MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tapera, Bisnis Properti dan Reforma Agraria Perkotaan

Masih ingat dengan kasus penggusuran rakyat Tamansari Bandung? Lebih dari 200 keluarga diusir dari tempat tinggalnya oleh Pemkot Bandung. Mereka diiming-imingi akan mendapat rumah susun. Penggusuran warga Tamansari merupakan salah satu dari program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

Bukan hanya Tamansari. Program Kotaku dilaksanakan di 34 provinsi, di 269 kabupaten/kota dengan 11.067 desa/kelurahan. Ribuan orang digusur dari tempat tinggalnya. Program Kotaku dibiayai pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kota/kabupaten, Bank Dunia, AAIB (Asian Infrastructure Investment Bank) dan IsDB (Islamic Development Bank).

Jumlah orang yang digusur dan diusir dari tempat tinggalnya dapat didaftar lebih banyak lagi dengan melihat proyek infrastruktur, perluasan kawasan industri dan proyek-proyek investor properti lainnya. Misalnya, untuk membangun PSN (Proyek Strategis Nasional) Bandara Kertajati di Majalengka Jawa Barat, lebih dari 1.400 orang kehilangan lahan dan rumahnya.

Kini, secara tiba-tiba, pemerintah seperti kaget karena banyak orang yang tidak memiliki rumah, yang disebut dengan backlog. Jumlah orang yang tidak memiliki rumah mencapai lebih dari 12,7 juta rumah tangga dengan pertumbuhan 700 hingga 800 rumah tangga per tahun. Kekagetan dibumbui dengan kenyataan bahwa perumahan bersubsidi maupun komersial tidak laku, bahkan tidak selesai dibangun. Muncullah program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Sampai di sini, sepertinya cukup untuk mengatakan bahwa program Tapera relate dengan proyek perumahan yang tidak laku dan mangkrak.

Mari kita perluas argumennya. Kamis, 27 Juni 2024 dua aliansi serikat buruh besar di Jakarta, AASB dan Gebrak, menolak Tapera dengan berdemonstrasi di Jakarta. Semua alasan penolakan Tapera yang diungkapkan dua aliansi tersebut sudah tepat. Tidak ada dalil untuk menerima program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

Meskipun program Tapera ditolak, Pemerintah mengisyaratkan program Tapera akan dilaksanakan 2027. Setidaknya terungkap dari penyataan Kepala KSP Moeldoko maupun dari siaran pers BP Tapera, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) (rri.co.id, 31/5/2024; Tapera.go.id, 6/6/2024).

Niatan melaksanakan program Tapera pun tampaknya akan mendapat dukungan partai-partai politik di parlemen. Dari delapan partai politik yang menang Pemilu 2024, semuanya pendukung Tapera. Memang ada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan PDI P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) seperti menolak Tapera. Namun jangan lupa, dua partai politik tersebut, bersama Partai Gerindra, PAN dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) merupakan pendukung utama dalam pengesahan Tapera pada 2016 (dpr.go.id, tanpa tahun).

Ada pula penolakan yang disampaikan oleh Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani. Jangan senang dulu. Shinta Kamdani adalah CEO Sintesa Group, raksasa bisnis yang menguasai 17 bidang usaha dari unit manufaktur, energi, geothermal hingga properti. Ketika menyampaikan penolakan, Shinta Kamdani menyebutkan bahwa para pengusaha sudah terlalu banyak beban pemotongan, terutama karena pengusaha wajib menyediakan dana cadangan pesangon sesuai PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) sebesar 8 persen. Jadi, keluhan Shinta Kamdani lebih mirip sedang mengajukan negosiasi. Mungkin mengajukan negosiasi angka pemotongan Tapera yang dianggap terlalu besar atau negosiasi jumlah pesangon.

Meskipun unit usahanya mencakup properti, Sintesa Group telah memfokuskan diri di bidang energi, setelah lama menekuni bidang konsumsi (Kontan.co.id, 11 Februari 2017). Jadi suara penolakan Apindo lebih memperlihatkan ketegangan di antara pengusaha properti dan perbankan versus manufaktur.

Tampaknya, kelompok Apindo ogah membantu para pengusaha properti. Seperti diketahui, kalangan pengusaha yang menyetujui Tapera adalah kelompok bisnis properti dan perbankan (Detik.com, 13 Jun 2024). Nah, para pengusaha memang tidak selalu kompak. Mereka hanya kompak ketika menindas buruh. Contoh fragmentasi pengusaha dapat dilihat pula dalam program Tax Amnesty II (Kompas.tv, 21 Mei 2021).

