Perempuan yang tinggal dan bekerja di dalam kebun
Jika sebelumnya saya menuliskan bagaimana kisah salah satu buruh perempuan di kebun sawit yang berstatus sebagai buruh tempel. Pada tulisan kali ini saya akan mencoba menguraikan bagaimana kondisi kerja secara umum yang dialami kebanyakan buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit milik salah satu pengusaha yang pernah dinobatkan sebagai perempuan terkaya di Indonesia, Hartati Murdaya Poo.
Buruh perempuan yang bekerja di PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) milik Hartati Murdaya Poo banyak ditempatkan pada bagian perawatan. Di kebun sawit, kerja perawatan diantaranya: membersihkan pelepah sawit (pruning), penyemprotan pestisida dan pemupukan pohon sawit. Kerja-kerja yang memiliki risko tinggi terhadap kesehatan reproduksi, seperti terpapar bahan kimia.
Di PT HIP banyak ditemukan satu keluarga yang sama-sama bekerja di kebun sawit. Suaminya bekerja sebagai pemanen sementara istrinya bekerja di bagian perawatan. Rata-rata buruh perawatan bekerja dengan status tetap atau PKWTT. Namun sejak 2 tahun belakangan diberlakukan sistem PKWT atau kontrak. Masa kontraknya enam bulan, dengan dua kali perpanjangan sebelum diangkat sebagai buruh tetap. Itupun jika beruntung atau selamat dari pemecatan.
Buruh kontrak yang diangkat jadi tetap, meskipun statusnya hubungan kerjanya berubah, tak berpengaruh pada upah yang diterima. Di PT HIP, buruh kontrak maupun tetap menerapkan sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil yang berbasis pada target. Oleh karena itu, jika buruh tidak masuk kerja dengan alasan apapun perusahaan tidak memiliki kewajiban membayar upah.
Sistem target yang tinggi kerap membuat para buruh perempuan bekerja lebih panjang. Penentuan target ini ditentukan berdasarkan kondisi kebun dan usia pohon sawit, serta arahan dari mandor. Berapa jumlah pohon yang dibersihkan, luasan kebun yang dipupuk atau disemprot oleh buruh perawatan. Dengan kata lain, untuk mendapatkan upah lebih besar maka para buruh harus menambah target kerja mereka. Hal itu berpengaruh pula pada perpanjangan waktu kerja. Kondisi kerja demikian mirip dengan buruh panen, tidak pernah ada lembur serta tunduk pada target dan jumlah hari kerja untuk mendapatkan benefit lebih seperti cuti dan THR.
Buruh perawatan, khususnya untuk pekerjaan memupuk dan menyemprot pestisida, kesehariannya akan berhadapan dengan bahan kimia. Bersentuhan dengan bahan kimia berbahaya yang terkandung di dalam pupuk dan pestisida, rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi buruh perempuan. Beberapa buruh bahkan pernah mengalami kebutaan akibat terkena uap dari pestisida yang disemprotkan. Sebagaimana yang dialami salah satu buruh perawatan yang harus pensiun dini karena matanya sudah tidak lagi berfungsi lagi dengan baik akibat terkena uap dari pestisida saat menyemprot. Sebelum memutuskan pensiun dini, buruh tersebut mengambil SKS[1] atau cuti sakit yang membutuhkan pemulihan dalam jangka panjang selama 6 bulan. Saat menambil pensiun, perusahaan hanya memberikan pesangon sebesar Rp50 juta. Pembayarannya dicicil selama 6 kali. Harga yang sangat tidak pantas dan sangat merendahkan buruh.
Dalam hal K3, PT HIP memasang beberapa rambu-rambu K3 di area kebun sawit. Seperti memasang plang peringatan tentang kehati-hatian dalam bekerja. Namun beberapa rambu tersebut membuat saya garuk-garuk kepala, karena pilihan istilah dalam kalimat peringatan tersebut terkesan seksi. Sebagaimana gambar di bawah ini, tertulis “Hati-hati dalam bekerja ayah, bunda tidak ingin jadi janda apalagi ayah cari janda”, “Pelakor (Penyebab Lahirnya Korban). Jangan gara-gara Pelakor ayah meninggalkan bunda. Hindari Pelakor dengan cara Setia (Selalu Bertindak Aman)”. Pemilihan bahasa seksis ini sebagai bentuk wujud slogan yang merendahkan perempuan. Apalagi rambu-rambu K3 ini adalah rambu resmi yang dipasang oleh perusahaan.
