Fenomena Pemecatan massal buruh di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) semakin santer diberitakan dalam beberapa bulan terakhir. Drama ini semacam opera sabun[1] yang tak kunjung usai. Seolah hanya melanjutkan cerita pada dua tahun sebelumnya, ketika virus Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi atau wabah nasional pada 2020 lalu.
Selama pandemi Covid-19 angka buruh yang dipecat membesar. Pada 2021, jumlahnya mencapai 1.949.322 orang atau meningkat 267,6 persen dibanding 2020 yang hanya sebesar 530.159 orang. Paska pandemi, jumlah buruh yang dipecat sebanyak 427.625 orang pada 2022 dan sebesar 359.858 orang pada 2023. Selanjutnya data per Juni 2024 telah mencapai 101.536 orang.[2] Jumlah buruh yang dipecat mungkin jauh lebih besar, apabila perusahaan memenuhi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP).
Data tersebut menunjukkan praktik pemecatan buruh selalu terjadi setiap tahunnya. Kini, delapan bulan terakhir media daring kembali beramai-ramai memberitakan pemecatan massal yang terjadi di industri TPT.
Sepanjang Januari hingga Juli 2024, angka buruh yang dipecat terus bertambah. Kabar tersebut juga bersanding dengan berita penutupan pabrik. Melalui hasil penelusuran dengan mesin pencarian Google, saya mencoba melacak kapan pemberitaan pemecatan massal terjadi. Berita pertama muncul pada 17 Januari 2024 dan berlanjut hingga bulan Juli 2024.
Beberapa hari selanjutnya, nama PT Hung-A Indonesia menyeruak di pemberitaan media nasional pada Januari 2024. Perusahaan yang memproduksi ban ini menutup pabriknya dengan memecat 1.500 buruh. Anehnya, pada 4 Maret 2024, pabrik kembali merekrut buruh baru (Majalahsedane.org, 31 Maret 2024).
Memasuki Februari, media daring memberitakan industri TPT dalam kondisi sepi pesanan. Imbasnya sebanyak 5.300 buruh dipecat sepanjang Januari-Februari 2024. Jumlah itu disampaikan oleh Ristadi, Ketua Umum Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN). Menurutnya, alasan pemecatan disebabkan tren melemahnya permintaan produksi (Kompas.id, 21 Februari 2024; Bisnis.com, 20 Februari 2024; Katadata.co.id, 9 Februari 2024).
Meskipun trennya melemah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan tetap optimis industri TPT akan menunjukkan kinerja membaik. Keyakinan tersebut disampaikan setelah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 tahun 2023 berlaku pada 10 Maret 2024. Aturan baru tersebut dibuat untuk membatasi impor barang yang masuk ke pasar domestik. Redma meyakini setidaknya 1,5 juta potong baju ilegal dapat dibatasi peredarannya dengan peraturan baru tersebut (Bisnis.com, 22 Maret 2024; Tempo.co, 23 Februari 2024).
Namun, menjelang hari raya Idul Fitri pada Maret lalu, kabar tentang pemecatan buruh kembali terdengar. Salah satu pabrik bernama PT Pulau Mas Texindo memecat buruhnya sebanyak 100-an orang (Bisnis.com, 27 Maret 2024).
Selain PT Pulau Mas Texindo, Ristadi juga mengatakan terdapat dua perusahaan lainnya yang melakukan pemecatan menjelangi hari raya Idul Fitri, yaitu: PT Sai Apparel Industries Semarang dan PT Sinar Panca Jaya. Masing-masing memecat 100 dan 400 buruh (Cnbcindonesia.com, 26 Maret 2024).
Masih di waktu yang sama, kabar pemecatan buruh juga terdengar dari Purbalingga. Sekitar 10.000 buruh industri bulu mata dan rambut palsu dipecat. Alasan pemecatan, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Purbalingga, Budi Susetyono, kerena menurunnya permintaan produksi yang dipengaruhi oleh krisis global akibat perang Rusia-Ukraina (Kompas.com, 18 Januari 2024).
