DKI Jakarta – Dalam rangka mengkritik kebijakan politik upah murah, Komite Hidup Layak merilis laporan penelitiannya tentang ‘Ekonomi Utang Rumah Tangga Kelas Buruh’ pada Konferensi Pers yang digelar di Gedung YLBHI Jakarta–Rabu, 23 Oktober 2024. Penelitian tersebut merupakan pendalaman atas temuan survei ‘Pengeluaran dan Pendapatan Rumah Tangga Buruh’ pada akhir 2023. Selain memperpanjang jam kerja dan mengurangi konsumsi, cara lain keluarga buruh bertahan hidup di tengah rezim upah murah dan liberalisasi layanan publik adalah dengan berhutang.
Berangkat dari temuan tersebut, pada Agustus-September 2024 Komite Hidup Layak memfokuskan penelitiannya pada ‘Utang Rumah Tangga Kelas Buruh’.
Temuannya, tren berutang keluarga buruh bukan sekadar cara bertahan hidup akibat upah murah, tapi juga didorong oleh upaya lembaga layanan keuangan mengeruk untung dari upah buruh melalui industri keuangan. Keluarga buruh bukan hanya terjebak, tapi dijebak dan dijebloskan ke sistem ekonomi utang-piutang. Hal ini yang menyebabkan buruh hidup dalam lingkaran utang yang tak ada habisnya. Berdasarkan kajian tersebut, Komite Hidup Layak menuntut kenaikan upah 2025 berdasarkan konsep hidup layak, memberikan subsidi pendidikan, kesehatan, dan BBM serta menurunkan harga sembako. Dalam jangka panjang, Komite Hidup Layak menuntut agar perhitungan upah minimum dengan merujuk pada kebutuhan hidup layak buruh berkeluarga, menyertakan biaya kemahalan akibat gejolak kenaikan harga secara mendadak dan bersifat nasional .
***
Setelah melucuti peran survei dan negosiasi serikat buruh di Dewan Pengupahan melalui PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, penentuan kenaikan upah minimum praktis berubah. Kenaikan upah minimum yang sebelumnya merujuk pada hasil survei pasar, kemudian ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Melalui PP tersebut rata-rata kenaikan upah pada rentang 2017-2020 tidak lebih dari 9 persen.
Kebijakan pengupahan makin buruk setelah disahkannya UU Cipta Kerja pada 2021. Melalui PP 36 tahun 2021, formula kenaikan upah makin diperumit dengan munculnya variabel-variabel tambahan untuk membatasi kenaikan upah. Terakhir, melalui PP 51 tahun 2023 kenaikan upah tidak hanya mempertimbangkan faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, menambahkan faktor indeks tertentu dalam formulasi penetapan upah. Bahkan melalui Permenaker 18 tahun 2022, kenaikan upah dibatasi, tidak boleh lebih dari 10 persen. Alhasil, kenaikan upah selalu tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup yang terus meningkat setiap tahunnya.
Survei pengeluaran dan pendapatan rumah tangga buruh yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak pada 2023 memperlihatkan bahwa pengeluaran rumah tangga buruh untuk jenis makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan, sementara rata-rata pendapatan rumah tangga buruh hanya sebesar Rp3.240.696,00 per bulan. Survei tersebut juga memperlihatkan beberapa strategi buruh bertahan hidup dari kekurangan pendapatannya. Yaitu dengan cara mengurangi konsumsi, menambah jam kerja, memobilisasi anggota rumah tangga untuk bekerja, berutang hingga menjual aset berharga.
Di tengah ‘jungkir balik’ keluarga buruh bertahan hidup dengan upah murah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan piutang pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater oleh perusahaan pembiayaan per agustus 2024 yang mencapai Rp7,99 triliun. Angka tersebut meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar 89,20% apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya (Bisnis.com, 04/10/2024). Rilis OJK tersebut mengindikasikan bahwa selain upah murah, akses terhadap utang juga makin dipermudah dengan hadirnya skema pembiayaan ‘beli sekarang bayar nanti’, dalam konsep perbankan dikenal dengan Kredit Tanpa Agunan (KTA).