Foto rambu-rambu tentang K3 di kebun PT HIP (sumber: istimewa)
Dengan rambu-rambu konyol tersebut tentu saja tidak menjamin buruh khususnya perempuan aman dalam bekerja. Sebaliknya, semakin meneguhkan budaya patriarki yang mengakar di desa. Selain soal bahasa yang seksis, pemasangan rambu seolah-olah perusahaan telah melaksanakan kewajibannya sekaligus menuduh buruh jika terjadi kecelakaan kerja sepenuhnya kelalaian buruh.
Kenyataannya, perusahaan tidak memberikan tindakan-tindakan konkrit yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Misalnya, perusahaan tidak memberikan informasi atau pelatihan terkait kandungan bahan kimia yang digunakan dan apa dampaknya jika terpapar; perusahaan tidak memiliki rute yang jelas terkait sistem penanganan K3; dan terlebih perusahaan tidak menyediakan Alat Pelindung Diri (APD).
Para buruh harus membeli APD (Alat Pelindung Diri) sendiri. Dengan penghasilan yang minim tentu saja buruh akan berpikir dua kali untuk menambah pengeluaran mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa perusahaan melemparkan tanggungjawabnya kepada buruh. Hal ini juga yang menambah daftar persoalan buruh dan membuat buruh semakin rentan.[2]
Lalu bagaimana perusahaan mengakomodir hak-hak perempuan? Jawaban pada umumnya yang sering didengar “sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang dituangkan dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja bersama (PKB)”.
Memang benar bahwa di dalam PKB PT HIP mengatur hak-hak buruh perempuan, seperti cuti haid dan cuti bersalin. Namun sekalipun ada ketentuan tersebut, perusahaan tidak pernah mensosialisasikan PKB tersebut kepada buruh. Atau, serikatnya tidak pernah mempersoalkan aturan tersebut dilanggar perusahaan. Sehingga aturan yang baik hanya diatas kertas.
Faktanya, buruh perempuan tak pernah bisa mengambil cuti haid dan melahirkan. Sebagaimana pernyataan Marko (bukan nama sebenarnya) seorang mantan mandor yang istrinya masih bekerja di bagian perawatan, “Cuti haid tertulis di PKB tapi susah diambil, mereka (perusahaan) tidak mau tau itu, paling kalo kita minta cuti haid diketawakan disana. Disini kalo ibu-ibu kena haid tinggal dia bungkus baik-baik baru kerja jangan sampai tembus”. Kalimat tersebut cukup menggambarkan asingnya cuti haid sebagai hak perempuan dalam perkebunan sawit.
Hal di atas menunjukkan sekalipun PKB mengatur hak-hak buruh perempuan, jika serikatnya tak memiliki daya juang untuk mengawal pelaksanaan PKB, maka hak tersebut tak akan pernah didapat oleh buruh. Apalagi rezim sertifikasi sawit semacam RSPO dan ISPO saat ini mendorong perusahaan untuk membuat “peraturan yang menghormati hak perburuhan”. Sebagai syarat dari sertifikasi dagang dan kepentingan bisnis perusahaan. Bukan untuk buruh. Jika kepentingannya bisnis, dapat dipastikan perusahaan akan terus ‘mengakali’ bagaimana keuntungan terus membesar sekalipun harus melucuti hak buruh.
Mess dan fasilitas yang terbatas
Banalitas perusahaan di atas belum selesai jika kita melihat bagaimana kondisi tempat tinggal para buruh. Perusahaan menyediakan mess bagi para buruhnya, namun fasilitas perumahan tersebut rupanya tidak cuma-cuma. Perusahaan akan memotong uang pesangon buruh untuk membayar tempat tinggal mess tersebut.
Bentuk mess seperti kamar kos-kosan berjejer dengan ukuran masing-masing mess 3×5 meter dengan material semi permanen dari kayu yang sudah tampak mulai merapuh. Luas mess tersebut kemudian disekat menjadi 2 ruangan, memiliki teras tepat di depan kamar.
