Toni, Laki-laki berusia 25 tahun, siang itu duduk bersila di lantai –semen– ruang tamu rumahnya yang belum diplester. Tubuhnya yang kecil, berotot dengan kulit legam disandarkan pada pinggiran ranjang-kayu tanpa kasur. Sejak 2019, Toni bekerja sebagai buruh panen di PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) yang terletak di kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini milik keluarga terkaya di Indonesia, Murdaya Poo[1]. Dengan mengantongi 70 hektare izin perkebunan dan 22.780 hektare Hak Guna Usaha (HGU) pada 1994, PT HIP membabat hutan adat, ladang dan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan bagi 6500 keluarga di empat kecamatan –Bukal, Tiloan, Mumunu dan Lipunoto.[2]
Kedatangan kami untuk bertemu Toni, membuat Sita –ibu mertua Toni– sibuk mencari tikar untuk alas kami duduk di lantai. Sita pernah bekerja di PT HIP pada bagian pemupukan dengan status sebagai buruh harian lepas (BHL). Sejak delapan tahun lalu, pekerjaan pemupukan di kebun Inti PT HIP sudah jarang dilakukan. Buruh pemupuk pun banyak kehilangan pekerjaan. Sebagian buruh perempuan–pemupuk yang menjelang usia lanjut tidak dipekerjakan lagi. Termasuk Ibu Sita. Kini, ia hanya bekerja di rumah sembari mengasuh kedua cucunya yang masih balita. Sesekali, ketika musim panen jagung tiba, Sita diminta untuk bekerja di ladang jagung milik tetangga.
Ruang tamu berukuran 3×5 meter itu, terlihat kosong, tanpa meja-kursi, kecuali sebuah ranjang tanpa kasur dan sepeda motor bebek butut yang dimodifikasi menyerupai motor trail agar dapat digunakan di jalan berbukit dan tanah. Beberapa bagian onderdilnya masih berserak di lantai. Sudah hampir seminggu Toni belum selesai memperbaiki sepeda motornya yang biasa digunakan sehari-hari untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Suara tangis anak kedua Toni yang berusia 9 bulan terdengar kencang dari arah ruang tengah. Lina, perempuan berusia 22 tahun–isteri Toni, tampak mondar-mandir sembari menimang dan menenangkan sang anak yang sudah dua hari diserang demam. Sejak menikah, Toni, istri dan kedua anaknya masih tinggal di rumah mertuanya di Desa Winangun, salah satu desa di kecamatan Bukal yang dibangun melalui program transmigrasi pada 1997. Program transmigrasi ini mendatangkan orang dari beberapa wilayah di Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Bali.
Di ruang tengah, Nenek Ijah berusia lebih dari 70 tahun terbaring lemas di atas kasur tipis beralas spanduk bekas kegiatan hari kemerdekaan. Tepat di samping kasur terdapat baskom plastik kecil berisi pasir. Tempat nenek Ijah meludahkan dahak kentalnya, agar tak perlu beranjak dari tempat tidur. Setahun belakangan, nenek dari istri Toni tersebut menderita batuk yang cukup akut.
Di pojok ruang tengah arah pintu dapur, Odang –bapak mertua Toni– tampak duduk di lantai sembari menggaruk-garuk kaki kanannya yang dipenuhi bintik merah. Beberapa bagian kulit pada tulang kering kakinya terdapat luka yang hampir mengering. Sebagaimana isterinya, Odang juga mantan buruh di PT HIP. Sebelum dimutasi ke bagian penyemprotan hama, sekira 2005-2016, Odang bekerja sebagai pemanen. Alasan perusahaan memutasi Odang karena jarang mencapai target panen. Faktor usia membuat Odang tak mampu lagi bekerja menyelesaikan target harian sebanyak 50 tandan buah sawit per hari.
Empat tahun lalu, ketika masih bekerja sebagai buruh penyemprot, kedua mata Odang terkena uap dari cairan racun pembunuh gulma dengan merek Gramaxone. Padahal, sejak 2007, di Uni Eropa, Herbisida jenis ini telah dilarang lantaran mengandung bahan kimia berbahaya. Faktor biaya murah, membuat PT HIP tetap menggunakan Gramaxone dan mengabaikan kesehatan dan keselamatan buruhnya. Sialnya, Odang salah satu korban dari bahan kimia berbahaya yang dipakai oleh PT HIP.
