Edisi khusus tentang strategi bertahan hidup buruh. Artikel ini merupakan serial dari hasil riset upah buruh di empat sektor yang dilaksanakan pada Oktober-November 2023. #SurveiPengeluaranBuruh
Tulisan ini berdasarkan pengamatan dan percakapan penulis bersama lima Ojol di Sukabumi. Saat itu, mereka sedang menunggu orderan di waktu malam. Pengamatan dan wawancara dilakukan saat melakukan survei pengeluaran rumah tangga dan strategi bertahan hidup Ojol di Sukabumi, pada November 2023.
Pembuka
Dua buah smartphone tergeletak di lantai tepat di samping terminal listrik tujuh lubang dengan kabel sepanjang lima meter. Salah seorang pemiliknya duduk bersila –persis berseberangan dengan kabel charger yang menjuntai pada port connector gawai. Sementara pemilik handphone satu lagi, tampak risau. Jempol kanannya sibuk mengeser-geser layar gawai yang sudah retak, buram dan penuh goresan. Berkali-kali ia memastikan daya baterai smartphone-nya terisi penuh. Di pojok ruangan, dua orang merebahkan tubuhnya sembari memandangi layar gawai masing-masing dengan tatapan kosong. Mereka sedang berkumpul di basecamp (BCkomunitas ojek online (Ojol) yang letaknya di sudut gang kecil, di pusat kota Sukabumi.
Malam itu September 2023, tepat pukul 23.40 waktu Sukabumi, sekitar 30 menit sebelum Darisman datang ke basecamp (BC), empat orang driver ojek online (Ojol): Rian, Sandi, Rofi dan Tini berjam-jam menghabiskan waktu dengan termenung dalam pikirannya masing-masing.1 Entah apa yang mereka pikirkan. Satu hal yang pasti, mereka sama-sama sedang menunggu dengan penuh harap order. Tak satu pun smartphone keempat driver Ojol tersebut menggaungkan nada dering notification sebagai tanda masuknya order ke akun mereka. Hanya suara riuh dan bising yang acak dari konten video media sosial yang mereka tonton hampir dua jam sembari menunggu order. Tontonan acak tersebut untuk sekadar mengusir kebosanan.
Datangnya Darisman pada pukul 00.15 wib sedikit menghentikan fokus mereka pada handphone. Dari balik pintu kontrakan, laki-laki bertubuh gempal berusia 33 tahun tersebut, sudah dapat diterka oleh keempat kawannya.
“Oy! Siapa itu yang datang,” teriak Rian, menyadari kedatangan Darisman. “Nah ieu, ahlinya ngalong datang juga,” tambahnya. Seisi ruangan pun menyambut datangnya Darisman dengan sumringah. Bahkan saya yang tak kenal sama sekali, juga ikut tersenyum-senyum sendiri, terbawa suasana.
Setelah melepas sepatunya, Darisman masuk dan tanpa basa basi duduk mengambil posisi melingkar. Setelah membakar rokok yang dikeluarkan dari tas kecilnya, ia mulai bercerita tentang seputar masalah harian Ojol. Tingkahnya yang kikuk dan celoteh lugunya mengundang tawa, mencairkan suasana basecamp malam itu. Kedatangan Darisman menghilangkan kantuk beberapa kawannya melalui percakapan berbahasa sunda.
Darisman membuka obrolan malam itu dengan bercerita tentang pengalamannya yang sudah dua kali selamat dari percobaan perampokan. “Saya dulu sempat mau dibacok pakai golok waktu lagi ambil order malam di Cijangkar (salah satu daerah di Sukabumi) sama genggong (geng motor),” ungkap Darisman sembari mengingat peristiwa yang ia alami tiga bulan lalu.
Walaupun sebagian cerita terpotong dengan celetukan dan candaan –karena tidak terbiasa melihat Darisman berbicara serius– namun, keempat kawannya tampak fokus memperhatikan Darisman bercerita.
“Tapi ah, cuek-lah. Jadi karena situasinya itu gelap, terus mereka (geng motor) gak lihat atribut saya (seragam Ojol). Begitu saya didekati, ngerti kalau saya ojek—eh, disarungin lagi goloknya. Pas mereka balik badan—langsung wae motor saya gas, kabur,“ ujarnya mengenang kejadian.
Pengalaman kedua kalinya Darisman berhadapan dengan begal lebih mengenaskan. Kejadiannya sekira 6 bulan yang lalu. Darisman sempat dipanggil menjadi saksi atas dugaan persekongkolan tindakan perampokan. Kejadian itu bermula saat ia mendapatkan orderan mengantar penumpang pada waktu tengah malam.
