Pukul 13.00 pemungutan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) A berakhir. Tim PPS (Panitia Pemungutan Suara) sibuk merapihkan meja, kursi dan menyiapkan kertas perhitungan suara. Mereka akan menghitung perolehan suara Pemilihan Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Tiga perempuan berkerudung kelahiran 2000-an duduk kaku memegang kertas dan pulpen. Mereka adalah saksi dari tiga partai politik.
Di luar TPS, puluhan laki-laki setengah baya dan Lansia bergerombol di teras rumah dan di tengah jalan yang berukuran satu meter. Mata mereka tertuju ke dalam TPS. Mereka tidak sabar ingin mengetahui perolehan suara Pemilu. Di sekitar mereka anak-anak mondar-mandir dan merengek meminta jajan. “Huh, jajan terus,” keluh salah satu orang tua sembari mengeluarkan uang dari kantongnya.
Di teras rumah empat lelaki usia 20 tahunan memainkan handphone dan saling mengejek.
“Gak nyoblos ya?”
“Dia mah belum cukup umur!”
“Bukan. Dia mah Golput.”
Lelaki yang diejek hanya nyengir.
“Kita (taruhan) Rp25 ribuan, nomor berapa yang menang,” timpal lelaki lain. Keempatnya bersepakat.
Sebuah sepeda motor matik tergopoh-gopoh membuyarkan kumpulan lelaki yang menghalangi jalan kecil tersebut. Sepeda motor yang dikendarai perempuan usia 25 tahunan. Dia membonceng teman perempuan seusianya. Dua perempuan tersebut mengenakan kerudung putih, kemeja biru muda dan celana jins coklat muda. Sembari memegang kemudi sepeda motor, perempuan tersebut mengangkat dua jari, menggoyangkan kepala dan berbisik, “Satu putaran, satu putaran!” Mata-matanya celingak-celinguk, seperti ragu.
‘Satu putaran’ merupakan salah satu kampanye Paslon (Pasangan Calon) Presiden Prabowo-Gibran.
Di hari biasa, saya kerap berpapasan dengan dua perempuan tersebut di pagi hari: saya mengantar anak sekolah, sementara dua perempuan tersebut menuju pabrik.
Inilah proses Pemilihan Umum di salah satu TPS di salah satu RW (Rukun Warga) di Kabupaten Bandung. Di RW tersebut terdapat empat TPS. TPS A bersebelahan dengan TPS B. Dua TPS lainnya dilaksanakan di tempat terpisah.
Kampung ini diapit oleh tiga pondok pesantren modern yang cukup populer di Bandung Raya. Santrinya ribuan. Dua pondok pesantren dengan santri ratusan hanya berjarak dua kilometer.
Dua tokoh dari tiga pondok pesantren di atas menyatakan pilihannya dalam Pemilu Pilpres. “Mau pilih nomor 2 silakan. Mau pilihan nomor 3, silakan. Kalau mau ikut saya, pilih nomor 1,” kata salah satu pimpinan pondok pesantren di salah satu acara pengajian umum. Bagi sebagian santri, untaian kalimat itu bukan pilihan. Tapi bermakna: jika tidak memilih nomor 1 berarti tidak mengikuti titah kiyai.
Kiyai lainnya, sepanjang masa kampanye Pilpres mengumpulkan para ustaz dan tokoh masyarakat setiap Jum’at malam. Acaranya dibalut dengan judul Istigasah. Sebelum atau sesudah acara Istigasah, sang kiyai mengarahkan agar jemaah memilih pasangan nomor 1.
Tentu saja mayoritas warga di RW tersebut beragama Islam. Hanya ritualnya yang beragam. Ada yang melaksanakan Tahlilan dan Maulidan, dan ada pula yang menolak. Tak jarang, keluarga yang melaksanakan Tahlilan dan Maulidan, menyekolahkan anaknya di lembaga yang menolak Tahlilan dan Maulidan. Begitu pun sebaliknya.
Agama Kristen di kampung ini jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Beberapa di antara penganut Kristen membuka warung kelontong, bahkan ada yang membuka praktik dokter umum. Warga sekitar lumrah berobat ke dokter tersebut. Interaksi warga meski berbeda ritual agama, bahkan tidak sama dalam beragama, berjalan biasa saja. Meskipun tidak dibumbui dengan kalimat heroik, ‘toleransi keberagamaan dalam Bhineka Tunggal Ika’. Kiyai di kampung tersebut kerap menasihati, menghormati tetangga meskipun tidak seagama merupakan bagian dari ibadah.
Ketika Jakarta diramaikan dengan Aksi Bela Islam, pada 2016, warga di kampung tersebut ikut meramaikan. Tak kurang dari dua bus mengantarkan warga mengikuti demonstrasi di Jakarta.
