MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (2)

Mogok, Mogok, Mogok!

Akhir 2011 para buruh yang bekerja di area Freeport, yang terdiri dari buruh permanen, buruh privatisasi dan buruh kontraktor melancarkan mogok. Pemogokan ini merupakan kelanjutan dari pemogokan Juli 2011. Pada 2011, buruh menuntut kenaikan dan persamaan upah Freeport Indonesia dengan negara lain. Pemogokan diorganisir oleh SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) PT Freeport Indonesia. Saya dan apprentice lain diimbau oleh IPN untuk tidak mengikuti aksi pemogokan karena kami siswa magang. 

Saya berpikir lain, ‘Suatu saat saya akan menjadi buruh permanen dan akan menghadapi hal yang sama, kenapa saya harus menghindar dari aksi mogok kerja?!’ Saya pun memutuskan terlibat dalam pemogokan. 

Awalnya mogok kerja kami lakukan di akhir Juli 2011. Saat itu sif kerja malam seluruh buruh yang berada di area kerja tambang underground. Komisaris PUK SPSI PT Freeport mengumumkan agar seluruh buruh keluar dari area tambang underground. Karena pintu masuk terowongan akan ditutup dengan plang dan mesin penarik udara dari luar ke lubang tambang akan disetop. 

Seperti semut yang keluar dari lubang tanah, satu per satu para buruh keluar dari penambangan. Saya pun meninggalkan area kerja. Semua buruh keluar dari penambangan underground. Seluruh aktivitas penambangan dihentikan. Kemudian berkumpul di portal pada pukul 12 malam. Di portal kami berkerumun. Kemudian berdoa. Komisaris serikat buruh pun mengarahkan kami menaiki bus untuk diantarkan ke tempat istirahat kami di barak. Satu per satu bus meninggalkan area tempat kami berkumpul. 

Keesokan paginya saya menyiapkan tas kosong dan mengisinya dengan beberapa helai baju dan beberapa dokumen. Saya melihat buruh lain melakukan hal yang sama. Kami melangkahkan kaki menuju terminal bus Mile 72 Ride Camp. Di terminal, kami menunggu bus jemputan. Kami berencana menuju terminal Mulki Mile 68 Tembagapura. Dari Tembagapura kami akan berangkat ke Timika. Bus yang ditunggu pun datang. Kami berangkat menuju tempat yang telah direncanakan. 

Sekitar pukul 09.00 pagi gelombang bus mulai bergerak meninggalkan terminal Mulki Mile 68. Terlihat sekitar 22 bus beriringan. Di Mile 66 bus diberhentikan. Tempat tersebut merupakan pos pemeriksaan. Terlihat beberapa sekuriti dan Brimbo. Brimob itu berbadan tegap menenteng senjata laras panjang. Terlihat beberapa anjing pelacak menyertai aparat keamanan. Kemudian aparat keamanan memasuki bus memeriksa para penumpang beserta barang bawaannya. Entah apa yang diperiksa. Setelah pemeriksaan dianggap selesai, bus pun dipersilakan melaju. 

Bus meninggalkan Mile 66 menuju Mile 64. Di Mile 64 bus pun berhenti. Kali ini kami menunggu bus terkumpul dan pengawalan perjalanan. Rencananya perjalanan dari Tembagapura ke Timika akan dikawal oleh aparat Brimob. Aparat Brimob menggunakan perlengkapan mobil yang dilindungi antipeluru dan perlengkapan senjata api. Sekitar pukul 10.15 pagi mobil pengawalan bergerak, diikuti bus yang ditumpangi oleh saya dan para buruh lainnya.

Perjalanan Tembagapura ke Timika sekitar 32 kilometer. Sepanjang perjalanan saya melewati gunung, lembah, hutan, jalan curam dan berkelok–kelok. Kami menempuh perjalanan yang di sisi kiri dan kanan merupakan jurang curam, yang sewaktu-waktu mengancam nyawa jika kendaraan tidak berhati-hati. Kami melewati berbagai pos keamanan. Di setiap pos saya selalu melihat petugas keamanan dari sekuriti, aparat kepolisian dan TNI. Mereka bersiaga dan mengawasi dengan cermat setiap bus yang kami tumpangi.  

Akhirnya, bus yang saya tumpagi tiba di pos sekuriti Mile 50. Mile 50 adalah perbatasan dataran tinggi dan rendah. Bus berhenti. Kami pun keluar dari bus untuk beristirahat. Saya melihat beberapa kawan mengisap rokok. Beberapa lelaki berlari kecil terburu-buru ke semak-semak untuk membuang air kecil yang ditahan selama perjalanan. Sementara buruh perempuan celingak-celinguk mencari tempat buang air kecil. Ada pula buruh perempuan yang buang air kecil di semak sembari ditemani kawannya. Tapi ada pula yang memutuskan menahan buang hajat hingga tiba di Timika. 

