MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘Harus Ada yang Dibongkar’: Kisah Daniel Tangkilisan Melestarikan Karimunjawa

Suara Daniel mereda. Ia mengingat tangis kedua orang tuanya yang menghadiri sidang pembacaan vonis Pengadilan Negeri (PN) Jepara terhadap dirinya. Hari itu, Kamis (24/7/2024) menjelang sore hari, hawa panas Jakarta menyerbu melalui jendela kaca yang terbuka ke ruangan ukuran 6×4 meter di sekitar jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat. Pendingin udara ruangan terkulai mati di pojok atas dinding dekat pintu. Selama dua jam Daniel mengisahkan keterdamparannya di Pulau Karimunjawa.

Kamis 4 April 2024, Daniel divonis tujuh bulan penjara dan denda Rp5 juta dengan dakwaan melakukan ujaran kebencian.

“Setelah pembacaan vonis, saya meminta waktu untuk bertemu dengan ibu. Saya memeluk ibu dan berkata, ‘Ibu yang kuat ya!'” ujar lelaki lulusan S2 Nederlandse Cultuur University of Groningen Belanda itu. Daniel menghela napas.

“Waktu itu banyak jurnalis yang menyorot,” terang anak pertama dari pasangan Harry Tangkilisan dan Meis tersebut. “Saya katakan kepada wartawan, ‘Harus ada yang dibongkar!’” 

Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50 tahun) memperjuangkan keasrian Karimunjawa sejak 2015. Ia rela meninggalkan statusnya sebagai pengajar bahasa Belanda di Program Studi Bahasa Belanda Akademi Bahasa 17 Agustus 1945 (AKABA 17) Semarang yang dilakoninya sejak 1996 dan di SMA Masehi Jepara, sejak 2010.

Daniel mengenal Karimunjawa di awal 2000-an, ketika membimbing mahasiswanya yang membuat tugas akhir mengenai konservasi terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa. “Mahasiswa itu memperlihatkan foto-foto Karimunjawa. Indah sekali. Saya pengen kesana. Tapi belum ada kesempatan karena harus mengajar,” kenang lulusan jurusan Bahasa Belanda Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia), 1996 tersebut.

Setelah berhenti mengajar di lembaga formal, Daniel memutuskan mendidik masyarakat agar dapat merawat alam dan situs-situs Karimunjawa dan Jepara. Mulanya, ia bergabung dengan para pegiat kebudayaan di Rumah Kartini, sebuah lembaga yang mendokumentasikan sejarah Jepara. Kemudian, pada 2019, Daniel bersama kawan-kawannya membuka lembaga kursus bahasa, Karimunjawa Language School. Setelah itu, mendirikan Lego English Club, kelompok belajar bahasa Inggris untuk anak-anak di dusun Lego dan Bukit Love. Melalui kegiatan belajar itulah, Daniel bersosialisasi dengan masyarakat dan menyemai gagasan untuk merawat lingkungan dengan melakukan kegiatan bersih-bersih pantai, kegiatan kebudayaan dan memanfaatkan sampah untuk dijadikan media pendidikan anak didiknya.

***

Setelah pembacaan vonis, kuasa hukum Daniel membanding putusan PN Jepara ke Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, pada 6 April 2024. Mereka menemukan berbagai kejanggalan proses pelaporan hingga putusan sidang.

Pelaporan dan persidangan Daniel seperti lari maraton. Sepanjang 2023, Daniel dilaporkan pada 8 Februari, diperiksa kepolisian pada 3 April, ditetapkan tersangka pada 1 Juni dan diwajibkan lapor pada Desember. Setelah itu, ditahan pada 23 Januari 2024 dan disidangkan kurang dari tiga bulan dengan tiga kali sidang dalam sepekan. Sidang perdana digelar pada 1 Februari 2024. Diputus bersalah pada 4 April 2024.

Selain itu, putusan sidang pun tidak mempertimbangkan latar belakang dan aktivitas Daniel sebagai pejuang lingkungan. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pasal 66 menyebutkan, orang yang memperjuangkan lingkungan tidak dapat dipidanakan maupun digugat perdata. Perlindungan hukum itu disebut dengan konsep anti-SLAPP (Anti Strategic Litigation Against Public Participation).

Menurut PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia), kasus kriminalisasi Daniel oleh jaringan petambak udang merupakan contoh klasik SLAPP, yang melanggar prosedur, salah tafsir dan ketidatepatan penerapan peraturan perundangan. Para pelaku SLAPP merupakan aktor pemegang kuasa, harta, memiliki pengetahuan hukum dan dapat mengakses perangkat hukum dengan baik. Mereka diwakili oleh korporasi, pengusaha, dan pejabat publik, yang berhadapan dengan anggota masyarakat biasa yang memperjuangkan kelestarian alam. “Konflik ini sejak awal menggambarkan adanya ketimpangan posisi pihak-pihak yang lebih unggul dibandingkan dengan masyarakat biasa,” tulis PBHI dalam dokumen Gugatan Strategis terhadap Partisipasi Publik (SLAPP) dalam Advokasi Lingkungan Hidup: Kasus Daniel Frits Maurits Tangkilisan di Karimunjawa, yang diajukan kepada pelapor khusus PBB 29 Juni 2024.