”Pernah juga dulu sekali, tapi mahga tau itu ya, udah sekongkol atau gimana begalnya, kejadiannya itu waktu saya dari Ciandam mau ke Cibolang (daerah di Sukabumi).” Tuturnya sembari mengingat.
“[D]ari belakang jalur saya sudah ada dua motor mau mepet, mendadak dia salip dan langsung menodongkan golok kepada penumpang saya. Jadi terpaksa tuh saya berhenti,” terang Darisman yang saat itu khawatir dengan penumpangnya.
Ancaman golok membuat Darisman panik, sehingga ia terpaksa menghentikan motornya dengan segera. “[W]aktu udah berhenti nih, si begal langsung teriak, ‘Handphone, dompet dan tas, cepat keluarin!’ Kebetulan di tasnya (penumpang) itu ada duit Rp2 juta. Waduh ceuk aing mah gawat ini.” Tutur Darisman sembari menirukan gaya bicara si perampok saat memaksa penumpangnya.
“Itu saya udah bukan gugup lagi—udah gak tahu mau ngapain. Akhirnya barang dan uang si penumpang berhasil dirampas oleh perampok. Kejadian itu, membuat saya dipanggil tuh ke kantor polisi, di BAP sebagai saksi dan saya dicurigai bersekongkol dengan perampok,” tambahnya, menyesali saat kejadian tersebut ia tak bisa berbuat apa-apa.
Cerita Darisman makin mengusir kantuk mata keempat orang kawannya yang sebelumnya sudah sangat ling-lung berjam-jam menunggu order. Kontrakan berukuran 7×3 meter dengan ruang tamu seluas 4×3 meter tampak riuh dengan cerita Darisman. Beberapa kawannya tampak heran, sebagian lagi tertawa oleh ekspresinya yang lugu—seolah terbiasa menghadapi kejadian yang mengancam dirinya.
Kedatangan Darisman malam itu sungguh tidak disangka oleh Rian, Rofi, Sandi dan Tini. Sejak beberapa bulan terakhir Darisman memang sudah jarang ikut ‘ngalong berjamaah’. Selain jarak jauh antara basecamp komunitas dari rumahnya, juga karena Darisman merasa lebih nyaman menunggu order sendirian.
Kebiasaan ngalong Darisman sudah sedari tiga tahun lalu. Dari pengalaman ngalong tersebut, membuat Darisman cukup banyak mengetahui aktivitas dunia malam. Tak hanya sekali kejadian buruk menimpanya, beberapa peristiwa nahas pernah dialaminya. Seolah tak pernah kapok, Darisman hanya bisa meratapi risiko kerja, sebagai konsekuensi mencari nafkah.
“Namanya juga malam, ya identik sama hal kayak gitu, yang penting kita cari duit aja deh sekarang,” ucapnya dengan getir kepada keempat kawannya.
Alasan-alasan ‘ngalong‘: Dari menghindari macet hingga kompetisi tarikorder
Sebagai tambahan informasi, ngalong merupakan istilah harian Ojol untuk menyebut onbid malam atau narik order pada jam malam. Umumnya dilakukan sedari pukul 20.30 malam hingga 06.00 pagi atau setelah melalui jam sibuk dari pukul 07.00 sampai 20.00 wib—biasanya ditandai dengan pergantian shift 2 buruh pabrik, atau merujuk istilah aplikasi sebagai jam sibuk rush hour.
Umumnya ngalong dilakukan secara bersama bagi driver yang memiliki komunitas. Tapi banyak juga dilakukan secara sendiri-sendiri. Bagi driver yang berkomunitas, ngalong bersama sedikit memberi keuntungan.
Pertama, mereka dapat melakukan koordinasi lewat live share location ketika membutuhkan pertolongan pertama jika terjadi kecelakaan, atau masalah teknis kendaraan seperti; ban bocor, bensin habis, dan sebagainya kepada Unit Reaksi Cepat (URC). Kedua, mereka dapat saling membagi order, jika salah satu dari mereka kelelahan— siasat agar tidak mengalami suspend (akun yang dinonaktifkan sementara) jika sering melakukan cancelorder. Ketiga, alasan lalu lintas yang tidak sepadat dari jam normal.
Bagi driver memilih ngalong bukan tanpa alasan. Selain berusaha mencari lalu lintas yang lebih lancar pada malam hari, ngalong juga disebabkan oleh tingginya persaingan tarik order antar-driver pada jam normal. Hal itu ditambah lagi dengan kejanggalan algoritma aplikasi yang lebih mengutamakan order pada driver baru—hal yang disinyalir membuat banyak driver lama tersingkir perlahan dari kompetisi tarik order jam normal—di luar skema persaingan akun prioritas dan non prioritas. Kejanggalan algoritma itu merupakan bentuk diskriminasi yang direkayasa dari persaingan yang ditanam dari sistem algoritma ride hailing. Alih-alih merupakan cara licik menggantikan driver lama dengan driver baru.