Berangkat dari fenomena utang tersebut Komite Hidup layak pada Agustus-September 2024 melakukan penelitian mendalam tentang utang rumah tangga kelas buruh.
“Penelitian ini ingin menunjukkan, bahwa tren berutang keluarga buruh bukan sekadar cara bertahan hidup akibat upah murah, tapi juga upaya lembaga-lembaga keuangan mengeruk untung dari upah buruh melalui industri keuangan,” ucap Juru Bicara Komite Hidup Layak, Kokom Komalawati dalam keterangan persnya.
Penelitian dilakukan di 6 (enam) sektor industri (Manufaktur, Ekonomi Gig, Penerbangan, Pertambangan, Perkebunan dan Perikanan) yang tersebar di delapan kota dan kabupaten di 6 (enam) provinsi: Kota Serang, Kabupaten dan Kota Tangerang (Banten); Kota dan kabupaten Sukabumi (Jawa Barat); Kabupaten Brebes dan Jepara (Jawa Tengah); Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur); Kota Denpasar (Kepulauan Bali); Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat) dan Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah).
Dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) yang mengintegrasikan metode kuantitatif dan kualitatif, penelitian ini mewawancarai sebanyak 257 buruh sebagai narasumber penelitian. Dengan rata-rata usia narasumber 32 tahun dan memiliki tanggungan antara 3-4 orang. Sebanyak 64 orang atau 25 persen dari total narasumber tersebut berjenis kelamin perempuan. Terkait masa kerja, dari total 257 narasumber, sebagian besar memiliki rentang masa kerja 1-6 tahun (146 orang).
Buruh Berutang untuk bertahan hidup, bukan gaya hidup!
Penelitian ini menemukan sebanyak 200 orang atau 76 persen dari total 257 narasumber di enam sektor industri memiliki utang antara Rp7.000.000 hingga Rp200.000.000. Sementara untuk frekuensi rumah tangga buruh berutang merentang dari per minggu, per bulanan, per triwulan hingga per semester.
“Frekuensi berutang yang pendek mencerminkan upah murah, yang berdampak pada rumah tangga buruh mengalami defisit keuangan, untuk membiayai kebutuhan yang bersifat harian, seperti makanan dan kebutuhan nonmakanan, misalnya biaya pendidikan, tempat tinggal, dan sarana yang mendukung pekerjaannya,” Jelas Catur Widi Asmoro dari Komite Hidup Layak.
Catur menambahkan, alasan buruh berhutang di antaranya: berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dengan frekuensi pilihan sebanyak 143 alasan, berutang untuk pembelian alat kerja (65 alasan), membiayai pendidikan anak (54 alasan), dan berutang untuk biaya sosial seperti khitanan, pernikahan, kematian dan perayaan hari keagamaan (28 alasan), tempat tinggal (25 alasan), biaya kesehatan (21 alasan), usaha (16 alasan), transfer rumah tangga atau mengirimkan uang untuk keluarga di kampung (8 alasan), membayar utang (5 alasan).
“Meski bekerja setiap hari, ojol belum tentu dapat uang, padahal kebutuhan makan, anak sekolah, bahkan untuk kerja-ngebid membutuhkan bensin dan pulsa, situasi itu mau tidak mau kami harus berutang ke pinjol,” jelas Baron Bestari dari Serikat Angkutan Roda Dua (Serdadu) yang kesehariannya bekerja sebagai Ojol di Kota Serang.
Baron menambahkan, ojol berutang bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari tapi juga untuk mendukung pekerjaannya. Artinya, pengalihan tanggung perusahaan untuk menyediakan sarana kerja telah menyeret buruh ojol dalam sistem utang-piutang.
