“Ada info dari bung X terkait aksi kita kemarin, poster yang tulisannya ‘koperasi penipu’ ada yang akan melaporkan pidana. Pasal yang akan dikenakan pasal 310 dan pasal berapa gitu.” Demikian kalimat yang dikirim seorang kawan ke sebuah group Whatsapp (WAG).
Chat tersebut dikirim tepat satu hari setelah saya terlibat aksi solidaritas untuk kawan-kawan dari buruh bandara yang dipecat pada massa Covid-19. Aksi itu dilakukan di kantor Dinas Koperasi Kota Tangerang, pada awal September 2024, dengan tuntutan utama pembayaran pesangon. Kasus pemecatan massa itu telah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung pada Oktober 2023.
Dalam putusannya, MA menetapkan: seratus orang buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Gerakan Buruh Katering (SB Gebuk) berhak atas pesangon. Pembayaran pesangon ditanggung renteng oleh dua perusahaan. Perusahaan pertama, PT. Aerofood Indonesia telah membayarkan kewajibannya. Sementara perusahaan kedua PT. Nur Hasta Utama (PT. NHU), sampai hari ini belum menunaikan kewajibannya.
Perusahaan yang tersebut terakhir, telah dibubarkan saat kasus pemecatan tersebut sedang diproses di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PT. NHU merupakan salah satu unit usaha Koperasi Karyawan (Kopkar) Angsana Boga yang beranggotakan buruh-buruh PT. Aerofood Indonesia yang berstatus tetap. Pembubaran PT. NHU ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) koperasi. Selain menutup perusahaan, keputusan RUPS juga menyebutkan pihak koperasi akan melunasi seluruh kewajiban perseroaan.
Kelakuan anti buruh oknum pimpinan serikat
Berpegang pada Putusan MA dan Keputusan RUPS Kopkar Angsana Boga, serikat buruh menemui koperasi untuk bertanggung jawab atas kekurangan pesangon. Awalnya, serikat buruh menunggu itikad baik koperasi. Namun, tiga tahun berlangsung, itikad baik itu tak kunjung datang. Bahkan, ketika serikat mengadakan pertemuan dengan pengurus Koperasi, pihak koperasi mengelak dengan dalih, persoalan tersebut tanggung jawab dari pengurus koperasi sebelumnya.
Setelah tiga kali pertemuan tidak menghasilkan apapun karena pihak koperasi melemparkan tanggung jawabnya kepada pengurus lama. akhirnya seratus buruh yang tergabung dalam serikat bersepakat untuk melakukan aksi massa ke Kantor Dinas Koperasi Kota Tangerang, awal September 2024. Tuntutannya, meminta kepada Dinas Koperasi untuk memberikan teguran kepada Kopkar Angsana Boga untuk segera membayarkan sisa pesangon berdasarkan putusan MA.
Awalnya, aksi berjalan dengan lancar. Pihak Dinas pun menerima keluhan para buruh. Namun, sehari setelah aksi, kabar buruk datang. Poster bertuliskan ‘Koperasi Penipu” yang dibawa salah satu peserta saat aksi, akan dipersoalkan oleh kuasa hukum koperasi. Poster tersebut dianggap sebagai tindakan pencemaran nama baik Kopkar. Secara lugas, kuasa hukum mengancam akan melaporkannya sebagai tindak pidana.
“Kita tunggu saja surat panggilan dari kepolisian jika memang akan dilaporkan,” tulis saya di WAG, saat mengomentari ancaman kriminalisasi yang sempat membuat beberapa orang gentar.
Dua bulan berlalu, tidak ada surat panggilan dari kepolisian yang datang. Kecuali, surat somasi pertama dari kuasa hukum Kopkar yang diterima SB Gebuk pada awal November 2024. Kemudian disusul somasi kedua pada bulan berikutnya.
Isi dari dua surat somasi tersebut: Pihak Kopkar merasa, SB Gebuk telah melakukan pencemaran nama baik dengan bukti poster-poster saat aksi. Kopkar juga meminta SB Gebuk yang disomasi menyatakan permintaan maaf secara terbuka melalui video dan diunggah untuk disebar di akun media sosial serikat.
“ Sesuai dugaan, kuasa hukum dari koperasi yang mensomasi kita yaitu R,” ungkap seorang kawan mengetahui R dari surat somasi yang diterima SB Gebuk. R adalah Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) serikat buruh di Kota Y, yang terafiliasi dengan salah satu konfederasi serikat buruh besar di Indonesia.