Mess untuk buruh kebun baik perawatan dan panen tidak terdapat kamar mandi pribadi, melainkan kamar mandi umum bersama berukuran 1×2 meter. Kamar mandi umum pun baru dibuat pada 2019. Artinya, sejak tahun 1995-2019[3] para buruh harus buang hajat di kebun apabila bekerja dan tinggal di mess.
Para buruh harus merogoh kocek dan membangun sendiri apabila ingin membuat kamar mandi di mess. Di kamar mandi umum, tidak ada pembagian kamar untuk perempuan dan laki-laki. Hal ini menjadi kerentanan tersendiri bagi para perempuan. Ancaman mendapatkan kekerasan seksual bagi para perempuan adalah nyata, apalagi kondisi mess pun sepi ketika pada jam-jam kerja.
Apabila memilih membuat toilet di dalam kamar mandi, para buruh harus menyediakan tempat penampungan air sendiri yang cukup banyak. Hal ini harus dilakukan karena akses terhadap air tidak dapat dinikmati setiap waktu. Air yang bersumber dari sungai diambil melalui pompa untuk dialirkan secara bergiliran ke berbagai lorong mess. Waktu air menyala dari pukul 1 siang hingga pukul 4 sore hari. Selebihnya pada malam hari air akan mati total di seluruh mess. Seperti yang dialami Marni (bukan nama sebenarnya) yang bekerja sebagai buruh perawatan bagian penyemprotan. Ketika air mengalir harus buru-buru menampungnya menggunakan drum di toilet dan kamar mandi yang dibangunnya sendiri di bagian belakang mess. Kurang lebih ia harus menyiapkan 3 drum untuk menampung air. Waktu jatah air mengalir setiap mess hanya 30 menit sebelum bergeser ke mess lainnya.
Pembatasan terahadap akses air bersih di atas tentu saja menyulitkan keluarga buruh kebun. Termasuk para perempuan yang tinggal di mess, sebab perempuan dibebankan untuk mengurus segala macam urusan rumah tangga. Semuanya berkaitan dengan akses air seperti memasak, menyiapkan anak ke sekolah, hingga membersihkan mess.
Selain urusan rumah tangga, akses terhadap air berkaitan juga dengan kesehatan. Buruh perawatan adalah buruh yang paling sering terpapar bahan kimia, seperti pupuk dan pestisida. Kebutuhan mereka terhadap air sangat tinggi untuk membersihkan badan dari paparan kimia setelah bekerja. Bahkan apabila terpapar kimia di bagian rentan seperti mata dibutuhkan ketersediaan air untuk pertolongan pertama. Sementara akses terhadap air untuk buruh sangat minim. Selain air, fasilitas listrik pun tidak dapat diakses secara penuh oleh para buruh di dalam mess. Hanya bisa diakses pada jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Sisanya listrik di dalam mess padam.
Jika diteliti seksama, pembatasan akses air dan listrik pada mess buruh kebun mengikuti waktu kerja buruh antara pukul 06.00 -14.00. Pembatasan akses dan listrik tersebut seolah memberi tanda bahwa waktu tersebut adalah waktu produksi yang akan dimanfaatkan penuh oleh perusahaan untuk menggenjot produktivitas di kebun. Ketiadaan akses air dan listrik pada jam kerja membuat para buruh tidak betah untuk bolos di mess pada jam kerja. Sehingga pilihannya adalah bekerja daripada mati gaya. Yang tidak dihitung dari kebijakan ini adalah para buruh yang sedang sakit di mess, pembatasan ini hanya akan semakin menyiksa mereka. Termasuk para perempuan yang sedang mengalami haid atau kehamilan sangat membutuhkan ketersediaan fasilitas tersebut.
Tidak semua wilayah mess dari para buruh terjangkau sinyal telepon. Dari 7 divisi kebun, hanya satu divisi yang terjangkau sinyal telepon, Divisi I itu pun merupakan kantor atau pusat administrasi kebun. Hal ini sangat berisiko jika situasi darurat. Khususnya bagi para perempuan hal ini sangat penting sebagai langkah preventif untuk mencegah ancaman termasuk kerentanan dari kekerasan seksual.
Minimnya infrastruktur kerja menunjukan pengabaian perusahaan dalam menciptakan ruang aman bagi para buruh perempuan untuk tinggal dan bekerja di perkebunan PT HIP. Sebaliknya para buruh perempuan dibiarkan bekerja dengan kondisi penuh resiko dan ancaman kerja.