“Bagi ojol sepeda motor adalah bagian yang melekat di tubuh kami, sebagai penunjang utama pekerjaan kami, rata-rata ojol mengganti kendaraannya setiap dua tahun sekali dan itu didapatkan dengan cara kredit,” tambah Reni Sondari, Ojol perempuan Sukabumi.
Sugianto, buruh yang bekerja di pabrik sepatu dan salah satu tim survei pada sektor manufaktur di Jawa Tengah menyebutkan, “Rata-rata buruh di industri baru seperti wilayah Jawa Tengah memiliki tanggungan cicilan sepeda motor, karena tempat tinggal dengan pabrik cukup jauh dan tidak ada angkutan umum yang memadai,” ucapnya.
“Jenis utang untuk kebutuhan sehari-hari di antara makanan dan nonmakanan itu bukan berarti buruh konsumtif, suka berfoya-foya apalagi tidak pandai mengatur keuangan. Karena yang dibeli oleh buruh adalah jenis barang yang dapat menunjang pekerjaannya, seperti sepeda motor untuk keperluan bekerja, memperbaiki tempat tinggal agar buruh dapat beristirahat,” tambah Kokom Komalawati yang terlibat dalam survei di Tangerang.
Menurut Kokom, berutang untuk membeli kendaraan bermotor merupakan jenis pengeluaran atau konsumsi reproduktif. Alasannya, pertama, tidak semua tempat kerja menyediakan fasilitas antar jemput atau malah mengkonversikannya menjadi uang transportasi yang masuk dalam komponen tunjangan tidak tetap. Kedua, kegagalan pemerintah menyediakan transportasi publik yang layak mendorong kredit kendaraan sepeda motor menjadi tinggi. Ketiga, pembelian kendaraan bermotor dipengaruhi oleh karakteristik sektor industri. Pada kasus industri ekonomi gig, khususnya buruh-ojol, hanya bisa bekerja jika memiliki sepeda motor atau mobil sendiri. Ketiga argumen tersebut menyatakan bahwa kebutuhan reproduktif merupakan jenis pengeluaran rumah tangga agar bisa bekerja kembali, sekaligus mereproduksi tenaga kerja baru.
Pada kasus pengeluaran untuk biaya pendidikan anak misalnya, konsep reproduksi mengatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari jenis kerja reproduksi untuk mempersiapkan buruh baru masuk dalam pasar kerja. Prinsip yang sama juga berlaku bagi pengeluaran untuk biaya kesehatan.
Begitupun dengan biaya pengeluaran untuk hari raya keagamaan dan sosial lainnya, jenis pembiayaan ini tidak pernah dihitung sebagai bagian dari komponen kebijakan pengupahan di Indonesia. Padahal, kegiatan ini melekat dalam keseharian semua orang untuk keberlangsungan manusia.
Pada buruh perikanan tangkap, Awak Kapal Penangkapan (AKP) memiliki pola utang sebelum bekerja atau ketika menunggu kapal untuk berlayar. Total utang rata-rata AKP sebesar Rp20.000.000.
“Utang ini didapatkan sebelum mereka berangkat berlayar, sebelum berangkat mereka selalu mendapatkan kasbon berupa 5 juta, untuk apa, agar mereka semangat bekerja, di atas kapal mereka juga dijerat utang kebutuhan sehari-hari seperti rokok, makanan dan lain-lain,” jelas Miftahul Choir dari DFW (Destructive Fishing Watch) Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi di buruh kebun sawit, terutama bagi buruh yang didatangkan dari luar wilayah. “Di perkebunan sawit Kalimantan, banyak buruh yang didatangkan dari NTT, biasanya sebelum bekerja untuk hidup sehari-hari mereka berutang kepada mandor yang mendatangkan mereka terutama untuk kebutuhan harian sampai mereka menerima upah,” tambah Syiqil dari Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS).