Hanya sekitar 15 menit waktu yang diberikan untuk beristirahat. Mobil komando pengawalan membunyikan klakson beberapa kali pertanda waktu istirahat telah habis. Perjalanan dilanjutkan. 

Mengusir rasa bosan, beberapa kawan di bus yang saya tumpangi menyalakan pengeras suara. Mereka bernyanyi. Ada pula kawan yang terlelap tidur. Tak lama kemudian kami tiba di pos keamanan Mile 38. Ini adalah pos pemeriksaan kendaraan yang akan memasuki Timika dan Tembagapura. Saya melihat beberapa aparat keamanan turun dari mobil mereka. 

Perjalanan dilanjutkan melewati jembatan di atas sungai dengan warna air sangat keruh. Saya melihat beberapa orang mengangkat pasir di pinggiran derasnya air. Kemudian mereka menaruh pasir tersebut di atas meja yang sudah tersedia. Mereka adalah orang-orang Papua yang mengais rezeki dari limbah penambangan PT Freeport Indonesia. Limbah itu mengikuti aliran sungai hingga menuju laut. 

Bus akhirnya tiba di pos keamanan Mile 34. Pintu-pintu bus mulai terbuka. Para penumpang turun dari bus dengan membawa barang-barang mereka. Ternyata di area tersebut beberapa bus lain telah menunggu. Mereka adalah para buruh yang berada di sekitar area Kuala Kencana dan Area SP (Satuan Pemukiman) yang disebut dengan low land. Beberapa dari kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju kota Timika. Jarak antara Mile 34 hingga lokasi kurang lebih 6 mil atau 9,6 kilometer. Saya memilih untuk menaiki bus. 

Dari dalam bus, dari jarak sekitar 50 meter saya mulai melihat keramaian kota Timika. Bus tiba di terminal Gorong-Gorong. Kami berkemas dan berjalan berbondong-bondong menuju ke arah pintu keluar. Kota selalu ramai. Orang-orang pasar menyaksikan kami. Tetiba beberapa anak sekitar usia 10 atau 11 tahun, menghampiri buruh:

 “Om bantu kah?” Anak kecil itu menawarkan bantuan mengangkat barang.

Saya hanya tersenyum, menandakan tidak perlu dibantu. Kawan saya yang lain menyerahkan bawaan mereka ke anak kecil tersebut. Anak-anak itu biasanya diberikan upah kisaran Rp 5000 hingga Rp20 ribu. 

Kami tiba di persimpangan. Kumpulan kendaraan bermotor tukang ojek menanti. Satu per satu kami pun memutuskan menaiki ojek. Terjadilah kemacetan kendaraan roda dua dan roda empat arah pintu keluar di terminal. Kami meninggalkan terminal Gorong-Gorong. Demonstrasi pun berlangsung. 

Pemogokan dan demonstrasi berakhir. Entah bagaimana hasilnya. Hari berganti. Waktu berlalu. Sesama buruh saling bertanya tentang hasil pemogokan. Karena tidak ada jawaban, beberapa buruh berinisiatif mendatangi kantor sekretariat serikat buruh PT Freeport Indonesia. Ada pula beberapa buruh yang mendatangi kantor sekretariat buruh di PT KPI (Kuala Pelabuhan Indonesia) dan ada pula yang berkumpul di perusahaan kontraktor dan privatisasi. 

Tak lama kemudian kami mendengar informasi bahwa para pengurus serikat buruh tengah berunding dengan manajemen. Mereka berunding mengenai struktur skala upah 2011. Sembari menunggu hasil kesepakatan perundingan upah, manajemen meminta para buruh untuk segera ke area kerja masing-masing. Para buruh menaati permintaan tersebut.

Saya dan para buruh lainnya sudah kembali melakukan aktivitas pekerjaan seperti biasa. Namun, ada suasana baru. Di setiap waktu istirahat dan berkumpul terdapat obrolan tentang pengalaman mengikuti mogok. Semuanya merasa senang. Obrolan kadang diselingi dengan kemungkinan hasil perundingan. 

Akhir Agustus 2011. Saya mendapat kabar perundingan buntu. Kabar yang saya terima dari salah satu koordinator lapangan serikat buruh bahwa manajemen tidak bersedia menaikan upah buruh. 

“Lalu kitorang akan berbuat apakah, Ka?” tanya saya.

“Senjata kita untuk melawan pihak perusahaan adalah mogok kerja!” ujar salah satu pengurus serikat buruh.

Saya heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa harus mogok lagi?”. Kami sudah dua kali melakukan pemogokan. Itu pun lelah sekali. Korlap (Koordinator Lapangan) serikat buruh buruh kembali menambahkan jawaban. 