Potongan upah
Dengan seksama Vera (bukan nama sebenarnya) mengecek slip gaji dari suaminya yang bekerja sebagai buruh panen di Divisi III PT Hardaya Inti Plantation. Mereka memilih untuk tidak tinggal di mess perusahaan dan tinggal di rumah sendiri warisan orang tuanya bersama kedua anaknya. Alasannya adalah menghindari potongan sewa mess pada saat pensiun, akses sekolah untuk anaknya, fasilitas mess yang minim dan akses ke kebun dari rumah tidak terlalu jauh.
Bulan lalu di slip gaji suaminya terdapat potongan Koperasi Mitra (salah satu koperasi karyawan di dalam perusahaan) untuk pengambilan sepatu boots yang ia pakai untuk bekerja. setiap 3 bulan sepatu suaminya rusak dan menggantinya dengan yang baru dengan cara berhutang ke koperasi. Harga sepatu Rp120 ribu dan akan dicicil setiap bulan hingga selesai, hal ini tentu saja akan menambah pengeluaran rutin rumah tangga.[4] Pada bulan ini pun suaminya belum mengganti pipa egreknya di koperasi karena masih dapat digunakan. Untuk pipa egreg paling lama akan rusak dan diganti setiap 6 bulan. lagi-lagi harus berhutang ke koperasi. Dengan pemakaian yang intensif, pipa egreg memungkinkan cepat patah dan rusak.
Suatu waktu suaminya menyodorkan sisa gaji bulanannya sebesar Rp900 ribu kepada. Vera terheran-heran, sebab selama beberapa bulan ia merasa tidak mengambil barang di koperasi. Bulan lalu pun suaminya full bekerja dan tidak pernah absen. Vera pun bertanya bagaimana upahnya hanya tersisa Rp900 ribu, mengingat Vera harus membayar cicilan motor dan membeli kebutuhan harian. Suaminya pun tak bisa menjelaskan dan akhirnya menemui mandor untuk meminta penjelasan rincian potongan upah dalam slip gajinya. Rupanya ada kesalahan pencatatan dan rincian, sehingga upahnya tersisa sedikit. Akhirnya upah suaminya dibayarkan sesuai dengan hari kerja. Kesalahan itu terjadi karena salah input perhitungan di slip gaji.
Kejadian kesalahan input dan perhitungan upah tidak hanya terjadi sekali. Setidaknya suami Vera sudah 3 kali mengalami kejadian serupa. Pertama berupa salah input hari kerja, kedua dan ketiga kalinya berupa potongan koperasi yang tidak sesuai (ambil barang sedikit tetapi potongannya besar). Anehnya, jika buruh tidak komplain atas kesalahan potongan, uang tidak akan dikembalikan. Sebagaimana salah satu rekan kerja suaminya Vera, gajinya dipotong sebesar Rp500 ribu, karena tidak mengurus atau komplain, uangnya pun tidak dikembalikan.
Ketika menerima slip gaji, komponen yang biasa dilihat oleh suami Vera adalah jumlah ‘hari kerja’, potongan, dan nilai upah yang didapat. Selain itu, suaminya tidak banyak mengeceknya termasuk tidak menyimpan salinan catatan kredit koperasi dengan alasan nilai potongannya yang kecil. Vera selalu mengingatkan suaminya untuk menulis hari kerjanya sendiri karena terkadang mandor lupa mencatatnya. Seperti pada bulan sebelumnya Vera mencatat hari kerja suaminya sebesar 24 hari, namun pada slip gaji hanya dituliskan sebanyak 21 hari. Karena sering ditinggal suaminya di rumah, maka Vera dapat menghitung hari kerja suamiya. Sekarang ia sudah malas menghitung hari kerja dan cape mengingatkan suaminya, karena suaminya juga tidak mau membantunya menghitung hari kerjanya. Dibandingkan dengan suaminya, Vera lah yang sering mengumpulkan dan menyimpan slip gaji suaminya, namun karena kualitas kertas yang tidak tahan lama banyak dari slipnya rusak.
