Pagi itu, Senin, 8 Januari 2024, jalan berbatu yang menghubungkan perkampungan transmigran dengan perkebunan sawit nampak lebih sibuk dari hari biasa. Puluhan perempuan dan laki-laki berusia antara 40 – 60 tahun satu persatu berdatangan dan berkumpul tepat di pekarangan salah satu rumah yang terletak di ujung desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Mereka adalah petani pemilik lahan yang sejak enambelas tahun lalu tak lagi bisa menggarap lahannya. Para petani dijebak dalam kontrak ‘kemitraan inti plasma’ dengan perusahaan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) milik salah satu keluarga terkaya di Indonesia, Hartati Murdaya Po.
Berkumpulnya para petani sudah direncanakan dan dipersiapkan sejak satu minggu sebelumnya. Tepatnya setelah para petani pemilik lahan –melalui musyawarah pada Forum Petani Plasma Buol (FPPB)– memutuskan untuk melakukan protes, mendesak PT HIP menghentikan semua aktifitas produksi di kebun plasma. Pasalnya, setelah menandatangani kontrak kemitraan inti plasma pada 2008, para petani telah ‘menyerahkan’ tanahnya untuk dikelola perusahaan dengan dalih kemitraan, namun perusahaan tak pernah melaksanakan kewajibannya: memberikan hak petani pemilik tanah, sebagai bagian dari perjanjian bagi hasil yang harus dilakukan oleh PT HIP. Parahnya, para petani justru dibebankan utang sebesar Rp41 miliar oleh PT HIP melalui koperasi Amanah. Di bawah kontrak kemitraan, PT HIP menguasai sekitar 1.123 hektar lahan milik lebih dari 500 orang petani yang tercatat sebagai anggota koperasi Amanah. Pemilik lahan tersebar di dua desa transmigran. Desa Modo I dan Winangun.
Gejolak protes yang sama juga terjadi di Desa Balau dan Maniala, Kecamatan Tiloan. Di hari yang sama, lebih dari 50 petani menduduki areal kebun plasma Awal Baru yang dikuasai PT HIP. Meskipun lokasi kebun plasma Awal Baru berada jauh dari perkampungan, tidak menyurutkan para petani untuk tetap melakukan protes. Mereka mendirikan tenda perjuangan dan menutup akses jalan jika perusahaan hendak melakukan aktivitas produksi di kebun plasma Awal baru. Spanduk kain bertuliskan “OPERASIONAL KEBUN PLASMA AWAL BARU DIHENTIKAN SEMENTARA, PT HIP HARUS MEMENUHI HAK PETANI PEMILIK LAHAN PLASMA” dibentangkan untuk menjelaskan bahwa aksi protes para petani pemilik lahan plasma menunut PT HIP untuk memberikan hak para petani.
Per 2011, sekitar 750 petani pemilik lahan di desa Balau dan Maniala, melalui koperasi Awal Baru menyerahkan lahan seluas 1050 hektar kepada PT HIP untuk perkebunan sawit dengan skema kemitraan melalui program ‘Revitalisasi Perkebunan’. Program ini didukung pemerintah melalui pemberian kredit investasi perbankan dan subsidi bunga. Namun hingga hari ini pemilik lahan tak pernah merasakan sepeserpun hasil dari kemitraan tersebut. Alih-alih petani belum melunasi utang, perusahaan tak pernah menjelaskan secara rinci asal-muasal utang yang terus membesar dan dibebankan kepada petani pemilik lahan. Sementara perusahaan terus menikmani hasil panen dari tanah milik petani.
Kemitraan atau pemerasan?
Di Kabupaten Buol, PT HIP merupakan satu-satunya perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi lebih dari 25 tahun. Untuk mendukung keberlanjutan bisnisnya, sepanjang 2007 – 2014, PT HIP melakukan kerjasama kemitraan inti plasma dengan 7 koperasi tani yang tersebar di desa-desa sekitar perkebunan. Total lahan masyarakat yang dikerjasamakan dengan PT HIP sekitar 6.746 hektar dan melibatkan sekitar 4.934 petani pemilik lahan.
Status lahan yang dikerjasamakan untuk dikuasai PT HIP diantaranya: lahan usaha dua (LU.2) Transmigrasi, lahan Transmigrasi Swa Mandiri (TSM), tanah ulayat dan lahan-lahan produktif masyarakat lainnya. Namun, pola manageman satu atap yang dilakukan oleh PT HIP, kemitraan inti plasma hanya menguntungkan pihak perusahaan. Sementara pemilik lahan, faktanya tak pernah mendapatkan apapun, kecuali utang yang harus ditanggung.
