Pendidikan merupakan salah satu sektor publik terpenting dalam menentukan keberadaan suatu peradaban. Ini karena pendidikan memegang peran dalam mengembangkan sumber daya manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan. Ketiga aspek tersebut amat krusial tentunya, mengingat suatu peradaban harus senantiasa mengikuti arus perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya, baik di level mikro, maupun makro. Dengan terpenuhinya tiga prasyarat mendasar itu lah suatu peradaban akan dapat terus bergerak menuju tonggak kemajuan.
Fungsi pendidikan di atas merupakan proyeksi ideal, namun jelas bukan tanpa masalah. Pasalnya, di tengah dinamika realitas global hari ini pendidikan justru mengidap beragam permasalahan akut. Hal ini dapat disaksikan berangkat dari fenomena di permukaan; semakin melonjaknya tarif pendidikan, penyesuaian rancangan kurikulum dengan kebutuhan industri, jual-beli aset pendidikan negeri, bongkar-pasang program studi hingga mekanisme kontrol mutu universitas (akreditasi). Semua fenomena tersebut seringkali mengakibatkan terjadinya gesekan antar klas-klas dalam masyarakat.
Sekumpulan fenomena yang disebutkan sebelumnya tidaklah hadir dari ruang kosong. Apabila diusut lebih dalam, ragam fenomena permasalahan yang hadir hari ini adalah konsekuensi logis dari paradigma sistemis yang membentuk alur sistem pendidikan. Paradigma itu bernama Teori Modal Manusia (Human Capital Theory).
Secara ringkas, Teori Modal Manusia mendefinisikan pendidikan berdasarkan kacamata produktivitas ekonomi. Fungsi edukatif pendidikan haruslah berorientasi pada pertumbuhan ekonomi suatu negara berlandaskan prinsip pasar bebas. Implikasinya, pendidikan dan sumber daya manusia di dalamnya dipandang sebagai investasi. Pendidikan haruslah membuka akses luas investasi dan kerjasama industrial, sehingga mampu turut mendongkrak perekonomian global. Paradigma ini juga memandang perilaku orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah sebagai investasi. Orangtua menyekolahkan anaknya sebagai bentuk investasi masa depan keluarga, sehingga sang anak mampu mendongkrak perekonomian keluarga. Semakin tinggi sekolah sang anak, semakin tinggi human capital-nya, semakin besar pula kesempatanya memperoleh kehidupan yang mapan.
Human capital (keterampilan, kognisi, etos kerja, kekayaan dll) adalah ukuran paradigma Teori Modal Manusia dalam memandang manusia. Asumsi dasarnya ialah ketika manusia memiliki human capital yang tinggi, maka produktivitasnya pun pasti meningkat. Produktivitas yang tinggi dari suatu individu akan membekalinya ketika menghadapi dunia pasar bebas yang sarat akan persaingan. Manakala suatu individu kalah dalam persaingan maka itu dianggap sebagai kondisi alamiah yang sudah semafhumnya terjadi.
Kondisi demikian dapat kita saksikan dalam konteks Indonesia. Biaya pendidikan yang semakin melonjak naik sebagai akibat dari otonomi perguruan tinggi yang dilegitimasi oleh UU No. 12 Tahun 2012 sehingga semakin meminimalisasi tanggung jawab negara melalui APBN, telah berujung pada bertambahnya rakyat yang tidak mampu mengakses pendidikan. Rancangan kurikulum yang semakin berorientasi pada Revolusi Industri 4.0 telah berakibat pada terbentuknya corak pendidikan yang berorientasi pada reproduksi tenaga kerja cakap. Ini karena semakin ketatnya kualifikasi angkatan kerja yang dapat menjadi tenaga kerja tetap yang siap bersaing dalam perekonomian global.
