MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (Bagian 1)

Saya lelaki asal Papua. Orang tua satu anak. Sejak 2018, saya dan ratusan buruh PT Freeport Indonesia[1] dari berbagai pelosok negeri berada di Jakarta dengan maksud menuntut keadilan. Kami meninggalkan anak dan istri di kampung. Tinggal dan tidur tidak menentu, dari satu tempat ke tempat lain.[2]

Saya akan menceritakan tentang kisah keterdamparan saya di Jakarta. Lebih dulu saya akan cerita tentang mulanya saya bekerja di PT Freeport Indonesia.

Kawan-kawan memanggil saya Echy. Nama lengkap saya, Corneles Musa Rumabur.

Foto  SEQ Foto \* ARABIC 1: Buruh Freeport yang dikorbankan atas nama furlough dan program pemutusan hubungan kerja sukarela di Jakarta, 2018.

Akhir September 2009, saya mendapat panggilan untuk mengikuti sekolah pemagangan IPN (Institute Pertambangan Nemangkawi). Sekolah itu didirikan oleh PT Freeport Indonesia.[3] Sebelum masuk ke IPN, beberapa persyaratan tes dilakukan dan kriteria dilalui, seperti medical check up, umur dan tinggi badan. Saya dianggap memenuhi semua persyaratan. Saya pun diterima di sekolah tersebut dan dinyatakan sebagai siswa magang. Istilah yang digunakan sebagai siswa apprentice. Ada pula istilah pre-apprentice, yangditujukan bagi siswa yang belum bisa membaca dan menulis. Program sekolah magang merupakan kelas khusus bagi anggota suku di Papua yang memiliki hak ulayat.

Awal masuk IPNsaya diberikan surat. Isi suratnya adalah kontrak pemagangan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun saya akan ditugaskan ke jurusan miners. Area kerja miners berada di dalam tambang bawah tanah, yang disebut dengan underground mine.

Seiring waktu, saya mendapat berbagai pelatihan off job dan on job mengenai pekerjaan yang akan dihadapi di dalam tambang underground mine. Saya pun diperkenalkan dengan berbagai alat berat pertambangan. Adapun alat berat yang saya operasikan sama persis dengan alat berat yang akan dipergunakan di daerah tambang underground mine yang sebenarnya, seperti excavator dan dump truck. Pelatihan dipandu oleh instruktur dari IPN.

Instruktur memberikan penilaian berdasarkan sistem kompetensi. Saya pun mengikuti semua training yang diberikan dan mematuhi semua prosedur kerja yang ditetapkan. Semua prosedur pelatihan pertambangan mengikuti sistem bekerja di PT Freeport Indonesia, seperti roster atau jam kerja. Jam kerja mengikuti ketetapan jam kerja buruh PT Freeport yang berada di area underground mine.

Roster[4] kerja saat itu ada tiga jam kerja, yaitu pagi, sore dan malam. Setiap hari bekerja tujuh hari kerja, dua hari off; dan tujuh hari kerja tiga hari off. Per hari kerjanya tujuh jam kemudian diikuti libur. Rumusnya, 7 ke 2 atau 7 ke 3. 

Sebagai apprentice saya tidak mengeluarkan biaya. Sebaliknya, saya diberikan uang saku. Saat itu saya mendapat uang saku sebesar Rp1,2 juta per bulan yang ditransfer langsung ke akun bank saya. Nominal Rp1,2 juta ditetapkan berdasarkan kompetensi selama magang.

Mei 2010, saya dan beberapa teman dikirim untuk mengikuti training lanjutan di area job site undergroud mine. Sebelum masuk ke area underground, kami diberikan perlengkapan APD (alat perlindungan diri) dan diberikan safety training safety induction[5] oleh safety training QMS (Quality Manajemen Service)[6] sehari penuh.

Keesokan harinya saya berangkat sekitar pukul 04.30 pagi dari barak tempat saya tinggal menuju mess (tempat makan para buruh). Di situlah tempat bertemu semua buruh, yakni buruh yang tiba di tempat kerja dan buruh yang pulang dari tempat kerja. Pukul 05.30 pagi saya harus berada di terminal bus. Kemudian menunggu bus yang akan mengantar ke area transit. Dari area transit kami menuju tempat kerja.

Ketika tiba di area transit, kami harus mengisi daftar hadir dengan menempelkan ID Card pada mesin AT (Absensitech), semacam presensi otomatis untuk mencatat keluar-masuknya buruh underground. Setelah itu, kami memasuki ruangan khusus yang menyediakan peralatan APD. Di ruangan itu ada helm tiga warna yang dipilih oleh buruh berdasarkan status hubungan kerjanya serta lampu tambang dan savox,[7] yang sudah terlindung dalam kotak stainless. Berat savox sekitar 5 kilogram. Dalam kotak tersebut terdapat juga kacamata dan penjepit hidung.

Saya telah bersiap dan membawa lampu tambang alias cap lamp. Saya dan beberapa teman menunggu jemputan masuk ke area underground. Sebuah mobil merek Toyota tiba. Saya dan beberapa teman diantar langsung menuju area yang disebut office training.

