Ridho (bukan nama sebenarnya) seorang driver ojek daring (dalam jaringan) atau ojekonline (Ojol) masih terjaga menunggu order meski waktu sudah menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Ridho tak sendiri, ia bersama dua kawan se-aspalnya (Dadang dan Fikri) sedang sama-sama menunggu keberuntungan order di salah satu basecamp komunitas Ojol di kota Bogor.
Sembari menanti order, Ridho dan kedua kawannya menjaga mata dari kantuk dengan saling berbincang. Perbincangannya acak, dari soal politik copras-capres, kecelakaan jalanan, customer, hingga pengalaman-pengalaman yang menegangkan saat mengantarkan order. Perbincangan tampak serius ketika Dadang bercerita pengalaman diintrogasi oleh satpam ketika mengantarkan order makanan di salah satu perumahan mewah. Entah mimpi apa dia, Dadang dicurigai sebagai komplotan pencuri oleh satpam gegara tak memakai jaket berlogo platform, sebagai atribut Ojol.
Bukan tanpa sebab Dadang tak memakai atribut. Jaket miliknya sudah tak layak pakai. Bagaimana tidak, satu-satunya jaket yang ia miliki, selama hampir 3 tahun selalu ia kenakan siang dan malam di jalanan saat onbid. Hujan, debu dan terik matahari sudah tentu mempercepat kerusakan jaket. Sementara perusahaan platform tempatnya bekerja tak memberikan jaket dengan cuma-cuma, alias driver harus membeli. Dadang belum punya uang untuk membeli jaket baru.
Di sela-sela perbincangan, beberapa pengemudi lainnya datang. Ada yang langsung mencari stopkontak untuk men-charge handpohne, ada juga yang langsung merebahkan badannya, bersiap tidur. Beberapa orang yang tertidur, handphone-nya tetap tergenggam di tangan. Saking pulas dan capeknya, suara riuh di basecamp, sama sekali tak mengganggu mereka tidur. Menurut Ridho, kawan-kawan di komunitasnya hanya akan terbangun jika ada suara notifikasi orderan.
Benar saja, tak berselang lama, handphone Fikri berdering dengan suara khas order food masuk. Suara notifikasi order tersebut sempat membangunkan beberapa kawannya yang sedang tidur. Mengetahui suara notifikasi order bukan dari handphone mereka, dengan muka tampak kesal, mereka kembali melanjutkan tidur.
“Lumayan daripada tidak sama sekali” ucap Fikri sembari mencocol (menerima) order yang ‘nyangkut’ ke akunnya setelah menunggu berjam-jam.
“Pecah telor euy” ucap Ridho kepada Fikri.
‘Pecah telor’ merupakan istilah harian Ojol untuk menjelaskan order pertama yang didapat pada hari itu setelah pengemudi menunggu berjam-jam atau setelah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Pecah telor juga menunjukkan situasi order driver dalam situasi anyep atau sepi order.
Menurut Ridho, akhir-akhir ini situasi anyep sering dialami para driver. Berkeliling dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, serta menyiapkan mental sabar untuk menunggu ber jam-jam adalah usaha spekulatif para driver untuk mendapat order.
Sejak tiga tahun terakhir situasi anyep ini benar-benar di rasakan Ridho dan kawan-kawan di komunitasnya. Ridho mengira order sepi karena dampak ekonomi akibat wabah covid-19, namun sialnya kondisi sepi order tidak berubah meskipun wabah sudah berakhir.
Parahnya, selain ordernya semakin menurun, bonus-bonus yang sebelumnya dapat menjadi tambahan driver, dihilangkan oleh beberapa platform seperti Gojek dan Grab. Dengan begitu, pendapatan harian semakin anjlok. Bahkan, dalam sehari, Ridho pernah hanya mendapatkan uang Rp10 ribu setelah berpindah-pindah tempat dan berkeliling di jalanan selama 12 jam.