Jika ditelaah lebih dalam, orientasi pendidikan untuk mencetak tenaga kerja cakap tentunya beranjak dari berubahnya kondisi ekonomi-politik global, terutama di sektor ketenagakerjaan. Agenda neoliberalisme yang lama digawangi oleh Amerika Serikat telah berimplikasi pada terbukanya sirkulasi modal dan migrasi tenaga kerja tanpa mengenal batas negara. Secara lebih terperinci, peta persebaran tenaga kerja tidaklah dapat diidentifikasi berdasarkan letak geografis semata, melainkan harus berdasarkan identifikasi rantai nilai-pekerja (global labour-value chain). Ini dapat diperhatikan dari fenomena migrasi masif tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain yang semakin sering terjadi, berikut permasalahan imigrasi yang menyertainya. Hal ini pastinya akan berdampak pada semakin ketatnya peta persaingan tenaga kerja dalam pasar global.
Sekilas tentang Teori Modal Manusia
Selama sejarah perkembangannya, embrio Teori Modal Manusia dirumuskan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776). Dalam karya besarnya tersebut, Adam Smith menjabarkan prinsip mendasar fungsi instrumental manusia sebagai elemen sumber daya yang menjalankan roda ekonomi negara. Pada perkembangan berikutnya para pemikir ekonomi klasik pertama mengembangkan teori Adam Smith tersebut dengan membentuk klasifikasi antara kapital dan manusia itu sendiri. Sementara pada generasi kedua pemikir ekonomi klasik, formulasi konsep manusia sebagai kapital barulah dibakukan. Beranjak dari epistemologi dua mazhab tersebut, manusia direduksi penilaiannya hanya dengan cara pandang nilai-tukar.
Pada tahun 1960 paradigma Teori Modal Manusia sudah menjadi pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan pendidikan di barat. Hal ini tercermin dari semakin masifnya promosi kebijakan pendidikan yang membubuhkan metafora “riset”, “inovasi, “pendidikan” dan “kompetitif”. Salah satu aktor yang mempromosikan Teori Modal Manusia adalah Organizationn for Economic Cooperation and Development (OECD). OECD mempublikasikan banyak laporan tentang peran pendidikan dalam era globalisasi. Salah satu promosi yang paling signifikan adalah upaya untuk mensinergiskan hubungan antara sektor privat-publik dan internasionalisasi sistem pendidikan skala global. Selain OECD, Bank Dunia juga menjadi aktor besar promotor Teori Modal Manusuia. Laporan Erwin. R. Tiongson, seorang ekonom yang kajiannya dipublikasikan ulang Bank Dunia, bertajuk Education Policy Reform, menjabarkan pentingnya perombakan kebijakan demi mendorong pendidikan yang menciptakan tenaga kerja produktif demi mengisi skrup-skrup industri.
Bahkan hari ini, Bank Dunia melalui laporan terbarunya World Development Report 2019: Changing Nature of Work, kembali menggembor-gemborkan narasi Teori Modal Manusia melalui Proyek Modal Manusia (Human Capital Project). Di laporan tersebut, Bank Dunia menjabarkan tuntutan pasar global hari ini akan tenaga kerja cakap yang semakin tinggi. Oleh karena itu institusi pendidikan dituntut untuk melakukan perubahan besar-besaran di level birokrasi, kurikulum dan kebijakan. Tuntutan ini menyusul gelombang lanjutan dari pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility), yang mana struktur ketenagakerjaan antara pekerja tetap (regular workers) dan pekerja tak-tetap (non-regular workers) akan semakin dipertegas. Seleksi tenaga kerja tetap akan semakin ketat, sementara para pekerja yang kalah bersaing akan dilarikan menjadi pekerja tak tetap (kontrak atau outsourcing).
Konteks Indonesia
Semenjak pertemuan Annual Meeting IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali pada 8-14 Oktober 2018 lalu, Jokowi telah menandatangani komitmen bahwa Indonesia akan terlibat dalam proyek besar IMF-World Bank. Beberapa konsensus yang disepakati ialah pengembangan ekonomi digital, impor teknologi, human capital hingga smart agriculture. Perjanjian tersebut menuntut Jokowi berkomitmen menindaklanjuti kesepakatan yang telah dijalin.