Sebagai driver lama, Darisman tentu mengetahui kejanggalan tersebut adalah ulah perusahaan platform. Secara tidak langsung perubahan kondisi ordernya lewat aplikasi tiap bulan kian menurun. Perubahan itu makin dirasa bersama dengan melimpahnya driver baru. “[A]plikator mah gitu, dulu waktu driver sedikit dibaik-baikin—dikasih order, sekarang udah banyak (driver) gini, driver ya dibuang aja gakdipeduliin.”
Anggapan yang sama datang dari Sandi, driver lainnya yang juga sama-sama ngalong bersama Darisman, “[D]ulu driver sedikit, di Jalan Siliwangi itu aja (daerah di Sukabumi), dulu mungkin cuma ada satu atau dua driver Maxim (menyebut aplikasi yang digunakannya) yang onbid disitu. Tapi sekarang driver udah makin banyak, jadi biasanya kalau ngambilnya di jam yang sama (merujuk jam normal), itu suka ke-sleding orderannya sama yang akun baru,” tegas Sandi. Tingginya ketersediaan driver pada jam normal membuat persaingan menjadi makin ketat. Itulah sebabnya Sandi dan Darisman serta kawan-kawannya lebih nyaman untuk ngalong.
Tidak diketahui sejak kapan para driver mulai ngalong. Beberapa driver mengatakan kebiasaan ngalong awalnya untuk menambah pendapatan atau memindah jam kerja yang dilakukan secara sukarela oleh driver. Namun sekarang situasinya berbalik, ngalong dilakukan dengan terpaksa. Beberapa driver memilih ngalong karena pada jam normal jarang mendapatkan order bahkan setelah onbid hingga 12 jam.
Berakar dari perkara tersebut juga, banyak Ojol di Sukabumi seperti Darisman bersiasat untuk lebih aktif ngalong dan menggunakan lebih dari satu platform ride hilling. Biasanya dua hingga tiga akun aplikasi berbeda platform dan layanan.
“Kalau sekarang saya pakai dua akun, pakai Maxim kalau orang-orang lagi ramai menggunakan Maxim. Sekarang fokusnya sihIndri-sih (Indrive) tapi kalau Indrimah ditarget,” ucap Darisman saat menjelaskan beberapa aplikasi yang ia gunakan.
“Indri dalam dua minggu teh harus dapat 120 penumpang, baru bisa onfire akunnya, jika sehari minimal menyelesaikan 10 order, itu baru akunnya masuk kategori baik. Aplikasi buat begini biar driver makin bapuk!” ucapnya dengan kesal saat menjelaskan sistem target Indrive yang mempersulit dirinya.
Untuk diketahui setiap aplikasi jasa ojek dan jasa antar makanan berbasis daring memiliki sistem penilaian yang berbeda. Ada yang menggunakan sistem rating angka seperti; Shopeefood, Maxim, dan Indrive. Ada juga yang menggunakan sistem pelevelan seperti Grab dan Gojek. Konsekuensi dari sistem penilaian ini kemudian membentuk pemisahan antara akun prioritas dan non prioritas. Pemisahan jenis akun prioritas dan nonprioritas seperti membentuk hierarki antara Ojol gacor dan Ojol anyep.
Terlepas dari dikotomi tersebut, banyak driver meyakini kondisi ramai dan sepinya order tidak sepenuhnya ditentukan oleh pelevelan. Riwayat jemput order, penilaian konsumen, dan lokasi wilayah onbid, hampir semuanya ditentukan secara spekulatif melalui komputasi dan sistem algoritmik. Artinya, pekerjaan Ojol ini dapat dikatakan bersifat spekulatif, karena pemberian order ditentukan sepenuhnya pada sistem yang spekulatif. Namun, sebaliknya, nilai jual aplikasi ditentukan oleh semakin banyak pengguna aplikasi (driver maupun customer). Semakin banyak aplikasi diunduh dan dinyalakan maka semakin tinggi pula nilainya di hadapan investor. Dan jika aplikasi tersebut banyak digunakan oleh penggunanya maka akan semakin banyak pula data atau infromasi yang dikumpulkan pada big data platform. Infromasi tersebut mrentang dari data pribadi pengguna, preferensi pola hidup sehari-hari hingga lokasi-lokasi tertentu yang lebih spesifik.
