Nama saya Riani, usia saya 43 tahun, lahir di Jakarta. Saya seorang buruh yang bekerja di salah satu perusahaan garmen yang berlokasi di Kawasan Industri di Jakarta Utara. Saya sudah bekerja lebih dari 10 tahun, dengan status PKWT. Sebagai pencari nafkah utama di keluarga, upah yang saya terima setiap bulan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saya dan keluarga. Terutama, untuk membiayai kebutuhan anak-anak saya yang masih sekolah.
Di lingkungan tempat kerja, saya kerap diperlakukan tidak adil oleh atasan. Bahkan, saya pernah mengalami kekerasan verbal. Tak hanya saya, beberapa teman saya, juga mengalami hal yang sama.
Awalnya, saya dan teman-teman buruh perempuan lainnya tak punya pilihan, kecuali harus terbiasa menerima perlakuan yang tidak adil dari atasan. Namun, setelah saya mulai terlibat dalam kegiatan serikat, kesadaran dan keberanian saya tumbuh. Saya mulai sadar, perlakuan tidak adil terhadap buruh perempuan di tempat kerja oleh atasan, tidak bisa dibiarkan. Saya juga mulai sadar bahwa kekerasan dan pelecehan tidak bisa diterima lagi sebagai sesuatu hal yang biasa. Sepemahaman saya, seseorang bisa melakukan kekerasan, melecehkan dan memperlakukan tidak adil, karena ada relasi kuasa yang timpang. Bagi buruh, relasi kuasa itu terletak pada atasan dan bawahan serta jender, yang melekat dalam struktur produksi di perusahaan. Melalui tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman saya ketika bekerja, berserikat dan berjuang menuntut keadilan di tempat kerja.
Bukan Sekadar Mendapat Upah
Sebelum terlibat banyak dalam kegiatan di serikat, atau ketika saya masih menjadi anggota serikat biasa, saya cenderung pasif terhadap serikat. Saat itu, saya berfikir tujuan bekerja yang terpenting hanya mendapat upah saja, meskipun banyak perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Dengan berfikir begitu, saya merasa, saat itu saya sebagai anggota serikat sering abai dan kadang tak mempedulikannya. Namun, ketika perlakuan tidak adil itu terus-menerus menimpa saya dan banyak buruh lainnya, kesadaran saya muncul. Saya mulai bertanya kepada pengurus serikat dan anggota serikat yang aktif. Saya mencari tahu apa saja hak sebagai buruh? Sejak itu, saya mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh serikat. Sebelumnya, saya hanya anggota pasif, kemudian menjadi anggota aktif. Karena keaktifan saya, teman-teman mempercayakan saya menjadi pengurus serikat buruh.
Dari kegiatan-kegiatan diskusi yang diadakan oleh pengurus serikat, saya banyak mendapatkan pemahaman tentang hak-hak saya sebagai buruh. Dari diskusi itu juga mendorong saya merefleksikannya kondisi kerja di tempat kerja. Ternyata, ada banyak kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Salah satunya adalah perusahaan mempekerjakan kami, buruh yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun, dengan status kontrak atau PKWT. Padahal, dalam ketentuan Undang-undang, mestinya kami sudah diangkat sebagai buruh tetap atau PKWTT. Kontrak yang berkepanjangan tersebut membuat kami tidak memiliki kepastian kerja. Kami selalu diminta perusahaan untuk menandatangani kontrak selama 3-6 bulan, ketika masa kontrak kami habis.
Setelah aktif dalam serikat dan menjadi pengurus, ternyata di serikat tidak hanya didorong untuk paham akan hak, tapi juga didorong agar melakukan perubahan di tempat kerja. Memperjuangkan hak-hak buruh yang diabaikan oleh perusahaan. Dengan kesadaran dan pemahaman serta semangat kolektif, keberanian kami tumbuh. Saya dan beberapa kawan melakukan penolakan untuk menandatangani surat perpanjangan kontrak kerja yang hanya 1 hingga 2 bulan. Penolakan tersebut membuat kami dimutasi ke bagian kerja yang tidak sesuai dengan keahlian kami. Saya yang sebelumnya di bagian sewing, dimutasi ke bagian ironing. Begitu juga kawan-kawan saya, mereka dimutasi dengan cara serampangan oleh perusahaan. Kami menganggap, mutasi yang dilakukan perusahaan tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap kami yang sedang menuntut hak kami untuk diangkat sebagai buruh tetap.
