Sekitar Pukul 21.00 malam saya sedang duduk di warung untuk sekedar makan nasi bungkus dan minum kopi. Tidak lama setelah saya menyeruput kopi satu tegukan, saya melihat seorang pria lengkap dengan baju dinas berwarna kuning dan ia duduk tepat di samping saya. Sambil mengangguk ke saya dan menunjuk kursi dengan jempolnya, saya langsung mengangguk dan berkata, “Oh iya Pak, silahkan duduk, kursinya kosong”.
Saya perhatikan bapak di samping saya, ternyata beliau adalah security. Bapak security tersebut terlihat ramah, sambil mengangkat gelas kopinya, seraya ia mengatakan “Monggo, Mbak. (Silahkan Mbak; maksudnya silahkan diminum kopinya). Setelah itu, kami berkenalan singkat dan mengobrol santai. Layaknya obrolan santai di warung kopi, saya pun penasaran dan mempertanyakan kerja di mana, sistem hari kerja serta jam kerja sebagai security.
Dari situ saya tahu, bahwa security biasanya dari perusahaan alih daya atau biasa familiar dengan kata ‘yayasan’. Perusahaan penyedia jasa keamaan ini bekerjasama dengan kantor atau pabrik yang ingin menggunakan jasanya. Jasa keamanan ini termasuk dengan personil satuan pengamanan (Satpam); Security. Personil satuan pengamanan direkrut, kemudian melalui serangkaian pelatihan dan ditempakan di kantor atau pabrik yang memiliki kerjasama dengan perusahaan alih daya ini.
Sistem hari kerja yang diaplikasikan, tentunya menyesuaikan kebutuhan personil, pembagian grup dan sifnya.
Umumnya, sistem hari dan jam kerja yang diaplikasikan untuk Satpam adalah 6 hari kerja 1 hari libur. Dengan rincian 2 hari sif pagi, 2 hari sif sore dan 2 hari sif malam. Sif 1 dari 07.00 sampai 15.00, sif 2 dari 15.00 sampai 23.00 dan sif 3 dari 23.00 sampai 07.00. Tambahnya, hari kerja untuk Satpam tidak selalu dimulai dari hari Senin, karena sistemnya bergilir dan bisa saja hari libur mingguannya tidak pasti selalu di hari Minggu.
Setelah menyeruput seteguk kopi, saya pun bertanya, “Kalau semisal pas jatah Bapak masuk kerja tapi kebetulan hari itu hari libur nasional, bagaimana Pak?”
Bapak Satpam menjawab, di kalendar kerjanya, semua tanggal adalah warna hitam. Tidak mengenal ada hari libur nasional. Ia tidak keberatan dengan sistem hari kerja dan sif, karena itu adalah bagian dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai Satpam untuk menjaga keamanan pabrik 7×24 jam. Satu hal yang ia sayangkan adalah sebagai Satpam, ia masuk kerja pada saat hari libur nasional, namun tidak mendapatkan gaji lembur. Seperti contoh, di hari Raya Idul Fitri, nantinya ia harus berjaga, namun tidak dihitung sebagai lembur. Padahal hari raya Idul Fitri adalah libur nasional; libur resmi.
adahal kalau melihat dari sisi regulasi, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja Pasal 31 ayat 2 Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu.
Ketidaksesuaian pembayaran upah lembur terlebih kepada pekerja dari perusahaan alih daya ini menjadi pertanyaan, siapa yang harusnya bertanggung jawab untuk pembayaran upah lemburnya?
Pada regulasi sebelumnya, pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebelumnya dicantumkan bahwa dalam hal perjanjian kerja, perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Artinya buruh outsourcing yang tidak dipenuhi haknya oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja demi hukum harus memperoleh hak dan fasilitas yang sama dengan buruh lain di perusahaan pemberi kerja. Akan tetapi, ketentuan tersebut telah dihapus oleh UU Cipta Kerja. Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja buruh buruhsepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
Secara logika, perusahaan yang memiliki kerjasama dengan perusahaan alih daya/outsourcing membayar sesuai dengan penawaran/tagihan yang diajukan oleh perusahaan alih daya. Jika kejadian seperti cerita dari Bapak Satpam di atas, yang mana ia tidak menerima upah kerja lembur pada hari libur resmi, berarti menjadi pertanyaan lanjutan apakah penawaran kerjasama antara perusahaan pengguna jasa alih daya dan perusahaan alih daya tidak berlandaskan pada regulasi? Atau memang sengaja mengabaikan regulasi?
Buruh alih daya sangatlah rentan. Kewajiban terus digaungkan, namun haknya banyak yang terabaikan. Terlebih dengan adanya UU Cipta Kerja untuk penghapusan ketentuan buruh alih daya, menjadi ajang saling lempar tanggungjawab siapa yang harus memenuhi kebutuhan hak pekerja alih daya tersebut.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!