“kita itu, keluar dari rumah langsung berpikiran apakah hari ini mendapatkan order atau tidak. Seperti berjudi lah pokoknya. Belum lagi, pas narik kita terus mikir bagaimana bawa uang ke rumah” tegas Ridho sembari memainkan handphone nya.
Sejak Febuari 2016 Ridho bekerja sebagai driver Ojol. Sebelumnya, Ridho bekerja selama 6 bulan sebagai buruh kontrak pada salah satu perusahaan di Kabupaten Bekasi. Perusahaan tidak memperpanjang kontraknya sehingga ia harus berusaha mencari pekerjaan lain. Sudah tak terhitung berapa surat lamaran yang ia masukkan waktu itu, namun tak satu pun diterima atau sekedar mendapatkan respon dari perusahaan.
Sekali waktu Ridho disarankan oleh temannya agar bisa cepat diterima bekerja, yaitu dengan melamar melalui calo lamaran. Artinya, Ridho harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit kepada calo tersebut agar bisa diterima bekerja. Saat itu, calo lamaran memasang bandrol Rp10 juta untuk bisa bekerja sebagai buruh kontrak di salah satu perusahaan ternama di Bekasi.
“Boro-boro punya uang segitu, bisa makan dan bayar kontrakan saja alhamdulillah. Kerja 6 bulan pun tak bisa nabung,” celetuk Ridho yang menjelaskan ia tak punya uang untuk melamar kerja.
Apa boleh buat, karena tak punya uang Ridho mencoba peruntungan melamar kerja secara mandiri. Ia mendatangi beberapa perusahaan untuk memasukkan lamaran. Meskipun Ridho tahu melamar secara mandiri, kecil kemungkinan akan diterima.
Hampir 2 minggu Ridho melamar kerja, tak satupun ada panggilan. Uangnya pun sudah menipis untuk membeli amplop dan kebutuhan surat lamaran. Karena mulai kebutuhan hidup mulai mendesak, Ridho akhirnya mendaftar sebagai driver Ojol. Menjadi driver Ojol tidak serumit melamar kerja di pabrik atau perkantoran. Melamar kerja di pabrik memerlukan banyak persyaratan, jika diterima pun harus melewati proses pemagangan dan kontrak kerja jangka pendek. Berbeda dengan Ojol, syarat utamanya yang penting punya motor dan Surat Izin Mengemudi. (SIM).
“waktu mendaftar jadi driver Ojol, saya kan sudah punya semua persyaratannya, KTP,SKCK, HP, Motor, saya punya semua. Yang paling agak sulit, menyiapkan uang untuk modal awal, untuk membeli perlengkapan atribut aplikator seperti jaket dan helm. ya itumah bisa pinjam dulu ke pinjol (pinjaman online)” ungkap Ridho saat mengingat kembali ketika memutuskan menjadi driver Ojol.
Ketika awal Ridho menjadi driver Ojol, pada 2016, perusahaan platform sedang melakukan strategi bisnis ‘bakar uang’. Strategi bisnis ini khas untuk bisnis yang berbasis platform atau ekonomi gig. Tujuannya untuk merekrut sebanyaknya driver dan mengajak sebanyaknya orang untuk menjadi customer. Bagi driver, meskipun saat itu tarif per kilometernya rendah, namun perusahaan memberikan banyak insetntif bonus. Sebagian besar driver menyebut periode 2016-2017 itu periode kejayaan driver Ojol, di mana pendapatan bersih sekurang-kurangnya Rp300 ribu per hari. Namun situasi berubah ketika perusahaan secara perlahan menghilangkan insentif, yang tersisa hari ini adalah hanya tarif per kilometer yang terus turun.
Mempertaruhkan banyak hal
Perusahaan menyebut para driver dengan istilah mitra. Artinya, hubungan kerja Ridho dengan perusahaan aplikator bukan sebagaimana hubungan ketenagakerjaan yang memiliki ketentutan: jam kerja, upah, libur, cuti dan jaminan sosial . Perusahaan mengasumsikan driver dapat mengatur waktu kerja dan liburnya secara mandiri. Upahnya, tergantung jumlah pesanan yang berhasil diantarkan, itupun jika diberi order oleh aplikator. Dan karena dianggap sebagai entrepreneur, jaminan sosial driver tidak disediakan perusahaan, alias bayar sendiri. Selain istilah mitra atau kontraktor independen, jenis hubungan kerja sepersi ini populer dengan istilah partnership, freelancer atau pekerja lepas.