Sebab itu, kerajinan dan konsistensi kerja yang kemudian diukur dari rating dan level saja belum tentu berdampak sepenuhnya pada kondisi orderan. Asumsinya, aplikasi hanya berdalih menggunakan sistem leveling untuk melakukan pengendalian— para peneliti dan akademisi mengistilahkannya dengan gamifikasi, agar driver bekerja lebih rajin dan bersaing satu sama lain. Seluruh aktivitas driver dan customer tersebut menjadi data yang ditambang oleh perusahaan platform.
Pada kasus Gojek sebagaimana tulisan Ojol adalah Pekerja, Bukan Mitra! menjelaskan sistem pelevelan turut menentukan pemberian order pada driver namun pada kasus Maxim dan Indriver sistem pelevelan tersebut justru memberikan pengaruh buruk terhadap jumlah order yang diterima. Penerimaan order berlaku acak, dan tidak terukur.
Misalnya, dalam kasus aplikasi Indriver dan Maxim sebagaimana cerita dari beberapa driver Ojol di Sukabumi: Aplikator seolah dapat semaunya menentukan kepada siapa dia akan melempar pekerjaan. Hal ini membuat kita berspekulasi, besar kemungkinan aplikasi membebankan proses perluasan pasarnya pada proses penambangan data dari customer dan driver. Singkatnya, sistem informasinya belum sepenuhnya dapat diolah untuk mendukung sistem perintah pemberian order.
Praduga di atas muncul dari karakteristik market niche aplikasi Indriver dan Maxim yang selalu menawarkan tarif lebih murah bagi customer, dan rekrutmen yang mudah bagi pengemudi. Fenomena tersebut ditunjukkan melalui tren proses pembukaan pasar bisnis platform ride hailing Gojek dan Grab pada 2015-2017, di mana aplikasi menawarkan segala kemudahan bagi customer dan keuntungan besar bagi driver.
Pembukaan pasar bisnis platform dapat berarti aplikasi membutuhkan sebanyak-banyaknya data yang diperoleh dari pengemudi dan customer. Mekanisme pengerukan data ditunjukkan dengan cara kerja Geospatial Information System (GIS) yang berubah setiap harinya. Sederhananya, aplikasi mencari peluang sebesar-besarnya untuk memperkuat sistem aplikasinya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data pengemudi dan customer. Artinya, sempurnanya sistem informasi sebuah platform bukan semata-mata kerja aplikator, melainkan kerja para driver dan customer, dengan mengolah seluruh aktivitas nyata dari driver dan customer menjadi data.
Sebagai pelaku baru yang masuk gelanggang bisnis platform sekitar 2019-2021 di Indonesia, Maxim dan Indriver memiliki karakteristik meluaskan wilayah pasar bisnisnya ke wilayah atau daerah yang secara infrastruktur teknologi internetnya belum sepenuhnya mapan. Hal ini dapat dilihat dari operasi bisnis kedua paltform ini berada di wilayah ‘peri urban’, yang merupakan wilayah pinggiran kota, di mana wilayah ini terletak diantara yang bersifat kekotaan dan perdesaan, seperti Sukabumi, Serang, Karawang di Pulau Jawa. Atau jika anda pergi ke kota-kota di Kalimantan anda akan menyaksikan pasar ride hailing Maxim dan Indriver lebih banyak ketimbang Gojek dan Grab.
Beberapa fenomena janggal tersebut, sedikit membuat saya berasumsi—mungkin juga bisa salah– bahwa sebenarnya, sistem operasi aplikasi ride hailing tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi pintar. Dia dioperasikan oleh buruh back-end (biasanya disebut sebagai pengendali server) dan buruh analis data yang juga bekerja dengan jam kerja panjang. Material pengendali server dan analis data tersebut sangat bergantung pada customer dan driver.
Berdasarkan hal tersebut maka perselisihan definisi mitra mandiri yang selama ini menjadi debat panjang dapat dibuang jauh-jauh dan tidak relevan sama sekali. Sebab, perusahaan platform dapat mengatur siapa yang paling banyak menerima order—yang artinya dia jelas memberikan instruksi kerja. Perkelahian akibat rating dan level antara si anyep dan si gacor, tak lain hanya bualan Nadiem, Anthony Tan dan para Satgas aplikasi sebagai salah satu dari aparatus hegemonik dari korporasi (Baca: Hegemoni Platform) dengan tujuan agar driver terus dituntut untuk terus bekerja tak kenal lelah.