“Berapa orang kawan di tempat kerja? Beberapa minggu ke depan kita akan melakukan mogok kerja. Pemogokan kita menunggu surat perintah dari pengurus serikat buruh,” pungkasnya. Ia pun berlalu. 

Akhir September 2011, surat instruksi mogok kerja keluar. Surat tersebut disebarkan ke semua job site. Saya dan kawan-kawan bersiap menyambut pemogokan. 

Hari itu, pemogokan berlangsung di pagi hari. Sekitar pukul 05.00 pagi saya bergegas mengambil barang bawaan dan meninggalkan barak. Satu per satu kami menuju titik kumpul. Sepanjang jalan menuju titik kumpul para buruh saling menyemangati bersahutan. ‘Hidup buruh!’ ‘Hidup buruh!’.

Sesampainya saya di terminal para buruh sudah berkumpul. Perwakilan serikat buruh pun menjelaskan latar belakang, tujuan pemogokan, yang disertai pawai ke Timika. Setelah itu kami menaiki bus. Bus itu mengantarkan kami ke Mile 68. Di Mile 68 kami kembali berkumpul menunggu bus pengantar lainnya. Tapi hari itu tampak tidak ada bus. Perwakilan serikat buruh mengatakan bahwa hari itu tidak ada bus. 

“Manajemen tidak menyediakan bus. Kitorang siap berjalan kaki?”

“Siaaap!” jawaban kami serentak.

Saya melihat para buruh mulai bergerak meninggalkan area terminal Mile 68. Saya pun melangkahkan kaki mengikuti gerak langkah kawan-kawan lain. Hari itu kami memutuskan untuk menyusuri jalan-jalan pegunungan dari Tembagapura menuju Timika. Jaraknya sekitar 66 kilometer. Hari itu suasana sangat ramai. Buruh perempuan dan laki-laki berbondong-bondong berjalan kaki, bernyanyi dan saling menyemangati. 

Menjelang malam hari kami masih berjalan kaki. Beberapa buruh memutuskan berhenti karena tak sanggup melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 20.30 malam kami masih berjalan kaki. Dari jarak 100 meter, saya melihat suara mesin dan sorotan lampu beberapa mobil. Ternyata, itu adalah bus yang dikawal oleh aparat keamanan. 

“Pak, apa ada karyawan lain yang masih berjalan kaki?” kata salah satu sopir bus.

“Wah banyak, Pak. Ada yang mungkin masih beristirahat di pos Mile 50 karena sudah tidak mampu berjalan lagi,” jawab kawan saya.

Mobil pengawal dan tiga bus pun melaju ke arah Mile 50. Saya dan beberapa kawan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sekitar pukul 10.30 malam ketika mendekati Mile 38 saya melihat tiga bus yang sudah menunggu. Kami pun dipersilakan menaiki bus tersebut. Ternyata di dalam bus sudah ada kawan lain yang sudah merebahkan badan. Saya melihat wajah-wajah lelah. Saya segera mendapat kursi kosong sembari duduk batin saya berucap, ‘Terima kasih, Tuhan. Selama satu hari perjalanan saya masih mendapat perlindungan-Mu dan diberikan kekuatan dan napas.’ 

Dari Mile 38 bus melewati mile-mile lainnya. Sekitar pukul 00.30 pagi kami tiba di terminal Gorong-Gorong. Di terminal Gorong-Gorong kami disambut para komisaris serikat buruh dan keluarga buruh lainnya. Saya melihat beberapa anak dan istri buruh membagikan kue sambil mencari suami mereka.  

Sambil melangkah kaki yang terasa pegal akibat berjalan kaki, saya mencari anak dan istri saya. Tetiba saya mendengar suara yang tidak asing,

“Mama-mama! Bapak su datang.”

Anak laki-laki berumur lima tahun berlari kecil ke arah saya. Ia melompat ke pangkuan saya dan memeluk erat. Tak terasa air mata saya mengalir. Saya berjalan menuju istri saya yang sedang di atas sepeda motor. Saya pun meminta istri saya mengendarai motor karena terasa remuk badan saya. Kami kembali ke rumah kos-kosan, tempat kami tinggal. 

Setibanya di rumah, istri saya pun menuju ke dapur. Ia memanaskan air. Anak saya membantu melepaskan sepatu saya. Tidak berselang lama, istri saya membawa air panas dalam wadah beserta sehelai kain dan sebotol minyak. Ia pun mulai membasuh kaki saya. Ternyata saya mengalami cedera kaki. Saya kesulitan berdiri dan berjalan. Untungnya istri saya selalu setia menamani dan membantu keperluan saya. Satu minggu penuh saya mengistirahatkan badan. 

