Refleksi Kemerdekaan dan Demokrasi yang Belum Tuntas
Agustus selalu punya aroma yang khas. Bendera merah putih berkibar di sudut-sudut jalan, pengeras suara di balai warga memutar lagu kebangsaan, dan spanduk bertuliskan “Dirgahayu Republik Indonesia” membentang di mana-mana. Tapi di balik gegap gempita itu, saya menyimpan satu pertanyaan yang terus mengganjal: sudahkah kita benar-benar merdeka. Bukan hanya sebagai bangsa, tapi juga di ruang-ruang kecil yang kita sebut ‘gerakan rakyat’?
Pertanyaan ini lahir dari percakapan dan pengalaman saya selama bertahun-tahun di Jakarta. Dari forum-forum diskusi hingga rapat konsolidasi, dari aksi jalanan hingga obrolan di warung kopi. Ada pola yang semakin jelas: beberapa sosok yang paling lantang bicara soal kesetaraan, pembelaan korban, dan keadilan sosial, ternyata juga menjadi pelaku penindasan di lingkaran terdekat mereka.
Dalam buku Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire pernah menulis, “Leaders who do not act dialogically, but insist on imposing their decisions, do not organize the people—they manipulate them. They do not liberate, nor are they liberated: they oppress” atau “Para pemimpin yang tidak bertindak secara dialogis, tetapi bersikeras memaksakan keputusan mereka, tidaklah mengorganisir rakyat—mereka memanipulasi rakyat. Mereka tidak membebaskan, dan juga tidak dibebaskan: mereka menindas.”. Kalimat itu bagi saya terasa menampar, karena saya melihatnya terjadi di depan mata.
Masalah ini jarang meledak seperti skandal besar. Ia lebih sering menjalar pelan, seperti asap yang merayap di lantai. Semua orang mencium baunya, tapi banyak yang memilih berpaling. Begitu ada yang mencoba membicarakannya, kalimat klise pun muncul: “Jangan dibesar-besarkan; Ini urusan internal; Kita harus jaga kesolidan.” Kesolidan—kata yang terdengar begitu luhur—sering dipakai untuk menutup luka yang justru menggerogoti tubuh gerakan dari dalam.
Saya teringat lagi pada Freire yang menulis, “Any situation in which some men prevent others from engaging in the process of inquiry is one of violence;… to alienate humans from their own decision making is to change them into objects” atau “Setiap situasi di mana sebagian orang mencegah orang lain untuk terlibat dalam proses pencarian pengetahuan adalah sebuah bentuk kekerasan; …mengasingkan manusia dari pengambilan keputusan mereka sendiri berarti mengubah mereka menjadi objek”. Betapa tepatnya kutipan itu menggambarkan bagaimana suara-suara di dalam gerakan sering dipaksa bungkam demi menjaga citra, seperti rakyat yang diminta dan dipaksa diam demi “stabilitas” negara.
Saya pernah duduk di barisan belakang sebuah rapat besar. Pimpinan rapat—seorang lelaki paruh baya—mengangkat suara dengan penuh kebanggaan: ia bercerita tentang dua dekade perjuangannya, aksi-aksi besar yang ia pimpin, jalan tol yang ditutup, dan polisi yang dihadapi. Pengalaman memang berharga, tapi saat ia menutup kalimat dengan, “Beda sama gerakan sekarang, lemah dan nggak mau belajar dari sejarah!” saya merasa ada jurang yang lebar antara generasi.
Kemerdekaan 1945 tidak lahir dari orang-orang yang sekadar menjaga status quo. Ia lahir dari keberanian kaum muda yang berani menantang arus. Tapi di banyak organisasi yang saya ikuti, kursi strategis tetap dipegang orang lama—bukan karena visi, tapi karena senioritas dan loyalitas. Generasi baru ada, tapi sering hanya menjadi “panggung boneka” yang digerakkan dari balik layar.
Masalahnya bukan hanya di kepemimpinan. Pengetahuan pun dimonopoli. Di banyak rapat, keputusan besar diambil oleh segelintir orang. Anggota hanya sekadar objek instruksi. Pada suatu kesempatan, saya mengusulkan agar perencanaan kampanye melibatkan semua anggota. Seorang senior menanggapi sambil tersenyum tipis, “Nanti aja kalau sudah paham medan. Sekarang ikut aja dulu.” Seketika saya teringat Antonio Gramsci yang bicara soal hegemoni: kekuasaan tidak hanya bertahan lewat kekerasan, tapi juga lewat pengendalian pengetahuan. Sampai di sini, pengendalian itu ada dan nyata, bisa ditemui di mana-mana.
Keterbukaan soal keuangan? Hampir selalu samar. Laporan ada, tapi hanya formalitas. Dana dipegang segelintir orang, sementara mereka yang bekerja di lapangan tak tahu berapa yang sebenarnya tersedia. Di titik ini, saya merasa gerakan kita mencerminkan wajah negara kita sendiri: janji-janji kesejahteraan disebar, tapi akses informasi dibatasi. Kemerdekaan tanpa transparansi hanyalah topeng bagi bentuk baru penjajahan—penjajahan oleh elit terhadap basis yang mereka wakili.
Dan tentang solidaritas—kata yang kerap dikibarkan di spanduk—sayangnya sering berhenti sebagai slogan. Saya melihatnya runtuh di balik ambisi personal, ego, dan perebutan panggung. Sama seperti dalam politik elektoral, jargon “demi rakyat” bisa saja hanya kedok untuk kepentingan pribadi.
Maka setiap kali bulan Agustus tiba, dan lagu kebangsaan mengalun, saya selalu berpikir dan bertanya-tanya: apakah kita sudah merdeka di rumah kita sendiri? Apakah kita sudah berani membongkar penindasan internal sebelum mengklaim melawan tirani di luar? Gerakan rakyat seharusnya menjadi ‘oase demokrasi’ di tengah politik nasional yang makin tersentralisasi. Jika tidak, maka peringatan kemerdekaan hanya akan menjadi ritual tahunan—merdeka di bibir, tapi terjajah dalam praktik.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!