Suatu waktu, ketika Odang bekerja menyemprotkan Gramaxone di kebun yang lokasinya berbukit, angin kencang bertiup ke arah Odang. Uap racun mengenai mata Odang. Kecelakaan kerja itu membuat mata Odang hanya berfungsi limapuluh persen. Dokter sempat memvonis kedua mata Odang terancam buta. Sejak kejadian itu, Odang sering terjatuh. Pengelihatannya sudah tak sempurna.
Setelah sempat dirawat secara intensif selama 1 tahun, pertengahan 2020 Odang mengajukan pensiun dini. Perusahaan hanya membayarkan pesangon sebesar Rp.30 juta untuk masa kerja lebih dari 20 tahun. Itupun dibayar dengan cara dicicil enam kali selama setahun. Kini, Odang hanya mengurus beberapa ekor ayam dan bebek di belakang rumah sembari pemulihan matanya.
Rumah berukuran 10×8 meter yang ditinggali dua keluarga tersebut, belum lama diperbaiki. Tepatnya setelah Odang mendapatkan pesangon. Perbaikan rumah belum sepenuhnya beres atau terpaksa dihentikan karena uang pesangon sudah habis untuk biaya pengobatan mata Odang yang hingga kini masih dikeluhkan sakit. Odang berharap untuk melanjutkan pembiayaan untuk perbaikan rumah adalah Toni.
Sayangnya, sama seperti bapak dan ibu mertuanya, Toni juga sudah tidak bekerja di PT HIP sejak awal tahun 2023 lalu. Toni mengundurkan diri dari PT HIP karena penghasilannya sebagai buruh panen tak cukup. Bukan karena Toni tak mampu bekerja sebagaimana mertuanya, tapi karena kondisi buah sawit yang sedikit di kebun inti PT HIP berpengaruh pada upah yang diterima. Meskipun status hubungan kerja Toni sebagai buruh tetap, namun perusahaan hanya membayar upah Toni berdasarkan jumlah tandan buah sawit yang berhasil dipanen selama sebulan. Sementara pohon sawit tidak seproduktif ketika awal Toni bekerja.
Saat bertemu Toni, ia tampak tak bersemangat, pandangannya kosong, wajahnya menyimpan beban berat. Kini, Toni merupakan satu-satunya orang yang mampu mencari nafkah di keluarga, setelah kedua mertuanya tak lagi dapat bekerja karena usia yang menjelang lansia. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Toni bekerja serabutan. Kadang-kadang menjadi buruh bangunan, diminta memanen kelapa di kebun tetangga, dan bahkan Toni bekerja sebagai buruh tempel[3] di tanahnya sendiri yang dikelola oleh PT HIP untuk di tanami kelapa sawit melalui program Inti Plasma atau Kemitraan.
Kerja rentan buruh kebun
Ketika bekerja di PT HIP, selain sebagai pemanen, Toni juga mengerjakan pekerjaan lain. Seperti memotong pelepah sawit (pruning) dan melansir atau mengangkut buah sawit yang sudah dipanen untuk dikumpulkan di pinggir jalan sebelum dibawa oleh truk pengangkut sawit ke pabrik. Tiga pekerjaan ia lakukan sekaligus untuk menambah penghasilannya. Bagi Toni, jika hanya mengandalkan pekerjaan sebagai pemanen ia tak akan mendapatkan upah yang cukup. Alih-alih menambah penghasilan, resiko, beban dan waktu kerja Toni semakin tinggi.
Toni ditempatkan pada divisi I perkebunan inti PT HIP.[4] Area kebun ini berupa rawa dengan ketinggian pohon mencapai 15 hingga 25 meter. Kondisi kebun yang demikian, menurut Toni beresiko tinggi. Kemungkinan tertimpa tandan sawit atau pelepah, kerap menjadi hal yang selalu dikhawatirkan Toni ketika bekerja. “Kalo pohon yang tinggi itu masalahnya torang gak kelihatan kalo di bawah sawit, bisa ketimpa. Sa-(ya) pernah waktu itu kena (kejatuhan) pelepah, ndak bisa lari. Mau lari kemana? banyak semak dan rawa”, jelas Toni ketika menceritakan situasi ketika ia bekerja.
Ketinggian pohon juga membuat pekerjaan pemanen menjadi lebih sulit dan memakan waktu lebih lama. Jika bekerja terburu-buru, egrek[5] yang merupakan alat kerja utama buruh pemanen bisa patah atau rusak. Kerusakan alat kerja akan menambah beban pengeluaran Toni, karena ia harus membelinya sendiri, alias perusahaan tidak menyediakannya.
