“Sebagai serikat pekerja di Indonesia yang setia kepada nilai-nilai Pancasila, kita harus mencegah agar paham komunisme tidak masuk dalam serikat pekerja. Itu sangat berbahaya!”1
Hantu komunisme terus bergentayangan di kancah perpolitikan –baik elit maupun akar rumput– di Indonesia. Hampir 37 tahun setelah Perang Dingin berakhir dan lebih setengah abad setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan serta anggotanya dibunuh. 24 Maret 2023, aktivis penolak tambang dari Banyuwangi bernama Heri Budiawan -dikenal sebagai Budi Pego- kembali ditangkap dan dipenjara atas tindak “kejahatan terhadap keamanan negara” setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya dan memutuskan untuk menambah hukumannya menjadi empat tahun penjara dari semula 10 bulan penjara. Ironis, ini merupakan kasus pemidanaan pertama menggunakan pasal pelarangan penyebaran ideologi komunis setelah Penguasa Orde Baru lengser pada Mei 1998.2
Mengapa hantu komunisme masih laku dijajakan dan efektif mencuci otak sebagian besar masyarakat Indonesia, di tengah keterbukaan informasi sebagai dampak terbukanya komunikasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dalam Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunis Melalui Seni dan Sastra (selanjutnya disingkat KBP 65).
Buku ini, menguak misteri itu dengan membedah akar hegemoninya: kekerasan budaya. Buku ini merupakan disertasi doktoral Wijaya Herlambang di Universitas Queensland (UQ), Australia. Ketika sudah mulai banyak muncul buku-buku yang menjadi alternatif untuk menguak Tragedi Kemanusiaan 1965, KBP 65 merupakan analisis serius pertama untuk “membengkokkan” pemahaman yang terlalu lurus mengenai aspek kekerasan budaya dari rezim militer ini.
Soeharto menggunakan berbagai instrumen untuk meneguhkan kebenaran sejarah yang ia rancang; salah satunya melalui kebudayaan. Film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai produk budaya merupakan contoh karya yang paling ekstrem. Manuskrip yang melatarbelakangi lahirnya film ini diciptakan oleh Nugroho Notosusanto pada tahun 1980 dan kemudian di-endorse secara penuh oleh Soeharto sebagai alat propaganda anti-komunis selama ia berkuasa. Berbeda dengan kelaziman novel yang diadaptasi menjadi film, Arswendo Atmowiloto justru mengadaptasi Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi sebuah novel dengan judul yang sama. Orde Baru melakukan penetrasi ideologi melalui karya sastra.3
Kekerasan Budaya adalah Teror
Johan Galtung merumuskan pengertian kekerasan secara komprehensif dengan menjelaskan bahwa kekerasan budaya mencakup aspek kebudayaan, simbol-simbol penting dari kehidupan manusia yang meliputi agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta pengetahuan yang dapat digunakan untuk melegitimasi kekerasan secara langsung maupun struktural.4 Galtung mendasarkan argumentasi teorinya pada kenyataan bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk kekerasan fisik; bisa juga berbentuk kekerasan tak langsung. Legitimasi atas kekerasan langsung dan tak-langsung melalui produk kebudayaan adalah bentuk kekerasan. Menurutnya, kekerasan budaya (kultural) merupakan jenis yang paling sulit dikenali.
Kekerasan budaya bersifat permanen dan secara esensial akan memberikan dampak terus menerus, dalam jangka waktu lama, dan menciptakan sebuah transformasi terhadap kebudayaan. Model seperti ini, akan lahir dalam bentuk ceramah, ajaran, tekanan, kecaman, dan arahan yang justru mengaburkan esensi eksploitasi dan represi menjadi sesuatu yang lumrah. Itulah kenapa Film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai ujung tombak propaganda Soeharto bisa bertahan secara terus menerus menjadi tontotan wajib selama 13 tahun.5 Karena wujudnya yang sedemikian “abstrak”, kekerasan budaya justru hadir sebagai teror yang panjang. Soeharto sangat lihai menjadikan kekerasan sebagai legitimasi atas kekuasannya untuk menundukkan6 masyarakat.