Di luar persoalan di atas, kepercayaan diri pemerintah untuk menjalankan Tapera tampaknya dilandasi pengetahuan mereka mengenai batas kemampuan gerakan penolakan Tapera. Hal tersebut tecermin dalam keberhasilan pemerintah mengendalikan gerakan menolak PP 78 pada 2015 dan UU Cipta Kerja.

Karena itu, penolakan Tapera mesti terus digelorakan dan diperluas. Korban Tapera tidak hanya buruh pabrik tapi pegawai negeri sipil dan buruh mandiri, seperti ojol, dosen dan guru.

Tulisan ini akan memperkuat dan menambahkan alasan penolakan Tapera dan melihat kembali alasan di balik penyelenggaraan Tapera. Agar tidak muter-muter saya akan menyebutkan kesimpulan tulisan ini di awal. Menurut saya, program Tapera merupakan pengerukan dana publik oleh negara untuk membiayai perbankan dan bisnis properti. Setelah itu, perbankan dan para developer akan melakukan bisnis perumahan. 

Sebenarnya, penyediaan rumah oleh perbankan dan pebisnis properti telah berlangsung sejak 1970-an. Justru, penyerahan pembangunan rumah ke sektor swasta-lah yang jadi pangkal masalah backlog perumahan. Keleluasaan swasta menguasai lahan telah memperteguh ketimpangan pemilikan lahan dan semakin banyak rakyat diusir dari tempat tinggalnya. Jika negara benar-benar ingin menyediakan perumahan, pemerintah hanya perlu menghentikan ketimpangan pemilikan lahan, menyetop perluasan kawasan industri, membagikan lahan tidak produktif dan menyediakan material perumahan dengan harga terjangkau. Begitu pula, selain menuntut kenaikan upah serikat buruh dapat menuntut perumahan layak dan terjangkau bagi buruh.

Sebelum memperlihatkan argumentasi kesimpulan di atas, kita akan menengok lagi alasan-alasan penolakan Tapera.

Tapera: Ta’peras, Tabungan Pemerasan Rakyat, Tambahan Penderitaan Rakyat

Meskipun kepanjangan resmi Tapera adalah Tabungan Perumahan Rakyat, rakyat dengan kreatif mengejek singkatan tersebut dengan berbagai singkatan baru, seperti ta’peras, tabungan pemerasan rakyat, tambahan penderitaan rakyat, dan sebagainya. Berbagai singkatan ejekan tersebut dibuat dalam bentuk poster maupun video yang disebarkan melalui media sosial maupun dalam aksi massa. Kreativitas rakyat harus didukung, dirawat dan dikembangkan agar program Tapera dibatalkan.

Poster kreatif penolakan Tapera

Secara umum, alasan penolakan Tapera berkisar pada:

[a]. Perhitungan yang tidak masuk akal. Alasan perhitungan yang tidak masuk akal merupakan yang paling banyak digunakan untuk menolak Tapera. Umumnya, diungkapkan dengan menggunakan rumus matematika sederhana, yaitu dengan menambahkan jumlah iuran per bulan dengan waktu iuran dibandingkan dengan nilai rumah di masa depan. Termasuk dalam alasan tersebut adalah komentar orang yang telah memiliki rumah. Bagi keluarga miskin yang telah memiliki rumah, tentu saja tidak masuk akal menabung untuk program perumahan.

[b]. Iuran lagi, padahal upah buruh sudah dipotong untuk membayar BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, PPh 21 dan iuran serikat buruh. Alasan iuran lagi juga paling sering diungkapkan, terutama oleh para pengurus serikat buruh manufaktur.

Di bagian alasan iuran lagi, ada pula yang menambahkan, semestinya pemerintah ikut mengiur untuk Tapera. Alasan ini diungkapkan oleh Partai Buruh. Untuk alasan terakhir, mungkin hendak mengulang ‘konser sukses’ mendorong BPJS, yang disebut sebagai program ‘tanggung renteng’.

[c]. Iuran yang terlalu besar, padahal rata-rata kenaikan upah 2024 tidak lebih dari 5 persen dan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang serba mahal. Alasan ini merujuk pada PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang menyebutkan iuran peserta Tapera sebesar 2,5 persen untuk buruh formal dan 3 persen buruh mandiri.

