berangsur mulai membaik setelah tahun kedua mereka menjadi transmigran di desa trans bernama Winangun.
Sekira tahun 1998, datanglah pemerintah bersama orang-orang PT Hardaya Inti Plantation menawarkan program plasma sawit kepada para transmigran, termasuk Nurlela. Iming-iming hasil yang layak dari program tersebut membuat sebagian besar pemilik lahan tergiur dengan tawaran tersebut.
“[B]isa menyekolahkan anak, menguliahkan anak, bisa membantu kehidupan sehari hari. Biar kita tidak jadi buruh kasar lagi. Tidak usah kerja lagi, sudah ada pemasukan tiap bulan, cukup serahkan tanah bapak-ibu diem di rumah, nanti hasilnya akan dapat setiap bulan setelah sawit mulai berbuah” ucap Nurlela menirukan janji-janji PT HIP kepada petani saat itu.
Tanpa berpikir panjang banyak dari petani terpikat lalu memberikan lahannya beserta sertifikat tanahnya kepada PT HIP untuk ditanami sawit oleh perusahaan. Nurlela menyerahkan lahannya pada tahun 1999 dengan skema penanaman selama 4 tahun. Sembari menunggu hasilnya ia dan suaminya bekerja serabutan menjadi buruh tani, serta menanam sayur di pekarangan rumahnya.
Namun, janji tinggal janji. Setelah 4 tahun lahannya ditanami sawit oleh PT HIP, hasil sawit tak kunjung datang. Sebaliknya, para petani justeru dibebankan hutang atas biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengelolaan kebun.
Sejak Nurlela menyerahkan lahannya pada 1999 hingga sekarang, ia tidak pernah mendapatkan apa-apa dari perusahaan. Padahal saat ini ia sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menyekolahkan ketiga anaknya. Anak pertamanya sudah SMP dan dua anak lainnya masih duduk di bangku SD. Agar ketiga anaknya tetap bersekolah, suami Nurlela harus bekerja ekstra menjadi buruh tani hingga menjadi penjual ikan keliling dengan harapan kebutuhan keluarga dapat tercukupi.
Namun apa dikata, meskipun kerja keras telah dilakoni suaminya, penghasilannya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya anak sekolah yang semakin hari semakin membesar. Kondisi ini yang kemudian mendorong Nurlela untuk melamar kerja di perusahaan. Sayangnya, setelah tiga kali melamar di PT HIP, ia tak diterima. Faktor usia yang sudah melewati persyaratan formal pendaftaran, membuat ia tak bisa membantu perekonomian keluarga. Anak pertamanya pun terpaksa harus putus sekolah, tak bisa melanjutkan ke jenjang SMA. Nurlela tak menyangka apa yang dialaminya sebelum menikah juga dialami oleh anaknya. Putus sekolah dan menikah.
Pada tahun 2004, satu-satunya peluang mendapat pekerjaan adalah Nurlela menjadi buruh tempel yang upahnya ditentukan dengan hasil kerjanya dan tidak dijamin apapun oleh perusahaan, alias tidak dianggap sebagai buruh perusahaan kecuali hanya hasil kerjanya. Itupun jauh dibawah upah rata-rata yang didapat oleh buruh perusahaan. Dalam sebulan rata-rata yang penghasilan Nurlela waktu itu hanya sekitar Rp300.000 per bulan, sementara UMP Sulawesi Tengah pada tahun 2004 sebesar Rp575.000.
Untuk dapat upah yang hanya setengah dari UMP, Nurlela harus berhadapan dengan kondisi kerja yang berbahaya dan tanpa jaminan apapun. Ia bekerja mengumpulkan brondolan sawit selama lebih dari 8 jam, harus berpindah-pindah dari kebun satu ke kebun lainnya dan kadang-kadang hasil kerjanya dipotong oleh orang yang membawanya bekerja. Hal itu karna ia sebagai buruh tempel, yang upahnya dihitung dalam slip gaji buruh PT HIP.
Satu bulan lalu, penghasilan brondolnya lebih besar dari biasanya, sebesar Rp700 ribu dengan jumlah brondol yang dikumpulkan sebanyak 2 ton. Apabila dikalkulasikan antara jumlah panen dan upah yang diterima, Nurlela hanya dibayar Rp350 per kilogram brondolan.
Pekerjaan memungut brondolan ia lakukan bersama dengan anak pertamanya yang putus sekolah.“Jadi untuk menyelamatkan anak yang kedua itu, kakaknya berhenti sekolah bantu saya cari brondolan” ucap Nurlela.