Melalui pendekatan hukum7 –terutama sesudah pemberlakuan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966– kekerasan berbasis budaya dijalankan secara efektif oleh Soeharto. Kekerasan budaya bersinergi dengan berbagai kekerasan fisik, pembunuhan, pemenjaraan tanpa pengadilan,8 dan stigmatisasi dilakukan oleh Soeharto. Indonesia di bawah kekuasaan otoriterianisme Soeharto, adalah tipikal “anjing penjaga” yang setia mengamankan kepentingannya melalui teror dan kekerasan. Teror bekerja dengan leluasa di tengah kegelapan, melalui produk kebudayaan.
CIA, CCF, Humanisme Universal, Goenawan Mohamad, dan Agenda Antikomunisme di Indonesia
Ruh utama buku KBP 65 karya Wijaya Herlambang adalah bagaimana ideologi anti-komunis bekerja secara efektif melalui kebudayaan. Ideologi anti-komunis di arena kebudayaan merupakan pertarungan ideologi dan politik untuk mencari identitas kebudayaan nasional Indonesia. Konteksnya adalah pertarungan ideologi dan politik masa Perang Dingin pada 1950-1960-an. Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan sepenuhnya atas upaya kekuatan politik dan kebudayaan probarat dalam gerakannya menghadang laju komunisme di Indonesia.9 Selain bantuan militer dan ekonomi, Pemerintah AS juga menggelontorkan bantuan sangat besar untuk “memajukan” pendidikan dan kebudayaan di Indonesia melalui berbagai institusi filantropi dan kebudayaannya untuk membentuk aliansi antikomunis di Indonesia. Dukungan ini, sejalan dengan kebijakan politik luar negeri AS.
Di Indonesia pola penghancuran komunisme dilakukan dengan mendiskreditkan politik dan kebudayaan komunis kemudian memihak ideologi liberal. Soeharto menghancurkan PKI pada 1965 menggunakan ideologi Pancasila versinya kemudian mengagung-agungkan landasan ideologi kapitalisme yang sesungguhnya: liberalisme. Ideologi liberalisme diusung dengan sangat masif sebagai upaya menghujat ide-ide kebudayaan kiri; labelnya adalah humanisme universal.10
Humanisme universal adalah paham yang dianut oleh banyak budayawan dan pengarang Indonesia yang berseberangan dengan konsep realisme sosialis. Unsur-unsur humanisme universal dipublikasikan sebagai sikap politik mereka dalam surat Kepercayaan Gelanggang dan diulang sekali dalam Manifes Kebudayaan. Humanisme Universal (di) Indonesia, menjadi semacam antitesis pemahaman kiri yang lebih dulu berkembang. Pemerintah AS berada di balik rekayasa ini.
Bagaimana Pemerintah AS bekerja? Peran Pemerintah AS dalam memerangi komunisme di Indonesia dilakukan dengan menunggangi oposisi sayap kanan yang berseberangan dengan Soekarno; Pemimpin Besar Revolusi yang sangat dekat dengan PKI. Melalui sayap-kanan militer,11 terutama Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Masyumi, serta para seniman dan intelektual antikomunis. Operasi ini dijalankan lewat jaringan inteljen besutan Central Inteligence Agency (CIA).12
Puncak kolaborasi CIA-CCF adalah ketika para seniman pengusung paham Humanisme Universal menandatangani deklarasi Manifestasi Kebudayaan (Manikebu).13 Tokoh-tokoh populer yang bergabung di dalamnya antara lain: H.B. Jassin14, Goenawan Mohamad15, Taufiq Ismail.16 Manikebu dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan serangan balik atas “teror-teror” kebudayaan yang diproduksi seniman kiri yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Lekra mendedikasikan kesenian, kebudayaan, dan karya untuk perjuangan revolusiner lewat afiliasi dengan PKI, sementara Manikebu mencoba meliberalkannya. Manikebu bersekutu dengan Angkatan Darat (AD)17 untuk melawan dominasi Lekra melalui berbagai upaya kebudayaan.18
Perseteruan keduanya, digambarkan secara sederhana: “Blok Kebudayaan Kanan” bertarung melawan “Blok Kebudayaan Kiri”. Perkelahian antara Manikebu melawan Lekra. Persaingan propaganda antara Majalah Sastra (beserta sekutunya Majalah Horison) dengan “Lentera” Harian Bintang Timur (corong Lekra dan PKI).19
Kebenaran fakta sejarah yang mengaitkan kesamaan antara CCF dengan Manikebu –beserta lembaga turunannya– adalah dengan membandingkan kemiripan naskah deklarasi di antara keduanya. Deklarasi para peserta Kongres pertama CCF yang menyatakan bahwa kebudayaan hanya dapat ada di dalam kebebasan, dan kebebasan itulah yang dapat membawa pada kemajuan kebudayaan menunjukkan sikap mereka yang tegas sebagai penolakan untuk menjadikan seni sebagai pengabdian pada gerakan, sosial, dan tentu saja rakyat.20 Hal ini, cukup menjadi penanda bahwa mereka memang bekerja pada aras yang nyata: antikomunisme.