Pertama kali saya memasuki area penambangan terasa gelap, sepi dan pengap. Tidak terdengar suara apapun dari luar. Saya membuang pandangan ke kiri, kanan, atas dan bawah, hanya bebatuan yang membisu. Tetiba pikiran saya berkecamuk, ‘Mungkinkah di dinding-dinding batu ada emas yang menempel?’

Saya dan teman-teman di area office training center underground mine. Kami pun memulai dengan kegiatan training.

Hari berganti, bulan pun berlalu proses training saya lalui bersama teman-teman apprentice. Selama training tersebut tampaknya kompetensi off job dan on job saya mengalami peningkatan. Penilaian kompetensi saya di kisaran 20 persen-30 persen. Uang saku saya pun naik menjadi Rp2,3 juta.

Sekitar pertengahan September 2010 saya diangkat menjadi asisten instruktur, padahal status saya masih apprentice. Mulanya bingung, mengapa instruktur supervisor lapangan meminta saya menjadi menjadi asisten. Saya menepis berbagai pertanyaan. Saya pun menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Yaitu, membantu instruktur memberikan pelatihan ke para apprentice.

Di kemudian hari saya mengerti pengangkatan asisten tersebut. Karena para instruktur kewalahan untuk memberikan pelatihan dan pengawasan ke para siswa apprentice, yang jumlahnya lumayan banyak.

Waktu berjalan tahun pun berganti. Saya belajar banyak hal: menemukan hal-hal baru dan melewati banyak hal baru dalam pekerjaan. Saya pun mulai memahami dan mengerti, bagaimana menjadi buruh tambang hampir kehilangan waktu hidup. Setiap hari dihabiskan di bawah tanah. Di area tambang saya juga bertemu dengan berbagai suku dan bangsa yang berbeda. Mereka memiliki nasib serupa: meninggalkan keluarga menghabiskan waktu di area pertambangan. Semuanya berjuang mencari penghidupan.

Saya menyaksikan berbagai peralatan tambang yang canggih dengan standar internasional. Jika terdapat pekerjaan dan alat baru maka akan terdapat training tambahan. Katanya, untuk meningkatkan kompetensi pekerjaan. Dari training ke training, dari alat-alat canggih dan baru, saya mengerti bahwa semua itu bukan untuk para buruh tapi ditujukan untuk meningkatkan produksi perusahaan.

Proses training untuk pengembangan kemampuan terus berjalan. Jumlah apprentice pun bertambah. Terdengar kabar bahwa perusahaan membutuhkan lebih banyak apprentice karena kebutuhan operasional lapangan. Konon para apprentice tersebut sangat berguna karena siap pakai dan dapat menunjang produktivitas penambangan.

Roster kerja yang kami ikuti selalu bersamaan dengan para buruh permanen lainnya yang bekerja di area produksi. Meski jam kerja dan jenis pekerjaannya sama, upah kami berbeda. Kami yang berstatus apprentice hanya dapat uang saku. Sedangkan buruh permanen mendapatkan upah sesuai upah di sektor pertambangan.

Di PT Freeport ada beberapa istilah lain yang memperlihatkan buruh berasal dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang berbeda tapi berada di area Freeport Indonesia. Yaitu, buruh PT Freeport, buruh privatisasi dan buruh kontraktor.[8]

(Lanjutkan membaca bagian 2)


Catatan Kaki:

[1] PT Freeport Indonesia, merupakan perusahaan tambang salah satu anak usaha Freeport-McMoran (FCX) di Arizona Amerika Serikat. PT Freeport Indonesia (PT FI) mulai beroperasi pada 1967, tiga bulan setelah Presiden Soeharto memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. PT FI menambang emas, perak dan tembaga di Kabupaten Mimika Papua. Selain di Indonesia, FCX menambang pula di Amerika Utara dan Amerika Selatan.

[2] Tulisan ini merupakan salah satu artikel dari kumpulan tulisan Buruh Menuliskan Perlawanannya III, Berpencar, Bergerak!: Pergolakan Perlawanan Harian Buruh di Delapan Sektor Industri. Yogyakarta. TAB dan LIPS. 2024

[3] Institut Pertambangan Nemangkawi adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh PT Freeport Indonesia pada 2003 dan dikelola oleh salah satu departemen di PT Freeport Indonesia. Institut Pertambangan Nemangkawi terletak di area PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana.

[4] Roster merupakan istilah pergantian gilir kerja dalam industri pertambangan. Dengan model roster penambangan terus berlangsung selama 24 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu. Di industri manufaktur padat karya, gilir kerja diistilahkan dengan sif kerja.  

[5] Pelatihan keselamatan kerja

[6] Pelatihan manajemen kualitas

[7] Savox merupakan sejenis alat bantu dalam keadaan darurat. Bentuknya mirip tempat minum yang lumrah dipergunakan dalam kegiatan kemiliteran.

[8] Bagian-bagian tertentu di wilayah Freeport Indonesia dioperasikan oleh perusahaan yang berbeda. Setidaknya terdapat 20 perusahaan yang beroperasi dari perusahaan pengangkutan hasil tambang hingga penyedia makanan.

Penulis

Corneles Musa Rumabur