Tentu saja, kami sebagai serikat tidak terima dengan perlakuan mutasi tersebut. Serikat mengadvokasi kasus kami, dengan prosedur yang ada: melalui perundingan bipartit, tripartit hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kami menuntut agar perusahaan mengangkat kami sebagai buruh tetap atau PKWTT.
Singkat cerita, kasus kami menang, baik pada proses mediasi di Disnaker maupun di PHI. Hakim memutuskan perusahaan harus mengangkat buruh yang sudah lebih dari 10 tahun sebagai buruh tetap alias PKWTT. Sayangnya, setelah putusan tersebut, perusahaan belum mau melaksanakan putusan hakim PHI. Kami pun terus berupaya mendesak PHI untuk melakukan eksekusi terhadap putusannya.
Selain advokasi soal status hubungan kerja, kami juga melakukan pendampingan terhadap anggota serikat yang memasuki masa pensiun. Perusahaan tidak mau membayarkan pesangon sesuai dengan UU yang berlaku. Alasannya, perusahaan sedang dalam masa sulit. Saat ini, advokasi kasus tersebut masih berlangsung di PHI. Saya pun terlibat sebagai salah satu kuasa hukumnya. Sebagai tim hukum, setiap minggu, saya harus bolak-balik ke pengadilan untuk mendampingi anggota dalam persidangan.
Selain mendampingi kasus di persidangan, saya dan teman-teman pengurus juga sedang menyikapi persoalan yang selalu dikeluhkan buruh di tempat kerja. Yaitu terkait izin sakit yang dipersulit oleh perusahaan. Meskipun sudah ada surat keterangan sakit atau surat rawat inap yang dikeluarkan oleh pihak klinik maupun rumah sakit. Kasus ini masih dalam proses mediasi terakhir di Disnaker.
***
Ada satu kasus di mana saya terlibat mendampingi dari awal sampai saat ini. Yaitu, Kasus pemberhentian BPJS Kesehatan oleh perusahaan, padahal kami masih bekerja tanpa di-off atau dijeda, ketika perpanjangan kontrak. Karena mengetahui BPJS Kesehatannya diputus, salah satu buruh yang sakit tidak berani berobat ke rumah sakit. Sebagaimana umumnya, jika BPJS-nya belum dibayar maka, bisa dipastikan rumah sakit akan meminta untuk dibayarkan terlebih dahulu tunggakannya. Sementara ia tak punya uang sama sekali. Kemudian dalam keadaan sakit, ia terpaksa tetap berangkat ke pabrik untuk bekerja, agar upahnya tidak dipotong. Keadaan itu membuat buruh yang sakit tersebut tak kuat bekerja hingga akhirnya jatuh pinsan di tempat kerja.
Informasi tentang kejadian pinsannya buruh saat bekerja sampai ke kami sebagai pengurus serikat. Kami pun langsung segera ke lokasi dan melakukan pertolongan pertama dengan segera membawanya ke klinik perusahaan. Karena keterbatasan alat, dokter klinik menyarankan untuk di bawa ke rumah sakit. Namun, ketika saya dan beberapa kawan mengurus izin ke pihak manajemen, pimpinan perusahaan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa diatasi dengan istirahat di klinik saja. Kami pun sempat berdebat dengan pimpinan perusahaan, selain situasinya darurat, dokter klinik juga menyarankan untuk segera dibawa ke rumah sakit. Pimpinan perusahaan saat itu tidak bisa mengelak dan mengizinkan kami untuk membawa pasien ke rumah sakit.