Gelagat Jokowi dalam merealisasikan hasil perjanjian tersebut kiranya dapat kita saksikan hari ini. Pidato Jokowi di Sentul International Convention Center (SICC) pada 14 Juli 2019 lalu yang berisikan “gebuk” para penghambat investasi, merupakan cerminan dari ambisi besarnya untuk merealisasikan kelancaran investasi di segala sektor. Semua ambisi tersebut pun termanifestasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang mencantumkan agenda besar Jokowi-Ma’ruf Amin di masa pemerintahannya lima tahun ke depan. RPJMN tersebut membubuhkan agenda strategis yang berfokus pada pembukaan investasi, seperti efisiensi birokrasi, ekonomi digital, teaching factory/industry dan smart agriculture. Agenda lama yang diteruskan seperti program sertifikasi tanah dan perhutanan sosial pun terlihat akan kembali menjadi tonggak penting proyek besar Jokowi.
Di sektor pendidikan, program teaching factory/industry menjadi platform kebijakan besar yang dipromosikan. Teaching factory/industry adalah program pendidikan vokasi atau pemagangan yang bertujuan mencetak tenaga kerja siap saing. Program ini berlaku untuk jenjang SMK hingga perguruan tinggi. Implementasi dari program ini bisa berupa adopsi model pembelajaran ataupun menjalin kemitraan langsung dengan industri, baik dalam hal riset maupun pemagangan. Model pembelajaran Teaching factory bertujuan untuk mempersiapkan kecakapan peserta didik melalui simulasi langsung kerja-kerja industri. Misalnya peserta didik akan dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan pembagian kerja dalam satu industri, sehingga mereka dapat mengalami langsung realitas industri yang serba terspesialisasi. Selain itu, dalam hal pemagangan, kemitraan institusi pendidikan dengan industri diproyeksikan untuk mengerahkan praktik pemagangan siswa ataupun mahasiswa ke industri mitra. Industri mitra lantas akan melakukan skema kontrol kualitas pemagang sebagai bahan pertimbangan apakah sang siswa atau mahasiswa memenuhi kriteria memadai untuk bekerja.
Usut punya usut, salah satu latar belakang Jokowi memberlakukan program teaching factory tersebut ialah karena masih rendahnya human capital Sumber Daya Manusia Indonesia. Ini tercermin dalam Human Capital Index yang dirilis oleh Bank Dunia memosisikan Indonesia di posisi ke-87 dengan indeks 0,53. Indeks tersebut terpaut cukup jauh dengan Singapura (0, 88), Vietnam (0, 67) dan Malaysia, (0, 62) Beralasan memang, karena angka partisipasi di jenjang PAUD dan pendidikan tinggi masih sangat rendah, masing-masing 34,46% dan 29,33%. Dengan persentase demikian, jelas bahwa human capital manusia Indonesia sangat tidak memungkinkan untuk masuk dalam persaingan.
Namun, apakah dengan diadakannya teaching factory/industry ini masalah Sumber Daya Manusia Indonesia yang rendah dapat terpecahkan? Menurut hemat penulis, solusi tersebut mengidap permasalahan serius. Implementasi teaching factory adalah pengejawantahan langsung dari Human Capital Project, yang secara proyeksi teoretisnya menitikberatkan kompetisi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini dapat berdampak, baik dalam hal akses pendidikan, maupun ketenagakerjaan.