Pada 21 Mei 2024, PT Semarang mengabulkan permohonan banding. Daniel lepas dari tuntutan hukum, dikeluarkan dari tahanan dan hak-haknya dipulihkan. Namun, Daniel belum dapat bernapas lega. JPU (Jaksa Penuntut Umum) mengajukan kasasi ke MA (Mahkamah Agung). JPU meminta MA agar membatalkan putusan PT Semarang dan menetapkan putusan PN Jepara.

Setelah kasasi diterima, MA dapat bersidang dengan membatalkan atau menetapkan putusan di tingkat banding. Jika putusan di tingkat banding dibatalkan maka Daniel terancam dibui kembali atau harus menempuh upaya peninjauan kembali. Jika Daniel ditahan kembali berarti masa depan para pejuang lingkungan akan lebih suram.

Sejak menunggu kasasi MA, Daniel menghabiskan hari-harinya di Jakarta. Namun, ia merasa asing dengan tanah kelahirannya. “Di Jakarta, setiap orang sibuk sendiri. Tidak ada lagi tolong-menolong sesama manusia. Jauh beda dengan masyarakat Karimun. Saya merindukan kembali ke Jepara dan Karimun,” suara lelaki kelahiran 1974 tersebut melandai.

Bukan hanya Daniel. Pelaporan dengan tuduhan pencemaran nama baik karena mengkritik limbah tambak udang di Karimunjawa melalui media sosial dialami pula oleh Datang Abdul Rachim (57), Hasanudin (41), dan Sumarto, pada November 2023. Penyelidikan kasus ketiganya dihentikan setelah pelepasan Daniel. Alasannya, tidak ada peristiwa pidana dalam kasus tersebut.

Daniel dan kawan-kawannya bebas dari tuntutan hukum. Namun, kasus-kasus SLAPP diperkirakan akan terus meningkat, bahkan bervariasi dari pengusiran, intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan. Pantauan PBHI, pada 2024 jumlah korban kriminalisasi pejuang lingkungan terbentang dari 174 aktivis, 940 kaum tani dan 120 individu lainnya. Musabab peningkatan tersebut adalah peraturan perundangan yang membuka ruang ancaman terhadap pejuang lingkungan, seperti UU ITE, UU Minerba, dan KUHP. “Penting untuk memberlakukan dan memperkuat undang-undang anti-SLAPP,” sebut PBHI.

***

Kasus Daniel bermula dari balasan komentar di status Facebook. Komentar tersebut tidak terpisah dari konteks perjuangan menyelamatkan ekosistem Karimunjawa.

Sebagai taman nasional, status Karimunjawa telah ditetapkan sebagai satu dari 19 cagar biosfer di Indonesia dan satu dari 714 cagar biosfer dunia, oleh UNESCO pada 2020. Pemerintah pun telah menetapkan Karimunjawa sebagai KSPN, pada 2011. Namun, Karimunjawa diambang kerusakan karena mondar-mandir dan parkirnya kapal tongkang batu bara PLTU, penurunan tangkapan ikan nelayan tradisional, pencemaran lingkungan akibat tambak-tambak udang.

Daniel menyaksikan dampak buruk operasi udang. Tambak-tambak udang memasang pipa inlet yang merusak hutan mangrove, mengambil air bersih dari laut dan membuang limbah berbahan kimia ke laut dan pantai. Di pantai, limbah tersebut berupa lumut sutera dan lumpur pekat yang menutupi pasir putih, yang menimbulkan bau tak sedap serta menyebabkan penyakit kulit bagi para nelayan dan anak-anak yang bermain di tepi pantai.

Meski tambak udang muncul di tahun 2016, namun makin marak ketika wisatawan menurun akibat Covid-19. Ketika Covid-19 berakhir dan muncul proyek Shrimp Estate, jumlah tambak udang ilegal makin menjamur. Tambak udang tersebar di Desa Karimunjaya dan Desa Kemujan dengan 33 titik yang berjumlah 238 petak seluas 42,606 hektare. Para petambak udang pun mengabaikan protes yang disampaikan warga. Mereka berdalih, tidak ada kajian ilmiah tambak udang merusak lingkungan dan ekosistem laut.

Konteks di atas, mendorong Daniel mengajak masyarakat untuk menyelamatkan Karimunjawa. Daniel dan kawan-kawannya menyampaikan persoalan limbah tambak udang kepada BPD Desa Karimunjawa, Perwakilan KKP Karimunjawa, dan LSM AKAR. Pergerakan kecil tersebut mendapat serangan balik para petambak udang ilegal berupa ancaman verbal yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.