“Lha, bagaimana bisa seorang ketua DPC serikat buruh menjadi kuasa hukum pengusaha, untuk melawan buruh? Bahkan mengancam akan mengkriminalkan buruh yang sedang berjuang menuntut hak?” ucap saya dengan perasaan jengkel.
***
Kasus buruh atau serikat buruh berhadapan dengan pimpinan serikat buruh yang menjadi kuasa pengusaha, bukan satu-satunya kasus yang saya temui. Sebelumnya, awal 2024, seorang kawan yang baru saja dipecat dari tempat kerjnya menghubungi saya menceritakan apa yang ia alami.
Malam itu serkira pukul 23.00, saat saya bersiap tidur, nada dering handphone saya di meja samping tempat tidur berbunyi.
“Teh, urang di PHK (Teh saya di PHK ) “ ucapnya, tepat setelah saya angkat panggilan dan menyapa dengan kalimat pendek, “halo, aya naon yeuh? (Halo, ada apa ya?”
“Kumaha ceritana? Kapan di PHK-na?” tanyaku merespon kabar buruk yang dialaminya.
“Hari ini diputus kontrak, teh. Padahal masih sembilan bulan kontrak saya habisnya nih,” jawabnya dengan suara datar bercampur kesal.
“Sisa kontraknya dibayar nggak?” tanya saya kembali.
“Boro-boro. Cuma dibayar sisa upah doang. Urang nolaklah. Pasea urang jeung HRD-na, Teteh nyaho teu siapa HRD-na?” jelasnya, sembari melempar pertanyaan seolah saya tau jawabannya.
Siapa? Tanyaku singkat.
Teteh pasti kenal, Si ‘T’ eta HRD-na, pengurus DPC serikat X eta.
Oh si eta. Kok bisa ya? Jawabku mengkonfirmasi bahwa saya tahu siapa yang memecat kawan tersebut.
Ya, ‘T’ adalah salah satu pengurus serikat tingkat DPC di kota Z yang terafiliasi dengan salah satu konfederasi serikat buruh besar di Indonesia.
Dibesarkan serikat, dicomot pengusaha
Dua cerita di atas tentu bukan hal baru. Beberapa tahun sebelumnya, secara terpisah, dua orang kawan yang merupakan pimpinan serikat buruh tingkat cabang, curhat ke saya. Saat itu, kedua kawan tersebut sama-sama sedang menangani kasus di PHI Serang. Dalam proses persidangan, secara kebetulan mereka berhadapan dengan pihak perusahaan yang kuasa hukumnya sama, yaitu seorang pimpinan serikat tingkat DPC di salah satu kota di Provinsi Banten.
“…gua pernah telepon pak ‘M’ (ketua pusat konfederasi Serikat Buruh “X”). Tahu nggak dia jawab apa?” tanya salah seorang kawan ke saya dengan nada yang kesal.
Belum sempat saya merespon pertanyaannya, dia kembali meneruskannya.
“itu memang profesinya,” tambahnya, saat menjawab pertanyaan dia sendiri dengan statement dari pimpinan pusat yang ia tanyakan melalui telepon.
“Opss… Kalau jawaban dari pimpinan pusat konfederasinya saja seperti itu, mau bagaimana lagi” ucapku sedikit kaget.
“Padahal serikatnya terlibat dalam aliansi untuk mendukung seorang buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh majikannya gegara curhat di platform media sosial,” jelasnya saat menjelaskan sikap kontradiktif seorang pimpinan serikat.
“Lha terus gimana ceritanya tuh bapak, jadi standar ganda dong?” timpalku merasa aneh.
Bagi saya, aneh rasanya jika orang-orang yang dibesarkan dari serikat dan dikenal sebagai aktivis serikat buruh, dalam kasus perburuhan, mereka berdiri di posisi membela perusahaan. Terlepas perusahaan yang dibelanya bukan bagian dari basis serikatnya.
Aktivis serikat yang berperan ganda seperti ini sama sekali tak punya malu. Suatu waktu ia berhadapan dengan kawan sesama pimpinan serikat yang membela buruh, Di lain waktu atau bersamaan bisa bersama-sama dalam satu aliansi serikat buruh memperjuangkan tuntutan yang sama.
Sejujurnya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kawan-kawan yang pernah berhadapan dengan aktivis serikat buruh cum pengacara pengusaha pengusaha bertemu dalam aliansi yang sama. Lalu mereka tampil di atas mobil komando meneriakkan “hidup buruh dan solidaritas”.
