Saya sepenuhnya sepakat dalam berbagai artikel yang mengkritik Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) atau sering juga disebut Non Government Organization (NGO), yang alih-alih menjadi support system masyarakat untuk memperkuat ideologi politik perlawanan rakyat, justru malah melemahkan perjuangan rakyat dengan cara membuat rakyat menjadi manja dan melihat konflik vertikal menjadi apolitis dan hanya sebuah proyek. Alih-alih rakyat kembali berdaya dalam perjuangan politiknya justru membuat rakyat semakin bias pada problem utama sistem yang bobrok.
Kalau boleh mengutip kata-kata dari sebuah diskusi tipis dengan seorang kawan yang mengatakan seperti ini, “hari ini pembusukan bukan hanya terjadi di pemerintahan, tetapi juga terjadi di gerakan yaitu didalangi oleh NGO”. Setidaknya dalam gerakan sosial kita itu memerlukan 3 modal sebagai penggerak, yaitu modal finansial, modal pengetahuan, dan modal sosial -jejaring perkawanan-. Gerakan sosial cukup kuat dalam modal pengetahuan dan modal sosial namun seringkali sangat lemah dalam modal finansial. Maka ada imajinasi untuk merampok kapital-kapital finansial dari berbagai lembaga donor untuk memperkuat gerakan. Namun yang terjadi justru NGO ini terjebak dalam kerja-kerja administratif seperti laporan kegiatan, pencapaian indikator, dan disusupi oleh agenda-agenda donor. NGO lebih banyak terperangkap pada hal-hal administratif dan kegiatan-kegiatan programatik yang hanya bertujuan pemenuhan indikator yang diberikan oleh donor sebagai bentuk pertanggungjawaban (baca: penghambaan) lembaga kepada pemberi hibah. Meskipun kita tidak menafikan ada beberapa NGO yang tetap ada dijalur gerakan politik yang progresif.
Kita juga bisa melihat depolitisasi gerakan oleh NGO ini dengan mengubah perlawanan yang radikal menjadi perlawanan yang penuh dengan sopan santun yang kita sebut sebagai Advokasi Kebijakan. NGO melakukan banyak kajian dan penelitian, melakukan audiensi-audiensi, FGD, Seminar Nasional, Diskusi Publik dengan anggaran mencapai puluhan bahkan ratusan juta terbuang yang melahirkan Policy Brief atau Policy Paper untuk diberikan kepada pemerintah dengan harapan akan melahirkan kebijakan baru yang “pro rakyat”. Melakukan rapat-rapat dan kegiatan diskusi di ruang meeting hotel dengan anggaran puluhan bahkan ratusan juta dimana uang justru kembali berputar di tangan kapitalis-kapitalis yang katanya mereka lawan. Itu saja kalau Policy Brief yang mereka buat lalu diterima dan menjadi sebuah kebijakan yang diterapkan dengan baik oleh pemerintah. Sayangnya berapa banyak Policy Brief yang berakhir menjadi kebijakan dan berapa yang hanya masuk tong sampah gedung-gedung kementerian. Bayangkan jika dana itu digunakan untuk melakukan kegiatan pendidikan politik dan pengorganisiran rakyat.
Sekarang NGO makin menjamur dan terindustrialisasi. Bukan hanya menjadi pelemahan gerakan – bisa kita baca dalam artikel LSM-isasi Perlawanan – tetapi juga mengubah kerja-kerja aktivisme menjadi kerja profesionalisme, mengubah subjek rakyat sebagai aktor utama gerakan hanya menjadi objek “beneficiaries” dalam kerangka Theory Of Change dalam proposal-proposal pendanaan.
Perubahan kerja-kerja aktivisme menjadi perubahan kerja-kerja profesionalisme ini akhirnya memunculkan relasi kerja upahan dalam Ornop. Dimana relasi kerja upahan ini ada kontrak kerja, persyaratan pendidikan, persyaratan pengalaman kerja, perintah dan struktur perintah mulai dari board, direktur hingga office boy. Namun yang disayangkan adalah tidak diikuti pula dengan pemenuhan kewajiban dalam pengupahan. Buruh NGO sering kali menerima beban palugada, harus bisa kerja lapangan, bisa menulis, mampu mengerjakan pelaporan kegiatan dan keuangan, jam kerja fleksibel.
Selain itu pola perekrutan secara profesional pun makin mengubah wajah ornop semakin jauh dari kata progresif. Ditambah tanpa adanya pendidikan politik progresif setelah perekrutan melahirkan aktivis-aktivis wangi dengan watak heroisme dan apolitis. Seolah mereka telah menjadi agen perubahan besar dalam “pemberdayaan masyarakat”.
Kerja-kerja lebih yang dilakukan oleh buruh NGO dianggap normal karena para elit Ornop ini berdalih, “Ini kerja sosial bung, demi rakjat” sembari menikmati gaji dua digitnya yang timpang dengan staff-staffnya. Berlagak menjadi pahlawan dalam gerakan karena telah melakukan perubahan-perubahan yang justru melemahkan gerakan sosial sembari mengumpulkan portofolio untuk mendapatkan proyek-proyek sampingan atas nama rakyat.
Wacana pembentukan Serikat “Pekerja NGO” sebenarnya sudah berhembus cukup lama – saya sepenuhnya menyepakati mempertanyakan kenapa harus menggunakan kata “pekerja NGO” bukan “Buruh Ornop” misal – hanya saja baru awal tahun ini kemudian melakukan pertemuan pertama untuk mendiskusikan lebih serius wacana ini. Pun sebenarnya belum ada deklarasi serikat ini berdiri, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Apa tujuan dari pembentukan serikat pekerja NGO ini?
Pertanyaan tersebut tentu saja harus dijawab tuntas dan atas dasar mufakat bersama. Karena terjawabnya pertanyaan tersebut tentu saja akan menentukan arah perjuangan serikat. Kita juga perlu mempertanyakan ulang, dengan wajah ornop saat ini sebenarnya kerja-kerja dalam ornop ini bisakah disebut sebagai kerja-kerja aktivisme atau murni kerja profesional? Dari pertanyaan-pertanyaan itu muncul pertanyaan lainnya, adakah akumulasi kapital meskipun ornop merupakan lembaga non profit? Jika ada akumulasi kapital, di manakah letak akumulasi kapital pencurian nilainya? Apakah ada relasi kuasa yang timpang terutama dalam menentukan keputusan dan perintah? Apakah ada atau tidak demokratisasi ekonominya baik dalam jajaran pengurus hingga beneficiaries yang isunya dijual pada donor? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dijawab tuntas.
Jadi sebenarnya wacana terbentuknya serikat pekerja NGO ini mungkin masih panjang, perlu berbagai masukan dari pengalaman teman-teman buruh lainnya. Mengutip salah satu tuduhan pada artikel opini berjudul “Untuk Siapa Anda Bekerja?” maka penulis terlalu cepat menilai bahwa “tuntutannya cemen tapi analisisnya mewah pake teori nilai” . Jika merujuk pada kasus CWI (Cakra Wikara Indonesia), tentu saja itu hanya kasuistik yang kebetulan menjadi salah satu variable untuk membentuk serikat pekerja NGO.
Tentu saja isi artikel tersebut bisa dijadikan bahan kritik dan masukan untuk teman-teman yang memiliki wacana membentuk serikat pekerja NGO. Kita perlu benar-benar membedah total pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan di atas. Sehingga serikat pekerja NGO yang terbentuk nanti tidak memiliki tujuan yang dangkal dengan “tuntutan yang cemen”.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!