Ikhtiar Daniel tidak berhenti. Pada 2021, ia menjadi anggota Kawali (Koalisi Indonesia Lestari), LSM lingkungan yang berdomisili di Jepara. Bersama Kawali, Daniel mengorganisir warga membersihkan pantai-pantai yang tercemar, berdemonstrasi, beraudiensi dengan para pemegang kebijakan. Mereka pun mendesak Pemkab Jepara mengesahkan Raperda RTRW 2023-2043, yang melarang tambak udang ilegal. Kampanye dilakukan pula di media daring dengan menyebarkan tagar #SaveKarimunjawa. Perlawanan Daniel dan kawan-kawan pun semakin menguat dengan terbentuknya Lingkar Juang Karimunjawa.

Pencemaran lingkungan Karimunjawa pun mendapat perhatian media massa nasional. Pada 22 Oktober 2022, Metro TV dan Detik.com meliput mengenai limbah tambak udang di Pantai Cemara. Kerusakan alam Karimunjawa pun menjadi satu cerita dalam film dokumenter Angin Timur, garapan Dandhy Laksono.

Akhirnya, pada Maret 2023, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menegur Pemkab Jepara untuk segera menutup tambak udang ilegal. Per 4 Mei 2023, DPRD Jepara mengesahkan Perda RTRW 2023-2043. Pada Oktober-November 2023, tim gabungan dari lembaga-lembaga pemerintah, mengimbau para petambak untuk menghentikan operasi tambaknya. Pada 20 Maret 2024, mereka menetapkan empat tersangka petambak udang yang menyebabkan pencemaran di Karimunjawa.

Beriringan dengan penguatan isu #SaveKarimunjawa, Daniel menggunakan akun Facebook-nya mengajak masyarakat menyelamatkan Karimunjawa. Pada 12 November 2022, ia mengunggah video berdurasi 6.03 menit yang diambil dengan gawai miliknya. Video tersebut disertai dengan caption dan suara yang memperlihatkan limbah di Pantai Cemara.

Postingan Daniel mengundang 42 reaksi, 44 komentar dan dibagikan oleh dua pengguna akun Facebook lain. Di kolom komentar, Daniel dan pengguna akun lain saling berbalas komentar.

Saling berbalas komentar tersebut berbuntut panjang. Per 26 November 2022, di perjalanan pulang dari Jepara menuju Karimunjawa, sekelompok orang menghadang, mengintimidasi dan memiting Daniel dengan alasan telah menghina masyarakat Karimunjawa.

Pada 3 April 2023, Daniel menerima surat panggilan dari Polres Jepara dengan dugaan pelanggaran pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Ternyata, ia telah diadukan oleh Ketua PMKB (Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu) Ridwan berkaitan dengan komentarnya di Facebook di atas. Komentar yang dipersoalkan, yaitu:

“Masyarakat otak udang menikmati makan gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak, dan teratur untuk dipangan”.

dan,

“Masyarakat yang menikmati tambak seperti udang gratis, masjid, mushalla, lapangan volley dibangun duit petambak, itu persis kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan. Mereka ga sadar sumber pencaharian dan diri mereka sendiri sedang dipangan. Deloki akibatnya ga lama lagi”.

Sebenarnya, setelah ditetapkan tersangka, terdapat dua kali mediasi dengan pelapor. Di salah satu kesempatan mediasi Daniel meminta maaf dengan komentarnya karena hanya bermaksud mengajak masyarakat untuk menyadari persoalan pencemaran lingkungan. Pelapor pun bersedia mencabut laporannya. Namun, hasil mediasi tersebut dibatalkan sepihak di kemudian hari. Persidangan pun bergulir. Setelah melewati sebelas kali persidangan, Daniel divonis bersalah. Dan, banding dikabulkan.

Bagi Daniel, Karimunjawa bukan sekadar objek wisata dengan keindahan terumbu karang, biota laut, air laut yang jernih dengan hamparan pasir putih nan halus. Tidak sekadar kenikmatan menyaksikan matahari terbit di pagi hari, terbenam di sore hari dan melihat berbagai jenis ikan laut dengan snorkeling. Tapi, Karimunjawa adalah sumber kehidupan.

Daniel berharap kasasi JPU di MA menguatkan putusan banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Ia ingin segera bertemu dengan anak didik dan kawan-kawannya di Karimunjawa. Bagi Daniel, alam, budaya, dan pendidikan adalah renjana. Ketiganya saling berkaitan; saling berkelindan. Pendidikan merupakan pondasi penting untuk melestarikan kebudayaan. Namun tidak ada budaya tanpa kelestarian alam.[]

Penulis

PBHI Nasional