Vera dan alarm kerja
Ada yang berubah dari kehidupan Vera setelah suaminya bekerja sebagai buruh kebun di perusahaan dibandingkan sebelumnya sebagai petani kebun di lahan sendiri. Suaminya harus berangkat kerja pada jam 06.00 pagi, maka dari itu ia pun harus bangun pada jam 03.00 pagi. Ketika bangun Vera akan membangunkan suaminya, menyiapkan kopi serta bekal untuk nanti dibawa ketika bekerja. Rutinitas ini Vera lakukan sejak 2009 hingga sekarang. ”Walaupun tidur jam satu, pasti bangunnya jam segitu tanpa perlu ada alarm” ucap Vera. Tidak hanya pada hari kerja, pada hari libur pun Vera akan bangun di jam tersebut. Bahkan ketika sedang di rumah saudaranya pun ia akan tetap bangun pada jam tersebut. Ia merasa bebannya mengurus rumah tangga lebih ringan ketika memasuki bulan puasa. Tidak perlu menyiapkan bekal untuk suaminya, hanya mengurus persiapan anak-anak untuk sekolah saja.
Vera pun menjadi sangat protektif terhadap suaminya dan selalu menasehatinya “Jangan sampai kaya dulu-dulu (mogok dan protes sering terjadi di perusahaan), katanya kalau ikut ini bakal kena kamera. Tidak boleh sembarang demo-demo dampaknya ini yang kita jaga. Kata mandor pun jangan ikut-ikut (demo), dia pake kamera tersembunyi jadi yah tidak boleh ikut. Kondisinya disini ada mata-mata dari perusahaan yang lapor”. Ia sangat takut kalau suaminya tidak lagi bekerja di perusahaan, maka ia melarangnya untuk ikut-ikutan protes ke perusahaan. Vera berfikir perusahaan cuma ada satu di Buol dan tidak ada lapangan pekerjaan lainnya ketika suaminya dipecat.
Dari cerita Vera kita bisa melihat selain menjadi alarm kerja untuk suaminya, perusahaan berhasil menciptakan kontrol kerja efektif di luar lingkungan kerja. Kontrol yang diciptakan pada lingkungan kerja kemudian berhasil menular ke keluarga buruh. Secara tidak disadari kerja-kerja yang dilakukan oleh Vera adalah pekerjaan mandor di perusahaan. Memastikan suaminya agar tetap rajin bekerja, mengecek slip gaji, menghitung hari kerja dan melarang protes (mogok/ demonstrasi). Di sisi lain, rewelnya dia kepada suami dalam perhitungan hari kerja adalah sebuah bentuk perlawanan harian. Perlawanan untuk tidak dicurangi sistem kerja oleh perusahaan.
Para perempuan-perempuan inilah yang dirugikan akibat kondisi kerja yang diciptakan oleh PT Hardaya Inti Plantation. Lalu siapa yang paling diuntungkan? Perempuan itu bernama Hartati Murdaya, sang pemilik perusahaan. Sayangnya, kepemilikan perusahaan oleh perempuan tidak mampu menciptakan ruang aman serta menyelamatkan buruh kebun/ petani plasma perempuan dari eksploitasi berlapis. Bahkan keadaan tersebut sengaja diciptakan untuk mengakumulasi keuntungan dari buruh kebun/ petani plasma. Selain konglomerat pemilik berbagai perusahaan ia pun menjabat sebagai Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Menganut agama Buddha membuat ia menjadi vegetarian selama puluhan tahun. Vegetarian yang masih menenggak keringat, darah dari para buruh dan petani plasma.[]
[1] Surat Keterangan Sakit, apabila buruh kebun sakit kemudian mengakses klinik perusahaan akan mendapatkan surat ini yang dapat digunakan agar dapat cuti sakit, jika tidak maka akan dihitung absen oleh perusahaan
[2] https://majalahsedane.org/mengalihkan-tanggung-jawab-perlindungan-kerja-kepada-buruh-suramnya-kondisi-kerja-buruh-kebun-sawit-di-pt-hardaya-inti-plantation/
[3] Rentang tahun ini adalah tahun beroperasinya PT Hardaya Inti Plantation di Buol, Sulawesi Tengah.
[4] Pada tulisan sebelumnya saya menuliskan tentang bagaimana buruh terjerat hutang. lihat: https://majalahsedane.org/jerat-hutang-mengegrek-upah-buruh-ala-perusahaan-sawit-pt-hardaya-inti-plantation/