Bukan Sekadar Pinjol Legal dan Ilegal, Negara Memfasilitasi Pemiskinan terhadap Buruh
Frekuensi berutang dengan waktu yang singkat menjelaskan bahwa upah yang diterima setiap minggu atau bulannya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga buruh. Kebutuhan akan uang tunai membuat buruh bergantung pada ekonomi uang. Uang yang awalnya hanya sebagai alat pembayaran dan pengukur nilai, mengalami perubahan fungsi menjadi modal untuk melipatgandakan uang melalui mekanisme utang oleh industri layanan keuangan.
Dalam penelitian ini total industri layanan keuangan yang memfasilitasi utang sebanyak 53 perusahaan yang terbagi dalam 3 kategori perusahaan, yakni, Perbankan, Pinjaman Online (Pinjol), dan terakhir Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Temuan dalam penelitian ini, sektor industri mempengaruhi jenis lembaga layanan keuangan sebagai pasarnya. Hal ini terlihat dari perusahaan dan layanan yang banyak diakses dari masing-masing sektor berbeda-beda. Sektor manufaktur tiga tertinggi adalah Bank umum, Pinjaman keluarga, dan Pinjol; Sektor Perkebunan didominasi oleh Bank Umum, Warung Tradisional dan Rentenir Perorangan; Sektor Ekonomi Gig, urutan tertinggi Pinjol, Leasing dan Bank umum; Sektor Pertambangan pasar utangnya dikuasai Bank Umum, Pinjaman Saudara dan Pinjol; Sektor Penerbangan tertinggi Koperasi, Bank Umum, Leasing; terakhir Sektor Perikanan utang tertinggi pada Pinjaman Keluarga dan Agen Pemberi Kerja.
Untuk jenis layanan perbankan, perusahaan layanan yang banyak diakses oleh narasumber adalah Bank Mandiri, BRI BTN dan Bank BPR. Sementara itu untuk layanan keuangan berbasis pinjaman online, yang paling banyak diakses oleh narasumber adalah Shopee, Julo dan Akulaku. Kemudian, layanan keuangan berbasis Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang paling banyak diakses oleh narasumber adalah Sehati, Parodana dan Koperasi Serikat Buruh.
Secara keseluruhan kategori layanan keuangan, urutan pertama paling banyak diakses oleh narasumber adalah Bank Mandiri, Kedua Bank BRI, pada urutan ketiga dan keempat adalah Shopee dan Julo sebagai layanan P2P atau pinjaman online.
Sebagian besar narasumber mengatakan bahwa layanan keuangan tersebut diperkenalkan oleh teman atau saudara (183 jawaban), lalu diikuti oleh tempat kerja (51 jawaban), sosial media (35 jawaban), Serikat Buruh (7 jawaban). Analisis terhadap siapa yang mengenalkan layanan keuangan tersebut menunjukkan bahwa strategi industri keuangan cukup agresif dengan biaya yang minim.
Jerat utang dan penghancuran relasi sosial
Dari 200 orang narasumber di 6 sektor, rata-rata memiliki utang sebesar Rp19.500.000 dengan cicilan utang sebesar Rp1.658.334 per bulan. Jika dibandingkan dengan upah rata-rata per bulan dari narasumber yang memiiki utang, yakni dengan nilai median upah Rp.3.400.000 per bulan, maka sekitar 51,2 persen upah atau pendapatan buruh habis untuk membayar utang setiap bulannya. Sementara itu konsumsi rumah tangga setiap bulannya mencapai Rp5.420.000. Artinya, setiap bulan narasumber selalu mengalami defisit sekitar 34,4 persen atau setara dengan Rp1.920.000. Kekurangan pendapatan ini akan semakin besar jika cicilan utang menjadi prioritas utama rumah tangga buruh. Kondisi ini mencerminkan rumah tangga buruh dikontrol penuh oleh lembaga atau layanan keuangan untuk keberlangsungan hidup.