Selanjutnya pada Mei 2024, PT Sepatu Bata yang berada di Purwakarta, Jawa Barat dilaporkan menutup pabriknya. Sebanyak 233 buruh dipecat dengan alasan mengalami kerugian sepanjang 2022 -2024 (Cnbcindonesia.com, 7 Mei 2024).
Hasil laporan pengaduan posko THR Kemenaker pada 2024, mencatat jumlah aduan kasus pelanggaran THR sebanyak 1.187 kasus di 725 perusahaan. Ratusan pabrik tersebut tidak membayarkan THR kepada buruhnya. Data tersebut tidak menjelaskan berapa banyak buruh yang dipecat.
Pemecatan buruh menjelang hari raya Idul Fitri bukan fenomena yang terjadi kali ini saja. Praktik pemecataan tersebut telah berlangsung lama di industri manufaktur dan selalu berulang. Umumnya, praktik pemecatan dilakukan oleh pabrik yang mempekerjakan buruh dengan status perjanjian kontrak (PKWT). Biasanya akan dikatakan dengan habis kontrak sebelum masa kontraknya berakhir.
Periode Mei hingga Juli, media daring semakin intensif memberitakan kasus pemecatan buruh di industri TPT. Di periode ini pemberitaannya lebih lugas untuk menyatakan faktor penyebab dari fenomena pemecatan massal buruh. Impor pakaian jadi dari negara China disebut sebagai salah satu penyebabnya. Sehingga, berakibat produk domestik kalah saing (BBC.com, 1 Juli 2024; Beritasatu.com, 10 Juli 2024; RRI.co.id, 30 Juli 2024; Kompas.com, 2 Juli 2024).
Dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 19 Juni 2024, Kemenkeu menilai, bahwa fenomena pemecatan massal dikarenakan faktor persaingan bisnis di tingkat global. Menurut Sri Mulyani, kelebihan produksi di industri TPT membuat para pengusaha menerapkan praktik ‘politik dumping’ alias menjual harga barang lebih murah di negara lain dibandingkan negara sendiri (Cnbcindonesia.com, 18 Juni 2024).
Menurut Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, seharusnya praktik pemecatan massal dapat diantisipasi jika Kemenkeu segera mengeluarkan kebijakan. Agus Gumiwang juga menilai Kemenkeu lambat dalam mengeluarkan kebijakan berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), alhasil pemecatan massal terjadi (Bisnis.com, 21 Juni 2024).
Berbeda dengan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah menilai, fenomena pemecatan massal disebabkan oleh dua faktor: menurunnya kinerja ekspor dan pengaruh perang antara Palestina-Israel (Detik.com, 14 Juni 2024).
Respon antara kementerian berbeda-beda dalam menyikapi fenomena pemecatan massal. Satu kementrian lebih condong dengan narasi pengusaha, sementara kementerian lainnya terkesan netral.
Dalam pemberitaan pemecatan massal di beberapa media daring, narasumber yang dimintai tanggapan tidak hanya dari usur pemerintah, tapi juga dari kalangan asosiasi pengusaha. Namun, porsi kelompok pengusaha ini dalam pemberitaan nasional sangat dominan. Melalui mulut pengusaha, kebijakan Permendag No.8 Tahun 2024 dinilai sebagai faktor penyebab terjadinya pemecatan massal di industri TPT.
Singkatnya, kebijakan Permendag No. 8 Tahun 2024, menurut kelompok pengusaha dianggap memberikan kemudahan impor bagi importir nonprodusen alias pedagang, tanpa persyaratan ketat atau izin pertimbangan teknis (Pertek). Izin kemudahan tersebut diberikan untuk tujuh jenis komoditas: elektronik, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik, perlengkapan rumah tangga (PKRT), alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, tas dan katup (Liputan6.com, 19 Mei 2024; Kompas.com, 2 Juli 2024).
Sebagai informasi, Permendag No.8 Tahun 2024 merupakan perubahan ketiga atas Permendag No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. (Kompas.com, 11 Juli 2024; Kaltimtoday.co, 13 Juni 2024).
Narasi yang sama mengenai faktor penyebab pemecatan massal juga diperkuat oleh petinggi serikat buruh. Ristadi, Ketua Umum FKSPN meyakini, bahwa pemecatan yang terjadi di industri TPT, disebabkan oleh gempuran produk-produk impor tekstil dari China, sehingga produk lokal kalah saing (Sindonews.com, 12 Juni 2024; Bloombergtechnoz.com; Beritasatu.com, 23 Juni 2024).
Senada dengan Ristadi, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda juga mengatakan, pemecatan disebabkan masukan barang impor pakaian jadi lebih murah dari China (Beritasatu.com, 25 Juni 2024).
Padahal, pada bulan Maret 2024, Ristadi mengatakan, bahwa pemecatan buruh di industri TPT menjelang hari raya Idul Fitri merupakan cara licik pengusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar THR (Bisnis.com, 26 Maret 2024).
Dari pemberitaan tentang pemecatan massal buruh di industri TPT, terdapat tiga nama dari asosiasi pengusaha yang selalu dijadikan rujukan: Danang dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Redma Gita Wirawasta dari APSyFI, dan Kartiwa Sastraatmadja Jemmy yang menjabat Ketua Umum API. Sementara dari kalangan serikat buruh, data mengenai parik tutup atau melakukan pemecatan, didominasi oleh pernyataan Ristadi, Ketua Umum FKSPN.
Pembentukan opini publik
Permendag No.8 Tahun 2024 berhasil membentuk opini publik sebagai penyebab pemecatan massal di Industri TPT. Membentuk narasi impor barang pakaian jadi dari China menjadi musuh bersama. Argumen ini dapat dibuktikan dari aksi protes berupa demonstrasi yang dilancarkan oleh serikat buruh beberapa waktu lalu.
Gambar 1. Kumpulan poster dan spanduk aksi penolakan Permendag No.8 Tahun 2024 (dari berbagai sumber)
Dari tujuh daftar tuntutan yang disuarakan melalui aksi di awal bulan Juli 2024, beberapa serikat buruh menuntut agar pemerintah segera mencabut Permendag No. 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Massa aksi menilai, bahwa peraturan tersebut merupakan ‘biang keladi’ dari maraknya penutupan pabrik dan pemecatan massal. Tuntutan tersebut, sekali lagi, sejalan dengan pernyataan para asosiasi yang kerap kali dirujuk oleh media daring nasional sebagai narasumber berita (Detik.com, 3 Juli 2024).
Ketum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, mengatakan bahwa pemecatan massal buruh akan terus berlangsung. Menurutnya, situasi tersebut baru akan berhenti ketika pemerintah Indonesia mengambil langkah kebijakan untuk melakukan perbaikan (Okezone.com, 14 Juni 2024).
“Kondisi ini akan terus berlangsung sampai ada kebijakan perbaikan pasar dari pemerintah, sepanjang pemerintah masih pro terhadap para importir pedagang, tren tutup pabrik ini akan terus terjadi,” lugas Gita.
Ia juga menuding Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu penyebab utama dari pemecatan massal. Menurutnya, lembaga tersebut mendorong praktik mafia impor, sehingga produk impor ilegal dari China membanjiri pasar domestik dengan harga murah.[3]
Selain Redma Gita Wirawasta, nama lainnya yang juga berasal dari asosiasi pengusaha, turut mengecam pemerintah. Dalam wawancara di sejumlah media daring, Kartiwa Sastraatmadja Jemmy, Ketua Umum API, mengatakan bawah pemecatan massal akan terus terjadi, selama pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang mampu melindungi pasar lokal (Detik.com, 13 Juni 2024; Bloombergtechnoz.com; Kontan.co.id, 23 Juni 2024).
Jemmy, mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan penetapan tarif impor (tariff barriers) melalui kebijakan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP), Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), dan memperketat kebijakan hambatan nontarif atau Non Tariff Barriers (NTB), melalui pemberlakukan kembali syarat pertimbangan teknis (pertek) pada beberapa jenis komoditas impor.
Desakan para pengusaha membuahkan hasil. Pada 25 Juni 2024, melalui rapat antara kementerian, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada jajaran menterinya untuk memberikan perlindungan kepada para pengusaha. Kebijakan baru muncul sesuai dengan harapan pengusaha berupa aturan mengenai BMTP dan BMAD (Korantempo.co, 29 Juni 2024; CNNindonesia.com, 26 Juni 2024).
Secara sederhana, BMTP merupakan biaya masuk yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada importir. Misalnya, jika pakaian katun yang diproduksi di dalam negeri dijual dengan harga Rp.15 ribu, sementara impor barang tersebut sebesar Rp10 ribu, maka pemerintah mengenakan BMTP sebesar Rp.4,5 ribu. Sehingga, barang produksi domestik dapat bersaing. Cara itu dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap industri dalam negeri. Besaran BMTP hanya sekedar contoh. Penetapan besaran BMTP diatur dalam Permendag lebih lanjut.
Sedangkan, penetapan BMAD merupakan biaya tambahan yang dikenakan kepada importir, jika ditemukan pelanggaran dumping, yakni menjual barang di negara tujuan ekspor lebih murah daripada harga normal di negara sendiri. Maka, besaran penetapan biaya tambahan tersebut tergantung dari selisih atau marjin dumping yang dilakukan oleh importir.[4]
Pemerintah seolah takluk dengan desakan asosiasi pengusaha. Tekanan untuk meminta kebijakan yang melindungi pengusaha dengan mudah diputuskan dan diberikan oleh negara, sembari mengabaikan kebenaran dalih meruginya perusahaan yang kerap jadi alasan pemecatan. Pertanyaannya kemudian, apakah benar masalah dari fenomena pemecatan massal di industri TPT karena dampak dari pemberlakukan Permendag No.8 Tahun 2024 tentang kebijakan impor?
Kompetisi kapital: Mengemis kebijakan dengan pemecatan massal
Desakan kelompok pengusaha untuk mencabut kebijakan atau peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah bukan hal baru. Beberapa peraturan yang telah diberikan pemerintah kepada pengusaha antara lain:
Pada 2021 lalu, setelah pandemi Covid-19 selesai, kelompok pengusaha mengeluh ke pemerintah lantaran kapasitas produksi belum maksimal. Karena itu, pada 13 Agustus 2021, pemerintah melalui Kemenaker menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) No.104 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Aturan itu memberikan ruang kepada pengusaha untuk merumahkan buruh tanpa upah atau melakukan penyesuaian upah bagi pengusaha yang mengaku-ngaku terdampak secara keuangan. Besaran penyesuaian upah dilimpahkan kepada pengusaha atas kesepakatan dengan buruhnya.
Berselang dua tahun, pada 07 Maret 2023, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global resmi diterbitkan. Melalui aturan tersebut, pemerintah melegalkan praktik pemotongan upah sebesar 25 persen kepada pengusaha selama enam bulan. Tentu, sekali lagi, semua bisa dilakukan apabila ada kesepakatan dengan buruh atau serikat buruh.
Kemunculan Permenaker No.5 Tahun 2023 dilatarbelakangi karena krisis global akibat perang Rusia-Ukraina. Akibatnya jalur pengiriman barang terganggu. Sehingga, pemecatan massal buruh seolah-olah satu-satunya cara yang harus dilakukan pengusaha untuk menghindari dampak krisis perang Rusia Ukraina.
Kedua peraturan yang disebutkan di atas cukup untuk menunjukkan bahwa negara selalu melepas tanggung jawabnya untuk melindungi buruh. Dunia kerja digambarkan seperti liga tarung bebas tanpa wasit; membiarkan buruh remuk berkeping-keping dihantam oleh majikannya sendiri.
Kini, alasan yang sama kita jumpai dalam pemberitaan media massa beberapa waktu terakhir. Asosiasi pengusaha kembali mengemis kepada pemerintah, untuk segera mencabut Permendag No.8 Tahun 2024 dan memberikan kebijakan yang menguntungkan pengusaha kelas kakap, bukan kepada para importir pedagang.
Pada 2023, API melaporkan 16 perusahaan yang diduga melakukan praktik dumping pada barang Kain Tenunan dari Benang Filamen Artifisial.[5] Dua dari 16 perusahaan yang dilaporkan merupakan perusahaan berorientasi internasional, yakni PT Djohartex dan PT Sri Rejeki Isman (Sritex). Lalu, pada Juni 2024, kedua perusahaan tersebut dikabarkan melakukan pemecatan massal. Masing-masing memecat 300-an buruh dan 3.000-an orang.
Narasi tentang dampak dari diberlakukannya Permendag No.8 Tahun 2024, sebenarnya merupakan sirkulasi kompetisi di antara sesama pengusaha. Setiap kebijakan yang dikeluarkan atau dihentikan selalu ada kelompok pengusaha yang diuntungkan atau tidak untung. Dalam konteks persaingan bisnis untuk menjadi raksasa industri, praktik pemecatan massal kerap dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan. Sementara, buruh selalu menjadi tumbal dari kompetisi di antara kapital.
Padahal, masalah pemecatan massal adalah masalah pokok bagi buruh dan berdimensi luas. Sebagai contoh, seorang buruh yang bekerja bisa saja berstatus lajang, namun ketika ia dipecat dampak kekerasan ekonomi yang dialami juga berhubungan dengan rumah tangga lainnya. Pasalnya, ia memiliki tanggungan hidup. Dalam fenomena hari ini dikenal dengan istilah sandwich generation; seorang anak menjadi tumpuan hidup untuk menghidupi orang tua dan adik atau bahkan saudaranya. Oleh karenanya pemecatan bukan semata-mata masalah individu, namun juga menyangkut hajat hidup rumah tangga lain yang bergantung hidup kepada mereka.
Politik data, industri parasit TPT
Dalam pemberitaan dikatakan sebanyak enam pabrik tutup dan empat pabrik melakukan pemecatan massal. Daftar pabrik yang diumbar menjadi landasan untuk menilai industri TPT dalam kondisi terpuruk. Tentu, penyebabnya adalah karena kebijakan impor yang telah saya sampaikan di atas. Namun, dua pertanyaan boleh diajukan untuk memeriksa kebenaran tersebut.
Pertama, apakah benar seluruh pabrik tersebut adalah pabrik dengan pasar lokal? Kedua, apakah benar pabrik tersebut memproduksi pakaian jadi? Kedua pertanyaan ini menjadi penting untuk melihat seberapa akurat data yang disajikan untuk mendukung narasi dampak dari impor pakaian jadi dari China.
Berikut ini merupakan catatan dari profil masing-masing perusahaan yang berhasil ditelusuri. Beberapa informasi diperoleh melalui wawancara kepada buruh yang bekerja di masing-masing perusahaan tersebut. Arsip digital juga digunakan sebagai informasi utama atau tambahan.
PT Dupantex terletak di Pekalongan, Jawa Tengah yang memproduksi komoditas kain tenun untuk pasar lokal dan ekspor. Negara yang menjadi tujuan ekspor, yakni Uni Emirat Arab, Thailand, dan Somalia.[1]
PT Alenatex dikabarkan menutup pabriknya. Pabrik tersebut memproduksi komoditas berbagai benang tekstil dan kain. Hasil produksinya sebagian besar diekspor untuk negara-negara seperti: United Arab Emirates, Thailand, Somalia, Singapura, dan Saudi Arabia. Kode ekspor barang (HS Code) yang dijual bernomor 54075400 dan 54075200. Keduanya merupakan jenis komoditas benang tekstil.[2]
PT Kusumahadi Santosa merupakan salah satu anak perusahaan dari Danar Hadi Group. Selain Kusumahadi Santosa, Danar Hadi Group juga memiliki anak perusahaan lainnya, yakni PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, dan PT Danar Hadi yang memproduksi kain batik. Tiga dari nama anak perusahaan–kecuali PT Danar Hadi–diberitakan menutup pabriknya lantaran merugi. Dalam situs perdagangan ekspor dan impor, PT Kusumahadi Santosa dan PT Pamor Spinning Mills tercatat sebagai perusahaan eksportir.
PT Kusumahadi Santosa misalnya, perusahaan berorientasi ekspor dengan negara tujuan Turki. Kode barang ekspor yakni 5515910000, berupa kain tenun berbahan dasar benang filamen. Sementara, PT Pamor Spinning Mills juga tercatat sebagai eksportir dengan negara tujuan Jepang. Kode barang ekspor yaitu 5205120000. Barang yang dijual berupa benang serat atau benang katun.[3] Sedangkan, untuk perusahaan PT Kusumaputra Santosa dalam penelusuran digital hanya tercatat sebagai importir benang serat 5205120000 dan 5515910000 dari negara Brazil.[4]
Selanjutnya, PT Sinar Pantja Djaja merupakan salah satu anak perusahaan PT Sri Rejeki Isman Tbk (PT Sritex) yang berlokasi di Jawa Tengah. Pabrik ini memproduksi benang tekstil berjenis Spun Yarn berbahan Polyester, Viscose Rayon, Cotton, dan Viscose.[5] Sinar Pantja Djaja juga merupakan eksportir untuk komoditas benang tekstil, dengan kode barang ekspor seperti 52051300, 55092100, 52051200, 55095300, dan 52051400. Sementara negara tujuan ekspornya yaitu: Honduras, India, Turki, China, dan Korea Selatan.[6]
Perusahaan lainnya adalah PT Bitratex Industries, Jawa Tengah. Perusahaan ini memproduksi benang pemintalan: serat stapel (spun yarn), benang katun, dan kain. Hasil produksi tersebut diekspor ke negara Honduras, Jepang, Banglades, Brazil, dan Amerika Serikat.[7] Beberapa kode barang ekspor yang tercatat, yaitu: 55095300, 55092100, 52051200, 55101100, 55095100.
PT Djohartex merupakan perusahaan berorientasi ekspor. Pabrik ini memproduksi kain tenun grey untuk kebutuhan pakaian militer dalam negeri dan pasar Uni Eropa. Perusahaan telah mendapatkan izin pemasok kain untuk pakaian militer negara-negara anggota NATO.[8]
Terakhir, PT Pulau Mas Texindo berdiri sejak tahun 1966 memproduksi kain berbahan Teteron Cotton (TC), Rayon, Cotton. Dalam situs resminya, perusahaan ini telah memasok kebutuhan kain untuk pasar global.[9] Perusahaan ini juga tercatat sebagai pemain ekspor untuk jenis komoditas benang tekstil berbahan katun, dengan kode barang ekspor 54076190. Sementara, untuk negara tujuan ekspor seperti Malaysia, Tanzania, Kolombia, Mauritius, dan Singapura.[10] Nama PT Pulau Mas Texindo menjadi salah satu daftar perusahaan yang dikabarkan juga terkena dampak dari pemberlakukan kebijakan Permendag No.8 Tahun 2024. Ironisnya, pada akhir Juli 2024, menurut situasi pencarian kerja Glints, perusahaan membuka lowongan kerja untuk posisi sales marketing.[11]
Dengan data dan catatan profil perusahaan di atas, saya ingin membantah narasi yang dibangun asosiasi pengusaha TPT melalui pemberitaan di media massa. Bahwa pemecatan massal disebabkan oleh terpuruknya industri TPT adalah dampak dari kebijakan impor.
Pertama, berdasarkan catatan profil perusahaan, sebagian besar pabrik yang dikabarkan melakukan penutupan produksi atau efisiensi, merupakan industri berorientasi ekspor. Bukan pabrik dengan skala Industri Kecil dan Menengah (IKM). Komoditas yang dijual sebagian besar berupa benang tekstil dan kain. Maka, cukup sulit untuk mempercayai kebenaran dari informasi media massa, bahwa pabrik-pabrik tersebut tengah mengalami kerugian akibat masuknya barang pakaian jadi impor. Sementara, perusahaan tidak menyertai laporan keuangan kepada buruhnya. Klaim kerugian hanya disampaikan secara lisan. Padahal, dengan momentum pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, seharusnya perusahaan tersebut saat ini bisa memperoleh keuntungan lebih besar. Sebab, jumlah Rupiah yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, tiga dari 10 daftar nama perusahaan, sebelumnya telah dikabarkan melakukan pemecatan lebih dahulu pada bulan Maret menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ketiga perusahaan tersebut yakni PT Pulau Mas Texindo, PT Sai Apparel Industries Semarang, dan PT Sinar Panca Jaya. Ketiganya diberitakan melakukan pemecatan massal karena menurunnya jumlah permintaan produksi atau order (Bisnis.com, 26 Maret 2024). Bukan disebabkan oleh pemberlakuan Permendag No.8 Tahun 2024.
Di sisi lain, berita penutupan pabrik PT Sai Apparel Industries Semarang tidak seutuhnya benar. Hanya sebagian buruhnya saja yang dipecat atau dipindahkan ke pabrik barunya di Kabupaten Grobogan. Sementara, pabrik yang berada di Semarang masih tetap produksi (Solopos.com, 19 Juni 2024). Perlu diketahui, PT Sai Apparel Industries sejak 2020 telah memulai produksinya di Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan untuk memperluas operasi produksinya. Hal ini dilakukan demi berburu upah buruh yang lebih murah.[12]
Beberapa praktik culas pengusaha Industri TPT adalah dengan merelokasi pabrik mereka. Caranya dimulai dengan memecat buruhnya dan atau menutup langsung pabriknya di daerah lama. Setelah itu mereka akan mendirikan pabrik baru di daerah yang Upahnya lebih rendah. Cara lainnya, memecat buruh di daerah industri lama, untuk menyiapkan pembangunan pabrik baru di wilayah ekspansi bisnis (Majalahsedane.org, 6 Desember 2023)
Ketiga, kondisi industri TPT masih menunjukkan kinerja positif. Dengan menggunakan teknik linier regresi sederhana, saya melakukan olah data yang diambil dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia. Hasilnya nilai kemiringan (slope) berada dalam angka positif sejak tahun 2010 sampai 2023. Nilainya sebesar 23.965,99.
Hasil tersebut dapat diartikan, bawah industri TPT dalam setiap tahun mengalami pertumbuhan. Rata-rata peningkatan nilai ekspor mencapai 23.965,99 juta dolar per tahun. Jika nilai tersebut dikonversi ke dalam nilai tukar Rupiah, anggaplah nilai tukar 1 Dollar saat ini adalah Rp 16.000, maka setiap tahun nilai ekspor industri TPT rata-rata tumbuh sebesar Rp 383.456.000.000 miliar.
Gambar 2. Data diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia dan diolah oleh penulis.
Keempat, dalam siklus bisnis industri TPT terdapat beberapa bulan permintaan produksi dalam kondisi menurun. Pada Januari-Agustus biasanya jumlah produksi lebih rendah, dibandingkan pada bulan September sampai dengan Desember.
Sebagai salah satu contoh, menurut keterangan buruh yang bekerja di PT Adi Satria Abadi (PT ASA), jumlah produksi sarung tangan rata-rata hanya mencapai 35.000 pasang per bulan sepanjang bulan Januari-Agustus. Namun, ketika memasuki bulan September sampai dengan Desember, jumlah produksi meningkat lebih dari dua kali lipat. Jumlahnya bisa mencapai 150.000 pasang per bulan.
***
Keempat argumentasi di atas cukup untuk mengatakan, bahwa pemberitaan media massa dapat mengaburkan kondisi yang terjadi sesungguhnya. Fenomena pemecatan massal yang belakangan diberitakan, bisa jadi hanyalah akal-akalan pengusaha untuk melucuti hak-hak buruh di tempat kerja.
Industri TPT kerap memainkan pemberitaan media nasional untuk mengeruk keuntungan. Narasi krisis global selalu menjadi ‘lagu lama’ yang digunakan untuk mengemis kebijakan kepada negara. Contoh teranyar ada di awal tahun. Guna membantu industri TPT, pemerintah mengeluarkan insentif berupa bantuan uang sebesar Rp4,36 miliar untuk 13 perusahaan kain dan percetakan pada 2023 (Bisnis.com, 17 Januari 2024). Namun, menurut asosiasi pengusaha besaran anggaran bantuan tersebut dinilai kurang. Selain pemberian insentif, beberapa kebijakan fiskal untuk mensubsidi industri TPT juga telah dilakukan oleh pemerintah (Voi.id, 27 Juni 2024). Namun, sekali lagi kebijakan tersebut dianggap belum berdampak.
Saya ingin mengatakan bahwa Industri TPT merupakan jenis industri parasit. Sebagai parasit keberlangsungan pengerukkan keuntungan bersumber dari kondisi kerja buruk, kebijakan upah murah, pelanggaran hak-hak perburuhan, dan kebijakan subsidi dari negara.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan pemecatan buruh semakin mudah. Pabrik tidak perlu membuktikan mereka mengalami kerugian, setelah pasal 164 UU No.13 Tahun 2003 dihapus. Di sisi lain, praktik pemecatan perlu dilihat juga sebagai alat kontrol untuk melemahkan gerakan buruh. Barangkali kalimat akhir ini dapat mewakili situasi yang kita hadapi hari ini, “Tuhkan banyak PHK, udah syukur kamu dapat kerja.”
Catatan kaki
[1] Opera Sabun istilah yang digunakan untuk menyebut genre serial drama televisi dan radio yang dicirikan dengan ceritanya yang berbelit-belit dan sentimental.
[3] Pernyataan tersebut diarsipakan dari beberapa media daring: Voi.id dengan judul “Pengusaha Tekstil Sebut Kinerja Buruk Bea Cukai jadi Biang Kerok PHK Massal” yang terbit pada 20 Juni 2024, Sindonews.com dengan judul “APSyFI Sebut Bobroknya Bea Cukai Jadi Penyebab PHK Massal Industri Tekstil” yang terbit pada 20 Juni 2024, dan Bisnis.com dengan judul “Pengusaha Tekstil Bantah Sri Mulyani soal Biang Kerok PHK Massal” yang terbit pada 20 Juni 2024.
[4] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, menetapkan besaran persentase marjin praktik dumping lebih dari dua persen.
[5] Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Permohonan Penyelidikan Dalam Rangka Pengenaan Tindakan Pengamanan Perdagangan Terhadap Lonjakan Jumlah Impor Barang Kain Tenunan Dari Benang Filamen Artifisial Yang Masuk Ke Dalam Nomor Hs. 5408.21.00, 5408.31.00, Dan 5408.33.00. https://kppi.kemendag.go.id/unduhan-file/11eb5fed-9901-413d-b266-90981af44181
[7] Jenis barang yang diproduksi dan negara tujuan ekspor diperoleh melalui hasil wawancara kepada buruh yang bekerja di PT Dupantex pada 04 Agustus 2024.
[14] Amanatina Z.. Perbaikan Perilaku Keselamatan Kerja Pada Industri TekstilBerbasis Evaluasi Beban Kerja. Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
[18] Mengenai kasus ekspansi PT Sai Apparel Industries dapat ditemukan dalam laporan investigasi yang berjudul “Penaklukan dan Perlawanan! Laporan Investigatif tentang Kontrak Kerja, Kekerasan Berbasis Gender, Pencurian Upah dan Kebebasan Berserikat di PT Sai Apparel Grobogan”. Yogyakarta. Tanah Air Beta. 2023. PT Sai Apparel juga tercatat sebagai eksportir pakaian jadi dengan kode ekspor barang 62046200 dan 61112000. Informasi mengenai pemain ekspor dapat ditemukan pada situs: https://www.seair.co.in/sai-apparel-industries-exporters-in-indonesia.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]