“Memang sih, waktu awal-awal enak jadi Ojol, jam kerja semau kita dan untuk mendapatkan bonus orderan paling sedikit 5 orderan, pokoknya jaya lah jadi Ojol tahun-tahun itu. Tapi itu dulu,” kenang Ridho yang di awal ia bekerja merasakan enaknya menjadi mitra platform.
Tidak hanya Ridho, karena tergiur dengan pendapatan yang cukup besar -bisa 2 kali upah minimum per bulan- pada periode awal munculnya perusahaan ride hailing banyak buruh-buruh di Jabodetabek yang bertahun-tahun bekerja di pabrik atau perkantoran mengajukan atau menerima pensiun dini yang ditawarkan dalam program efisiensi perusahaan. Beralih menjadi Ojol. Sialnya, pendapatan yang tinggi bekerja sebagai driver Ojol hanya pada periode 2016-2017. Tahun setelahnya secara perlahan pendapatan driver makin turun dan puncaknya terjun bebas saat Covid-19 pada 2020.
Sekarang, Ridho -dan mungkin banyak driver lainnya- mulai berpikir ulang mengenai statusnya sebagai mitra, setelah pendapatan Ojol yang tak menentu dan sangat rendah. Ridho pun merasa status mitra yang ia rasakan sekarang lebih mirip dan bahkan lebih buruk daripada orang yang bekerja dengan status buruh. Narasi yang dibangun oleh perusahaan tentang driver bisa menentukan waktu kerja dan bisa bekerja di mana saja senyamannya driver untuk mendapatkan penghasilan ternyata semua itu hanya mitos untuk melemparkan tanggung jawab perusahaan.
Situasi order sekarang yang sepi dan tidak ada kepastian pendapatan membuat Ridho merasa pekerjaannya sebagai driver Ojol mepertahruhkan banyak hal dan bekerja seolah mengandalkan keberuntungan yang tak rasional. Meskipun semua hal tentang aturan dari aplikator telah Ridho jalankan. Dari mengatur jadwal onbid yang teratur, selalu memastikan saldo pada dompet digitalnya cukup, berpindah-pindah tempat mangkal dari satu tempat ke tempat yang lain hingga memperlakukan customer secara ekstra baik, namun itu semua tak menjamin pendapatan Ridho.
Sialnya pengeluaran sebagai Ojol jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang ia terima. Pengeluaran yang besar untuk mendapatkan order itu ia tanggung bahkan kerap ditutupi dengan Pinjaman Online (Pinjol). Biaya pengeluaran itu untuk bensin, ngopi di pangkalan hingga menghabiskan kuota untuk nonton youtube ketika menunggu order.
Meski demikian, Ridho agak beruntung, karena di waktu menunggu order ia hanya mengisi waktu tunggunya dengan bermain media sosial. Banyak kawan Ridho saat menunggu order dengan cara judi online, dan parahnya rata-rata kawan Ridho yang bermain judi online tersebut terjebak utang yang tak sedikit.
Katanya mitra tapi tak setara
“Kalo mitra kan ya syaratnya kan harus setara ya. Ini mah mana ada setaranya, kenaikan dan penurunan argo mana ada kita dilibatkan berunding gitu. Boro-boro itu, di Putus Mitra (PM) kita lakukan banding mana ada yang didengar mereka cuma dengar customer aja. Katanya mitra, mana ada keuntungan buat kita sekarang. Untung pas beberapa tahun lalu doang, sekarang mah boro-boro. Malah buntung.” Ucap Ridho ketika merefleksikan tentang kemitraan yang ia rasakan.