Lalu bagaimana buruh membayar utang? Dari pilihan strategi untuk melunasi utang yang ditanyakan kepada narasumber, tiga cara terbanyak yang dipilih narasumber yaitu: Pertama, menambah jam kerja (41,9%), Kedua, mengurangi konsumsi (24,9%), ketiga berhutang kembali (21,4%), dan keempat diikuti oleh pelepasan aset berharga (10,3%).
Dampak ekstrim yang paling mengerikan ketika buruh terlilit utang, dari temuan penelitian ini mengorbankan diri sebagaimana beberapa narasumber yang diwawancarai Kokom, “Ada beberapa orang yang saya temui saking frustasinya tidak bisa bayar utang sampai berkeinginan untuk bunuh diri, bahkan ada juga yang terpaksa harus open BO agar bisa membayar utang”.
Dari arah yang lain, selain mencerminkan konsentrasi kapital, utang juga menjelaskan penghancuran sistem sosial. Sebelum utang ke lembaga keuangan dipermudah, pinjam meminjam uang melalui saudara atau tetangga, sekarang orang lebih baik pinjam ke layanan pinjol. Secara tidak langsung sistem sosial yang sudah ada sebelumnya menjadi hancur oleh lembaga keuangan dan hadirnya ritel di kampung-kampung. Pada kasus buruh, mekanisme penghancuran sosialnya ada di serikat buruh karena tingkat partisipasi berorganisasi berkurang.
“Sekarang banyak buruh yang lebih memilih lembur ketimbang ikut dalam kegiatan serikat, karena selain upahnya murah, sebagian dari mereka mengejar setoran untuk membayar cicilan utang,” ucap ketua F-Progresif – SGBN Tangerang Ujang Kurniawan
Finansialisasi tiada henti: ceruk laba industri riba
Liberalisasi sistem keuangan di Indonesia sudah berlangsung sejak 1978 melalui Keputusan November (Knop 15) dan Paket Oktober (Pakto 88). Jika Knop 15 mengubah sistem nilai tukar, Pakto 88 memberikan kemudahan kalangan swasta mendirikan bank. Bahkan, bank-bank tersebut dapat berperan selayaknya bank milik negara yang dapat membuka cabang di berbagai daerah. Parahnya lagi, lembaga ekonomi yang memiliki prinsip ‘dari kita untuk kita’ atau koperasi pada praktiknya mengikuti kelakuan bisnis riba ala bank konvensional.
Sejak Bank Dunia mendorong semua orang melek finansial, di kampung-kampung banyak orang jadi nasabah atau terhubung dengan lembaga keuangan seperti bank. Perkembangan industri finansial ini juga memiliki relevansi dengan tuntutan Dinas Kependudukan untuk memiliki data yang kompeten sehingga akses terhadap utang lebih mudah, bahkan meredefinisi bentuk agunan kredit, sehingga muncul layanan-layanan finansial berupa kredit tanpa agunan (KTA) alias hanya dengan menyetor data diri saja. Hal ini dimungkinkan ketika pencanggihan untuk penguasaan data-data pribadi. Artinya, kita dihadapkan dengan perkembangan kapital finansial yang terus menggerogoti dan mengeksploitasi kelas buruh.
Hasil penelitian ini menunjukkan frekuensi jaminan utang yang diberikan narasumber saat mengakses utang sebagian berupa data pribadi (144 jawaban) yang didominasi pada layanan keuangan Pinjol. Kemudian jaminan surat berharga (56 jawaban) untuk layanan keuangan Bank Umum. Tidak ada jaminan (40 jawaban) karena meminjam ke keluarga. Selanjutnya jaminan kartu ATM, buku tabungan dan kartu BPJS (31 jawaban) layanan Rentenir. Terakhir jaminan teman atau kerabat (20 jawaban) yang familiar dengan bank emok atau layanan utang yang hanya dapat diakses oleh komunitas, sehingga jika salah satu anggota komunitas tersebut tidak membayar, maka temannyalah yang akan menanggungnya.