Usia pohon sawit yang sudah lebih dari 20 tahun, merupakan pangkal dari persoalan produktifitas buah yang terus menurun, buah yang dihasilkan makin sedikit. Bagi buruh panen, yang upahnya ditentukan berdasarkan satuan hasil, pohon sawit yang sudah tidak produktif ini berdampak pada upah yang diterima menjadi rendah. Satu-satunya cara agar upahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, para buruh panen yang ditempatkan di kebun inti harus bekerja lebih panjang. Baik dilakukan dengan memperluas area kerjanya atau dengan mengambil lebih dari satu pekerjaan. Lagi-lagi alat kerja untuk pekerjaan lain, harus Toni sediakan sendiri. Alat kerja yang Toni sediakan sendiri adalah egrek beserta pipanya dan angkong untuk melansir buah sawit.
Dengan Pohon yang sudah tidak produktif, Toni tak memperdulikan capaian target harian yang ditentukan pihak perusahaan. PT HIP menerapkan target harian sebesar 50 tandan per hari. Jika tidak mencapai target rata-rata 1.000 tandan per bulan Toni akan kehilangan hak cuti dan ‘disemprot’ oleh atasannya dan dipermalukan di hadapan teman sekerja ketika apel pagi. Apel pagi selain membicarakan tentang pekerjaan yang akan dilakukan, juga menjadi sarana untuk mengevaluasi dan menghukum para buruh. Tak jarang Toni kehilangan hak cuti tahunannya karena sering tak mencapai target bulanan. Meskipun Toni sebagai buruh tetap, namun hak atas cuti tahunan di PT HIP juga ditentukan berdasarkan rata-rata pencapaian target per bulan. Begitupun dengan Tunjangan Hari Raya (THR) ketika menjelang lebaran. Perusahaan akan menghitung pembayaran THR berdasarkan capaian target perbulan selama tiga bulan terakhir.
Torangsamuabahutang
PT HIP memberikan alat kerja kepada Toni ketika pertama kali ia bekerja. Namun, pemberian alat kerja tersebut tidak gratis. Perusahaan hanya menanggung setengah dari harga alat kerja yang diberikan perusahaan. Setengahnya lagi, akan terhitung sebagai hutang Toni ke perusahaan. Pembayaran hutang alat kerja dilakukan melalui mekanisme pemotongan upah. Artinya, belum bekerja, para buruh di PT HIP sudah terbebani hutang. Ketika terjadi kerusakaan alat, perusahaan akan menganggap sebagai kelalaian buruh. Dalih itu digunakan perusahaan untuk menghindar dari tanggungjawabnya. Dengan kata lain, kerusakan alat kerja, akan ditanggung sepenuhnya oleh buruh melalui skema hutang. Sebagaimana yang dijelaskan Toni:
“Waktu baru masuk, torang dikasih alat satu set (pipa dan egrek), itu (pembayarannya) dibagi dua dengan perusahaan. Setengah ditanggung perusahaan setengah lagi torang yang bayar. Nanti dipotong upah. Kalo alat rusak, kita ambil lagi, kita semua yang tanggung perusahaan ndak tanggung lagi.”
Saking seringnya rusak alat kerjanya, sampai-sampai Toni tak tahu berapa jumlah sisa cicilan hutang untuk alat kerjanya. “… tidak tahu berapa sa punya sisa hutang, padahal tiap bulan dorang potong sa punya gaji, karena sering ambil alat yang su rusak. Tidak cuma saya yang ambil alat, torang samua bahutang alat kerja”, ucap Toni.
Sebagai buruh panen, alat kerja yang sering rusak adalah pipa dan egrek. Kualitas alat kerja yang dijual oleh perusahaan menurut Toni sengaja dipilih perusahaan agar para buruh terjebak hutang alat kerja. Kualitas alat yang rendah menyebabkan Toni sering mengganti alat kerja yang rusak dan mengakibatkan setiap bulan upah Toni selalu dipotong untuk membayar cicilan alat kerja. Sebagaimana yang diungkapkan Toni:
“…yang paling banyak diganti itu pipa, paling lama 3 bulan. Kadang juga tidak sampe, kadang cuma 1 bulan saja. Karena barangnya kurang bagus jadi sering rusak. Jadi yang paling sering kita ambil pipa dan egrek. Jadi potongan kerja itu dari awal kerja sampe berhenti ada terus potongan alat. Biasanya yang mengambilkan alat mandor, nanti mandor ambil ke bagian logistic. Karena kita gak bisa ambil langsung ke sana, yang bisa mandor. Nanti ada surat dari officernya.