[d]. Penyusunan PP tidak melibatkan serikat buruh. Ada pula serikat buruh yang memprotes karena tidak dilibatkan dalam BP Tapera (Tempo.co, 31 Mei 2024). Tidak perlu disebutkan nama serikat buruhnya. Namun, untuk alasan tidak ditempatkannya perwakilan serikat buruh dalam BP Tapera tampaknya tidak perlu diulas. Karena keberadaan serikat buruh di BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan pun tidak terlalu memberikan manfaat kepada buruh. Ketika duit BPJS Ketenagakerjaan dipergunakan untuk mendanai program Tapera tahun lalu pun perwakilan serikat buruh di BPJS Ketenagakerjaan seperti membisu. Lagian, sejak UU Tapera dirumuskan pada 2016, di antara yang dimintai pendapat oleh DPR adalah serikat buruh maupun BPJS Ketenagakerjaan. Saya tidak akan menyebutkan nama serikat buruh yang terlibat. Bisa-bisa saya dituduh, ‘LSM pemecah gerakan buruh antek imperialis’. Tapi, jika pembaca ingin mengetahui serikat buruh yang terlibat dalam proses perumusan RUU Tapera dapat dilihat di laman Program Legislasi Nasional RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

[e]. Dugaan pengerukan dana Tapera untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara), menutup defisit APBN, membiayai IKN dan program makan siang gratis. Dengan menganalisis Laporan Pengelolaan Program BP Tapera 2022, disimpulkan bahwa pemerintah berkepentingan mengerahkan dana Tapera untuk pembelian SBN, apalagi dalam struktur Komite Tapera terdapat Kementerian Keuangan (Huda dan Yudhistira, Juni 2024).

[f]. Rawan korupsi. Alasan rawan korupsi berangkat dari klausul iuran Tapera bersifat wajib dan disertai sanksi sementara. Uang tersebut akan dikelola oleh BP Tapera. Kinerja BP Tapera di bawah Komite Tapera. Komite Tapera terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, Kementerian Ketenagakerjaan, OJK dan profesional. Karena tidak ada mekanisme pengawasan terhadap Komite Tapera dan BP Tapera tidak ada jaminan bahwa uang rakyat bebas dari korupsi.

Dugaan rawan korupsi di atas, merujuk pada kasus kecurangan pengelolaan keuangan Asabri (2012-2019) menyebabkan kerugian Rp22 triliun, kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menyebabkan kerugian sebesar Rp16,8 triliun, dan kasus investasi fiktif PT Taspen menyebabkan kerugian sebesar Rp1 triliun.

Sami’na Wa Athai’na Ila Bank Dunia

Saat ini kita makin sulit memiliki rumah. Karena tidak memiliki tanah. Seandainya memiliki tanah pun, biaya membangun rumah tidak murah. Opsi lainnya adalah membeli rumah. Tapi harga rumah di pasaran tidak akan terjangkau dengan pendapatan upah minimum. Pilihan lainnya, kita mendirikan rumah di kawasan industri misalnya di Jababeka Bekasi atau di San Diego Hills Memorial Park Karawang. Tentu saja kita akan diusir oleh pemiliknya karena menempati lahan milik orang lain. Pilihan lainnya tinggal bersama orang tua atau mertua, menyewa rumah atau menunggu rumah warisan atau hibah.

Namun, di saat bersamaan kita menyaksikan lahan-lahan dikaveling-kaveling untuk perluasan pabrik, kawasan industri, pembangunan hotel, perkebunan dan pertambangan, serta kawasan pemakaman mewah.

Daftar 12 Penguasa Tanah di Indonesia

Diolah dari berbagai sumber

Krisis rumah sebagai tempat tinggal adalah salah satu persoalan masyarakat perkotaan. Itulah yang dijadikan dalih penyelenggara negara untuk memperluas kepesertaan Tapera dengan iuran yang bersifat wajib. Pemerintah menyebut krisis perumahan tersebut dengan istilah backlog.

Backlog berarti jumlah rumah yang tersedia termasuk rumah layak huni tidak sebanding dengan jumlah orang yang membutuhkan rumah. Menurut data Susenas 2023, dibutuhkan 12,7 juta unit rumah tangga dengan pertumbuhan 700 hingga 800 unit rumah (Kompas.com, 02/05/2024). Untuk pebisnis properti, angka tersebut menggiurkan sebagai ladang untung.

Untuk mengatasi backlog, pemerintah memberikan kemudahan penyediaan rumah melalui bantuan pembiayaan perumahan dan pembangunan rumah untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Sampai di sini, tampak tidak ada persoalan, toh semua orang membutuhkan rumah dan negara menjalankan perannya menyediakan perumahan bagi rakyat.