Dalam konteks itu pula, para penyelenggara negara yang keras kepala melegitimasi bahwa Ojol sebagai mitra merupakan orkestrasi kebodohan yang melihat relasi kerja Ojol dan perusahaan paltfrom dari sudut pandang industri manufaktur Abad 19. Itu artinya narasi soal ‘ekonomi digital’ yang sering digaungkan pemerintah terlihat cetek, tak menguasai dan cuma ikut-ikutan trend global, tanpa pernah memitigasi hubungan-hubungan sosial yang diciptakan dari ekonomi digital termasuk hubungan perburuhan di dalamnya.
Oleh karenya, asumsi bahwa perusahaan platform hanyalah sebagai penyedia jasa aplikasi tentu saja tidak masuk akal, karena ada kerja yang diinstruksikan lewat algoritma ketika driver menerima order dan ada mekanisme suspend jika driver melakukan cancel order. Khotbah dan bualan mereka terhadap driver Ojol sebagai mitra mandiri yang dapat menentukan kerjanya secara sendiri begitu mudah dipatahkan, lebih jelasnya baca tulisan sedane Ojol adalah Pekerja bukan Mitra! Dan ‘Upah Piece Rate’,Kolonialisme Data dan Pemiskinan Ojol.
Narik hingga larut, pendapatan tetap surut
Alasan Ojol menggunakan lebih dari satu aplikasi bisa beragam di antara satu driver dan lainnya. Namun, secara umum hal itu merupakan siasat driver jika salah satu akun mengalami kendala seperti; suspend, menambal minus orderan, atau mencari peruntungan lewat limpahan order ketika ada promo aplikasi tertentu.
Tak jarang pula pilihan menggunakan lebih dari satu aplikasi dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan tunai, dengan asumsi salah satu akun gacor dan lainnya anyep.
Ada pula keadaan di mana driver berutang pada salah satu akun yang dapat dimaksimalkan minus saldonya, kemudian mengisi saldo pada salah satu akun gacor yang dapat menghasilkan uang tunai agar tetap dapat digunakan.
Namun, tak jarang yang terjadi justru sebaliknya. Meski sudah menggunakan lebih dari satu akun aplikasi, orderan tetap anyep. Begitu pula tujuan menutup saldo, malah berputar-putar saling menutupi saldo dari akun satu ke akun lainnya. Para Ojol menyebut situasi dua akun yang sama-sama sepi order tersebut dengan istilah ‘kerja bakti akun’. Cara ini sebetulnya hanya akan menguntungkan perusahaan platform yang menguasi pasar pada wilayah di mana driver beroperasi. Sementara driver situasinya tidak berubah, ‘kerja bhakti akun’ sekedar untuk menyelamatkan diri agar tetap bertahan hidup dan lebih mirip perbudakan ketimbang kerja bakti membangun masjid yang memiliki nilai ibadah.
Anehnya lagi, beberapa platform ride hailing melalui serangkaian aturan kode etik -yang dibuat tanpa kesepakatan dengan driver Ojol- secara tidak langsung ‘melarang’ para driver memiliki akun lebih dari satu platform. Misalnya, dalam aturan tentang klaim asuransi kecelakaan tidak akan diproses jika akun dan atribut yang digunakan driver saat mengalami kecelakaan berbeda. Praktik ini sebetulnya bertolak belakang dengan narasi yang dibangun oleh mereka (aplikator) sendiri. Di mana para driver disebutkan sebagai kontraktor independen ternyata tidak sama sekali merdeka. Lagi-lagi definisi tentang kemandirian dan kebebasan pekerja platform layak dipertanyakan.
Kembali ke soal alasan driver memiliki lebih dari tiga akun. Dengan dalih ingin menambah pendapatan, dan berharap akan membuahkan hasil yang setimpal justru malah menambah jam kerja driver. Rata-rata para driver bekerja lebih dari 10-12 jam sehari, jika menggunakan satu hingga tiga aplikasi sekaligus. Aplikasi yang umumnya digunakan Ojol Sukabumi adalah; Gojek, Grab, Maxim, Indrive, dan Shopeefood. Dengan layanan jasa antar penumpang dan jasa antar barang dan makanan.
Jam kerja 10-12 jam tersebut belum diakumulasi jika salah seorang driver telah melakukan onbid pada jam normal sebelumnya. Jika dihitung dengan penambahan jam onbid normal, jam kerja driver bisa mencapai 15 jam per hari. Bahkan, beberapa driver mengatakan bekerja selama 20 jam per hari. Hal ini sangat tergantung dengan kondisi orderan yang memengaruhi pendapatan driver.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak (KHL) tentang pengeluaran rumah tangga buruh di 4 sektor industri (gig ekonomi, manufaktur, pertambangan dan perkebunan) menunjukkan rata-rata pendapatan kotor driver sebesar Rp95 ribu/hari, Rp660 ribu/minggu dan Rp2,6 juta/bulan. Dengan rata-rata jam kerja 14 jam dalam sehari atau 418 jam dalam sebulan. Pendapatan tersebut kotor, atau belum dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk bahan akar dan konsumsi makanan dan minuman saat onbid.