“Dulu orang pinjam uang di bank mesti ada agunan seperti surat berharga, sekarang melalui pinjol hanya cukup setor foto selfie dan menyetor data diri saja, sehingga orang berutang sangat mudah,” ucap Baron.
“Pengalaman saya kalo utang di pinjol belum lunas sudah ditawarkan lagi untuk berutang, jadi kalau kita tidak hati-hati bisa kejebak,” tambah Reni yang menjelaskan layanan keuangan seperti pinjol sangat agresif dalam menjebak mangsanya.
***
Situasi di atas memperlihatkan kehidupan buruh tidak hanya dikontrol oleh tempat kerja tapi juga oleh industri keuangan. Bahkan industri utang atau pembiayaan dikatakan berhasil jika berhasil menjebak orang atau institusi sosial bergantung pada utang hingga kehilangan otonominya dalam jangka waktu yang panjang. Akibatnya, ketika rumah tangga buruh terjebak dalam lingkaran utang, berdampak pada tergerusnya relasi sosial dan bahkan dalam konteks berserikat menurunkan tingkat partisipasi buruh untuk berserikat dan berkolektif. Jika serikat buruh dan organisasi rakyat dalam posisi yang lemah di hadapan pengusaha dan negara, maka cukup sulit kesejahteraan akan diraih kelas buruh. Oleh karena itu, perlu kiranya serikat buruh mulai melihat bahwa persoalan utang rumah tangga buruh adalah persoalan struktural laiknya memperjuangkan upah, jaminan sosial dan lainnya. Sebab industri utang memiliki daya kuasa dan daya rusak tatanan sosial.
Pada konteks yang lebih luas, dimana kondisi perekonomian negara diukur dari seberapa besar PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara, namun, jika konsumsi rumah tangganya ditopang oleh utang, artinya utang rumah tangga kelas buruh tersebut akan mengondisikan buruh untuk bekerja dengan lebih banyak. Singkatnya, apapun jenis dan sektor pekerjaannya, karena harus menutupi utangnya, kelas buruh akan terus dipaksa bekerja lebih panjang.
Dengan demikian, sudah selayaknya hajat hidup publik menjadi agenda prioritas pemerintah Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan rumah tangga buruh. Melimpahkan urusan publik ke dalam pengaturan mekanisme pasar merupakan proses pemiskinan struktural. Hal ini menunjukan bahwa negara kabur dari pemenuhan tanggung jawab konstitusi terhadap warga negaranya.
Oleh karena itu, Komite Hidup Layak mendesak pemerintah Indonesia untuk: Pertama, segera membuat formulasi kebijakan upah minimum yang berlaku secara nasional, dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan tanggungan rumah tangga buruh. Kedua, pemerintah harus melakukan pengendalian harga pada jenis-jenis pengeluaran makan dan nonmakanan, seperti harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, air, dan Sembako, serta barang-barang urusan publik lainnya. Ketiga, Pemerintah Indonesia harus memberikan akses jaminan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, perlunya memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah. Keempat, pemerintah Indonesia wajib menyediakan pendidikan murah dan berkualitas dengan memastikan jumlah sekolah yang merata serta menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Kelima, pemerintah wajib menyediakan pasar murah di daerah pemukiman buruh sebagai bentuk pengendalian inflasi di tingkat daerah, dengan bekerja sama Kementerian terkait. Keenam, untuk mengurangi pengeluaran penitipan anak, pemerintah harus membuat regulasi yang mewajibkan pengadaan daycare di setiap kawasan atau pabrik. Ketujuh, hentikan praktik pemecatan sewenang-wenang, termasuk suspend dan pemecatan (putus mitra) perusahaan aplikator kepada pengemudi ojol. Kedelapan, negara harus menjamin pendapatan, kesehatan dan jaminan sosial kepada driver ojol terutama yang roda dua. Negara harus menjamin perlindungan kerja dan upah driver ojol sesuai standar perburuhan internasional (ILO).
Penulis
-
Komite Hidup Layak
-