Mekanisme kemitraan Inti-Plasma yang dilakukan oleh PT HIP, pembiayaannya melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Di mana pembuatan dan perawatan kebun, sepenuhnya dikelola oleh PT HIP akan dibiayai dari kredit berbunga dari bank pemerintah. Kredit tersebut menjadi utang petani pemilik lahan plasma. Pembayaran kreditnya dicicil melalui pemotongan setiap hasil panen. Model kemitraan demikian belakangan disebut dengan istilah ‘Revitalisasi Perkebunan’ dengan pengelolaan satu atap.
Dengan pengelolahan manajemen satu atap, dimungkinkan perusahaan dapat menguasai tanah-tanah milik masyarakat. Sertifikat tanah diserahkan ke perusahaan sebagai jaminan perusahaan. Di hadapan Bank, PT HIP sebagai penjaminnya dengan mudah mengakses pinjaman modal. Dengan lahan dan modal tersebut, perusahaan diberikan kuasa untuk mengelola lahan petani dari pembibitan, perawatan hingga panen. Sementara para petani pemilik lahan, dijanjikan dengan berbagai ilusi-ilusi kesejahteraan tanpa kedaulatan atas tanah dan sistem produksi.
Dengan mekanisme di atas, petani pemilik lahan tak memiliki peran apapun. Dengan kata lain, akses dan kontrol petani atas tanah mereka dirampas melalui kontrak kemitraan. Alih-alih mendapatkan bagi hasil, pada kenyataannya tak pernah diterima pemilik lahan. Lebih dari 10 tahun para petani pemilik lahan plasma sawit di Buol menyaksikan perusahaan memanen ratusan ton Tandan Buah Segar (TBS) dari lahan plasma mereka. Namun, hasil yang melimpah tersebut tak sama sekali berdampak pada kehidupan petani. Sebaliknya, para pemilik lahan terbebani utang yang mencapai Rp.590 miliar. Utang tersebut harus ditanggung 7 koperasi yang bekerjasama dengan PT HIP.
Selain itu, praktek kemitraan plasma juga telah menyebabkan banyak pemilik lahan kehilangan mata pencaharian. Banyak di antara mereka menjadi buruh tani, termasuk sebagian dari mereka terpaksa menjadi buruh tempel. Buruh yang bekerja di PT HIP namun tidak diakui sebagai buruh PT. HIP kecuali hasil kerjanya. Kerentanan diperparah dengan tidak ada jaminan sosial apapun dari perusahaan. Ketiadaan pilihan, menjadi buruh tempel terpaksa dilakukan, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Meskipun harus berhadapan dengan berbagai risiko: Kesehatan dan keselamatan kerja yang tak dijamin, jam kerja panjang, berupah murah dan bahkan pelarangan berserikat. Mereka bekerja dengan rata-rata upah Rp800 ribu per bulan.
Mengangkangi koperasi
Pada 2021, Koperasi Amanah dinyatakan oleh bank telah melunasi utang. Ketika pemilik lahan hendak mengambil sertifikat tanah ke perusahaan, PT HIP berkelit bahwa koperasi masih memiliki utang sebesar Rp16 miliar ke perusahaan tanpa rincian penggunaan utang yang jelas. Hal ini menunjukkan manajeman satu atap yang diterapkan dalam kemitraan plasma justru membuat petani tak memiliki akses informasi tentang pengelolaan kebun.
Sistem ini diperburuk oleh pengurus-pengurus koperasi yang tidak transparan bahkan bertolak belakang dengan aspirasi anggota. Dengan situasi demikian tubuh koperasi berpotensi terjadinya praktek manipulatif dan skandal penggelapan yang merugikan anggota. Misalnya, para pengurus koperasi kerap membuat kesepakatan dengan perusahaan di luar pengetahuan anggota koperasi yang sebenarnya merugikan anggotanya. Kesepakatan-kesepakatan itu diputuskan tanpa persetujuan anggota atau tanpa melalui mekanisme rapat anggota terlebih dahulu.
