Pada 2020 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disingkat UUCK. Sebagaimana isi UU ini yang banyak mengebiri hak rakyat dan Hak Asasi Manusia (HAM) –terutama hak buruh– maka UU ini lebih cocok disebut UU “CILAKA”. Alih-alih dibuat dengan maksud untuk mendorong investasi dan petumbuhan ekonomi, faktanya UUCK lebih banyak mengakomodir kepentingan pengusaha dan penguasa, ketimbang buruh.
Dalam konteks reformasi hukum, kelahiran UUCK menimbulkan kontroversi di tengah perubahan dinamis ekonomi Indonesia. Sepanjang perumusan, penetapan hingga diundangkan, UUCK banyak dikritik dan ditentang oleh banyak serikat buruh melalui berbagai saluran. Dari protes jalanan hingga protes melalui jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Lukman Hakim “[b]uruh tidak menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law secara keseluruhan. Tapi hanya poin-poin tertentu seperti upah buruh, jam kerja, hingga hubungan kerja seperti pekerja kontrak dan alih daya atau outsourcing”.
Bagi barista dan buruh F&B (Food and Beverage), UUCK sangat berdampak pada jam kerja panjang, hilangnya harapan atas kepastian kerja dan berpotensi diupah lebih rendah. Apalagi, dalam struktur industri F&B, barista berada dalam posisi yang paling rendah. Hal ini yang membuat buruh F&B seperti barista menjadi sangat rentan. Oleh karena itu UUCK membawa kekhawatiran dan tantangan tersendiri bagi barista.
Menjadi sebuah pertanyaan besar Undang-undang Cipta Kerja, yang diharapkan untuk dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, malah memiliki konsekuensi yang tidak seimbang antara pemodal dan buruh. Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana UU Cipta Kerja mengancam hak-hak buruh F&B, terutama barista.
Di balik tawa pelayan kopi
Semester lalu saya sempat berdiskusi tentang seputar kerja sampingan selama masa kuliah dengan seorang kawan. Dia mengatakan bahwa kerja sampingannya sebagai barista dianggap sebagai usahanya menambah uang saku. Kawan saya bercerita, jika dia bekerja sebagai buruh paruh waktu di salah satu coffee shop di Bekasi.
Dalam seminggu dia hanya bekerja dua hari. Jam kerjanya sama seperti coffee shop pada umumnya, 8 jam. Sistem kerja di coffee shop tersebut menerapkan dua shift kerja: Shift pagi pukul 09:00 – 17:00 dan shift sore pukul 15:00 – 23:00. Namun, jam kerja pada shift sore akan berubah saat weekend, mulai pukul 16:00- 23:59.
Ketika saya menanyakan apakah ada lembur di tempat kerjanya, dia menjawab “tidak”. Namun ketika saya mulai bertanya soal upah, raut wajahnya berubah. Dia menyebutkan bahwa, satu hari kerja dia hanya mendapatkan uang sebesar Rp80 ribu. Dalam sebulan ia hanya delapan hari bekerja, dengan total pendapatannya sebesar Rp700 ribu atau seperempat dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bekasi. Tetapi dia berpikir mungkin karena dia seorang buruh paruh waktu. Jadi upahnya tidak sebesar barista tetap.
“Jika dibilang upahnya cukup atau tidak sih sudah pasti tidak cukup. Yang ada malah cape, apalagi weekend atau hari-hari libur nasional, itu pasti dunia F&B nggak pernah tutup. Karena nggak mungkin hari libur kita juga libur, justru di hari-hari seperti itu ramai pengunjung, target kita bisa tercapai,” ucapnya ketika ditanya tentang upah.
Dari keluh kesah tersebut kita juga merasa bahwa menjadi seorang barista dengan upah yang tak layak membuat mereka terpaksa melakukan semuanya untuk keberlangsungan hidupnya. Hal tersebut belum termasuk adanya tekanan mental dari pelanggan yang kadang-kadang berprilaku semena-mena.
Saat ini dunia F&B terutama pada coffee shop sedang digandrungi. coffee shop menjadi salah satu tempat untuk mengerjakan tugas kuliah, nongkrong, dan memenuhi pekerjaan kantor alias Work From Café (WFC).
Pada kesempatan lain, saya bersama dengan kawan-kawan sekelas saya mewawancarai dua barista di salah satu coffee shop di Jakarta Selatan. Sebut saja mereka Mbak E dan Mas D. Dari hasil wawancara yang kami lakukan, mereka menyebutan bahwa menikmati pekerjaanya karena dapat bertemu dengan banyak orang, menambah pertemanan, melatih soft-skill. Keduanya berkeyakinan bahwa karir mereka akan bagus di masa depan. Mereka berharap dapat menjalankan bisnis yang sama di kemudian hari.
