Selamat pagi kawan-kawan BWI yang saya cintai! Salam perjuangan!
Perkenalkan, nama saya Sabri Bin Umar, buruh migran Indonesia dari Bone Sulawesi Selatan. Umur saya 30 tahun. Saya menempuh perjalanan 6.500 kilometer untuk hadir di sini[2], bertemu dengan anda semua. Melelahkan, tapi saya bahagia dan bersyukur.
Saya masuk ke Tawau, Sabah, Malaysia ketika lulus sekolah dasar. Orang tua saya sudah lebih dulu menjadi buruh migran di Malaysia. Saya tidak melanjutkan pendidikan karena orang tua kami tak punya uang dan anak-anak buruh migran di Tawau kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.
Menginjak usia 17 tahun, saya mulai bekerja. Saya berpindah-pindah bekerja di berbagai tempat dan akhirnya bekerja di sebuah perusahaan kayu di Tawau, Sabah, milik pengusaha Taiwan. Kami, buruh di Tawau tinggal di mess yang sempit dan tidak layak. Di perusahaan ini, keselamatan dan kesehatan kerja tidak mendapatkan perhatian yang layak, kondisi kerjanya buruk.
Ketika pandemi Covid menyerang pada 2020, semua terkena dampak. Operasional perusahaan terganggu, produksi menurun, kami tidak bekerja. Perusahaan, tentu saja tidak mau membayar upah kami. Padahal, Kerajaan Malaysia telah menyatakan bahwa upah dan hak pekerja tetap harus dibayarkan. Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya kondisi kami selama pandemi Covid.
Kami, buruh migran yang bergabung dalam Kesatuan Pekerja Industri kayu Sabah atau Sabah Timber Industry Employees Union (STIEU)[3] mengajukan tuntutan agar perusahaan membayar upah kami selama Covid. Saya termasuk buruh yang aktif menggalang petisi dan melaporkan kasus ini ke Jawatan Tenaga Kerja di Tawau. Usaha kami berhasil, Jawatan Tenaga Kerja Tawau menyatakan perusahaan wajib membayar upah kami selama Covid. Semua buruh bergembira, termasuk mereka yang bukan anggota STUEU. Kami tahu, mereka yang tidak bergabung dengan kesatuan pekerja seringkali memusuhi kami. Mereka tidak mau bergabung dengan kesatuan pekerja dan lebih sering menyokong perusahaan.[4] Tapi ketika kami berhasil, mereka ikut menikmati.
Setelah kami menang, perusahaan marah. Perusahaan mencari tahu, siapa saja buruh yang menyokong tuntutan upah. Akhirnya, perusahaan menemukan daftar 36 buruh yang ikut menyokong tuntutan. Nama saya ada di sana. Saya tahu, sejak saat itu saya menjadi target perusahaan.
Pada April 2022, saya dipecat dari perusahaan tanpa alasan yang jelas. Kemudian, saya dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan seksual kepada seorang gadis di bawah umur. Gadis itu adalah anak pekerja di perusahaan, teman saya di perusahaan. Ibunya, melaporkan saya ke polisi. Setelah itu, saya ditangkap dan dibawa ke kantor polisi seperti penjahat besar. Saya ditangkap di depan istri dan anak saya yang masih bayi. Saya ditahan di kantor polisi.
Polisi tidak bisa membuktikan bahwa saya melakukan kekerasan seksual. Tapi, dengan seketika polisi mengubah tuduhan. Saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya buruh migran tidak berdokumen. Polisi mengatakan kalau saya tidak mengakui, saya akan dipenjara 20 tahun. Saya benar-benar ketakutan. Tanpa bantuan pengacara dan kesatuan pekerja, polisi memasukkan saya ke dalam penjara. Saya dipenjara selama 2 bulan. Penjara itu pengap, gelap, dan penuh dengan buruh migran yang ditahan. Saya benar-benar merasakan penderitaan yang kejam.
Pengadilan memutuskan saya bersalah dan saya dihukum dengan hukuman cambuk. Pada hari eksekusi, saya dihadapkan dengan algojo bertopeng. Badannya kekar dan dua kali lebih besar dari badan saya. Saya benar-benar ketakutan. Saya berpikir, saya akan mati hari itu. Di sebuah ruangan, algojo itu mencambuk saya lima kali dengan rotan besar. Pada cambukan kelima, saya tidak kuat menahan sakit dan pingsan. Sejak saat itu, saya mengalami trauma. Trauma yang sangat menyiksa saya.[5]
Saya berterima kasih kepada STIEU dan BWI yang telah membantu saya selama saya ditangkap dan dipenjara. Mereka membantu saya dengan menyediakan pengacara untuk membela saya, berkampanye, mengirimkan surat protes ke Kerajaan Malaysia dan Kedutaan Besar Indonesia. BWI dan STIEU juga mengumpulkan uang untuk membantu istri saya. Selama saya di penjara, istri saya mengalami tekanan luar biasa. Beruntung, STIEU menemani istri dan anak saya yang masih bayi.
