MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Eksploitasi dan Alienasi dalam Program Pemagangan Mahasiswa

Di tengah angka pengangguran yang tinggi dan pasar kerja fleksibel, persaingan dalam dunia kerja semakin ketat. Di sisi lain, Pemerintah melalui Perguruan Tinggi menggencarkan taktik untuk menghasilkan angkatan kerja yang memiliki ‘etos kerja’ yang baik, sebagaimana yang diinginkan para pemberi kerja, yaitu dengan mendorong mahasiswa mengikuti ‘Program Pemagangan’. 

Sebagian besar mahasiswa, magang dianggap sebagai suatu ‘tiket emas’ agar nantinya ketika lulus kuliah, bukan hanya berpengalaman di dunia kerja, tetapi juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk diterima di dunia kerja yang sesungguhnya. Dengan asumsi, Curriculum Vitae yang mencantumkan pengalaman magang, menjadi penanda bahwa mereka telah siap memasuki dunia kerja.

Sayangnya, ‘euforia’ program  pemagangan serta besarnya influks pekerja magang, kerap dimanfaatkan perusahaan untuk mendapatkan buruh murah dan bahkan kerap dieksploitasi, alih-alih memberikan pelatihan. 

Dengan mewawancarai enam orang mahasiswa S1 dan D3 yang pernah mengikuti program pemagangan di perusahaan, artikel ini hendak menunjukkan bentuk-bentuk eksploitasi perusahaan terhadap buruh magang dan bagaimana program pemagangan tersebut mengalienasi mahasiswa/buruh magang?

***

Dari wawancara yang dilakukan, rata-rata narasumber mengatakan, ketika bekerja sebagai buruh magang tidak diberikan arahan yang jelas dari atasan atau pemberi kerja tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan, alias tidak ada kontrak yang jelas. Hal ini berdampak pada waktu kerja panjang yang melebihi ketentuan waktu kerja bagi buruh  magang. Dampak lainnya, buruh magang cenderung mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keilmuan atau studi mereka. 

Umumnya, waktu kerja dan beban kerja akan berpengaruh pada upah. Namun dalam praktik pemagangan, perusahaan kerap membayar upah tidak sesuai dengan waktu kerja peserta magang. Perusahaan berdalih buruh magang tidak mengenal upah, melainkan uang saku. Besaran uang saku tersebut ditentukan sepihak oleh perusahaan. Ketidaksesuaian upah dengan waktu kerja dan beban kerja yang tinggi terhadap buruh magang ini mengindikasikan perusahaan melakukan praktik eksploitasi berkedok pemagangan.

Meskipun belum ada survei pasti yang menunjukkan secara statistik tentang kasus ekspolitasi terhadap buruh magang, namun kita bisa menemukan keluhan-keluhan tentang ekspoitasi buruh magang di media sosial. Menurut AK, salah satu mahasiswa yang pernah mengikuti pemagangan menemukan 4 hingga 5 orang mengungkapkan keluhannya di media sosial tentang situasi kerja buruk ketika magang. AK juga mengatakan dua dari beberapa kawannya yang ikut program pemagangan mengeluhkan hal yang sama. Meskipun mereka tidak mengatakan dieksploitasi, namun keluhan-keluhan tersebut mengindikasikan dan mengarah pada bentuk-bentuk eksploitasi sebagaimana yang telah disampaikan di atas.

Kesulitan yang saya temui ketika mengukur seberapa sering eksploitasi terjadi pada pemagang mahasiswa adalah para pemagangnya sendiri tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi. MB misalnya, seorang mantan pemagang dan juga anggota serikat di salah satu perusahaan media menyebutkan bahwa, banyak di antara pemagang tidak menyadari dirinya dieksploitasi. Sebaliknya, pengalaman magang seringkali dikesankan sebagai sesuatu yang prestige atau kebanggaan karena telah diterima di suatu perusahaan yang bergengsi. Meskipun mereka kerap diperlakuan semena-mena oleh perusahaan sering kali tidak dianggap sebagai eksploitasi. MB merasa bahwa kesempatan bekerja dan posisi yang dimiliki saat magang jauh lebih berharga.

Pernyataan serupa juga datang dari AR yang menyebut bahwa dirinya tidak merasa dieksploitasi selama masih ada dampak positif yang bisa diterima dari kegiatan magang. Begitupun AKT, rekan magang AR, yang juga menganggap dirinya tidak pernah merasa dieksploitasi, hanya saja pernah mengalami perlakuan tidak baik ketika magang dan itu dapat dimakluminya.