Sebagai contoh, dalam hal akses pendidikan, ketika satu rumah tangga keluarga berupaya menyekolahkan anaknya ke suatu institusi pendidikan, maka peluangnya akan sangat bergantung pada kelasnya dalam suatu masyarakat. Ketika keluarga seorang siswa atau mahasiswa memang berasal dari latar belakang ekonomi mapan, yang orang tuanya memiliki human capital (gelar, kompetensi, jabatan) yang tinggi, maka peluang sang siswa atau mahasiswa untuk mengakses pendidikan akan lebih besar dibanding keluarga yang orangtuanya memiliki human capital rendah. Dari sini, dapat ditelaah bahwa yang terjadi bukanlah pengentasan angka partisipasi sebagai solusi peningkatan mutu SDM, melainkan berakibat pada reproduksi persaingan dan ketimpangan. Dengan kata lain, yang direalisasikan bukanlah pengentasan, melainkan upaya untuk mengontrol laju ketimpangan.
Dalam elaborasi lebih jauhnya, pada aspek ketenagakerjaan pun institusi pendidikan akan dituntut untuk meningkatkan kualitas lulusannya institusi pendidikan yang dituntut untuk mencetak tenaga kerja berkualitas sesuai kebutuhan pasar bebas dapat dipastikan akan semakin ketat menetapkan kualifikasi, sehingga memicu universitas untuk mengarahkan kesadaran siswa atau mahasiswa untuk berfokus pada ranah akademis dan aktivitas kewirausahaan. Dengan tuntutan akademis yang ketat, diharapkan akan tercetak lulusan yang bisa bersaing dalam mengisi slot-slot perekonomian pasar.
Demi menjamin setiap institusi pendidikan menjalankan roda pendidikan sesuai kualifikasi pasar, maka skema kontrol mutu pun akan semakin ketat demi mendorong kinerja universitas yang diinginkan. Implikasinya bisa sangat beragam, seperti kebijakan lulus cepat, penambahan bobot SKS, hingga bongkar-pasang prodi pun akan secara masif diberlakukan. Prodi-prodi yang dipandang tidak relevan dengan kebutuhan industri atas nama kepentingan akreditasi akan masif digalakan, menggantikan prodi ilmu sosial seperti sosologi, ilmu politik dan ilmu filsafat. Hal ini sudah terjadi beberapa institusi pendidikan yang mengganti atau menambahkan prodi-prodi pesanan industri seperti Logistik, Ekonomi Digital, Jurusan Meme dll.
Dengan orientasi pendidikan seperti di atas, maka lulusan pendidikan tinggi maupun SMK akan langsung diarahkan kepada industri-industri mitra. Praktik pengerahan lulusan ini pun akan sangat memungkinkan terjadinya persaingan yang akan berujung pada eliminasi satu sama lain. Mereka yang menang bersaing akan mengeliminasi angkatan tenaga kerja lain memenangkan posisi strategis. Sementara, mereka yang kalah dalam persaingan akan mengalami ketidakjelasan nasib. Terlebih pasca diberlakunnya Kepmenaker No 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu oleh Tenaga Kerja Asing, yang mana tenaga kerja asing dimungkinkan untuk bekerja di sektor-sektor strategis Indonesia, peta persaingan kerja dalam negeri pun pasti akan semakin ketat.
Ilustrasi di atas menggambarkan dimensi politis persekongkolan ilmu pengetahuan dengan kapitalisme. Human Capital Theory yang menjadi paradigma umum pendidikan hari ini telah mengkonversi nilai pengetahuan menjadi nilai abstrak(abstract value) ala kapital. Dengan kata lain, paradigma tersebut telah mengubah proyeksi ilmu pengetahuan yang ditanamkan oleh institusi pendidikan tak lebih sebagai, meminjam istilah Bourdieu, kapital kultural (cultural capital) yang dapat diubah secara transaksional menjadi uang (economic capital) ataupun keistimewaan tertentu (social capital). Secara aksiologis, ilmu pengetahuan tidak lagi diukur dari kebermanfaatannya secara umum, melainkan direduksi manfaatnya untuk diapropriasi dngan tatanan kapitalisme yang eksis. Pada titik inilah ilmu pengetahuan tak ubahnya instrumen kekuasaan untuk mereproduksi manusia yang dibutuhkan demi keberlangsungan tatanan yang eksis (kapitalisme).
