Aksi massa 22 Agustus diramaikan dengan tagar #DaruratDemokrasi #KawalPutusanMK #ReformasiDihabisi di media sosial. Tagar tersebut disertai poster berlatar biru tua bertuliskan ‘PERINGATAN DARURAT’ beserta logo burung garuda kuning memudar di bawahnya.
Tagar tersebut merupakan buntut rencana badan legislasi DPR RI yang mengabaikan Putusan MK. Untuk sebagian pengamat politik dan ahli hukum tindakan DPR RI tersebut merupakan bentuk pembangkangan konstitusi. Menurut mereka tindakan tersebut menabrak tatanan konstitusional dan merobohkan prinsip checks and balances. Ringkasnya, mengobrak-abrik tatanan hukum. Analisis isi RUU yang diajukan DPR RI sudah banyak diulas. Tulisan ini akan memaknai aksi massa merespons tindakan DPR RI tersebut dari pandangan alumni siswa sekolah kejuruan–dulu namanya STM.
***
Bermula dari bertebarannya poster di media sosial, terutama di platform X. Di media sosial itu pula permasalahan dan pandangan diungkapkan. Intinya, DPR RI sedang merancang undang-undang problematik berkenaan dengan Pilkada. Isu tersebut berkembang dengan cepat dan meluas dalam hitungan dua hari. Menurut saya, isu tersebut dengan cepat terserap di kalangan anak-anak muda terutama pengguna media sosial X. Hal ini memperlihatkan bahwa Gen Z bukan generasi manja-apolitis.
Tak berselang lama, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) membuat event konsolidasi virtual melalui Space X berkenaan dengan tagar di tas. Sekitar 560 ribu orang terlibat dalam konsolidasi virtual. Sepertinya para pengguna media sosial X, yang didominasi Gen Z, penasaran dengan isu yang akan dibicarakan. Walaupun partisipasi dalam diskusi online tidak menjadi ukuran bahwa semua orang akan terlibat dalam aksi di jalanan pada keesokan harinya. Selain konsolidasi melalui media sosial, konsolidasi-konsolidasi secara offline pun dilakukan di berbagai tempat.
Enam tahun terakhir aksi massa berskala nasional yang melibatkan ribuan orang dan dilaksanakan di berbagai kota hanya terhitung dengan jari, seperti RUU KUHP dan RUU Cipta Kerja. Respons terhadap RUU Pilkada merupakan salah satu rangkaian aksi yang melibatkan ribuan orang di berbagai kota.
Siang yang Menghangatkan Amarah
Dalam waktu yang singkat RUU Pilkada diterima banyak kalangan, yang didefinisikan: problematik! Para pengguna media sosial dari influencer centang biru hingga siswa sekolah menengah pertama turut membincangkan dan menyebarkan RUU tersebut. Tak berselang lama, seruan aksi di beberapa titik di Indonesia Jakarta, Jogja, Semarang, Bandung, Makassar dan kota-kota lainnya dikeluarkan.
Di Jakarta, aksi menolak RUU problematik dipusatkan di depan Gedung DPR RI. Di e-flyer yang tersebar di berbagai grup perpesanan maupun media sosial, tidak disebutkan meeting point untuk keberangkatan aksi massa. Semua serba spontan. Hal ini berbeda dengan aksi-aksi massa rutin, seperti Hari Tani Nasional, Hari Buruh Internasional atau Hari Perempuan Internasional, yang kerap mengatur titik berangkat, waktu hingga dress code massa aksi. Menghadapi aksi massa terencana, apalagi dengan pemberitahuan kepada ke kepolisian, aparat keamanan dipastikan lebih menyiapkan diri. Mereka akan memblokade titik-titik massa aksi.
Peserta aksi massa 22 Agustus 2024 datang dari berbagai usia dan jenis pekerjaan. Mereka datang dari berbagai arah dengan beragam cara. Ada yang datang sendirian, bertiga atau rombongan massa. Semuanya menuju satu titik: DPR RI. Tapi ada pula massa aksi yang datang berkelompok dengan seragam organisasi dan kendaraan tertentu. Kendaraan peserta aksi diparkir tidak jauh dari titik massa.
Massa aksi berdatangan seperti air hujan: kadang deras, kadang hanya tetesan. Mereka bergabung dalam tumpahan peserta aksi massa lain.
Mereka berkumpul di depan Gedung DPR RI sejak pukul 09.00 pagi. Di lokasi tersebut, massa Partai Buruh hadir dengan dua mobil komando. Mereka memarkirkan mobilnya di depan gerbang DPR RI. Dari atas mobil komando, para orator bergantian berorasi. Dari mobil komando itu pula saya menyaksikan para selebritas diberikan panggung untuk berorasi.
Tak berselang lama, mahasiswa dengan jas almamater berdatangan.
Sekitar pukul 10.45 pagi tersebar informasi bahwa rapat paripurna mengenai RUU Pilkada batal digelar. Orasi terus berlangsung.