Dalam realitanya kemitraaan yang dibangun oleh aplikator tidak semanis janji saat mereka mengiklankan di papan billboard dan di media massa. Tentang kebebasan para driver untuk mencari pundi-pundi uang untuk dibawa pulang, dan memiliki waktu luang. Narasi yang dibangun oleh aplikator nampaknya berbeda dengan realitas yang Ridho dan para driver lain rasakan. Selain itu, pengemudi Ojol di Indonesia juga tidak memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan. Padahal statusnya adalah mitra mestinya setara dengan perusahaan Ojol.
“Asal tau aja ya, tidak gampang menjadi driver Ojol itu, mungkin awal kita dikasih enak dulu, kadang-kadang dikasih orderan. Tapi beberapa bulan dipakai itu mulai pendapatan orderan menurun. Terus kita dipaksa untuk menaiki level untuk mendapatkan orderan yang cukup banyak. Nah untuk menaikan tingkat level terendah hingga tertinggi untuk mendapatkan orderan juga sulit”. Ketus Ridho.
Di beberapa aplikator memiliki pelevelan akun, seperti Gojek, Grab. Mereka memiliki level-level untuk para drivernya, level yang paling rendah atau orang yang baru saja bergabung menjadi drivernya mendapatkan level basic, yang menengah adalah silver dan yang paling tinggi gold. Untuk menuju level tertinggi para driver harus bekerja keras dan terus giat menyalakan akunnya agar mendapatkan level yang lebih tinggi.
Menurut Ridho level menengah hari ini pun tidak benar-benar menjamin pendapatan orderan. Driver dipaksa untuk terus bekerja agar menaiki level yang di tentukan perusahaan, dengan iming-iming jika memiliki akun tertinggi perusahaan akan memberikan orderan prioritas. Dalam beberapa kajian, pelevelan yang diterapkan di Ojol ini disebut dengan gamification of work yang bertujuan untuk menciptakan iklim persaingan antar sesama driver.
Dampaknya dari pelevelan tersebut driver akan dituntut untuk bekerja lebih lama agar bisa bersaing untuk mendapatkan orderan dengan driver lain. Paling tidak para driver Ojol bekerja lebih dari 8 jam sehari bahkan ada yang mencapai 24 jam bekerja. Ketika saya berada di basecamp Ojol pun waktu sudah menunjukan pukul 4:00 para driver masih bekerja mencari penumpang.
“sudah gak akan mendapatkan orderan lagi ini mah, mending kita tidur dulu yuk”, gerutu Ridho sembari mengajak saya untuk pulang dan menginap dirumahnya.
Menunggu dan menunggu
Waktu menunjukan pukul 6:30, alunan musik dangdut koplo mengalun begitu kencang, ditengah-tengah pemukiman pandat penduduk. Ridho pun terbangun sembari mengumpat karena suara musik dari speaker ringkih tetangga membangunkannya.
“Maaf, tetangga saya kalo pagi emang suka menyetel musik keras-keras kayak gitu”, sembari muka masam ia bergegas bersiap untuk mandi.
Di ruang tamu Ridho sudah disiapkan sarapan pagi oleh Ibunya, nasi uduk dan gorengan menjadi menu utama sarapan, sebelum berangkat ngojol (berangkat kerja jadi driver Ojol). Sembari menyantap sarapan, Rido memulai nyalakan akun driver Ojolnya. Menurutnya, menyalakan akun saat sedang sarapan sudah menjadi kebiaasaannya sejak ia menjadi driver Ojol. Makan sembari bermain handphone.
Suatu waktu Ridho pernah sarapan hanya sesuap nasi karena saat menyalakan akun orderan masuk. Bahkan pengalaman yang paling mengenaskan, ketika Ridho berniat untuk beribadah jumatan dan dirinya lupa mematikan akunnya, sehingga terpaksa harus mengantarkan terlebih dahulu orderannya dan menunda untuk ibadah sholat jumat.
“karena kalo tidak diambil dalam kondisi seperti ini (orderan sepi), sulit mendapatkan uang, jadi tidak punya pilihan lain. Selain itu jika mengcancel orderan akan berdampak kepada akun yang dimilikinya”. tutur Ridho.