Awalnya tampak baik-baik saja, namun permasalahan kembali datang ketika buruh tersebut dalam masa perawatan dan memerlukan tindakan medis yang intensif. Kondisi kesehatan yang cukup serius tersebut membuat buruh harus membuat surat izin sakit dan dalam perawatan rumah sakit. Izin sakit ke pihak manajemen justru menjadi kesempatan pihak manajemen dan atasan untuk mengintimidasi buruh tersebut. Atasannya mengatakan bahwa sakitnya dibuat-buat dan tidak harus dirawat di rumah sakit. Kami pun sebagai pengurus serikat marah dengan perlakuan semena-mena perusahaan, sampai akhrinya terjadi forum bipartit. Tak hanya soal izin, kami juga menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab terhadap pembiayaan perawatan rumah sakit karena tidak membayarkan BPJS buruh. Perusahaan tak bisa menyangkal argumen kami, dan akhirnya izin sakit diberikan hingga perusahaan harus menanggung sebesar 50% dari total biaya perawatan selama di rumah sakit.
Berbagai proses mengurus kasus di tempat kerja tersebut, bagi saya menambah pemahaman dan pengalaman saya dalam melakukan perundingan, negosiasi hingga pembelaan di persidangan. Selain menambah kemampuan advokasi saya, proses tersebut juga memupuk kesadaran saya untuk berani menyuarakan ketidak adilan di tempat kerja.
Siapa yang Berpihak ke Buruh?
Suatu waktu, saya berkesempatan terlibat dalam sebuah forum yang dinisiasi oleh Better Work Indonesia (BWI). Saat sesi menyampaikan keluhan, saya yang saat itu mewakili serikat di tempat kerja, menceritakan tentang masih banyaknya pelanggaran hak buruh di tempat kerja saya. Salah satu pelanggaran perusahaan adalah kelebihan jam kerja buruh yang tidak dihitung sebagai kerja lembur.
Target produksi yang tidak masuk akal dan ditentukan sepihak oleh perusahaan, kerap memaksa buruh harus bekerja lebih panjang dari jam kerja normal. Akibatnya, banyak buruh harus bekerja lebih awal sebelum jam kerja resmi dimulai, atau memaksa buruh menyelesaikan targetnya dengan menggunakan waktu istirahatnya. Bahkan banyak buruh terpaksa harus pulang terlambat, melewati jam kerja normal agar dapat mencapai target.
Untuk diketahui, jam kerja di tempat kerja saya adalah 8 jam, dengan 1 jam istirahat: masuk pukul 7 pagi dan pulang pukul 4 sore, istirahat jam 12 siang. Dengan kebijakan target yang tinggi, banyak buruh harus bekerja sebelum jam 7 pagi, tidak memiliki waktu istirahat dan bahkan pulang terlambat hingga jam 5 sore. Jika dirata-rata, kelebihan jam kerja buruh, antara 2 jam sampai 3 jam per hari. Sayangnya, atas nama loyalitas, kelebihan jam kerja tersebut tidak dibayar, alias tidak dihitung sebagai lembur oleh perusahaan.
Bentuk pelanggaran perusahaan lainnya, yang saya sampaikan di forum BWI adalah soal upah. Perusahaan menerapkan “no work no pay,” yang berdampak pada dispensasi buruh untuk mengikuti kegiatan serikat atau cuti haid yang menjadi hak buruh perempuan tidak dibayar oleh perusahaan. Kebijakan tersebut menggerus hak kebebasan berserikat dan hak atas cuti haid.
Forum BWI1 tersebut, saya manfaatkan sebaik mungkin untuk menyuarakan apa yang kami alami di tempat kerja kami. Semua kasus saya ceritakan agar setidaknya BWI bisa memperingatkan perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja di pabrik tempat kami bekerja. Hampir semua hak normatif dilanggar oleh perusahaan, upah, status kerja, hak atas cuti, jam kerja hingga jaminan sosial BPJS tak luput dari pelanggaran.
Tak hanya kami, beberapa serikat yang tergabung dalam BWI, juga menyampaikan kasus yang hampir mirip di tempat kerja saya. Bahkan beberapa kali forum BWI, kami juga menyampaikan kasus yang sama. Artinya, selama ini forum BWI tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di tempat kerja, sehingga pelanggaran hak terus terjadi.
Menurut pandangan saya, BWI sama saja dengan Dinas ketenagakerjaan, tidak bisa memberikan teguran yang tegas dan keras bagi perusahaan yang dengan terang-terangan melakukan pelanggaran hak normatif. Pandangan saya ini pun saya sampaikan langsung di forum BWI tersebut.