Human Capital dan Revisi UUK
Bukan kapitalisme namanya kalau sistem tersebut tidak mampu mengantisipasi kemungkinan di atas. Skema Labour Market Flexibility yang menjadi semangat dari RUU Ketenagakerjaan disinyalir akan berperan besar dalam menghadapi besarnya gelombang arus tenaga kerja yang dicetak institusi pendidikan. Mereka yang terlempar dari persaingan karena tidak memiliki human capital yang cukup sangat mungkin bekerja di suatu industri dengan sistem kerja kontrak atau outsourcing, dengan syarat harus rela diupah sangat murah, jam kerja lebih, ketidakjelasan status kerja dan penghilangan pesangon. Khusus untuk pekerja yang mayoritasnya perempuan kondisi akan lebih buruk, karena cuti haid dan hamil pun akan dihilangkan.
Sistem ini mampu untuk melakukan pelemahan posisi tawar pekerja secara lebih masif dan efektif. Ini karena industri dimungkinkan untuk melakukan fleksibilisasi, baik secara eksternal maupun internal. Fleksibilisasi eksternal berhubungan perekrutan dan pemecatan. Rincinya, suatu perusahaan diberikan wewenang lebih untuk melakukan praktik rekrutmen, penyesuaian dan penggunaan, hingga pemutusan hubungan tenaga kerja, tanpa intervensi dari negara. Dengan diminimalisasinya peran negara, pelibatan pihak ketiga untuk merekrut tenaga kerja tentu menjadi semakin terbuka.
Sistem rekrutmen dan pemecatan seperti ini jelas tidak menguntungkan bagi angkatan kerja. Angkatan kerja yang kualifikasinya (human capital) tidak sesuai dengan pasar akan menjadi sasaran gaet para industri untuk dipekerjakan secara kontrak. Logikanya sederhana, perusahaan akan memilih untuk memperkerjakan tenaga kerja murah dalam jumlah besar dibanding tenaga kerja cakap. Ini karena mereka dapat diupah dengan sangat murah dan tidak memerlukan jaminan kerja berlebih, sehingga perusahaan dapat meraup keuntungan secara lebih besar. Kondisi tersebut juga menguntungkan perusahaan mengingat bongkar-pasang tenaga kerja menjadi sangat fleksibel, yang memudahkan perusahaan melakukan PHK massal tanpa hambatan berarti. Hal ini berguna bagi perusahaan untuk menjaga performa produktivitas tenaga kerjanya, dan untuk mengendalikan populasi pengangguran yang menganggu stabilitas ekonomi.
Aspek berikutnya ialah fleksibilisasi internal. Fleksibilisasi internal berkaitan dengan jam kerja fleksibel, upah fleksibel, dan fungsi fleksibel. Fleksibilisasi pada tiga aspek tersebut bertujuan untuk meingkatkan produktivitas pekerja. Lebih detailnya, perusahaan memiliki kewenangan untuk mengatur upah, waktu, hingga pembagian kerja dari buruh. Posisi ini jelas menguntungkan bagi perusahaan, mengingat perusahaan mampu untuk menambah porsi (waktu dan pembagian kerja), namun tetap bisa menekan nominal upah buruh. Dengan kata lain, buruh (terutama kontrak atau outsourcing) dapat dipekerjakan secara ekstra dengan tetap diupah murah.
Berdasarkan dua aspek fleksibilisasi di atas, revisi UUK yang mengusung semangat tersebut jelas akan merugikan pekerja dan angkatan kerja. Selain akan semakin menyulut persaingan sengit antar angkatan pekerja, fleksibilitas eksternal dan internal akan melemahkan posisi tawar pekerja (dan juga serikat pekerja) untuk menuntut hak-hak normatifnya (upah layak, kepastian kerja, cuti haid dll).