Setelah sarapan selesai dan juga orderan yang ditunggu tidak juga datang Ridho memutuskan untuk segera berangkat mencari penumpang ke beberapa wilayah yang menurutnya strategis untuk mendapatkan orderan.
Rute pertamanya, Ridho akan mencari orderan di sekitaran Universitas terbesar di Bogor. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari rumahnya memakan sekitar 34 menit dan 40 menit jika terjadi kemacetan. Di tengah perjalanan menuju rute pertamanya Ridho menyempatkan mengisi bahan bakar motornya, full tank, Rp30 ribu.
Sesampainya di rute pertamanya Ridho memarkirkan motornya di warung langganan yang biasa Ridho tumpangi untuk mengecas baterai handphone. Di warung tersebut ia memesan segelas kopi plus tiga batang rokok keretek. Di warung itu Ridho telah mengeluarkan uang Rp10 ribu untuk modal pertama menunggu orderan di lokasi mangkal pertama.
“ngopi dulu sembari nunggu orderan, ga enak kalo kita gak jajan karena kita boleh menumpang cas handphone di sini dan menunggu penumpang” ujar Ridho.
Hampir semua driver yang menunggu order di warung-warung pinggir jalan paling tidak mereka harus jajan kepada pemilik warung. Agar tetap bisa berlama-lama menunggu orderan masuk atau di perbolehkan mengecas handphone dan mangkal di warungnya.
Untuk sebagian orang menunggu adalah sesuatu yang tidak disukai karena kegiatan yang sangat membosankan, terlebih di dunia yang memaksa manusianya harus bergerak lebih cepat. Karena banyak orang berpikir waktu adalah uang dan menunggu hanya menghabiskan waktu untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang bekerjanya menunggu seperti Ojol? Sejak dirumah dirinya sudah bekerja untuk menunggu orderan masuk. Di jalanan dirinya harus menunggu lagi, setelah menyelesaikan orderan pun menunggu kembali untuk mendapatkan orderan.
Mekanisme kerja driver Ojol yang dirancang untuk bersaing juga berdampak pada terkatung-katung driver dalam menunggu. Hal ini yang menjadikan para driver harus tetap setia menunggu, meskipun ketika menunggu tanpa jaminan order dan pendapatan sama sekali.
Direnggut seluruhnya, tidak tersisa!
Pengalaman Rido bukan pengalaman satu-satunya yang buruk di dunia perojolan. Ketika saya bertemu dengan para driver Ojol di tiga kota Sukabumi, Serang dan Tangerang pun mengalami nasib yang sama dengan Ridho. Dari orderan anyep, terkena PM, ketiadaan asuransi kecelakaan hingga tidak adanya tanggung jawab ketika motor, handphone, dan atribut driver rusak. Lagi-lagi dalih kemitraaan (yang tak setara) menjadi dasar perusahaan untuk menghindari tanggung jawabnya.
Sialnya, hubungan kemitraan driver ini dilegitimasi oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Halilintarsyah, 2021). Landasan untuk menegaskan hubungan kemitraan dalam ojek dan taksi online adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 841 Tahun 2009 dan putusan MA Nomor 276 Tahun 2013. Beberapa ahli hukum pun membantu menarasikan bahwa hubungan kerja antara driver Ojol dan aplikator adalah mitra. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa ciri hubungan kerja dalam Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak terpenuhi kerena unsur perintah dan upah. Menurut mereka upah yang diberikan kepada driver bukanlah dari aplikator namun dari customer dan aplikator hanya mengambil 20 persen sebagai biaya jasa aplikasi. Namun yang janggal adalah uang tidak benar-benar langsung dari custumer, melainkan dibayarkan ke aplikator sehingga aplikator bisa memotong secara otomatis 20 persen.