Dari sisi harga, menurut Toni, harga alat kerja yang dijual oleh perusahaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga umum dipasar. Harga pipa egrek misalnya, perusahaan menjualnya Rp.498 ribu, sementara harga di toko hanya Rp.350 ribu. Meskipun tidak ada paksaan harus membeli ke perusahaan, tapi para buruh juga tidak punya banyak uang jika harus membeli secara cash di luar perusahaan. Dalam situasi seperti itulah buruh terpaksa berhutang ke perusahaan. Melihat kasus seperti ini, PT HIP lebih mirip dengan lintah darat yang memaksa berhutang kepada orang yang tidak punya pilihan.
Begitu juga dengan alat pelindung diri (APD), perusahaan tidak menyediakan sama sekali. Jika ada buruh yang memakai APD lengkap: helm, sarung tangan, kacamata dan sepatu boot, itu bukan lah buruh panen melainkan mandor atau jabatan di atas mandor. Padahal pekerjaan mandor tidak terlalu beresiko jika dibandingkan dengan buruh pemanen. Dengan kata lain, penerapan APD yang hanya diberikan kepada para mandor bukan untuk perlindungan diri, melainkan sebagai simbol relasi kuasa di dalam perkebunan. Meskipun ada beberapa buruh yang menggunakan helm dan sarung tangan, namun, itu bukan pemberian atau fasilitas kerja dari perusahaan, melainkan buruh membelinya di koperasi yang dikelola oleh beberapa buruh yang memiliki jabatan strategis di perusahaan.
Di Koperasi perusahaan, selain menyediakan alat pelindung diri, juga menjual berbagai macam kebutuhan makanan, seperti beras, gula, kopi, minyak goreng dan lainnya. Dengan kondisi upah yang tak menentu dan jauh dari akses pasar, sebagian besar buruh akan membeli kebutuhan pangan di koperasi perusahaan. Semua transaksi di koperasi perusahaan ini tidak ada yang cash, melainkan dengan skema hutang. Pembayarannya akan dipotong secara otomatis ketika buruh mendapatkan upah di awal bulan.
Menurut Toni, perusahaan akan memotong 50 persen dari total hutang koperasi selama sebulan. Pihak koperasi akan selalu menyisakan hutang buruh sebagai bentuk jebakan agar buruh terus bergantung berbelanja di Koperasi. Para buruh menyebut dengan “gantungan”. Alih-alih memudahkan akses terhadap kebutuhan pangan, koperasi perusahaan justru membuat buruh masuk dalam jebakan hutang.
Saat kami membicarakan soal hutang koperasi, Lina menunjukkan dua slip gaji suaminya yang sempat ia simpan. Pada slip gaji pertama (periode Maret 2022), tertera Jumlah pendapatan Toni sebesar Rp.2.4 juta sementara jumlah potongan koperasi sebesar Rp.451.500. Lalu, pada slip gaji kedua (periode Mei 2022) total pendapatan Toni sebesar Rp.3150.000 dan potongan koperasi sebesar Rp.949.900. Tak hanya potongan koperasi, potongan hutang alat kerja dan denda panen[6] juga turut mengeruk pendapatan Toni yang tak seberapa. Berikut ini adalah foto slip gaji pada periode Maret dan Mei 2022:
Slip gaji buruh PT HIP (Foto: Dokumen LIPS)
Dari dua foto slip gaji Toni, menunjukkan buruh di PT HIP secara sitematis terjebak dalam jerat hutang. Upah yang kecil tersebut hanya habis dipotong untuk membayar hutang koperasi dan hutang alat kerja di perusahaan. Kondisi inilah yang membuat Toni terus terlilit hutang. Tak sebandingnya antara pendapatan dan pengeluaran serta resiko kerja, membuat Toni memilih mengundurkan diri.
Terpaksa mengundurkan diri
Niat pengunduran diri Toni disampaikan ke pihak perusahaan dengan harapan perusahaan memberikan hak pesangon atas kerjanya selama ini sebagai buruh tetap. Namun perusahaan mengelak dengan alasan masa kerja Toni baru 4 tahun. Mereka berdalih perusahaan hanya akan memberikan pesangon bagi buruh yang masa kerjanya mencapai 15 tahun. Perusahaan justru menyarankan Toni untuk mencairkan Jamsostek, itu pun harus menunggu 3 bulan setelah perusahaan menyatakan Toni tidak lagi berkerja di PT HIP. Karena tak mengerti aturan ketenagakerjaan, Toni pun tak sama sekali membantah apa yang dikatakan pihak perusahaan. Ketika kami bertemu Toni, belum ada pernyataan secara tertulis dan resmi tentang pemutusan hubungan kerja Toni. Sejak menyampaikan pengunduran dirinya ke pihak perusahaan, Toni tidak lagi bekerja.