Menggugat Narasi Resmi Orde Baru
Meskipun tidak banyak karya yang tampil ke permukaan sebagai upaya menandingi narasi resmi Orde Baru atas tafsir tunggal Peristiwa 1965, tapi Wijaya Herlambang berhasil menghadirkan karya penting dalam konteks tersebut; sebuah novel berjudul September, karya Noorca M. Massardi (2006).21
Menarik, sebab Wijaya Herlambang berhasil membenturkan narasi versi Nugroho Notosusanto, Arswendo Atmowiloto, Arifin C. Noor (baca: Film Pengkhianatan G30S/PKI) dengan novel Noorca M. Massardi September yang secara ideologis berbeda 180 derajat. September “berhasil” mematahkan argumentasi manipulatif Orde Baru tentang peristiwa berdarah 30 September 1965. Wijaya Herlambang bahkan secara berani menyatakan bahwa Orde Baru dan para sekutu budayanya memproduksi fiksi, khayalan; kebohongan yang harus dibongkar.22 Dalam bab khusus, Wijaya Herlambang melakukan dekonstruksi atas narasi Orde Baru dengan menampilkan konflik internal AD.23
Novel September juga berhasil membuka selubung yang menyelimuti peristiwa 30 Oktober 1965 meskipun ditulis melalui anagram dan sinonim untuk nama-nama tokoh dan tempat dalam cerita. Noorca sama sekali tidak menyebutkan nama PKI dalam percobaan kup berdarah, sebab percobaan kup merupakan akibat dari konflik di dalam internal pimpinan militer, khususnya AD. Noorca menggunakan anagram untuk menyamarkan nama tokoh dan kota seperti penyebutan Jenderal Theo Rosa (anagram untuk Soeharto)24 sebagai dalang utamanya.
Melalui September Noorca berargumentasi secara menarik. Pertama, gerakan kudeta memakan korban 7 perwira militer. Kedua, percobaan kup secara sistematis diarahkan untuk Presiden. Ketiga, pembantaian massal terhadap massa anggota PKI.25 Begitu selesai membaca novel September, tanpa disuruh, asosiasi pembaca akan segera berpindah pada peristiwa G30S dengan militer sebagai pelaku.26Novel September berhasil menunaikan tugas sejarahnya.
2024: Apakah Ada yang Berbeda?
Secara keseluruhan buku ini berhasil mengurai silang sengkarut kekerasan budaya yang terjadi setelah 1965. Wijaya Herlambang berhasil mengantarkan pada kesimpulan bahwa Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia. Lalu, apa yang berbeda dengan situasi saat ini pada 2024?
11 September 2024, seperti menjadi tonggak penting ketika pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyerahkan surat terkait dengan tidak berlakunya Ketetapan XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga mantan Presiden Sukarno.27 Sebagaimana diketahui, TAP MPRS tersebut berisi tuduhan resmi kepada Soekarno yang mendukung dan melindungi para pelaku G30S.
Surat pencabutan tersebut, tentu saja merupakan sejarah penting, meskipun menimbulkan pertanyaan, mengapa baru sekarang gestur itu dilakukan? “Stigma” Komunis yang diarahkan kepada Soekarno telah menjadikan nama Soekarno terasing secara politik selama Orde Baru berkuasa dan terus direproduksi sebagai narasi yang bertujuan mendeskreditkan keluarganya, bahkan ketika Megawati Soekarno Putri berkuasa sekalipun. Bisa dibayangkan, Soekarno yang merupakan mantan Presiden teraniaya karena tuduhan komunis, bagaimana rasanya bila tuduhan itu dialamatkan kepada orang lain, tentu saja termasuk serikat buruh?
Peristiwa lain yang juga penting untuk dibaca ulang adalah pernyataan Prabowo Subianto dalam sambutannya pada acara bedah buku dan diskusi panel buku bertajuk PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G30S/65, di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, pada 23 November 2019. “Ideologi komunis dan gerakan komunisme di Indonesia patut diduga masih eksis. Kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis,” ujar Prabowo saat itu.28 Ia menekankan beberapa negara yang menganut ideologi komunis masih eksis antara lain RRC serta Kuba. Prabowo menyebutkan bahwa komunisme telah mencatat lembaran hitam dalam perjalanan sejarah bangsa, karena secara nyata telah terbukti beberapa kali berupaya merobohkan kekuasaan Republik Indonesia yang sah.
Kepala Biro Pemantauan dan Penelitian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar saat itu memberikan tanggapan atas pernyataan Prabowo. Menurutnya pernyataan Prabowo berbahaya sebab bisa dianggap sebagai komando bagi para pendukungnya di akar rumput.29 Prabowo menyatakan hal itu pada 2019, rentang waktu yang cukup lama. Tetapi, harus diingat bahwa dia menjadi Presiden terpilih Republik Indonesia yang dilantik pada 20 Oktober 2024. Artinya, sebagai Presiden dia dapat menerjemahkan pemikirannya tersebut dalam berbagai ranah kebijakan; hal ini tentu saja itu tak bisa dipandang sederhana.
Lalu, bagaimana dengan kalimat pembuka dalam tulisan ini yang menyatakan,”“Sebagai serikat pekerja di Indonesia yang setia kepada nilai-nilai Pancasila, kita harus mencegah agar paham komunisme tidak masuk dalam serikat pekerja. Itu sangat berbahaya!” Penting untuk membandingkan pernyataan itu dengan pandangan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Iqbal menyebutkan bahwa gerakan buruh tidak bisa disamakan dengan gerakan komunis, tapi juga tak mungkin mengingkari fakta bahwa gerakan buruh (di) Indonesia memiliki keterikatan dengan ideologi komunis.30 Iqbal, yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Buruh, menyebutkan bahwa diskursus mengenai gerakan buruh dekat dengan paham komunisme dan banyak dipengaruhi bahan bacaan seperti Das Kapital karya Karl Marx.
Sebagai penutup, penting untuk menyimpulkan bahwa KBP 65 berusaha menjelajahi kembali instrumen kebudayaan yang menjadi dasar tetap awetnya ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari propaganda politik, tetapi juga sebagai hasil serangan kebudayaan. Praktik kekerasan yang menimpa anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966 menjadi bukti atas hal tersebut.
Jakarta, 22 September 2024
Bahan Bacaan:
Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu, Perdebatan Kebudayaan Indonesia, 1950-1965. Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Jakarta, 2000.
Arief Budiman. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Pamoedya Ananta Toer. Arok Dedes. Jakarta: Hasta Mitra, 2000.
