Diberangus dan Dipecat
12 April 2017. Saya meninggalkan tempat kerja, mogok! Pemogokan itu bersamaan pula dengan hari liburnya beberapa bagian job site. Saat itu, saya dan ribuan buruh di underground menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Timika. Pengadilan sedang menyidangkan ketua serikat buruh kami dengan tuduhan menggelapkan uang organisasi.
Saya merasa tindakan saya benar, dan tuduhan terhadap ketua saya dibuat-buat. Bagi saya, tidak mungkin ketua saya melakukan tindakan tercela itu karena dia adalah orang yang takut terhadap Tuhan. Saya menduga tuduhan itu diarahkan untuk menjegal fungsi serikat buruh yang membela dan memperjuangkan kesejahteraan anggota. Kami menuntut agar ketua kami dibebaskan.
Ini adalah cerita saya mengenai pemogokan yang ketiga. Saat itu ada dua kejadian. Akhir 2016, ketua kami dilaporkan oleh perangkat tingkat cabang kami.[1] Ia menuduh ketua kami menggelapkan iuran organisasi sebesar Rp3,3 miliar. Kepolisian menangani pelaporan tersebut. Sementara itu, di Jakarta ada desas-desus larangan ekspor konsentrat tambang dan perubahan divestasi 51 persen saham kepada Pemerintah Indonesia, pembangunan smelter dalam negeri dan perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus.
Pelaporan kepada ketua serikat buruh kami bergulir hingga ke persidangan. Sedangkan di Freeport Indonesia, privatisasi dan kontraktor, manajemen mengeluarkan kebijakan sepihak tentang furlough atau dirumahkan dan program pemutusan hubungan kerja sukarela (PPHKS) sejak akhir Februari 2017.[2] Serikat buruh berulangkali meminta berunding, namun selalu ditolak manajemen PT FI.
Furlough dilakukan dengan cara memanggil satu per satu buruh yang sedang bekerja untuk menghadap supervisor di kantor melalui surat. Di kantor, buruh menerima surat yang berisi nama, kebijakan furlough dan permintaan agar buruh segera meninggalkan job site. Setelah menerima surat furlough buruh diberi waktu dua hari untuk berkemas dan meninggalkan job site. Bagi buruh yang berasal dari luar Timika telah disiapkan tiket kepulangan ke daerah asal.
Beberapa kawan saya bertanya, mengapa mereka menjadi korban furlough. Mereka merasa tidak ada yang salah dengan pekerjaan, kehadiran di tempat kerja maupun kinerja. Supervisor, melalui surat itu hanya mengatakan perusahaan dalam keadaan tidak sehat sehingga melakukan efisiensi. Satu per satu hingga ribuan buruh terkena kebijakan dirumahkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Di job site kenyamanan kerja terganggu. Kami gelisah dan khawatir terkena program furlough dan PPHKS. Para buruh merasa nasibnya diombang-ambing oleh manajemen, sementara pemerintah tidak berbuat apa-apa.
Serikat buruh menolak kebijakan furlough dan PPHKS. Tiga surat perundingan kebijakan furlough dan PPHKS dari serikat buruh kepada manajemen PT Freeport Indonesia diabaikan. Perusahaan menegaskan bahwa kebijakan furlough merupakan kebijakan strategis yang tidak memerlukan perundingan dengan serikat buruh. Serikat buruh mengadukan kasus furlough dan PPHKS kepada lembaga-lembaga yang berwenang, seperti Disnaker Kabupaten Mimika, Bupati Mimika, Kemnaker, Kementerian ESDM dan Presiden RI. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya serikat buruh memutuskan mengirim surat mogok kerja, pada 1 Mei 2017. Kami menyebutnya Moker alias mogok kerja.
Kembali lagi ke demonstrasi di Pengadilan Negeri Timika. Di Pengadilan Negeri Timika, saya menyaksikan ribuan buruh dan keluarganya memadati halaman pengadilan. Mereka berhadapan dengan aparat keamanan dengan senjata lengkap. Saat itu, kami menghalangi pintu keluar pengadilan. Kami menuntut agar ketua kami dibebaskan. Aparat keamanan menghadang, sehingga terjadi saling dorong antara aparat keamanan dan para buruh. Aparat keamanan mengeluarkan tembakan peringatan. Beberapa perempuan berteriak. Beberapa kawan kami membalas perlakuan kasar aparat keamanan dengan melemparkan batu. Keadaan tidak terkendali. Akhirnya, empat orang kawan kami terkena tembakan peluru karet. Kami pun melarikan kawan kami ke rumah sakit. Di kemudian hari kami mengetahui bahwa aparat keamanan menggunakan peluru karet dan peluru sungguhan.
Karena keterlibatan dalam pemogokan itu, saya bersama ribuan kawan lainnya dianggap mangkir dari pekerjaan.
Kasus furlough bergulir. Begitu pula persidangan terhadap tuduhan penggelapan iuran organisasi.[3]
Baca bagian 4
Baca bagian 2
Baca bagian 1
Catatan kaki
[1] Ketua SPSI PT Freeport Indonesia dilaporkan dengan tuduhan menggelapkan keuangan organisasi oleh Ketua DPC SPSI Kabupaten Mimika periode 2012-2017.
[2] Kebijakan furlough muncul setelah Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor konsentrat pada Januari 2017. Dengan alasan pembatasan ekspor berdampak pada keuangan perusahaan, manajemen PT Freeport Indonesia mengurangi jumlah tenaga kerja yang disebut dengan furlough dan program pemutusan hubungan kerja sukarela (PPHKS). Sampai April 2017, jumlah buruh yang terkena program furlough mencapai 823 buruh dan 2.490 buruh kontraktor. Buruh yang terkena program pensiun dini sebanyak 1.635 orang. Di samping itu, perusahaan pun menyatakan mangkir kepada 3.500 buruh yang terlibat mogok menolak kebijakan furlough.
[3] Pada 13 Oktober 2017, majelis hakim PN Kelas II Timika menjatuhkan vonis setahun penjara kepada Ketua Serikat Pekerja PUK KEP SPSI (Pimpinan Unit Kerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Sudiro. Menurut majelis hakim, Sudiro terbukti melakukan penggelapan iuran anggota organisasi sebesar Rp3,3 miliar selama 2014-2016. Sudiro mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Papua. Pengadilan Tinggi Papua malah memutuskan hukuman Sudiro menjadi dua tahun. Pada 18 Agustus, Sudiro mendapat remisi dua bulan dan dinyatakan bebas (Seputarpapua.com, 18 Agustus 2018).
Penulis
-
Corneles Musa Rumabur
-
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!