Dua minggu berselang, Toni menerima kabar dari mandor bahwa ia mendapatkan Surat Peringatan (SP) dari perusahaan karena dianggap tidak masuk kerja selama tiga hari berturut-turut. Meskipun mandor tersebut tidak menunjukkan suratnya kepada Toni, sang mandor menyuruhnya untuk menghadap ke kantor untuk menemui HRD. Karena merasa bahwa sudah tidak mau bekerja Toni pun mengabaikan panggilan itu, harapan mendapat pesangon pun tak sudah ia buang jauh-jauh.
Tiga bulan berlalu, Toni berniat melakukan pencairan asuransi Jamsostek yang setiap bulan dipotong dari upahnya. Dalam slip gaji yang diterima Toni setiap bulan terdapat beberapa potongan asuransi diantaranya; potongan BPJS Kesehatan; potongan untuk Jamsostek (JHT) dan; potongan Jaminan Pensiun. Sayangnya, Toni tak pernah diberikan kartu tanda kepesertaan BPJS oleh perusahaan. Hal ini membuat Toni kesulitan untuk mencairkan asuransi Jamsosteknya.
Ketika Toni datang ke kantor BPJS Buol, Toni justru malah disarankan oleh petugas BPJS untuk membuat surat kehilangan dari kepolisian. Hal ini membuat Sarmin makin bingung karena faktanya ia sama sekali belum pernah diberikan kartu kepesetaan BPJS ketenagakerjaan oleh perusahaan. Hingga terakhir bertemu Toni, ia belum mengurus pencairan JHT yang menjadi haknya. Padahal ia berharap pencairan JHT bisa untuk kebutuhan hari raya Idulfitri yang tinggal tiga minggu lagi.
***
Cerita Toni di atas menunjukkan kehidupan buruh perkebunan sawit di PT HIP. Di sisi lain beredar cerita PT HIP adalah satu-satunya perusahaan besar yang ada di Kabupaten Buol. Pemerintah daerah pun mengatakan kehadiran investasi PT HIP di Kabupaten Buol dapat menyerap lapangan pekerjaan dan menambah Pendapatan Anggaran Daerah. Namun setelah hampir 30 tahun PT HIP berinvestasi di Buol fakta berbalik: kondisi kerja buruhnya rentan, terjebak hutang, bahkan banyak petani kehilangan tanah karena korban kemitraan inti plasma.
Ketika tulisan ini dibuat, saya mendapatkan kabar Toni pergi ke Kalimantan untuk bekerja di perusahaan sawit. Sementara para petani pemilik lahan menuntut PT HIP mengambalikan tanah mereka. Mereka menduduki lahan dan menjaga kebun mereka tidak dipanen oleh PT HIP hingga tuntutan mereka dipenuhi. Aksi pendudukan tersebut direspon represif dengan melibatkan aparatur keamanan negara hingga upaya kriminalisasi dua orang pemimpin aksi.[]
[2] Cerita pembukaan lahan perkebunan PT HIP menjadi ingatan buruk bagi sebagian besar penduduk desa sekitar perkebunan PT HIP. Para petani yang tak ingin hutan dan ladang mereka dirampas, melakukan perlawanan. Mereka berdiri di depan truk dan memeluk pohon untuk mencegah penebangan pohon. Sayangnya tindakan represif dari militer yang mengawal pembukaan lahan tersebut membuat petani tak dapat berbuat banyak.
[3] Buruh tempel adalah istilah yang digunakan untuk orang yang bekerja di perkebunan PT HIP yang statusnya hubungan kerjanya tidak diakui oleh perusahaan.
[4] PT HIP memiliki 7 divisi perkebunan. Penamaan divisi di PT HIP menunjukkan wilayah administrasi area kebun yang pimpin oleh seorang asisten kebun.
[5] Egrek adalah alat yang digunakan untuk memanen tandan dan pelepah sawit. Berbentuk egrek menyerupai arit yang dipasang di ujung pipa besi agar bisa menjangkau ketinggian pohon sawit.
[6] Denda panen adalah bentuk hukuman dari perusahaan karena memanen buah sawit yang masih muda.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]