Sekitar pukul 11 siang, saya melihat beberapa anggota DPR RI menaiki mobil komando dan diberikan kesempatan untuk menyapa massa. Saya bergumam, “Sial!” Tentu saja saya kesal. Saya datang ke lokasi atas nama diri sendiri. Tidak ada hak bagi mereka yang berada di mobil komando memutuskan sepihak sesuatu tanpa berkonsultasi. Mereka tidak punya hak apapun.
Tetiba saya melihat botol air minum dilemparkan ke arah anggota DPR RI. Merespons kemarahan massa, pemegang mobil komando mencoba menenangkan massa dengan setengah marah. Kejadian kecil itu seperti mewakili perasaan kesal saya. “Progresif darimana, yang jelas mereka itu penganut Karl Kaustky,” batin saya.
Karena kejadian pelemparan botol air minum tidak dapat dihentikan oleh ceramah ‘kaum progresif’, polisi turun tangan. Kini saya menyaksikan aparat penjaga kapital bersatu dengan para orator di atas mobil komando yang berusaha meredam kemarahan massa. “Duh, paradoks!”
Akhirnya, anggota DPR RI itu turun dari mobil komando dengan penjagaan dan pengawalan aparat keamanan bertameng. Tapi pelemparan, teriakan bahkan sorakan mengejek terus berlangsung hingga anggota DPR RI meninggalkan kerumunan massa aksi.
Menurut saya, sikap massa aksi yang tidak menerima, apalagi mengizinkan orang tidak dikenal menaiki mobil komando harus diapresiasi. Kemarahan yang tidak pura-pura ditunjukan massa aksi harusnya menjadi refleksi kepada mereka yang mengizinkan para anggota DPR menaiki mokom.
Bukan Sedang Mengeluh kepada Ibu dan Bapak
Menjelang siang hari pukul 13.30, Partai Buruh meninggalkan titik massa aksi. Mereka akan melakukan aksi di depan gedung KPU. Kebanyakan peserta aksi massa bertahan di Gedung DPR RI.
Tidak lama berselang mahasiswa berjas almamater datang membawa mobil komando. Terlihat ada dua mobil komando terparkir. Massa aksi terlihat semakin cair. Saya melihat beberapa peserta aksi menaiki pagar, membentangkan banner tuntutan yang ditulis dengan pilox dan dicetak.
Sekitar pukul 14.21 saya melihat beberapa peserta aksi massa mengekspresikan kemarahannya. Mereka menggoyang-goyangkan hingga roboh pagar sisi barat Gedung DPR RI. Peserta lain membakar ban bekas. Aparat keamanan tidak terlihat di sekitar massa aksi.
Perwakilan massa aksi yang di atas mobil komando berteriak tak ada habisnya. Entah apa yang dikatakan. Massa riuh dengan umpatan dan makian. Beberapa menyebut kata “revolusi”, seperti orang yang sedang zikir. Ketika pagar Gedung DPR RI roboh, ungkapan, “hati-hati provokasi” didengungkan. Kemarahan massa tak terbendung.
Di tengah massa yang riuh itu saya menangkap pesan saling tumpang-tindih. Di satu sisi, orator tak berhenti berorasi seperti menyulut kemarahan. Namun, ketika kemarahan muncul mereka pula yang berusaha menahan massa aksi, bahkan mewanti-wanti agar tidak terprovokasi. Sekilas saya mendapat kesan bahwa para pemimpin ‘progresif’ itu hanya menginginkan massa yang patuh bukan massa yang berani.
Waktu semakin sore. Massa aksi semakin marah. Kini massa aksi meminta para pemimpin yang pandai berteriak dan menyuruh-nyuruh massa diminta turun dari mobil komando. Mereka diminta bersama-sama berada di barisan massa. Tapi, mereka memalingkan badan.
Sekitar pukul 4.44 sore giliran pagar di samping gerbang utama di bawah JPO dirobohkan. Namun, perobohan itu berhasil memancing aparat keamanan bertindak. Aparat keamanan menembakkan gas air mata. Beberapa massa mahasiswa terlihat sempoyongan berlari kecil menutup mata.
Di arah yang lain, rupanya pintu belakang pagar Gerbang Pancasila DPR pun berhasil dirobohkan oleh para massa aksi. Saya mendengar kabar bahwa massa aksi di Gerbang Pancasila mengalami bentrokan. Beberapa di antara peserta aksi ditangkap aparat keamanan. Di arah barat Gerbang Utama polisi bertameng baja dan kendaran lapis baja bermunculan. Aparat keamanan bersiaga ketat.