Dari sini, dapat dicermati bahwa, implementasi Human Capital Project di sektor pendidikan, setidaknya dalam konteks Indonesia, secara simultan dicanangkan untuk menanggapi transformasi struktur ekonomi-politik ketenagakerjaan global. Argumentasi yang beralasan, mengingat peran pendidikan sebagai aparatus penyedia tenaga kerja akan secara dialektis berhubungan dengan sektor ketenagakerjaan dalam hal penyaluran ketersediaan tenaga kerja.
Revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang telah lama menjadi agenda panjang neoliberalisme di Indonesia, dan merupakan pintu utama untuk membuka mobilitas tenaga kerja. Secara historis, revisi UUK adalah hasil akumulasi perjalanan panjang tiga gelombang besar reformasi perburuhan di Indonesia, yakni periode 1997-1998, 2000-2003, dan 2004-2006. Proyek ini diasistensi langsung oleh Bank Dunia dan ILO dan dieksekusi langsung oleh pemerintah Indonesia sebagai peminjam utang. Agenda yang diinisiasi pasca krisis besar 1997-1998 ini diproyeksikan untuk menciptakan sistem tata-kelola pemerintahan ramah pasar (good governance), yang pada medio 2000-an berbuah pada disahkannya tiga undang-undang, yakni UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
Konteks pengesahan UUK dan dua undang-undang lainnya kala itu adalah demi terciptanya rezim fleksibilitas tenaga kerja yang membenarkan praktik-praktik outsourcing. Pencanangan revisi UUK baru pun direncanakan pada tahun 2006 yang melibatkan SMERU Institute, Bappenas dan beberapa LSM. Ini bergerak dari urgensi UUK tahun 2003 yang masih belum ramah terhadap pasar, terutama menyikapi kehadiran tenaga kerja asing, fleksibilisasi upah, dan fleksibilisasi jam kerja, Gelagat untuk menggenapkan agenda reformasi perburuhan tersebut hari ini termaaktub dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2015-2019 melalui revisi tiga undang-undang perburuhan di atas.
Penutup
Setelah mencermati kondisi yang terjadi, pendidikan Indonesia jelas telah menyimpang jauh dari proyeksi idealnya. Ideal pendidikan Indonesia yang seharusnya senantiasa mengabdikan dirinya untuk rakyat, justru hari ini mengabdikan dirinya pada korporasi. Hal ini merupakan problem menahun yang harus cepat ditanggapi.
Hal paling pokok yang harus dilakukan ialah dengan kembali menetapkan UU PT No 12 Tahun 2012 sebagai sasaran strategis gugatan di sektor pendidikan. Hal ini mengingat UU PT adalah undang-undang tertinggi yang melegitimasi terjadinya komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi pendidikan. UU PT yang selama ini mengusung platform otonomi perguruan tinggi, justru membuat negara semakin renggang tanggung jawab nya dari dunia pendidikan. Pendidikan justru diberikan secara cuma-cuma terhadap para pemodal yang berkepentingan mengarahkan laju pendidikan untuk kepetingan mereka. Sepertihalnya lewat Proyek Modal Manusia yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Tujuan penting selanjutnya yang harus kita lakukan ialah mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat. Tujuan ini hanya bisa dilakukan lewat pengembalian tanggung jawab negara di dalam dunia pendidikan. Tanggung jawab negara dalam dunia pendidikan menjadi hal krusial mengingat posisi idealnya sebagai regulator utama yang menjamin terselenggaranya pendidikan yang sesuai dengan ideal bangsa ini, sebagai hak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kurikulum dan sistem yang mengarahkan orientasi pendidikan pun haruslah bergerak dari persoalan riil rakyat Indonesia. Arah pendidikan ini tentunya menjadi anti-tesis dari kondisi pendidikan hari ini yang didikte oleh kepentingan pasar bebas lewat Proyek Modal Manusia. Secara ideal, kurikulum dan sistem pendidikan harus senantiasa menghadirkan solusi konkret rakyat Indonesia seperti permasalahan kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan, minimnya literasi, merebaknya pengangguran dan lain-lain, sehingga para lulusannya akan menjadi kaum intelektual yang kelak akan memajukan kehiadupan rakyat. Kualitas pendidikan yang baik tersebut juga haruslah dibarengi dengan akses pendidikan yang terjangkau bagi semua jenjang, tanpa terkecuali. Dengan kata lain, kebijakan pendidikan murah atau gratis menjadi prasyarat mutlak yang harus dipenuhi.