Tidak hanya cerita manis-manisnya. Barista yang kami temui juga mengungkapkan keresahan selama bekerja di dunia F&B. Seperti manajemen yang buruk, ketidakjelasan perhitungan upah, uang bonus, tidak adanya komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan, waktu yang sangat sulit untuk melatih atau mengembangkan skill dan penyesuaian jam kerja yang harus dibehani, ketidaksesuaian kontrak kerja dengan apa yang dikerjakan.
Parahnya, para barista kerap mengalami keterlambatan pembayaran upah atau menerima upah di luar waktu yang disepakati dalam kontrak kerja. Tidak hanya telat, upah mereka pun terkadang dibayar dengan cara dicicil. Sementara besaran upah yang mereka terima tidak sebanding dengan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki.
Kerentannan barista
UU Cipta Kerja memperkenalkan fleksibilitas baru dalam jam kerja yang memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi memberikan beban kerja tanpa imbalan yang setara untuk buruh. Ketentuan mengenai waktu kerja ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 Perppu Cipta Kerja yang mengubah pasal 77 UU Ketenagakerjaan.
Dalam ketentuan tersebut, waktu kerja dapat dilakukan 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau 8 jam per hari dan 40 jam dalam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Melalui legitimasi pasal ini, sektor usaha F&B seperti coffee shop kerap mempekerjakan buruhnya selama 48 jam dalam seminggu. Dari wawancara yang kami lakukan dalam seminggu para barista rata-rata bekerja 48 jam, dengan kata lain ia bekerja 8 jam per hari selama 6 hari dalam seminggu.
Hartanto, A. K., & Khoiriya, A. (2024) dalam riset sosial media yang mereka temukan menjelaskan bahwa publik merasa UU Cipta Kerja mengabaikan kesejahteraan buruh dan hanya menguntungkan investor. Hal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang tersebut gagal meningkatkan kesejahteraan buruh. UU Cipta Kerja pun dianggap tidak meningkatkan kesejahteraan buruh di Indonesia.
Permasalahan yang terjadi pada saat ini sebenarnya sejalan dengan yang telah disebut oleh Guy Standing, seorang Profesor studi pembangunan di School OF Oriental and African Studies, University of London, menjelaskan bahwa jenis pekerjaan saat ini digambarkan sebagai “pekerjaan yang tidak menentu”, termasuk jam kerja, kontrak kerja, jaminan kerja, dan lingkup kerja. Dalam bukunya berjudul The Precariat: the New Dangerous Class, Guy Standing membuat istilah baru dengan sebutan “prekariat.”
Jadi, UUCK yang kontroversial di Indonesia telah menimbulkan banyak kekhawatiran bagi buruh, terutama barista, yang berada di garis depan industri makanan dan minuman. Secara paradoks, undang-undang ini bertujuan untuk mempermudah investasi dan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga dapat mengurangi perlindungan buruh dengan mengubah ketentuan tentang kontrak kerja tetap dan outsourcing. Ini berarti bahwa barista menghadapi lebih banyak ketidakpastian di tempat kerja dan kehilangan jaminan pekerjaan jangka panjang. Selain itu, karena jam lembur yang diperbolehkan menjadi lebih ketat, mereka harus bekerja lebih lama tanpa upah yang memadai, yang menempatkan mereka di bawah tekanan yang berlebihan.
Pengurangan perhitungan pesangon juga sangat penting karena dapat mengurangi masalah keuangan ketika barista dipecat. Namun, barista di kedai kopi kecil mungkin tidak lagi dijamin mendapatkan upah minimum karena pengecualian dari kewajiban membayar upah minimum untuk usaha mikro dan kecil. Secara keseluruhan, perubahan-perubahan ini menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan dan hak-hak buruh barista, dan mereka berpotensi menurunkan standar hidup dan keamanan pekerjaan mereka.
Referensi:
Ternyata, Ini Sebab Buruh Gerah & Tuntut Cabut UU Cipta Kerja. (2023, May 2). CNBC Indonesia. Retrieved June 16, 2024, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20230502180828-4-433837/ternyata-ini-sebab-buruh-gerah-tuntut-cabut-uu-cipta-kerja
Hartanto, A. K., & Khoiriya, A. (2024, March 12). Riset: UU Cipta Kerja gagal sejahterakan buruh, hanya untungkan pemodal. The Conversation. Retrieved June 16, 2024, from https://theconversation.com/riset-uu-cipta-kerja-gagal-sejahterakan-buruh-hanya-untungkan-pemodal-224371
Polimpung, H. Y. (2018, January 8). Ngomong-ngomong, apa itu pekerja ‘prekariat’? The Conversation. Retrieved June 16, 2024, from https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048
Penulis
-
Rocky Insani
-
Mahasiswa Program Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia