MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Demokrasi dan Perlawanan Gerakan Buruh

Terpilihnya Presiden Prabowo dan Cawapres Gibran pada Pemilu 2024 menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia benar-benar pesta para penguasa dan tidak lebih dari kontestasi elit politik. Prabowo merupakan pelaku pelanggaran HAM, sementara Gibran dapat mencalonkan diri menjadi wakil presiden melalui penyimpangan prosedur pemilu. Banyak dari kalangan masyarakat, buruh maupun aktivis yang mengkhawatirkan nasib mereka di bawah kepemimpinan penguasa dengan reputasi yang buruk. Di satu sisi, keikutsertaan Partai Buruh dalam pemilu 2024 belum mampu memberikan jalan terang bagi gerakan buruh.

Meski demikian, bobroknya demokrasi di Indonesia sudah berlangsung lama dan terstruktur. Kebobrokan demokrasi ditandai oleh watak militeristik negara yang secara sistematis mengendalikan gerakan buruh.

Pembatasan gerakan buruh oleh presiden pertama ditunjukkan melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 1963 yang melarang aksi mogok di perusahaan dan lembaga negara. Hal ini dilakukan oleh pemerintahan saat itu dengan alasan Indonesia dalam keadaan darurat perang.[1]

Sejak awal memang berdirinya negara tidak pernah berpihak kepada buruh. Pemerintahan yang mengaku pro buruh justru membatasi aksi buruh. Tidak hanya melalui kebijakan, pendisiplinan buruh dilakukan melalui tindakan represif hingga penghilangan nyawa. Sejumlah pimpinan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang tergabung dalam FDR (Front Demokrasi Rakyat) dibunuh karena menentang program pemerintah yang kemudian dikenal sebagai  Peristiwa Madiun tahun 1948. Bahkan untuk melemahkan gerakan buruh, pada tahun 1960 pemerintah membentuk serikat tandingan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia)[2] yang diinisiasi oleh seorang perwira Angkatan Darat.

Pada tahun 1966 era Orde Lama tumbang, digantikan oleh seorang pemimpin militer melalui kudeta dan pembantaian massal. Kepemimpinan ini disebut sebagai era Orde Baru. Perampasan hak demokrasi buruh pada era Orde Baru berlangsung lebih kejam. Dimulai dari pembantaian terhadap simpatisan, anggota, dan pimpinan SOBSI,[3] yang memiliki hubungan kuat dengan PKI. Kemudian hanya mengakui satu serikat buruh, yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)[4] dan melibatkan tentara untuk meredam pemogokan.

Meski di bawah bayang-bayang represi, pada 1990-an, gerakan buruh mulai bangkit, yang ditandai dengan banyaknya aksi pemogokan oleh buruh. Di kurun ini, tak terhitung jumlah buruh yang meregang nyawa dengan cara-cara misterius. Diantaranya adalah Marsinah di Sidoarjo dan Titi Sugiarti di Bandung.

Di Balik Topeng Demokrasi

Pada tahun 1998, gerakan buruh beserta seluruh elemen masyarakat berhasil menggulingkan pemerintahan otoriter yang sudah berlangsung selama 32 tahun. Namun, perubahan struktur politik pada reformasi tahun 1998 tidak mengubah keberpihakan negara terhadap kapitalis. Negara yang mengaku sebagai negara demokratis justru tidak melibatkan masyarakat dan buruh dalam perumusan kebijakan. Rancangan kebijakan yang disebut-sebut untuk kebaikan buruh justru menjerumuskan mereka dalam pasar kerja neoliberal, yang ditandai dengan lahirnya pasar kerja fleksibel berupa buruh kontrak dan outsourcing melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13/2003.

Meskipun di zaman Reformasi hak mogok dan berserikat diakui, namun UUK 13/2003 membatasi pemogokan dengan cara: hak mogok diakui setelah terjadi perundingan dan pemberitahuan sebagai akibat gagalnya perundingan.

Persyaratan mogok yang seolah-olah bertujuan untuk mendorong demokrasi justru merupakan antitesis dari demokrasi, dalam arti bahwa persyaratan tersebut ditujukan untuk menghambat aksi mogok daripada mendukung atau melindungi demokrasi.[5] Sehingga, pengaturan mogok sendiri merupakan pembatasan demokrasi.

Mogok sejatinya merupakan hak buruh. Namun, pemerintah dan kapitalis tampaknya alergi terhadap kekuatan kolektif dalam aksi langsung dan pemogokan. Demokratisasi dikemas dalam perundingan untuk meredam pemogokan. Buruh diperbolehkan mogok, tapi dengan syarat jika perundingan yang sudah dilakukan mengalami kebuntuan.

Kebijakan pengaturan mogok yang harus melalui syarat adanya gagal perundingan merupakan salah satu contoh retorika demokrasi yang justru melemahkan demokrasi. International Labour Organization (ILO) yang mendorong negara anggotanya untuk meratifikasi Konvensi ILO No 98 tentang hak perundingan bersama dalam hubungan industrial, menjanjikan perundingan bersama untuk mencapai demokrasi dalam hubungan industrial. Kenyataannya, hanya perwakilan serikat buruh yang boleh melakukan perundingan, di mana suara perwakilan serikat buruh tidak mewakili seluruh suara buruh.

Proses perundingan juga tidak selalu berjalan mulus seperti angan-angan demokrasi yang disampaikan oleh ILO. Contoh kasus di PT Sai Apparel Industries Grobogan, pengurus serikat buruh mengaku sering diberi janji palsu untuk melakukan perundingan. Manajemen perusahaan seringkali menghindar dengan berbagai alasan. Ketika perundingan bipartit berhasil dilaksanakan, prosesnya berlangsung intimidatif. Alih-alih mencapai kesepakatan bersama, hasil kesepakatan dari bipartit justru bersifat paksaan.

Pada kasus perundingan di PT Sai Apparel Industries Grobogan, ketua Serikat dipaksa untuk menandatangani hasil perundingan yang dibuat oleh pihak perusahaan. Salah satu isi poin perundingan menolak tuntutan serikat untuk mempekerjakan kembali pengurus serikat yang dipecat secara sepihak. Jika ketua serikat menolak tanda tangan, maka sejumlah pengurus serikat lainnya terancam tidak perpanjang kontrak.[6]

Kebijakan pengaturan mogok digunakan untuk melindungi kapital, bukan menjaga demokrasi seperti yang dikatakan oleh para akademisi dalam penelitian mereka.[7] Di Australia, kebijakan syarat mogok lahir atas desakan perusahaan kepada pemerintah karena dianggap mengganggu proses produksi.[8] Di Cina, regulasi hubungan industrial dijadikan alat perusahaan untuk mengontrol buruh, buntut dari terjadinya pemogokan pada tahun 2010.[9] Tidak menutup kemungkinan, kebijakan “proburuh” dan “prodemokrasi” di Indonesia hanya bentuk pelayanan negara terhadap kapital untuk mengontrol gerakan buruh.

Kebijakan yang mengatur pemogokan hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan yang melemahkan gerakan buruh. Aksi demonstrasi turut diatur oleh pemerintah, di mana buruh dan masyarakat diwajibkan membuat surat pemberitahuan terlebih dahulu yang ditujukan kepada kepolisian sebelum melakukan demonstrasi. Syarat ini diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 7 Tahun 2012. Dalih pengaturan aksi demonstrasi ini disebut-sebut demi kelancaran aksi demonstrasi serta menjaga keamanan dan kenyamanan orang lain. Sekali lagi, atas nama demokrasi, pemerintah membuat peraturan yang justru menghambat demokrasi.

***

Tahun 2019, Joko Widodo menyebutkan Omnibus Law dalam pidato pertamanya setelah terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya. Omnibus Law, yang digadang dapat mendorong peningkatan investasi dan membuka keran lapangan kerja justru memangkas hak-hak buruh. Meski mendapatkan penolakan melalui aksi besar oleh buruh, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat, Omnibus Law tetap diloloskan oleh pemerintah yang kini menjadi UU Cipta Kerja No. 6/2023.

Pemerintah secara terang-terangan menunjukkan watak militeristik. Dengan mengerahkan polisi dan tentara—intitusi negara dengan reputasi paling represif—untuk menghentikan aksi demonstrasi, maka negara secara jelas melawan prinsip demokrasi. Banyak buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil yang menjadi korban represi oleh aparat dalam aksi menolak Omnibus Law. Data Kontras menunjukkan setidaknya 4.555 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 232 orang mengalami luka-luka dalam aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law di 87 daerah pada tahun 2020.[10]

Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13/2003 nampaknya tidak cukup memuaskan kapital untuk meliberalisasi pasar tenaga kerja. IMF (International Monetary Fund) dalam laporan article IV[11] IMF untuk Indonesia yang terbit pada bulan Juli tahun 2019 menilai bahwa kebijakan perlindungan kerja di Indonesia masih terlalu ketat dan kaku. Dalam laporan yang sama, IMF mendorong pemerintah untuk menderegulasi peraturan ketenagakerjaan menjadi lebih fleksibel, serta mengurangi peran negara dalam melakukan kontrol terhadap pasar.