Akhirnya, setelah dua bulan, saya bebas dari penjara. Saya tidak diijinkan tinggal di Malaysia. Saya harus kembali ke Indonesia. Saya, istri, dan anak saya yang masih kecil terusir dari Malaysia. Hingga setahun saya tinggal di kampung di Indonesia, saya masih mengalami trauma dan tidak mau bertemu dengan siapapun. Akhirnya, STIEU dan BWI datang ke kampung saya untuk meyakinkan saya agar tetap berjuang.[6]
Dengan pendampingan dari STIEU dan pengacara di Sabah, saya mengajukan 2 gugatan. Saya harus pergi ke Jakarta untuk mengurus semua dokumen. Mengunjungi kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, pergi ke rumah sakit Kepolisian di Jakarta untuk memeriksa kesehatan, dan mengurus semua dokumen penting. Itu sangat melelahkan.
Pada 29 Juli 2024, saya telah meyelesaikan persidangan terakhir di Mahkamah Tinggi Sabah melalui persidangan online. Saya menggugat Kerajaan Malaysia untuk membayar kompensasi atas salah tangkap dan perlakuan polisi yang kejam sebesar 10 juta Ringgit Malaysia. Saya juga menggugat perusahaan melalui Pengadilan Industrial di Tawau agar mereka mempekerjakan saya kembali. Persidangan terakhir di Pengadilan Industrial telah selesai pada 9 September 2024.
Terakhir, melalui testimoni ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar BWI dan STIEU serta afiliasinya yang telah mendukung saya. Terima kasih juga secara khusus kepada Brother Peo, Presiden BWI, Brother Ambet Sekretaris Jenderal BWI, Brother Dong di Kuala Lumpur, Brother Martin dan Sister Engrit Kesatuan STIEU.
Saya berharap, perjuangan ini menjadi bagian penting dari upaya BWI untuk membantu dan membela pekerja migran. SAYA TIDAK AKAN PERNAH LELAH BERJUANG UNTUK BURUH MIGRAN DAN HAK ASASI MANUSIA!
Selamat pagi dan terima kasih.
Salam saya, Sabri Bin Umar, Istri saya Santi, dan 2 anak saya Rayhan dan Salsa. Mohon doa restu untuk istri saya yang akan melahirkan anak ketiga kami pada November 2024.
Catatan Kaki
[1] Testimoni ini dibacakan Sabri bin Umar di hadapan peserta Konferensi Regional Building & Wood workers’ International Global Union Regional Asia Pasifik pada 12 September 2024. Sabri bin Umar adalah buruh migran dari Indonesia yang bekerja di perusahaan pengolahan kayu di Tawau, Sabah, Malaysia.
[2] Sabri berangkat ke Malaysia melalui penerbangan dari Makassar-Jakarta-Kuala Lumpur, menempuh jarak sekitar 6.500 km dengan kekhawatiran akan menghadapi masalah di Imigrasi Malaysia.
[3] Di Malaysia, serikat pekerja dikenal dengan sebutan kesaatuan, kata Syarikat justru digunakan untuk menyebutkan perusahaan/company.
[4] Pekerja migran di Malaysia mengalami kesulitan luar biasa untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja. Seperti di berbagai tempat, perusahaan mendukung pembentukan serikat pekerja tingkat perusahaan yanag dikenal sebagai “in house union” atau serikat dalaman. Di Indonesia dikenal sebagai SPTP (Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan).
[5] Terkait dengan hukuman cambuk tersebut, BWI menggalang petisi untuk memprotes pemerintah Malaysia. Baca beritanya di sini: https://www.bwint.org/es_ES/cms/malaysia-trade-unions-condemn-whipping-of-migrant-worker-2685
[6] Silakan baca berikt terkaiat pembebasan Sabri bin Umar dan peluang untuk melakukan gugatan balik: https://www.bwint.org/cms/malaysia-whipped-migrant-worker-acquitted-unions-mull-reparation-2690