Ketika ditanya mengenai tingkat kepuasan selama menjalani kegiatan magang dengan menggunakan skala 1 hingga 10, sebagian besar narasumber memberi nilai yang tinggi, antara 8 atau 9. Artinya mereka tidak merasa dieksploitasi meskipun mendapatkan perlakuan semena-mena.

Pernyataan-pernyataan narasumber di atas mengingatkan saya tentang konsep alienasi dalam teori yang dibangun oleh Marx. Lantas, bagaimana seluruh proses ekploitasi ini dapat berujung pada alienasi? 

Dalam buku Marx’s Capital Illustrated karya David Smith (1982), Marx membagi kerja menjadi dua karakter (dual caracter of labour) atau kerja ganda: Useful labour dan abstract labour. Di mana useful labour atau kerja konkrit dimaknai sebagai kerja yang menghasilkan nilai guna dari kerjanya. Sebaliknya, abstract labour dimaknai sebagai kerja yang mengabaikan kerja berguna dengan seluruh perbedaan kualitatifnya dan hanya fokus pada energi yang dihabiskan ketika memproduksi suatu komoditi yang diukur berdasarkan waktu secara sosial. Dengan kata lain, sebetulnya pengusaha hanya peduli dengan kerja manusia, sejauh kerja yang mengeluarkan energi (abstract labour) tersebut mendatangkan keuntungan ketika dipertukarkan. Pemisahan useful labour dan abstract labour inilah menurut Marx cara untuk menjelaskan terjadinya alienasi. 

Dalam konteks masyarakat industri, Marx juga melihat buruh tidak dapat melihat kerjanya sebagai pengungkapan makna. Dengan kalimat lain, seorang buruh akan bekerja untuk tujuan pemilik perusahaan yang mengupahnya alias bersifat ekonomis, bukan berdasarkan maksud si buruh. Bahkan, kerja bukan lagi dimaknai sebagai ungkapan atau ekspresi dari keahliannya yang membentuk kerja bergunanya (useful labour) sebagai manusia. 

Kecenderungan manusia untuk memperlakukan suatu produk berdasarkan nilai gunanya (yang merupakan suatu konstruksi sosial dan erat kaitannya dengan useful labour), saat ini mulai tergerus oleh abstract labour di mana orang-orang cenderung memandang produk berdasarkan nilai ekonomi belaka, alih-alih kegunaan.

Menurut saya, tergerusnya pola pikir akan kerja berguna ini yang menyebabkan terjadinya eksploitasi pada buruh. Dalam kasus pemagangan, jika produknya saja dipandang sebatas komoditas bernilai ekonomi tanpa memikirkan kualitas, tidak mengherankan bila akhirnya para buruh juga diperlakukan serupa layaknya sebuah komoditi. 

Di sinilah kemudian alienasi terjadi. Eksploitasi juga bisa memperparah terjadinya alienasi pada para buruh magang. Sebagai contoh, dari beberapa mahasiswa yang saya wawancarai hampir seluruhnya mengaku pernah merasakan berbagai perlakuan tidak mengenakkan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi. Namun, hampir tidak ada dari mereka yang sadar bahwa itu adalah bentuk eksploitasi dan mereka bersikap biasa saja akan hal tersebut, bahkan melihatnya sebagai sesuatu yang positif agar terbiasa dalam dunia kerja.

Magang dianggap semata-mata sebagai suatu batu pijakan untuk menyelesaikan tugas belajar sebagai syarat kelulusan dan sarana untuk mempermudah mencari pekerjaan setelah lulus (terlebih bila yang menjadi tempat magangnya adalah suatu perusahaan yang sangat bergengsi) dan bukan sebagai suatu “pekerjaan sungguhan” yang meniscayakan dipenuhinya hak-hak buruh. Kemungkinan besar inilah yang menyebabkan para pemagang yang saya wawancari tidak sadar atas eksploitasi yang dialaminya.

Dengan fakta-fakta tersebut di atas, sudah semestinya mahasiswa yang menjadi buruh magang, atau calon pemagang lebih sadar akan isu-isu perburuhan semacam ini agar terus mengusahakan perubahan yang lebih baik. Akhir kata, panjang umur perjuangan!

Referensi

Smith, D. (1982). Marx’s Capital Illustrated: An Illustrated Introduction. Haymarket Books.

Zulchulaefa. (2023, January 5). Status Mahasiswa Magang dalam undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia. kumparan.

https://kumparan.com/zulchulaefa/status-mahasiswa-magang-dalam-undang-undang-ketenagakerjaan-indonesia-1zXzTCj43IQ/full

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan Dalam Negeri

Penulis

Justine Putra Mahariady
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Angkatan 2020