Kutipan pernyataan peserta pendidikan serikat buruh yang membahas “Sejarah gerakan Buruh Indonesia”, pengalaman penulis pada kurun waktu 2009-2010-an. ↩︎
Johan Galtung menulis karya berjudul Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (1996). Melalui salah satu artikel berjudul Cultural Violence, Galtung menjelaskan peran ideologi, bahasa, agama, seni, dan pengetahuan sebagai produk budaya dapat digunakan untuk melegitimasi praktik kekerasan, (hlm. 35). ↩︎
Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 53. Soeharto menjadi otoriter dengan memanfaatkan situasi kepatuhan rakyat pada atasan dan kecenderungan pemimpin yang anti kritik, merujuk pada gabungan teori Mattulada dan Benedict Anderson. ↩︎
Rezim Soeharto memanfaatkan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966 untuk melarang penyebarluasan ajaran Marxisme dan Komunisme dan pada gilirannya menjadikannya sebagai dasar membumihanguskan jutaan manusia tak bersalah dengan dalih komunisme. Apa yang dilakukan oleh Soeharto sesuai dengan Teori Hukum Murni (Hans Kelsen). ↩︎
Soeharto mengabaikan sebuah prinsip tentang kesamaan hak di hadapan hukum atau paham Rule Of Law yang mulai dikenal sesudah dinyatakan oleh Albert Venn Dicey pada tahun 1885. Dicey kemudian menerbitkan buku Introduction to Study Of the Law Of the Constitusion. Paham the Rule Of Law bertumpu pada system Hukum Anglo Saxon. Atau Common Law System. http://www.negarahukum.com/hukum/konsep-negara-hukum-berdasarkan-konstitusi-timor-leste.html, diakses pada 23 Desember 2017. ↩︎
Alexander Supartono, “Lekra vs Manikebu, Perdebatan Kebudayaan Indonesia, 1950-1965,” Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Jakarta, hlm. 44. ↩︎
Hans Bague Jassin atau yang lebih dikenal dengan H.B. Jassin adalah seorang pengarang, penyunting dan kritikus sastra asal Gorontalo. Ia dijuluki Paus Sastra Indonesia oleh sastrawan Gajus Siagian (alm.). Saat itu berkembang suatu keadaan dimana seseorang dianggap sastrawan yang sah bila HB Jassin sudah ‘membaptisnya’. Meski kedengaran berlebihan, namun begitulah adanya. (https://www.merdeka.com/hans-bague-jassin/, diakses pada 18 Desember 2017). ↩︎
http://www.viva.co.id/siapa/read/71-goenawan-mohamad, diakses pada 18 Desember 2017. Goenawan Mohamad (GM) adalah wartawan dan budayawan. Dalam kaitannya dengan buku KBP 65, peran GM sangat signifikan ketika Manifestasi Kebudayaan dideklarasikan. GM juga mendirikan Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Salihara. Goenawan Mohamad juga aktor yang bekerja sangat dekat dengan Freedom Institue besutan Abu Rizal Bakrie untuk menggerakan paham liberalisme. Meskipun, pada akhirnya GM berseteru dengan Bakrie dalam kasus desakan Bakri agar Sri Mulyani (sekutu GM) yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Era Presiden SBY untuk memanipulasi pajak perusahaan Bakrie. Sebagai bentuk kemarahannya, GM mengembalikan Bakrie Award kepada panitia. ↩︎
Berdasarkan artikel yang dimuat pada http://bio.or.id/biografi-taufiq-ismail/ (diakses pada 18 Desember 2017) disebutkan bahwa Taufiq Ismail merupakan sastrawan ternama di Indonesia. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat 25 Juni 1935. Dalam buku KBP 65 ini disebutkan bahwa Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong (pendiri Kompas), Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966); Horison adalah sebuah majalah sastra yang dimaksudkan untuk menandingi propaganda kebudayaan Lekra. Akhirnya Taufiq Ismail berseteru dengan GM karena aktivitas Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Salihara yang mempromosikan syahwat. Taufik Ismail menyebutkan bahwa KUK hanya segerombolan manusia yang gemar mengumbar syahwat (KBP 64, hlm. 222). ↩︎
Penjelasan semacam ini terdapat dalam Novel Karya Pamoedya Ananta Toer berjudul Arok Dedes (hlm. viii): Begitu selesai membaca Novel Arok Dedes yang berlatar peristiwa abad 13, pembaca akan beralih kepada peristiwa abad 20 di tahun 1965. Noorca M. Masardi berhasil menggunakan metode cerdas tersebut dalam Novel September. ↩︎
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto terlihat sebagai jawaban cepat atas masalah gizi di Indonesia. Namun, program ini lebih mirip dengan suguhan sementara untuk menenangkan rakyat dalam jangka pendek, tanpa memberikan fondasi yang kokoh untuk masa depan kemandirian pangan. Seperti jamuan mewah yang hanya dinikmati sementara, MBG membawa risiko membentuk […]
Pemerintah Indonesia kembali melangkah mundur dalam upaya melawan krisis iklim. Di tengah berbagai janji untuk menurunkan emisi dan menjaga kelestarian lingkungan, rencana perluasan lahan sawit yang diajukan justru bertolak belakang dengan komitmen tersebut. Kebijakan ini bukan hanya mempercepat kerusakan ekosistem hutan tropis, tetapi juga mengabaikan dampak sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Dalam beberapa dekade […]
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]