Brondolan-brondolan sawit itu dipungutnya dan dimasukkan ke dalam wadah berupa ember. Apabila penuh, beratnya mencapai sekitar 10 kilogram. Dari ember tersebut ia harus memasukkannya ke dalam karung dimana satu karung mencapai berat 40 kilogram atau setara dengan 4 ember brondolan. Setelah ditempatkan dalam karung, Nurlela akan membawanya ke tempat penampungan di pinggir jalan yang dilewati zonder (truk pengangkut sawit). Jarak antara pengangkutan brondolan menuju tempat penampungan tidak terlalu jauh, namun kontur pegunungan membuatnya semakin berat. “Biasanya kan naik ke gunung, terus biasanya kakinya kepleset lantaran kan naik gunung sambil bawa karung, bawa ember, jadi kakinya kepleset. Jaraknya juga itu kan tidak jauh, cuma itu namanya gunung jadi berteras, biasa sampai delapan teras” keluh Nurlela.
Karena sering terpleset, kemudian Nurlela mengakalinya dengan cara bolak-balik, membawa 2 ember pertama terlebih dahulu kemudian kembali mengambil 2 ember selanjutnya dan mengisinya ke dalam karung di penampungan jalan zonder. Meskipun cara itu tetap tidak mengurangi resiko terpleset saat sedang musim hujan, setidaknya ia lebih mudah bekerja. Namun cara itu membuat waktu kerjanya semakin panjang, karena harus bolak-balik mengangkut.
Buruh tempel kebanyakan perempuan transmigran yang berasal dari Flores dan sudah lama menetap di Buol. Rata-rata umurnya diatas 45 tahun, bahkan kebanyakan dari mereka adalah mantan buruh di PT HIP, ada yang sudah pensiun ada juga yang berhenti saat sedang hamil. Perusahaan saat itu tidak memberikan cuti hamil kepada buruh perempuan, sehingga beberapa buruh perempuan yang hamil memilih untuk keluar.
Setiap hari Nurlela harus tiba di lokasi kebun pukul 7 pagi, sementara pulangnya pukul 2 siang. Karena tidak ada kendaraan, Nurlela biasanya nebeng dengan mandor yang kebetulan bertetangga dengannya.
Pengorbanan Nurlela dan anak pertamanya tidak sia-sia. Anak keduanya berhasil menempuh sekolah hingga lulus SMK. Sewaktu ditolak melamar kerja di perusahaan karena usia, Nurlela dijanjikan jika anaknya lulus SMK dapat bekerja di kantor perusahaan dengan skema pemagangan terlebih dahulu. Hal ini pula yang membuat Nurlela dan anak pertama mati-matian memperjuangkan anak keduanya agar bisa lulus dari SMK.
Merasa perusahaan pernah berjanji akan mempekerjakan anaknya jika sudah lulus, Nurlela mendatangi kantor perusahaan untuk menagih janji tersebut. “Pak anak saya sudah lulus? Jadi bagaimana ini?” Kata Nurlela,
“Oh, tidak bisa, nanti kuliah dulu itu baru bisa masuk di perusahaan” ucap nurlela menirukan jawaban kepala personalia perusahaan.
Mendengar jawaban tersebut, Nurlela sedih dan kecewa. Ia merasa kehadiran perusahaan tidak pernah memberikan apapun ke masyarakat. Setelah tanahnya diambil, tenaganya diperas, dan generasi setelah Nurlela, sebagaimana anaknya tidak diberikan kesempatan untuk bekerja di posisi yang lebih baik di perusahaan kecuali sebagai buruh kasar di kebun. Hal ini yang kemudian membuat banyak pemuda desa di sekitar kebun sawit di Buol tidak bekerja alias menganggur atau merantau ke kota lain seperti Palu atau Gorontalo.
Dengan terpaksa, Anak Nurlela kini hanya bekerja di perusahaan sebagai buruh panen dan tinggal di mess perusahaan. Sekarang Nurlela bersama suaminya pun menjadi buruh tempel menantu dari anak pertamanya yang juga bekerja sebagai buruh panen di perusahaan.
Generasi buruh dalam sebuah keluarga terpotret dalam cerita Nurlela. Melalui proses pemiskinan, perusahaan berhasil mendapatkan buruh murah lengkap beserta tenaga tambahan dari keluarganya. Hal ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan sistematis dilakukan oleh perusahaan. Tanah yang merupakan alat produksi dari keluarga Nurlela ditahan oleh perusahaan tanpa memberikan kontribusi kepada keluarga Nurlela. Ketika Terbentur ekonomi, Nurlela pun harus menjadi buruh tempel karena tidak bisa menggarap lahannya. Keluarganya yang bekerja di perusahan hanya menjadi buruh panen, kondisinya pun sama-sama rentan baik kondisi kerja maupun ekonomi.
Namun tidak berhenti disana, Nurlela dan suaminya bersama para petani plasma lainnya kini masih berjuang untuk mendapatkan lahannya kembali. Rangkaian protes turun ke jalan menuntut pengembalian lahan diikuti olehnya sebagai tanda bahwa ia tidak diam dijajah oleh perusahaan. Sebagaimana di awal tahun ini, per 8 Januari 2024, para petani plasma termasuk Nurlela melakukan aksi penutupan aktifitas kebun plasma. Mereka menuntut PT HIP mengembalikan tanah mereka dan menghapus semua hutang yang tak tau asal usulnya.[]