Kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang menjadi pusat pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, telah melaksanakan audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) terhadap 25 perusahaan tenannya hingga Februari 2025. Audit ini menghasilkan penilaian yang baik, bahkan dua tenan memperoleh skor yang layak diganjar bendera emas. Namun, di balik pelaksanaan audit dan pencapaian nilai tinggi tersebut, muncul pertanyaan: Apakah SMK3 benar-benar diterapkan secara nyata di lapangan, atau justru menjadi “Sistem Manipulasi K3” yang hanya mempercantik citra?
Audit SMK3 di IMIP: Standar atau Formalitas?
Semua tenan di IMIP dikategorikan sebagai industri dengan risiko tinggi, mengingat aktivitas yang melibatkan bahan kimia berbahaya, operasi alat berat, dan potensi kecelakaan besar. Berdasarkan tabel kriteria audit dalam Permenaker No. 26 Tahun 2014, perusahaan dengan jumlah tenaga kerja antara 626-2025 orang dan 2026-4350 orang, serta berisiko tinggi, seharusnya memerlukan audit minimal 10 hingga 12 hari dengan 10 hingga 12 auditor. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa audit dilakukan hanya dalam dua hari dengan dua auditor dari PJK3. Proses yang seharusnya mendalam ini menjadi tidak masuk akal jika dilakukan dalam waktu sesingkat itu, apalagi dengan risiko tinggi yang melekat pada operasional tenan.
Realitas Pahit di Lapangan
IMIP sebagai pengelola kawasan telah menunjukkan upaya dalam meningkatkan standar K3, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan. Di lapangan, ditemukan permasalahan seperti jam kerja berlebihan, kurangnya pengawasan penggunaan alat pelindung diri (APD), serta respons darurat yang lambat. Lebih mengejutkan lagi, salah satu tenan yang telah diaudit dengan skor memuaskan ternyata tidak memiliki personel K3 yang bertugas pada sif malam. Hal ini merupakan kelalaian serius yang seharusnya menjadi temuan utama dalam audit SMK3.
Pelanggaran terhadap regulasi juga semakin memperjelas adanya ketimpangan dalam penerapan SMK3. Permenaker No. 8 Tahun 2020 Pasal 141 ayat (1) mewajibkan operator alat angkat dan angkut, seperti dump truck, kereta lokomotif, dan alat berat lainnya, untuk memiliki kualifikasi yang sesuai dengan jenis dan kapasitas alat. Namun, banyak operator tetap dan kontrak, terutama dari penyedia jasa tenaga kerja, tidak memiliki lisensi yang sesuai. Bahkan, standar kualifikasi untuk operator alat berat telah diturunkan ke SIM B2 Umum. Penurunan standar ini semakin memperlonggar persyaratan keselamatan dan berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan kerja. Selain itu, banyak penyedia jasa tenaga kerja yang dikontrak oleh tenan tidak memiliki dokumen Contractor Safety Management System (CSMS), yang seharusnya menjadi prasyarat utama bagi industri dengan kategori risiko tinggi dalam memastikan standar keselamatan kerja. Pelanggaran lainnya ditemukan dalam Kepmenaker No. 349 Tahun 2019, yang secara tegas melarang personel K3 asing, tetapi praktik ‘kamuflase’ terhadap keberadaan mereka masih terjadi di kawasan IMIP. Semua ini mengindikasikan adanya pembiaran dan kurangnya pengawasan yang seharusnya menjadi bagian dari audit SMK3.
Manipulasi, Kamuflase, dan Sistem K3 yang Dipertanyakan
Sertifikasi dan hasil audit yang tinggi seharusnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Namun, dengan temuan seperti audit singkat yang tidak sesuai standar, absennya personel K3 di sif malam, serta pelanggaran regulasi yang dibiarkan terjadi, maka pertanyaannya: apakah SMK3 di kawasan IMIP benar-benar sistem manajemen keselamatan yang baik? Atau justru sekadar “Sistem Manipulasi K3” yang hanya berfungsi sebagai tameng citra belaka?
SALUS OPERARIORUM SUPREMA LEX ESTO!
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!