Tidak mengherankan jika pemerintah getol untuk meloloskan Omnibus Law. Meski pemerintah harus menerima kritik dari berbagai kalangan seperti akademisi hingga media asing.[12] Sebaliknya, IMF justru secara lugas mengatakan bahwa pemerintah Indonesia layak dipuji atas disahkannya Omnibus Law.

“Pemerintah layak dipuji atas berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam mereformasi pasar tenaga kerja dan sektor keuangan. Implementasi yang tepat dari beberapa legislasi Omnibus serta reformasi lebih lanjut untuk mengurangi hambatan pada pasar tenaga kerja, meningkatkan iklim investasi—termasuk dalam kepastian hukum dan kebijakan serta menghapus sejumlah instrumen non-tarif di perdagangan—mengembangkan sumber daya manusia, investasi dalam infrastruktur, dan memperdalam pasar keuangan akan berdampak baik bagi Indonesia”- IMFArticle IV Mission to Indonesia 2023.

Utang Indonesia kepada IMF sudah berakhir sejak tahun 2006. Sehingga, Indonesia terbebas dari perjanjian terikat dalam Letter of Intent (LoI) kepada IMF.[13] Namun, IMF tetap memiliki kontrol untuk mengatur kebijakan negara anggotanya. Setiap tahun, IMF melakukan pengawasan terhadap negara melalui laporan article IV.

IMF tidak sendiri. Bersama IMF, World Bank turut mendikte kebijakan di negara berkembang. Sejak 2007, IMF dan World Bank membuat kerjasama yang dituangkan dalam Joint Management Action Plan.[14]

Jumlah utang Indonesia kepada World Bank pada 2022 mencapai Rp33,28 triliun. Kontrol World Bank terhadap negara anggotanya semakin diperkuat dengan organisasi besar seperti International Finance Corporation (IFC), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang tergabung dalam World Bank Group.[15] Ketiga organisasi tersebut berfungsi untuk menjaga kapital di negara berkembang. Selama negara masih berlindung di bawah ketiak IMF dan World Bank, negara akan tetap patuh dan mengabdi pada organisasi parasit besar.

Brutalitas Negara dan Pelemahan Gerakan Buruh

Pada tahun 2019 pemerintah juga mengesahkan RKUHP dan RUU KPK yang memicu gelombang protes dan aksi besar. Buruh melebur bersama pelajar dan masyarakat sipil turun ke jalan. Aksi ini disebut-sebut sebagai aksi besar pertama setelah reformasi 1998. Selain isu RKUHP dan RUU KPK, buruh turut memasukkan tuntutan untuk merevisi UU ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Kebijakan-kebijakan ini tentu dibuat untuk menggemukkan kantong penguasa, meski dengan cara menggebuk rakyatnya sendiri.

Beberapa buruh, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil menjadi korban represi dan penangkapan oleh aparat. Di antaranya bahkan harus meregang nyawa. Total terdapat lima korban meninggal akibat kekerasan oleh aparat dari aksi reformasi dikorupsi di berbagai daerah. Korban meninggal antara lain dua mahasiswa Yusuf Kardawi dan Immawan Randi, dua pelajar Bagus Putra Mahendra dan Akbar Alamsyah, dan seorang masyarakat sipil Maulana Suryadi.

Pada tubuh salah satu korban meninggal, Randi seorang mahasiswa Universitas Halu Oleo ditemukan luka peluru di bagian dada. Hasil investigasi KontraS menunjukkan bahwa pelaku penembakan Randi adalah aparat kepolisian. Pendisiplinan massa aksi dengan menggunakan senjata merupakan kejahatan besar. Namun, pelaku penembakan hanya dijatuhi hukuman penjara empat tahun dengan pasal 359 KUHP. Ironi, pembunuhan secara terencana dan disengaja oleh aparat justru hanya dianggap sebagai kelalaian yang mengakibatkan orang meninggal dunia.