Namun, menurut Bank Dunia (22 Juni 2022), dalam Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results skema subsidi perumahan oleh pemerintah telah merugikan sektor swasta, rentan korupsi, tidak tepat sasaran, tidak layak huni dan sulit diakses. Poin kritik Bank Dunia terhadap persoalan perumahan bersubsidi adalah negara jangan mempersulit izin sektor swasta membangun perumahan. “Biarkan pasar bekerja,” demikian kata-kata sakti yang biasa diungkapkan Bank Dunia.

Akhir 2023, BP Tapera menandatangani kerjasama dengan 31 bank penyalur dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tentang Penyaluran Dana FLPP dan 20 asosiasi properti untuk membangun unit rumah layak huni bagi MBR. Tujuannya, membangun 166.000 unit hingga 220.000 unit rumah, pada 2024.

Penyediaan rumah oleh negara yang diserahkan ke perbankan dan bisnis properti telah dilakukan sejak 1970-an. Kala itu, Bank Dunia dalam dokumen Housing Enabling Markets to Work with Technical Supplements (World Bank, 4 Mei 1993), mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengubah kebijakan, kelembagaan dan peraturan mengenai perumahan agar menyerahkan penyediaan rumah kepada sektor perbankan dan bisnis properti.

Di tingkat nasional, pada awal 1970-an rezim jagal Soeharto membentuk BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional), Perum Perumnas (Perusahaan Umum Perumahan Nasional) sebagai penyedia tanah dan menunjuk BTN (Bank Tabungan Negara) yang melaksanakan pembiayaan rumah. Setelah itu, cerita penyediaan dan pembiayaan rumah diperluas dengan pembentukan Bank Hipotek Perumahan dan Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI). Kala itu, REI dipimpin oleh Ciputra pemilik PT Pembangunan Jaya, JP Darussalam pemilik Perumahan Pulo Mas) dan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Di periode ini berbagai cerita perampasan lahan, seperti Waduk Jatiegede di Sumedang Jawa Barat, Kedung Ombo di Jawa Tengah, dan pembentukan kawasan industri mengemuka.

Pada 2015-2016, terdapat dua momentum penting. Pertama, pengesahan UU Tapera. Kedua, PSR (Program Sejuta Rumah) yang digulirkan Presiden Joko Widodo, sebagai bagian dari kampanyenya memenangkan Pemilihan Presiden.

Sebenarnya, UU Tapera dirancang oleh DPR pada 2012. Setelah dibahas selama dua tahun RUU Tapera urung disahkan menjadi UU, pada 2014. Bukan kebetulan jika logika pembentukan UU Tapera dan BP Tapera persis dengan UU BPJS. Mengenai aktor-aktor keuangan internasional yang terlibat dalam pembentukan BPJS silakan dibaca di tulisan BPJS JHT dan JKP: Flexicurity dan Flexploitation.

Senasib dengan RUU Tapera, adalah RUU Pertanahan. Jika RUU Tapera menuai polemik mengenai kepesertaan dan iuran, RUU Pertanahan ditolak lantaran mengakomodasi kepentingan pengusaha infrastruktur untuk menyediakan bank tanah (Hukumonline.com, 30/9/2024; Kompas.com, 30/9/2014). Program Tapera merupakan bagian integral dari privatisasi tanah untuk diserahkan kepada bisnis properti.

RUU Tapera kembali dibahas di DPR pada 2015, setelah Presiden Joko Widodo meluncurkan Program Sejuta Rumah (PSR). Program tersebut dilaksanakan oleh Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). PSR diwujudkan dengan mengerahkan dana dari BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian PUPR, Perumnas, Bapetarum, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), IFC (International Finance Corporation) dan JICA (Japan International Cooperation Agency) (Bisnis.com, 24 Januari 2015).

Menyambut PSR, DPR menyiapkan kembali RUU Tapera yang sempat tertahan. Sepanjang perumusan RUU Tapera, DPR melakukan RDPU dengan YKPP (Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan), Bapertum PNS, BPJS Ketenagakerjaan, Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Himbara (Himpunan Bank-Bank Milik Negara), Perbanas (Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional), SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), dan Federasi BUMN (dpr.go.id, tanpa tahun).

RUU Tapera berhasil diundangkan pada 24 Maret 2016 menjadi UU (Undang-Undang) Nomor 4 Tahun 2016, sebagai amanat UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Terbitnya UU Tapera menandai peralihan pengelolaan dana Bapertarum PNS ke BP Tapera (Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat).