Tabel 1. Rata-rata jam kerja dan pendapatan Ojol di Sukabumi
Jenis Kategori Jam Kerja
Jumlah Jam Kerja
Total Upah Rata-rata Kotor Ojol
Rata-rata Jam Kerja Per Hari
14,9 Jam
Rp.95.272,73
Rata-rata Jam Kerja Per Minggu
104,6 Jam
Rp.666.909,09
Rata-Rata Jam Kerja Per Bulan
418,3 Jam
Rp.2.667.636,36
Survei Pengeluaran Rumah Tangga Buruh di 4 Sektor tahun 2023.
Survei ini dilakukan di 9 kota/kabupaten yang tersebar di 4 provinsi2 dengan jumlah responden sebanyak 181 orang. Dari total responden survei, sebanyak 33 responden diantaranya adalah driver Ojol di Sukabumi, Jawa Barat. (unduh hasil survei di sini)
Dari data survei, pengeluaran terbesar rumah tangga Ojol untuk kategori non makanan yang dikeluarkan oleh 33 responden driver Ojol Sukabumi menunjukkan, pengeluaran terbesar pertama adalah pengeluaran untuk bahan bakar kendaraan sebesar Rp31 juta dan pengeluaran untuk angsuran kendaraan sebesar Rp19 juta. Dengan kata lain, total pengeluaran rata-rata Ojol di Sukabumi untuk biaya bahan bakar dan angsuran kendaraan sebesar Rp1.5 juta per bulan.
Tabel 2. Pengeluaran terbesar Ojol Sukabumi
Rata-Rata Pengeluaran Bahan Bakar Motor Satu Bulan Terakhir
Rp. 31,305,000
Rata-Rata Biaya Angsuran Pembelian Motor dalam Satu Bulan
Rp. 19,085,000
÷ 33 Responden
Total: Rp.50.390.00 ÷ 33= Rp. 1.526,969,7
Survei Pengeluaran Rumah Tangga Buruh di 4 Sektor tahun 2023.
Survei ini menunjukkan bahwa 65 persen pendapatan Ojol di Sukabumi, selama satu bulan penuh, dikeluarkan hanya untuk kebutuhan non makanan yang mendukung fasilitas kerja mereka. Artinya, driver hanya mengantongi pendapatan kotor Rp1,140,667 dalam sebulan. Angka ini setengah dari UMK Sukabumi tahun 2023 sebesar Rp2,747,744.
Terkait jam kerja, total jam kerja Ojol 418 jam per bulan menunjukkan situasi kerja yang sangat buruk jika merujuk pada jam kerja ideal yang hanya 160 jam per bulan untuk buruh pabrik. Dengan kata lain, total jam kerja Ojol setara dengan dua bulan tiga minggu kerja buruh pabrik, dengan upah setengah dari upah sebulan buruh pabrik.
Survei ini mengkonfrimasi temuan lapangan saya secara acak pada Ojol di luar Sukabumi. Bahkan pendapatan mereka lebih rendah dari hasil survei pengeluaran Ojol di Sukabumi. Dengan pendapatan berkisar antara Rp65-Rp75 ribu per hari dengan jam kerja lebih dari 14 jam dalam sehari.
Mencukupi pendapatan dengan berburu pelanggan
Agar tetap bertahan dalam gelanggang kompetisi di tengah ribuan ketersedian Ojol dari bermacam aplikasi, sistem rating dan pelevelan akun prioritas memaksa para driver untuk terus berpikir sekeras mungkin mencari celah agar tetap mendapat order. Salah satunya dengan memindahkan atau menambah jam kerjanya. Dengan kata lain, akun driver akan dianggap memiliki nilai guna jika memperpanjang jam kerjanya.
Hal tersebut pula yang dilakukan oleh Darisman, Rofi, Sandi, Rian dan Tini. Ngalong hanyalah satu dari beragam strategi untuk bertahan hidup. Mereka dipaksa untuk ngalong sembari mengharapkan kebaikan pelanggan atau mencari pekerjaan sampingan sebagai ojek offline dengan menggenjot penuh kualitasnya sebagai driver. Hal tersebut tercermin dalam pernyataan Rian.