Di tengah-tengah driver Ojol sedang jumpalitan untuk bertahan hidup, media massa memberitakan para pemilik perusahaan raksasa aplikator seperti Gojek dan Grab mendapatkan keuntungan. GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) misalnya telah mencatatkan perbaikan kinerja sepanjang kuartal III-2023. Pendapatan GOTO dalam sembilan bulan pertama tahun 2023 tercatat mencapai Rp 10,5 triliun. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 102,5% dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp8,0 triliun.
Tak ketinggalan, Grab juga mencatatkan pendapatan kuartal III-2023 tumbuh sebesar 61 persen secara year-on-year (yoy) menjadi USD615 juta. Grab kemudian merevisi target pendapatan sepanjang 2023 menjadi USD.2,31 miliar dari sebelumnya USD.2,2 miliar.
Dua perusahaan raksasa tersebut tidak hanya mendapatkan keutungan dari memeras para driver di jalanan. Selain pelayanan dan jasa, mereka pun mendapatkan keuntungan dari investor dan bekerja sama dengan penyedia layanan provider telekomunikasi.
Keuntungan lainnya dari perusahaan platform ini adalah mereka berhasil menambang data dari driver dan customer dalam semua layanannya ini yang kemudian menjadi big data. Data-data tersebut dapat diperjual-belikan. Sebagai contoh, baik driver maupun customer yang memiliki akun pada platform ride hailing akan mengisi data pribadi mereka. Lalu kemudian semua aktivitas seperti rute jalan, jenis makanan dan barang yang sering dibeli hingga kebiasaan-kebiasaan harian direkam sebagai big data. Data mengenai kebiasaan-kebiasaan ini bagi perusahaan sebuah informasi penting dan dapat dijual dengan harga yang fantastis. Karena data tersebut untuk menentukan strategi pasar atau strategi bisnis perusahaan. atau untuk menciptakan produk sesuai dengan kebiasaan orang pada umumnya.
Oleh karena itu, selain keuntungan bisnis pengantaran, perusahaan-perusahaan ride hailing ini juga mendapat keuntungan yang berlimpah dari data. Mereka memonetisasi semua kebiasaan orang yang terekam dalam platform. Sayangnya, keuntungan dari bisnis penambangan data ini tak pernah terlihat dalam bisnis ini. Begitu juga dengan para driver, jarang sekali melihat bahwa akivitas berkeliling tanpa jaminan itu menjadi keuntungan data bagi aplikator. Dengan demikian, selain jaminan pendapatan dan jaminan sosial perlu juga bagi driver dan komunitas untuk menunut hak atas data yang ditambang setiap hari oleh aplikator.
Para driver tidak mendapatkan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan. Sebaliknya, mereka bekerja tanpa kepastian pendapatan, tanpa jaminan sosial dan mereka harus membayai sarana kerja sendiri, seperti biaya service kendaraan, handphone dan lain sebagainya yang kadang mereka harus berutang hingga terjebak dalam lilitan utang yang tak ada habisnya. Driver hanya dilihat sebagai angka statistik untuk menakar keuntungan perusahaan dan tak pernah dilihat sebagai manusia. Negara pun tidak pernah berpihak pada driver. Ketidakjelasan hukum, pembiaran pelanggaran dan kecarut marutan aturan dalam sektor transportasi online seperti dibiarkan sembari saling melempar tanggung jawab antar kementrian.
Perusahaan aplikator berhasil membangun hegemoni hubungan kemitraaan dengan tidak adanya ketersediaan dan jaminan lapangan kerja. Jika pun ada lowongan kerja jadi lahan bisnis mafia lowongan kerja seperti yang dialami oleh Ridho. Belum lagi situasi hari ini diperparah dengan disahkan nya Undang-Undang Cipta Kerja yang isinya mendorong fleksibibisasi hubungan kerja yang sudah sempurna melalui fleksibilisasi waktu kerja, upah, perekrutan dan pemecatan.
Sebagai penutup saya mengutip yang Ridho katakan sebelum kami berpisah setelah dua hari nongkrong Bersama. “[B]ertahun-tahun kerja, kerjanya cuma menunggu. Bentar lagi nunggu penyakit pada datang karena kerja 24 jam”.