“Bacotlah!” komentar saya ketika menyaksikan ‘R’ sebagai pimpinan serikat yang pernah menjadi kuasa pengusaha, menyampaikan orasi politik pada acara konsolidasi aliansi serikat menolak Undang Undang Cipta Kerja, di salah satu hotel di kota Tangerang.
Menjadi pengacara hanya untuk karir, bukan berjuang
Saat ini salah satu profesi yang banyak diminati, adalah pengacara. Mungkin itu yang menjelaskan kenapa fakultas hukum menjadi salah satu program studi yang diincar banyak mahasiswa. Selain dapat menjadi pengacara, lulusan hukum juga menjanjikan banyak peluang karir, seperti, hakim, jaksa, notaris, kurator hingga HRD urusan legal dll. Daya tarik orang belajar hukum bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tapi juga bagi aktivis serikat buruh. Per 2023, di Indonesia terdapat 1048 fakultas hukum untuk jenjang Strata satu (SI) di kampus swasta maupun negeri.1
“Setiap tahun lebih dari 800 orang dikukuhkan sebagai pengacara” ujar seorang kawan, disela-sela diskusi kami mengenai pimpinan serikat yang berprofesi sebagai pengacara. Sejalan dengan amatan saya: Dalam sepuluh tahun terakhir banyak pimpinan-pimpinan serikat buruh yang nyambi kuliah, mengambil jurusan hukum. Apalagi sekarang banyak bermunculan kampus-kampus yang menyediakan program “Kelas Karyawan” dengan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester hanya sekitar Rp600 ribu.
Tidak ada yang salah dengan profesi pengacara. Tidak juga salah dengan pimpinan-pimpinan Serikat Buruh yang nyambi jadi pengacara. Namun, akan menjadi persoalan jika pimpinan serikat buruh tersebut menjadi kuasa hukum pengusaha untuk melawan buruh atau serikat buruh. Apalagi, kasus yang ditanganinya soal perselisihan hak. Sebagaimana cerita kawan-kawan buruh bandara yang dikriminalisasi oleh kuasa hukum perusahaan yang merangkap sebagai pimpinan serikat buruh.
Pertanyaannya kemudian, apakah boleh seorang pimpinan serikat buruh menjadi kuasa hukum pengusaha? Tentu saja tidak ada larangan. Namun, bisa dipastikan hal ini akan bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan serikat buruh.
Lalu apakah sebagai seorang pengacara bisa menolak klien? Pengacara dilindungi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam membela kepentingan klien-nya, Undang-undang no 18 tahun 2003 melindungi hal tersebut.
Dalam sumpah pengacara menyebutkan tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum suatu perkara yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang advokat pasal 4 ayat (2).
Namun didalam pasal 4 huruf j menyebutkan bahwa, advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih, harus mengundurkan diri sepenuhnya dari kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Kembali pada persoalan kuasa hukum yang menjadi pengusaha seperti kasus kriminalisasi terhadap 100 buruh Bandara yang tergabung dalam SB Gebuk. Dimana kuasa hukum dari pihak pengusaha adalah seorang pimpinan serikat.
Memang, secara kode etik tidak melanggar, namun, secara kasus akan bertentangan, dimana bapak ‘R sebagai ketua serikat tingkat DPD. Saya tidak mau berpikiran negatif bahwa bapak ‘R’ lupa bahwa, fungsi dari serikat buruh adalah sebagai sarana untuk memperjuangkan, melindungi dan membela kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya.
Buruh bandara sedang memperjuangkan haknya yang belum dibayarkan selama tiga tahun oleh pengusahanya. Lalu mereka aksi dan diancam akan kriminalisasi. Strategi pengacara yang demikian menurut saya adalah strategi yang culas. Bukannya merespon pokok masalahnya, tapi malah mengalihkan perkara lain dengan mengadi-ngadi.
Dalam obrolan warung kopi, cerita pimpinan serikat yang nyambi jadi pengacara pengusaha, kerap melegitimasi kelakuannya dengan pernyataan “Yang penting, perusahaan yang dibela bukan basis anggota serikatnya, agar tidak terjadi konflik kepentingan”. Dengan kalimat lain, tugas dan fungsi sebagai pemimpin serikat untuk membela buruh dibatasi dengan keanggotaan. Mengapa demikian? Apakah karena terhalang oleh kode etik di serikat atau faktor lain?
Catatan Kaki