Sepenglihatan di lapangan beberapa orang menceramahi ekspresi kemarahan massa aksi. Mereka memberikan nasihat tidak berguna: jangan menodai aksi massa dengan perbuatan anarkis. Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang menceramahi massa aksi tersebut. Namun, seperti yang sering kita lihat. Para peserta aksi massa yang mendatangi pusat pemerintahan seperti meminta belas kasihan atau mengeluh kepada orang tua mereka. Mereka sedang mengemis meminta didengarkan suaranya. Kalimat yang sering kita dengar adalah, “Pemerintah telah mati hati nuraninya”, “Wahai perwakilan DPR dengarkan suara kami”, “DPR mewakili siapa?” dan kalimat-kalimat ratapan lainnya. Tentu tidak ada yang salah dengan tindakan itu. Tapi bukankah para penyelenggara negara itu adalah aktor utama perampasan hak rakyat. Kata seorang bijak, “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling.”
Sore itu, saya melihat orang-orang muak dan marah. Mereka mencopot jas almamater kampusnya, buruh-buruh yang meninggalkan pekerjaannya atas nama individu bukan karena instruksi, siswa-siswa sekolah yang memperlihatkan keberaniannya; semuanya marah. Menurut saya, tidak butuh kepemimpinan organisasi progresif tapi kebutuhan mengelola kemarahan.
Massa aksi mengekspresikan kemarahannya dalam bentuk politik jalanan, bukan sekadar ingin bertemu dengan pejabat negara, berdialog dan berakhir dengan foto selfie. Dari raut wajah mereka terpendam amarah menuntut perbaikan pengelolaan negara bukan hanya urusan Pilkada; atau menunjukkan kepada pejabat negara jika mereka tidak becus bekerja; bahkan mungkin lebih jauh dari itu, mereka tidak lagi memikirkan elektabilitas partai dan elektoralisme.
Mengelola Kemarahan
Aksi massa 22 Agustus 2024, tidak ditutup dengan mars Internasionale dan hentakan musik Rakyat Merdeka. Massa aksi dibubarkan dengan tembakan gas air mata, pentungan, sepatu lars dan kekerasan aparat keamanan. Dalam artian tidak ada penutupan aksi massa dan aksi-aksi massa akan terus berlanjut.
Saya harus memberikan apresiasi kepada beberapa organisasi serikat buruh yang datang di tengah-tengah massa aksi yang cair tanpa membawa mokom. Mereka terlibat dalam aksi massa yang didominasi mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil lainnya. Dalam aksi massa tersebut, semua orang berkontribusi dengan caranya masing-masing. Sekecil apapun. Ada yang hanya menggunakan media sosial, lagu, poster, dan bentuk-bentuk protes lainnya.
Saya harus memberikan tekanan terhadap partisipasi massa dari siswa-siswa sekolah baik berlatar sekolah menengah kejuruan atau sekolah menengah atas. Mereka datang tanpa seragam almamater. Maaf saya harus mengatakan, melihat orang-orang yang menggunakan jas almamater seperti pelajar yang mau melakukan PKL ketimbang melawan; melihat seperti sedang membuat jarak dengan orang-orang biasa. Tapi siswa pemberani itu berbeda dengan kaum jas almamater.
Siswa-siswa sekolah kejuruan dan orang-orang tanpa seragam yang datang ke aksi tersebut tidak perlu diajarkan tentang penindasan. Mereka sehari-hari menyaksikan dan mengalami penindasan negara dan kapital. Saya adalah buktinya. Saya adalah lulusan STM (sebelum menjadi SMK). Kebanyakan dari mereka adalah golongan menengah dari kelas buruh. Tentu saja mereka disekolahkan di SMK dengan cita-cita yang sangat pendek: agar cepat dapat bekerja bukan untuk melanjutkan sekolah lagi agar menjadi peneliti yang mengevaluasi gerakan rakyat.
Rata-rata keluarga SMK terbiasa mendengarkan kekejaman pabrik dari orang tua mereka atau tetangga mereka. Mereka tidak asing dengan pemecatan yang menimpa keluarga dan tetangga mereka. Dengan mata kepala sendiri mereka melihat keluarganya terlilit utang demi uang jajan anaknya berangkat sekolah.
Untuk saya, semua cerita mengenai militansi gerakan Kiri yang berbaris-baris menuliskan materialisme historis dan menihilkan kemenangan kecil tidak lebih dari omong kosong karena menganggap realitas tidak sesuai dengan teori yang sedang dipelajari. Kita tidak akan menemukan bahasa sehari-hari dari kemarahan siswa-siswa sekolah ketika orang tua mereka dipecat dan terlempar menjadi buruh serabutan.
Aksi massa kemarin bukan untuk dimaknai menang dan kalah. Tapi dapat dimaknai seperti papan luncur untuk membawa lebih banyak orang, bahwa negara dan kapital bajingan dapat dilawan. Tentu saja, pengalaman aksi massa 22 Agustus memberikan pengalaman berharga: berkonfrontasi langsung dengan pimpinan penyuka dialog sosial dan aparat negara penjaga kapital. Dengan cara itu pula kita bisa mengambil ancang-ancang agar kemenangan-kemenangan kecil dapat diperluas.