Aparat merupakan kaki tangan negara yang difungsikan untuk berhadapan langsung dengan rakyat. Sehingga, kekerasan aparat adalah kekerasan negara. Pada negara yang mengaku demokratis, kekerasan oleh aparat sering dijadikan pembenaran demi keamanan.  Proses peradilan bagi pelaku kekerasan oleh aparat pun lembek dan meringankan pelaku. Apakah brutalitas aparat masih bisa disebut sebagai penyalahgunaan wewenang? Jika sejak awal terbentuknya lembaga ini memang difungsikan sebagai alat kontrol dan pendisiplinan oleh negara.

Sikap anti demokrasi negara semakin terlihat pada aksi hari buruh setiap tahun. Saat aksi hari buruh 1 Mei 2024, sebanyak 3454 personel gabungan TNI-Polri dikerahkan untuk berjaga di lokasi aksi. Aparat juga digunakan sebagai prajurit-prajurit penjaga kapital. Di pabrik, perkebunan, pertambangan, atau pada saat terjadi aksi demontrasi buruh banyak terlihat aparat berjaga di sekitar lokasi tersebut. Tindakan aparat yang menjaga kapital dibenarkan dalam Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Negara. Aparat yang berjaga pun mendapatkan imbalan dana pengamanan dari perusahaan.

Kini, gerakan buruh dihadapkan pada kebijakan-kebijakan yang merugikan buruh dan dikeluarkan dalam waktu yang berdekatan. Kementerian Tenaga Kerja, bertepatan dengan hari buruh internasional pada 1 Mei 2024 mengeluarkan pedoman pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dalam Kepmenaker 76/2024. Melalui HIP, pemerintah mendorong hubungan industrial yang harmonis. Produk hukum tersebut tidak berbeda dengan konsep HIP yang dibentuk pada era Orde Baru. Tujuannya tentu untuk melemahkan gerakan buruh melalui doktrin harmonisasi dan kekeluargaan. Doktrin harmonisasi dan kekeluargaan yang terkandung dalam HIP menolak adanya pemogokan karena dianggap melanggar prinsip kekeluargaan dalam pancasila.[16]

Tidak berselang lama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024 perubahan atas PP Nomor 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat. Tapera akan dibebankan kepada seluruh pekerja dan bersifat wajib. Besaran tabungan yang dibebankan untuk Tapera adalah 3% dari upah dan dipotong dari upah buruh. Kebijakan ini ditentang oleh buruh dan masyarakat karena dianggap merugikan buruh.

Wacana revisi UU TNI-Polri mengenai multifungsi TNI-Polri yang bertujuan agar aparat negara dapat menjabat dalam posisi di lembaga-lembaga nonpertahanan dan keamanan negara; Pengesahan UU No 21/2023 tentang Ibu Kota Negara yang dibentuk hanya untuk kepentingan segelintir elit penguasa; dan berbagai kebijakan lainnya yang dibuat dengan tergesa-gesa tanpa melibatkan masyarakat menandakan bahwa demokrasi di Indonesia lemah.

Setelah rentetan kebijakan yang dikebut tanpa mendengarkan suara rakyat, pemerintah kembali membuat kebijakan RUU Pilkada yang dikebut oleh DPR hanya dalam satu hari. Pada Tanggal 21 Agustus 2024 DPR menganulir putusan MK mengenai ambang batas parlemen dan syarat batas minimal usia calon kepala daerah. Kebijakan kilat ini dibuat untuk mengusung anak bungsu presiden menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta. Cara yang sama juga dilakukan sebelumnya untuk mengusung anak sulungnya menjadi wakil presiden pada pemilu bulan Februari lalu. Keculasan pemerintah beserta keluarga dan kroni-kroninya menyulut amarah masyarakat. Sehari setelah DPR menggelar rapat RUU Pilkada, pada tanggal 22 Agustus 2024 sejumlah buruh, mahasiswa, pelajar, dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut pemerintah menaati putusan MK. Aksi demonstrasi ini disebut sebagai aksi kawal putusan MK dan darurat demokrasi.

Aliansi GEBRAK (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) bahkan secara tegas menuntut untuk membubarkan DPR dan mendorong terbentuknya Dewan Rakyat. Tuntutan ini merupakan bentuk ketidakpercayaan gerakan buruh terhadap sistem negara. Dalam rilis pernyataan sikap, GEBRAK menyebut bahwa persoalan saat ini bukan hanya tentang politik elektoral maupun politik dinasti, lebih dari itu ini semua adalah masalah terberangusnya demokrasi.