“Jadi kalau ngalong, driver kan suka sedikit, terus customer-nya suka baik. Tarif yang biasanya Rp 10 ribu bisa jadi Rp15 ribu—sering dikasih tips kalau malam, mungkin karena customer-nya kasihan kali sama driver-nya suka masang muka melas,”
Rian, Ojol Sukabumi (November 2023)
Selain memaksa diri mengejar peruntungan pada jam malam, praktik mencari pelanggan offline atau tanpa aplikasi yang umum dilakukan para driver kerap dinyatakan secara politis. Terutama bagi mereka yang menyadari kerugian akibat potongan tarif aplikasi. Sebagaimana yang diungkapkan Tini, Ojol perempuan yang sudah sejak 2017 bekerja sebagai Ojol.
“Driver kan sekarang banyak ya, sekarang kalau bisa, semua yang online kita offline-kan, biar bisa abonemen (berlangganan) sama kita-nya. Kalau offline kita-kangak bakal dapat potongan tarif, jadi itu strategi kita juga sih untuk mengelabui aplikator,”
Tini, Ojol perempuan Sukabumi (November 2023)
Hal yang berbeda dilakukan Darisman, selain pengalaman ngalong-nya yang terjal. Ada beberapa hal yang membuat saya sedikit tersentak ketika mengetahui cerita pekerjaan sampingannya. Sejak 2021 Darisman bekerja aktif mengantar pelanggan offline, sebagai ojek khusus antar jemput pekerja seks.
“Dia mah bukan nyari customer aja, anjelo (antar jemput lonte) kelas kakap kalau dia mah—gacor orderannya di situ,” ledek Rofi cekikikan, menunjuk Darisman, yang diketahui keduanya memiliki pekerjaan yang sama sebagai kurir anjelo.
Darisman dan Rofi adalah beberapa dari Ojol Sukabumi yang diketahui bekerja sebagai ojek bagi pekerja seks. Karena kebiasaan ngalong dan sedikit dibantu melalui sistem peer to peer aplikasi Indrive yang saat itu masih terkoneksi ke Whatsapps (WA), Darisman dan Rofi berhasil menjadikan pelanggan online pekerja seks sebagai langganan offlinenya. Keduanya menganggap pekerjaan antar jemput khusus pekerja seks tersebut sebagai pekerjaan sampingan. Menurut Darisman, pekerjaan sampingan tersebut sedikit memberinya keuntungan.
“Awalnya kenal itu lewat WA, Indrive kan dulu kontaknya langsung ke WA ya. Pertama kenal mamih-nya dulu, nganterin satu orang aja—pulang balik biasa sih dapat Rp100 ribu-Rp150 ribu tergantung kondisi,”
Darisman, Ojol Sukabumi (November 2023)
Sikap Darisman yang ramah dan mudah diajak ngobrol, membuat banyak pelanggan pekerja seks senang diantar olehnya. Kemampuan komunikasi Darisman yang memperlakukan baik dengan pelanggan kerap mendapatkan tips yang berlipat. ”Eh lama-lama, teteh-nya (pekerja seks), itu mulai sering langsung kontak (offline tidak melalui aplikasi). Dari situ saya biasa antar jemput dua orang dalam semalam. Biasa dapat Rp 150 ribu – Rp200 ribu, alasan tetehnya-sih, udah nyaman sama tukang ojeknya,” ucapnya, bangga.
Jika mujur, biasanya penghasilan Darisman bisa menyentuh angka Rp3-Rp4 juta per bulan. Rentang pendapatan itu, selama sebulan sebenarnya sangat bergantung dengan kondisi orderan, pekerja seks yang meminta jasanya. Namun, dibanding dengan pendapatan dengan menggunakan aplikasi, hal ini jelas memberi sedikit kepastian pendapatan bagi Darisman, karena model peer to peer.
Meski secara pendapatan ngalong lebih tinggi, menurut Darisman bekerja di malam hari untuk antar jemput pekerj seks memiliki risiko. Pria yang terbiasa dengan situasi malam yang mencekam ini, berberapa kali mendapatkan penumpang dalam keadaan mabuk, hampir dibacok, hingga dituduh kurir pengantar narkoba.
“Dulu pernah kejadian, pas subuh, saya pernah diperiksa polisi karena sering antar anjelo yang suka pakai sabu— pas jemput saya diperiksa, digeledah dikirain saya kurir yang ikut bawa barang (narkoba).”
Darisman menjelaskan, sekali waktu ada seseorang meneleponnya dan mengaku sebagai pelanggan. Tanpa berpikir panjang, Darisman pun menjemput penelepon tersebut. Ketika tiba di tujuan penjemputan ternyata orang tersebut dari kepolisian. Ia diintrogasi.