Versi awal tulisan ini bisa dibaca di web Medium Jurnal Radikal. Dimuat ulang di Majalah Sedane dengan tujuan pendidikan.
Referensi
Rujukan Utama:
Bourdieu, Pierre, 1986, “The Forms of Capital”, terj. dari Bahasa Perancis oleh Richard Nice, dalam Richardson, J.E. (ed.), Handbook of Theory of Research for the Sociology of Education, New York: Greenword Press, hlm. 46-58
Marx, Karl. 1970. Critique of the Gotha Programme. Moscow: Progress Publisher.
Tjandra, Surya dkk. 2014. Kebangkitan Gerakan Buruh: Refleksi Era Reformasi. Jakarta: Marjin Kiri
Selenica, Ervjola. 2018. Universities Between the State & the Market. Development Policy, Commercialization & Liberalization of Higher Education. Mariboes gate: SAIH
Yuliantoro, Moch Najib. 2016. Ilmu dan Kapital: Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Jurnal
Fitzsimons, P. (2015). Human Capital Theory and Education. Encyclopedia of Educational Philosophy and Theory, 1–4.
Giroux, H. A. (2009). Democracy’s Nemesis: The Rise of the Corporate University. Cultural Studies Critical Methodologies, 9(5), 669–695. https://doi.org/10.1177/1532708609341169
Kumar, P., & Singh, J. (2018). Globalization, Labour Market Flexibility and Labour Standards. Issues in Law and Public Policy on Contract Labour in India, 53–69
Simon, Brian. 1977. Marx and the Crisis in Education. Dalam Marxism Today Juli: 193-205.
R. Tiongson, Erwin. 2005. Education Policy Reforms. Europe and Central Asia Poverty Reduction and Economic Management Group, 261-294
Web
Arifin, Syarif. 2019. Revisi UUK Versi 2019. Majalah Sedane. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2019 melaluihttps://majalahsedane.org/revisi-uuk-versi-2019/
Pratama, Martin Akhdi. 2019.Indeks Modal Manusia Indonesia Kalah Jauh dari Singapura dan Vietnam. Kompas. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2019 melalui https://money.kompas.com/read/2019/08/14/142900226/indeks-modal-manusia-indonesia-kalah-jauh-dari-singapura-dan-vietnam?page=all
Bappenas. 2019. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Indonesia Berpenghasilan Menengah – Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan Berkesinambungan.
Menteri Ketenagakerjaan. 2019. Kepmenaker No 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu oleh Tenaga Kerja Asing. Jakarta
Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten. KAMIS 22 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada […]
Krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam satu dekade ini. Dampaknya dirasakan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk oleh para buruh, yang secara tidak proporsional terdampak oleh masalah ini. Buruh menjadi korban utama karena ketergantungan mereka pada kondisi lingkungan yang sehat untuk menjaga produktivitas kerja, kesehatan, dan kelangsungan hidup sehari-hari. […]
Indeks Demokrasi Indonesia masih tergolong demokrasi cacat (flawed democracy) berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022. Angka tersebut sama dengan skor yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021. Meski nilai indeks stagnan, rangking Indonesia di tingkat global menurun dari 52 menjadi 54. Dalam 12 tahun terakhir, […]