Sejak negara Indonesia berdiri hingga kini, pemerintah masih giat melanggengkan berbagai cara untuk mengontrol gerakan buruh. Melalui kebijakan maupun tindakan langsung seperti intimidasi dan kekerasan. Selama ini gerakan buruh memiliki peran besar terhadap keberlangsungan demokrasi. Sehingga siapapun yang menduduki pemerintahan, selagi ia berpihak kepada kapitalis dan memusuhi gerakan buruh maka negara akan tetap jauh dari nilai-nilai demokrasi.[]


Catatan kaki:

[1] Vedi Hadiz, “Workers and The State in New Order Indonesia”, Routledge (1997)

[2] organisasi yang dibentuk untuk menandingi gagasan SOBSI. SOKSI mendorong hubungan harmonis antara pekerja dan pemilik perusahaan dan memproduksi istilah karyawan bagi buruh kerah putih.

[3] organisasi buruh terbesar di Indonesia pada masanya, hingga pada tahun 1965 dibubarkan oleh pemerintah karena kedekatannya dengan PKI.

[4] dulunya bernama FBSI, merupakan serikat yang dibentuk oleh pemerintah dan memiliki kedekatan dengan partai yang berkuasa saat itu yakni GOLKAR.

[5] Breen Creighton, Catrina Denvir, Richard Johnstone, Shae Mccrystal, Alice Orchiston, “Strike Ballots, Democracy, and Law”, Oxford Labour Law (2020)

[6] Syaukani Ichsan, “Model Pemberangusan Serikat Buruh di PT Sai Apparel Industries Grobogan”, dalam Penaklukan dan Perlawanan : Laporan Investigatif tentang Kontrak Kerja, Kekerasan Berbasis Gender, Pencurian Upah dan Kebebasan Berserikat di PT Sai Apparel Industries Grobogan, Tanah Air Beta (2023).

[7] disebutkan dalam buku “Strike Ballots, Democracy, and Law” bahwa banyak hasil penelitian akademisi sepakat dengan kebijakan pengaturan mogok.

[8] Breen Creighton, Catrina Denvir, Richard Johnstone, Shae Mccrystal, Alice Orchiston, “Strike Ballots, Democracy, and Law”, Oxford Labour Law (2020)

[9] Siqi Luo dan Bo Zhao, “Weapon of Resistance or Tool of Control? Chinese Labour Law in a Post-Strike Era”, Journal of Contemporary Asia (2021)

[10] BBC News Indonesia, “Kebebasan berekspresi tahun 2020 ‘makin mundur karena represi aparat’, pemerintah klaim perlindungan HAM ‘sudah jelas dan tetap kokoh’”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55262232 (2020, 11 Desember)

[11] Article IV IMF, atau artikel IV merupakan laporan hasil konsultasi IMF dengan negara anggotanya. Untuk menerbitkan artikel IV, IMF mengadakan diskusi bilateral dengan negara anggota setiap tahun. Sebuah tim staf akan ditugaskan untuk mengunjungi negara tersebut, mengumpulkan informasi ekonomi dan keuangan, dan berdiskusi dengan para pejabat mengenai perkembangan dan kebijakan ekonomi negara. Kemudian, tim staf IMF akan mengeluarkan artikel IV yang berisi penilaian dan saran arah kebijakan negara.

[12] Terbit dalam media New York Times dengan judul “Indonesia’s Stimulus Plan Draws Fire from Environmentalists and Unions” dan “Indonesia’s Parliament Approves Jobs Bill, Despite Labor and Environmental Fears”, Media Bloomberg dengan judul “Indonesia’s Labor Law Sees Stocks Rally as Workers Protest”, dan media Reuters dengan judul “Global investors warn Indonesia that jobs bill puts forests at risk”.

[13] Pada masa krisis moneter tahun 1998, IMF memberikan bantuan pinjaman serta arah kebijakan negara dalam Letter of Intent yang menjadikan perekonomian Indonesia semakin terpuruk.

[14] Syarif Arifin, “Bagaimana IMF dan Grup Bank Dunia Merampas Hak Buruh?”. https://majalahsedane.org/2018/10/13/bagaimana-imf-dan-grup-bank-dunia-merampas-hak-buruh/1816/kajian/ (2018)

[15] Syarif Arifin, “Bagaimana IMF dan Grup Bank Dunia Merampas Hak Buruh?”. https://majalahsedane.org/2018/10/13/bagaimana-imf-dan-grup-bank-dunia-merampas-hak-buruh/1816/kajian/ (2018)

[16] Vedi Hadiz, “Workers and The State in New Order Indonesia”, Routledge (1997)

Penulis

Fadhila Isniana