Sebelumnya, pada 2015, Kementerian Bappenas mengadopsi usulan kegiatan Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan dengan judul NAHP (National Affordable Housing Program) atau Program Nasional Perumahan Terjangkau untuk menyediakan akses perumahan bagi masyarakat MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Pada Maret 2017, Bank Dunia menyetujui pinjaman Pemerintah Indonesia sebesar USD450 juta. Pinjaman tersebut dilaksanakan oleh Kementerian PUPR.

Pinjaman dari Bank Dunia untuk mendanai NAHP berakhir pada Februari 2023 (Worldbank.org, tanpa tahun). Selain mengandalkan pinjaman dari Bank Dunia, pelaksanaan Tapera memanfaatkan uang dari BPJS Ketenagakerjaan. Untuk melegitimasi penggunaan uang BPJS Ketenagakerjaan agar dapat digelontorkan ke bisnis perumahan, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan Program Jaminan Hari Tua.

Uraian yang bikin mumet di atas, dapat diringkas dalam satu kalimat: pengerukan dana rakyat melalui Tapera adalah untuk membiayai perbankan dan bisnis properti. Jika benar, hendak menyediakan rumah untuk rakyat, rumah-rumah kosong di perumahan mewah atau hotel kosong di perkotaan dapat dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Merampok dengan Santun

            Untuk melihat bahwa pengumpulan duit rakyat miskin ditujukan untuk menyubsidi bisnis properti dapat dilihat dalam data lain. Sepuluh tahun terakhir, ditambah diterpa krisis kesehatan global dalam wujud Covid-19, harga properti global nyungsep. Di awal Juli 2024, beberapa media massa memberitakan China sekitar 60 juta unit apartemen tidak ada laku. Usaha properti di China sempoyongan. Para ekonom menamai keadaan tersebut dengan kalimat permintaan terhadap properti rendah. Dengan kata lain, orang-orang tidak sanggup membeli hunian. Tentu saja karena daya beli masyarakat anjlok.

Perkembangan harga riil properti di beberapa kawasan utama dunia

Sumber: BIS, Analisis The Indonesia Economic Intellegence (IEI) dalam CNBC Indonesia, 31 Januari 2024

Di tahun 2024 pun, World Bank dan IMF telah menyebutkan, sepanjang 2024 pertumbuhan ekonomi global hanya 2,9 persen lebih rendah dari 2023 yang mencapai 3,0 persen. Perlambatan ekonomi global di antaranya disebabkan oleh perang Ukraina-Rusia, perang dagang Amerika Serikat-China.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam lima tahun terakhir permasalahan perumahan menduduki posisi lima terbesar yang diadukan. Dari permasalahan pembangunan, pengembalian uang, masalah sengketa dokumen dan spesifikasi bangunan, sistem transaksi, sistem manajemen, kualitas bangunan, biaya tambahan, hingga somasi (Propertiindonesia.id, 14 Agustus 2023). Bahkan, menurut BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), sejak 2017 hingga 2023 masalah perumahan menempati posisi pertama dari total 8.676 pengaduan konsumen. Jumlah mencapai 3.241 atau 60 persen dari total pengaduan. Disusul pengaduan masalah keuangan yang mencapai 3.147 pengaduan (Bpkn.go.id, 19 Juli 2023.

Itulah sebabnya, pengusaha properti butuh suntikan dana segar untuk menghidupkan bisnis perumahan yang mangkrak. Beberapa proyek perumahan yang tidak selesai adalah apartemen Meikarta yang dikelola PT Mahkota Sentosa Utama, anak usaha PT Lippo Cikarang, Rusun Kalimalang Risendence hanya dibangun dua tahun dari 2007 hingga 2009. Sejak itu, bangunan dibiarkan. Proyek 1000 tower Kementerian PUPR tidak diselesaikan dengan alasan pengembang kesulitan biaya, di Jatim sebanyak 2.500 unit rumah bersubsidi tidak dilanjutkan. Daftar proyek mangkrak dapat didaftar lebih banyak lagi.

Alakuli hal, Tapera memang tidak dibutuhkan. Seperti saya katakan di awal tulisan ini, penolakan Tapera sudah tepat. Agar rakyat memiliki rumah, pemerintah perlu menghentikan ketimpangan pemilikan lahan, menyetop perluasan kawasan industri, membagikan lahan tidak produktif dan menyediakan material perumahan dengan harga terjangkau. Begitu pula, selain menuntut kenaikan upah serikat buruh dapat menuntut perumahan layak dan terjangkau bagi buruh.[]