Seminggu kemudian saya mendapat kabar agar seluruh buruh yang terlibat mogok berkumpul di sekretariat serikat buruh. Saya pun menghadiri undangan. Saya juga melihat beberapa buruh lain hadir. Ada pula buruh yang datang bersama keluarga mereka. Kantor serikat buruh ramai sekali dengan suara anak-anak dan suara banyak orang. 

Pengurus serikat buruh memulai pertemuan. Mereka menyampaikan bahwa perundingan dengan manajemen belum mendapat keputusan dan kesepakatan. Perundingan dead lock. Pengurus serikat buruh pun mengatakan bahwa manajemen mengeluarkan kebijakan no work no pay, bagi buruh yang terlibat mogok. Ketika mendengar kebijakan tersebut, kami serentak mencibir, “huhuuuu…. !”. 

Selama pemogokan, sebenarnya, saya sempat dihubungi oleh atasan saya. Dia meminta saya untuk kembali ke area kerja. Atasan saya pun menegaskan bahwa status saya masih siswa magang yang tidak perlu ikut-ikutan untuk mogok. Waktu itu saya mengatakan:

“Mogok adalah hak saya. Hak mogok dilindungi oleh Undang-Undang,” jawab saya. Mendengar jawaban tersebut atasan saya mematikan telepon. 

Pemogokan berlanjut. Sepanjang September 2011 keadaan kian tidak terkendali. Buruh yang terlibat mogok dipaksa untuk bekerja. Manajemen mengatakan bahwa mogok kerja tidak sah dan pemogok tidak akan menerima upah. Sebanyak delapan pengurus serikat buruh mendapat ancaman pemecatan. Sedangkan ketua serikat buruh mendapat ancaman pembunuhan. Aparat keamanan bersenjata lengkap mendatangi rumah buruh, memaksa agar buruh kembali bekerja. Mereka juga menyodorkan surat pernyataan kesediaan bekerja atau meninggalkan area job site. Tidak berhasil memaksa buruh bekerja kembali, manajemen malah merekrut tenaga kerja baru. Entah bagaimana para buruh tersebut didatangkan. Saya juga mendengar salah satu kawan ditembak oleh orang tidak dikenal. Ia dilarikan ke RSUD Timika. Namun, nyawanya tidak tertolong. Kami membawa jenasah dari RSUD Timika menuju rumah duka dengan iringan mobil dan sepeda motor. Sementara perundingan serikat buruh dan manajemen belum membuahkan hasil.1

Akhir November 2011, saya mendengar kabar bahwa manajemen dan serikat buruh mencapai kesepakatan. Pemogokan berakhir. Para buruh pun kembali ke job site masing-masing.2

Lanjutkan membaca bagian 3

Baca bagian 1



Footnote

  1. Menurut catatan KontraS (25 November 2011), periode 2011 peristiwa penembakan meningkat tajam. Tercatat ada 11 kali peristiwa penembakan dengan 9 orang tewas (7 buruh PT FI dan 2 penambang tradisional) dan 18 orang mengalami luka. Pelaku penembakan tidak diketahui dan tidak ditemukan. Kepolisian mengembangkan narasi bahwa penembakan dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). ↩︎
  2. Pemogokan kedua berlangsung selama dua minggu. Lebih dari sepuluh ribu buruh terlibat dalam pemogokan. Pemogokan pun mendapat dukungan dari masyarakat adat dan keluarga buruh. Dalam perundingan tersebut, serikat buruh mengajukan rumus kenaikan upah berdasarkan golongan jabatan, kondisi keuangan perusahaan, perbandingan upah Freeport di negara lain, masa kerja dan jabatan. Selisih upah Freeport Indonesia dengan Freeport di negara lain mencapai 30 dolar AS per jam. Upah Freeport Indonesia hanya 1,5 hingga 3 dolar AS per jam. 
    Manajemen menolak rumus kenaikan upah dari serikat buruh dan menawarkan kenaikan 16 persen dari upah berjalan dengan mempertimbangkan inflasi. Angka tersebut berlaku bagi semua buruh di semua level.
    Serikat buruh menolak rumus kenaikan upah dari perusahaan tapi menurunkan nilai tuntutan menjadi 30 dolar AS per jam – 100 dolar AS per jam. Manajemen menawarkan kenaikan 20 persen dari upah berjalan untuk semua level. Serikat buruh mengajukan kenaikan 17,5 dolar AS per jam – 43 dolar AS per jam. Akhirnya disepakati bahwa kenaikan upah sebesar 37 persen atau sekitar 7,5 dolar AS per jam selama dua tahun yang berlaku untuk semua level pekerjaan (Majalahsedane.org, 5 Juli 2012).
    ↩︎

Penulis

Corneles Musa Rumabur