Empat kilometer dari kampung tersebut berjejer pabrik tekstil, baja, makanan, minuman, dan pengolahan plastik. Beberapa warga di RW tersebut bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Warga lainnya ada yang berprofesi sebagai guru, buruh konveksi, pengusaha konveksi, pedagang, petani kaya dan petani penggarap. Secara umum, berdasarkan statistik desa, dari 10761 penduduk terhimpun di sebelas RW. Dari total penduduk sebanyak 6,1 persen sebagai wiraswasta, 23 persen mengurus rumah tangga, 19 persen menganggur, sisanya adalah buruh yang bekerja formal dan informal. Sementara jumlah pelajar hanya 26 persen.
Ketika operasi pembantaian 1965 dilakukan sejumlah warga diciduk dan tidak kembali hingga sekarang. Satu warga ditembak ditempat di kakinya sehingga berjalan pincang. Sebelum Soeharto digulingkan, keluarga penyintas diwajibkan lapor kepada aparat keamanan setiap Pemilu diselenggarakan.
Di TPS A terdapat 196 DPT (Daftar Pemilih Tetap), tapi hanya 176 yang menggunakan hak pilihnya, dengan pengguna hak pilih laki-laki dan perempuan seimbang. Dari jumlah tersebut, pemilih termuda berusia 17 tahun dan tertua 70 tahun. Secara keseluruhan, usia di bawah 40 tahun mencapai 60 persen dari DPT.
***
Proses perhitungan pun berlangsung. Tim PPS membacakan dan menuliskan hasil pencoblosan. Ketika nama Paslon (Pasangan Calon) nomor 1 disebut, penonton suara bersorak senang.
Langit mendung. Tenda TPS masih kuyup bekas air hujan. Dua lelaki Lansia berpeci putih dan menggunakan sarung memasuki TPS. Mereka duduk di kursi plastik yang disediakan PPS untuk pemilih. Diikuti oleh dua lelaki tengah baya. Mereka saling berbisik mengenai jagoannya.
“Nomor 2!” sebut Ketua PPS.
“Nomor 3!” tambah Ketua PPS.
“Duh, ada aja yang milih Ganjar,” timpal salah satu lelaki Lansia, yang dikenal sebagai pemilik kontrakan di kampung tersebut.
Terlihat perolehan suara nomor 2 mengungguli nomor 1.
Tiba-tiba datang dua lelaki lain, “Di TPS sebelah, nomor 2 menang.”
Beberapa mata di TPS tertuju ke sumber suara. Kemudian kembali lagi ke TPS A. Wajah lelaki tengah baya dan Lansia murung.
“Di TPS lain, nomor 1 menang,” tambah lelaki pembawa berita tersebut.
“Sebentar lagi (di TPS A), nomor 1 akan nyusul nomor 2,” yakin lelaki Lansia.
Dua anak perempuan mengintip dari tiang TPS. Tangannya menggenggam handphone. Suara musik dan nyanyian terdengar dari di telepon genggamnya, ‘oke gas, oke gas’. Dia bertanya kepada saya,
“Pilihannya, apa?”
“Kalau kamu apa?” Saya bertanya balik.
“Nomor 2 dong!”
“Kenapa?” tanya saya.
“Karena gemoy. ‘Kan ada Gibran.”
“Tahu darimana gemoy dan Gibran?” susul pertanyaan saya.
“Dari Tiktok,” jawab dua anak perempuan tersebut sembari menyembunyikan diri di kain yang membatasi tenda TPS A.
Proses perhitungan Pilpres (Pemilihan Presiden) berakhir. Tim PPS merapihkan kertas suara hasil pemilihan. Mereka menghitung ulang jumlah pemilih dan membandingkannya dengan DPT.
Sementara di TPS B tim PPS tengah membacakan perolehan suara calon anggota DPD. Tim PPS dan penonton tak berhenti bersorak ketika mendapati kertas suara yang memilih Alfiansyah Komeng.
“Hidup Komeng!”
“Komeng, Uhuy!”
Tiba-tiba terdengar suara menggerutu. “Kok ada yang memilih Aceng Fikri, yang kena kasus itu?!”
Di TPS A tim PPS mengumumkan perolehan suara. Pasangan nomor 1 mendapat 75 suara, nomor 2 mendapat 91 suara dan nomor 3 sebanyak 6 suara.
Tim PPS pun melanjutkan perhitungan surat suara anggota DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Satu per satu penonton meninggalkan TPS.
Langit mulai gelap. Orang-orang tidak tertarik lagi menyaksikan perhitungan suara.
Perhitungan suara berakhir pukul 3 pagi. Semua peralatan Pemilu segera dirapihkan untuk dikembalikan ke KPPS tingkat desa. Tapi, tim PPS meminta istirahat karena merasa sangat lelah.
“Sudah tiga hari, tidur saya tidak teratur. Karena harus membagikan kertas pemberitahuan pemilih, menyiapkan tenda (TPS), dan macam-macam. Ini hari keempat saya tidak tidur lagi,” keluh salah satu tim PPS.
***
Pukul 7 pagi, tim PPS memeriksa kembali hasil perhitungan suara. Kemudian menyalin hasil perolehan suara dalam formulir yang telah disediakan KPU.
Di TPS A, suara terbanyak anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) ditempati oleh Alfiansyah Komeng sebanyak 36 suara.