“Jadi kejadiannya itu, polisinya pura-pura nelpon sebagai pelanggan saya. Jadi waktu itu langsung gerak cepat saya jemput, Begitu tiba di lokasi polisi sudah ramai. Saya langsung diinterogasi. Saya ditanya macam-macam yang bisa saya jawab cuma, ‘gak pak!Saya ojek mau jemput aja’,” terang Darisman saat menjelaskan ke polisi kala itu.
Dengan nada lemas Darisman meneruskan, “Namanya ketemu Buser (tim buru sergap kepolisian untuk tindak kriminal)—begitu kan repot, diperiksa ditanya berkali-kali saya bilang ‘saya mah Ojol pak’.Tapi mereka tetap gak percaya. Jadinya diinterogasi dulu, ditanya-tanya, motor diperiksa, dompet, saku semua diperiksa. Gak ada barang bukti, baru akhirnya dia nanya baik-baik.” terang Darisman.
Untungnya, keterangan Darisman dikuatkan karena di lokasi kejadian ada salah satu kenalannya yang berprofesi sebagai tukang parkir. “Ini orang tukang ojek pak, kenapa mau ikut ditangkap’,” Darisman menirukan kalimat tukang parkir, yang membelanya.
Darisman melanjutkan, “Akhirnya untuk proses, saya dipanggil lagi untuk jadi saksi di kepolisian, kejadian pertama dan terakhir, jangan sampai terulang lagi,” gerutunya dengan sesal.
***
Sudah sekitar tiga bulan terakhir Darisman tidak lagi mendapatkan orderan mengantar pekerja seks. Dia meyakini, banyak dari pelanggannya telah berpindah kota, dan beroperasi di wilayah lain. “Sekarang juga, orderan anjelo lagi anyep, kayanya teteh-nya sekarang banyak yang sudah pindah ke Jakarta, mesti mikir lagi saya harus ngapain sekarang.” ucap Darisman.
Sebelum bekerja sebagai driver Ojol, Darisman sempat bekerja sebagai penjaga toko baju, pekerja pembersih lingkungan hingga kuli bangunan serabutan. Semua pekerjaan dilakoninya dengan sunguh-sungguh. ”Saya apapun kerjanya yang penting halal, bisa buat makan—biar dari anjelo, tapi kan saya cuma ngojek.”
Kini menjadi driver Ojol adalah pekerjaan tetap Darisman. Hingga sejauh ini Darisman tak pernah menyangka akan bekerja sebagai driver Ojol yang penuh dengan risiko. Dalam angannya dia selalu memimpikan sebuah pekerjaan yang layak untuk menafkahi dirinya dan anak istrinya. “Pengen-nya sih, kerja di keuangan, biar bisa main slot terus,” jawabnya sambil tertawa.[]
Semua nama-nama dalam tulisan ini, untuk alasan keselamatan penulis samarkan ↩︎
Lokasi Survei: Jawa Barat (Sukabumi), Banten (Kabupaten dan Kota Tangerang), Jawa Barat (Kota Sukabumi), Jawa Tengah (Kota dan Kabupaten Semarang, Grobogan, Klaten dan Boyolali), Sulawesi Tengah (Kabupaten Morowali dan Buol) ↩︎
“Sebagai serikat pekerja di Indonesia yang setia kepada nilai-nilai Pancasila, kita harus mencegah agar paham komunisme tidak masuk dalam serikat pekerja. Itu sangat berbahaya!” Hantu komunisme terus bergentayangan di kancah perpolitikan –baik elit maupun akar rumput– di Indonesia. Hampir 37 tahun setelah Perang Dingin berakhir dan lebih setengah abad setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan […]
“Mamah kerja dulu, ya. Adek tunggu di rumah sama kakak!” Kalimat itu sering diucapkan Marsha (bukan nama sebenarnya) kepada anak bungsunya sebelum berangkat bekerja. Marsha adalah pengemudi ojol. Anak bungsunya yang berusia empat tahun sering menangis tak mau ditinggal oleh ibunya. “Jadi, bagaimana kalau anaknya nangis sebelum berangkat kerja?” tanya saya penasaran. Marsha menundukkan kepala. […]
Kementerian Ketenagakerjaan, berencana untuk menghapuskan status mitra bagi pengemudi ojek online (ojol) karena tidak memberikan hak-hak ketenagakerjaan dan perlindungan secara penuh. Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja, Plt Menteri Ketenagakerjaan Airlangga Hartarto akan membuat regulasi berbentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan bagi perlindungan pekerja platform termasuk taksi online (taksol) dan kurir. Persoalan status mitra sudah lama diprotes sejak […]