Skandal penggelapan uang yang dilakukan oleh pengurus koperasi pun terjadi di koperasi Awal Baru. Dugaan penggelapan dilaporkan oleh anggota koperasi yang sudah geram dengan kelakuan pengurus koperasi yang kerap membuat kesepatakan dengan perusahaan yang merugikan anggota koperasi. Beberapa pengurus dilaporkan ke pihak Kepolisian Resor Buol. Dari laporan tersebut, polisi memeriksa dan menetapkan 3 (tiga) orang pengurus Koperasi Awal Baru sebagai tersangka. Namun kasusnya terhenti dan tidak ada tindak lanjut hingga saat ini. Diduga pengurus koperasi dilindungi oleh perusahaan karena memiliki permufakatan buruk yang merugikan petani.
Situasi koperasi yang tidak demokratis ini pun menghalangi perjuangan para pemilik lahan atau anggota koperasi untuk mendapatkan hak mereka. Misalnya, di beberapa koperasi, pengurus tidak bersedia melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi. Bahkan ketika Dinas Koperasi dan Pemerintah Daerah memberikan teguran untuk segera melakukan RAT juga diabaikan oleh pengurus koperasi.
Tidak sejalannya pengurus koperasi dengan keinginan anggota, para anggota di 4 koperasi kemudian membentuk Forum Petani Plasma Buol (FPPB) pada September 2022. FPPB dibentuk sebagai wadah perjuangan kolektif bagi petani pemilik lahan plasma lintas anggota koperasi.
Tegak lurus menuntut hak
Per hari ini, sudah hampir sebulan para petani melakukan aksi penghentian operasional lahan plasma. Setidaknya terdapat lima titik aksi penghentian operasional kebun plasma yang dilakukan secara bersama di bawah koordinasi FPPB. Diantaranya kebun plasma Amanah di desa Winangun, Kebun Plasma Plasa di desa Taluan, kebun Plasma Awal Baru di desa Maniala dan desa Balau, kebun Plasma Bukit Pionoto di desa Suraya.
Penghentian operasinal kebun plasma ini dilakukan oleh para pemilik lahan setelah menempuh berbagai upaya perjuangan untuk mendapatkan hak mereka. Dari melakukan dialog terbuka dan aksi massa ke Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Buol, hingga melaporkan PT HIP ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Bahkan pada Juli 2022, aksi penghentian aktivitas kebun yang berlangsung di beberapa desa menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk membentuk ‘Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Plasma’. Alih-alih menyelesaikan masalah, rekomendasi tersebut terkesan sekedar meredam gerakan massa yang berpotensi mengurangi keuntungan perusahaan.
Atas dasar rekomendasi tersebut, pada November 2022 ratusan petani pemilik lahan melakukan aksi ke Pemda Buol untuk mendesak segera dibentuk Pansus sebagaimana yang telah disepakati. Berselang beberapa hari, Pemerintah Daerah mengumumkan nama-nama Pansus yang notabene sebagai anggota DPRD. Pansus diberi tenggat untuk menyelesaikan kasus plasma selama 6 bulan. Sayangnya waktu berjalan berlalu tanpa ada hasil apapun kecuali merekomendasikan untuk kembali membentuk pansus baru.
Pansus kedua pun dibentuk kembali dengan masa kerja 3 bulan, dan lagi-lagi tak menghasilkan rekomendasi apapun kecuali memperumit masalah dengan soal-soal teknis karena massa kerjanya telah berakhir pada September 2023. Gimik politik pun membuat para pemilik lahan geram dan menyadari bahwa pemerintah dan wakil rakyat tak memiliki kesungguhan dalam menyelesaikan persoalan plasma.
Perjuangan demi perjuangan terus dilakukan oleh pemilik lahan. Beberapa pemilik lahan pun dikriminalisasi oleh pihak-pihak yang mendukung PT HIP. Misalnya pada November 2021, dua orang pemilik lahan plasma yang merupakan pengurus Koperasi Awal Baru di Desa Maniala ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan mencuri buah sawit. Padahal para petani geram dengan PT HIP yang tak pernah melaksanakan bagi hasil dari kerjasama plasma.
Setelah melalui berbagai upaya perjuangan, pemilik lahan yang merupakan anggota dari 4 koperasi plasma yang tergabung dalam FPPB memutuskan untuk melakukan perlawanan secara kolektif dengan pendudukan lahan. Mereka menuntut untuk dikembalikannya lahan ke petani dan menghapus semua utang koperasi. Selain itu FPPB meminta untuk merundingkan persoalan plasma langsung dengan pemilik perusahaan, yaitu Hartati Murdaya. Dengan tuntutan tersebut FPPB tanggal 6 Januari 2023, menyurati PT HIP untuk menghentikan semua aktivitas produksi di kebun plasma.
Upaya-upaya meredam aksi pun dilakukan dari berbagai pihak. Surat pemberitahuan penghentian operasional kebun yang salah satunya ditembuskan ke Pemda Kabupaten Buol direspon dengan dibuatnya tim penyelesaian kasus plasma yang di SK kan oleh Pj. Bupati Buol dengan melibatkan perwakilan dari petani pemilik lahan. Namun itu tidak membuat para petani menghentikan aksi pendudukan.
Berbagai intervensi dari Kepolisian pun datang untuk meredam aksi. Dari intervensi yang berbentuk bantuan sosial hingga intimidasi beberapa pengurus koperasi yang terlibat dalam aksi. “Polisi berseragam sipil datang ke rumah saya, dia mengatakan jika saya bisa menghentikan aksi, saya akan diberikan sejumlah uang” ungkap salah seorang pengurus koperasi yang merasa ia sedang di intimidasi dan disuap.
Intervensi berupa bantuan sosial pun muncul untuk memecah belah anggota koperasi yang terlibat dalam aksi. Bantuan sosial berupa pembagian beras sebesar 5 kilogram dari Polres Buol yang dibagikan secara acak. “pembagian beras 5 kilo kepada anggota koperasi yang tidak merata itu bisa memecah belah anggota koperasi” ungkap Fatrisia selaku Koordinator dari FPPB.
Intimidasi lainnya datang dari pihak aparat kemanan negara. Alih-alih melakukan pengamanan aksi, pihak kepolisian mengirimkan beberapa pasukannya untuk standby di lokasi aksi. Mereka datang bersama dengan pihak perusahaan dan mencoba untuk bernegosiasi dengan peserta aksi untuk berdialog basa-basi tanpa menjawab persoalan petani pemilik lahan yang haknya telah dirampas PT HIP. Bahkan setelah satu minggu aksi aparat kepolisian dari satuan Brimob dibawah komando Polda Sulteng dikerahkan untuk pengamanan lengkap dengan persenjataan. Pengerahan aparat keamanan ini menjelaskan kepada kita bahwa PT HIP dapat mengendalikan aparatur negara untuk meredam aksi-aksi yang menuntut haknya kepada perusahaan.
Tak hanya itu, upaya perusahaan untuk mengadu-domba buruh dengan petani pemilik lahan juga tercermin ketika para Assiten, mandor dan officer kebun tidak memindahkan buruh yang bekerja di kebun plasma ke kebun inti. Para buruh tetap harus mengisi daftar kehadiran namun dibiarkan tidak bekerja. Hal ini akan memicu potensi konflik antara buruh dan petani jika upah yang diterima buruh dipotong oleh perusahaan. Potensi munculnya sentimen buruh terhadap aksi yang dilakukan petani, memungkinkan terjadi. Apalagi jika perusahaan tidak memindahkan buruh yang bekerja di kebun plasma ke kebun inti.
Berbagai upaya peredaman aksi terus dilakukan, para petani pemilik lahan pun tak gentar dengan intimidasi, bujuk rayu dan iming-iming yang dapat memecah belah mereka. Bagi petani pemilik lahan intimidasi, represifitas dan kriminalisasi bagian dari konsekuensi perjuangan menuntut hak. “merebut kembali hak kami adalah merebut kembali masa depan kami” tegas Fatrisia.
Hingga tulisan ini dibuat, para petani pemilik lahan masih melakukan aksi pendudukan lahan, mereka mendirikan tenda perjuangan di tengah kebun untuk memastikan operasional kebun pasma PT HIP dihentikan hingga perundingan dengan pemilik perusahaan dipenuhi. Komitmen para petani untuk menuntut hak pun diperlihatkan oleh para petani dengan tidak memanen buah sawit meskipun sawit itu ditanam di tanah mereka sendiri. Mereka juga tidak menghalangi para buruh dan masyarakat yang melewati jalan yang mereka blokade, kecuali jika aktivitas perusahaan dilakukan di kebun plasma.
Di dalam tenda perjuangan, seorang perempuan berusia 60 tahun tampak sedang berbincang dan berkata kepada cucunya :
“Dulu kebun plasma yang ditanami sawit oleh perusahaan itu (adalah) kebun buah-buahan, ada pohon durian, kelapa dan cengkeh, gara-gara sawit plasma, kebun itu hilang, bagi hasil pun tak muncul hingga sekarang”.
YN: Perempuan petani pemilik lahan plasma