Total perolehan suara partai politik dan calon legislatif DPR ditempati oleh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebanyak 73, PKS 38, Gerindra 18, Golkar dan PAN 7, PDIP 5, Nasdem dan PPP 3, PSI 2, Partai Buruh dan Partai Kebangkitan Nusantara 1 suara. Sementara Partai Gelora Indonesia, Hanura, Garuda, PBB, Demokrat, Perindo dan Partai Ummat mendapat 0.
Perolehan suara partai politik dan calon legislatif DPRD Provinsi ditempati oleh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebanyak 66, PKS 32, Gerindra 19, Golkar 12, PAN 7, PBB 5, PDIP dan Nasdem 4, PPP dan Demokrat 3, PSI 2 dan Partai Buruh 1. Sementara Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Gelora Indonesia, Hanura, Garuda, Perindo dan Partai Ummat tidak ada yang memilih.
Perolehan suara partai politik dan calon legislatif DPRD Kabupaten urutan tertinggi ditempati oleh PKS 86, diikuti oleh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) 58 suara, Gerindra 7, Golkar 5, PDIP 3, PPP dan Demokrat 2, PAN, Partai Buruh, Perindo, dan PSI 1. Sementara Nasdem, Hanura, Garuda, Gelora Indonesia, Partai Kebangkitan Nusantara, PBB dan Partai Ummat tidak memperoleh suara sama sekali.
Komengisme
Suara pemilih DPD mengalir kepada komedian Alfiansyah Komeng. Komeng telah dikenal sebagai sosok lucu, termasuk tampilan fotonya ketika muncul di kertas suara. Tentu saja citra lucu tidak memiliki relasi dengan fungsi politik DPD. Merasa ‘lebih kenal’ merupakan salah satu alasan pemilihan Komeng. Sebelum ramai media sosial, Komeng sering muncul di layar kaca televisi dalam acara komedi.
Di TPS A suara partai pendukung Paslon Anies-Muhaimin menempati posisi tertinggi. Sedangkan suara partai pendukung Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud sangat kecil. Tapi, suara Pilpres lebih banyak ke Paslon Prabowo-Gibran.
Identitas kelas, agama, keanggotaan di partai politik, organisasi massa yang terhubung dengan partai politik dan birokrasi desa, tidak terlalu menonjol dalam pemenangan Prabowo-Gibran. Sepanjang jalan desa tidak lebih dari tiga baliho jumbo dari tiga Paslon.
Memang ada desas-desus yang beredar, jika tidak memilih nomor 2 akan dicoret sebagai penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan PKH (Program Keluarga Harapan). Tapi, penerima bantuan pemerintah di kampung tersebut tidak lebih dari lima orang. Aparat desa pun tidak terlalu menonjol dalam mengarahkan pilihan Pilpres. Diketahui umum, kepala desa di kampung tersebut cenderung berada di barisan nomor 1. Kepala desa dan keluarganya rajin mengarahkan warga untuk menghadiri Istigasah tiap Jum’at malam.
Sejumlah survei menyebutkan bahwa rentang usia berpengaruh terhadap pilihan Pilpres. Sementara Generasi X cenderung memilih nomor 1 dan 2, Generasi Z dan Milenial cenderung ke pilihan nomor 2 (Katadata.co.id, 8/12/2023). Menurut KPU (Komisi Pemilihan Umum), jumlah pemilih dari Generasi Z dan Milenial mencapai 56 persen dari 204.807.222 pemilih (Katadata.co.id, 5/7/2023). Jumlah rentang usia muda tersebut tidak jauh berbeda dengan jumlah pemilih di TPS A.
Umum diketahui, Generasi Z dan Milenial mengisi waktu luangnya dengan bermain media sosial. Menurut lembaga survei konsumen, Populix, sebanyak 76 persen dari 1.772 responden Generasi Z dan Milenial paling sering mengakses media sosial dalam bentuk konten hiburan baik berupa foto maupun video (Populix.co, Maret 2023). Kecenderungan tersebut tentu saja memperlihatkan kualitas lembaga pendidikan yang gagal mendorong minat berpikir dan membaca. Kecenderungan penggunaan media sosial tersebut seringkali dijadikan alat monetisasi para content creator, alih-alih memanfaatkan kebodohan rakyat.
Sementara itu, ruang-ruang offline diisi oleh Generasi X dan beberapa Geneasi Milenial. Di kampung TPS A, ruang offline itu diisi dengan nasihat para kiyai yang berulang: orang miskin harus bersabar, orang kaya harus bersyukur. Ruang offline itu mengambil bentuk pengajian mingguan dan harian. Tak jarang pengajian tersebut menggunakan pengeras suara. Tentu saja tidak ada isu perburuhan di kampung TPS A. Karena isu buruh hanya bergemuruh ketika kenaikan upah minimum yang berlaku bagi buruh formal. Dan, identitas buruh hanya disebut di dalam pabrik ketika muncul sengketa ketenagakerjaan.[]
Penulis
-
Syarif Arifin
-
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane