Pada tulisan sebelumnya, saya menceritakan kehadiran dan dukungan isteri tercinta, keluarga dan kawan seperjuangan, berperan besar terhadap penguatan diri saya dalam menghadapi badai pemecatan. Tanpa mereka, mungkin saya sudah menyerah, bahkan mungkin saya mengingkari janji yang ditanamkan dalam diri saya, untuk terus memperjuangkan hak-hak buruh di industri kebandarudaraan. Janji, tekad, dan semangat itu, bukan lahir tiba-tiba, melainkan lahir dari serangkaian proses dan peristiwa yang membentuk perspektif dan nilai-nilai yang saya pegang. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya hendak menceritakan proses sedari awal keterlibatan saya di serikat Asosiasi Cabin Crew Citilink (ACCI) hingga terlibat dalam perjuangan-perjuangan buruh yang lebih luas. Berdasarkan pengalaman saya, berserikat menjadi satu-satunya cara menggalang kekuatan untuk berjuang mencapai kesejahteraan.
***
Saya ingat betul, malam itu, pertengahan Februari 2014. Dengan ditemani beberapa botol minuman fermentasi anggur, saya dan enam orang kawan sesama awak kabin Citilink, Henry, Candra, Albert, Tora, Biko, dan Dandy, berkumpul di sebuah rumah milik seorang kawan yang kami anggap senior. Rumahnya terletak di kawasan real estate Modern Land di Kota Tangerang.
Berkumpul selepas kerja sesama awak kabin, biasa kami lakukan untuk sekadar melepas penat setelah seharian melayani penumpang di pesawat selama terbang dari kota satu ke kota lain. Saling berbagi cerita tentang apapun dan bercanda lepas adalah bagian dari cara kami mengendorkan urat syaraf yang disebabkan oleh segala macam beban kerja. Kami menyebutnya dengan healing murah meriah. Healing yang tanpa foya-foya, hedon, namun tetap memelihara keakraban. Cukup dengan duduk melingkar di rumah atau di mess awak kabin, serta beberapa botol anggur sebagai pengendor ketegangan urat syaraf selepas kerja.
Malam itu tak seperti biasa. Obrolan dan candaan kami tak sekadar melepas penat. Entah siapa yang memulai, obrolan malam itu membawa kami pada diskusi serius: Membangun mimpi besar dengan organisasi serikat buruh awak kabin di Citilink. Organisasi awak kabin yang dicita-citakan dapat melindungi hak-hak kami sebagai buruh di maskapai penerbangan.
“Kita bisa mulai dengan mengangkat isu upah!,” ucap Henry yang duduk tepat di depan saya. Suaranya lantang penuh keyakinan. Sesekali Henry mengepalkan tangan saat berbicara. Gestur tubuhnya memengaruhi psikologi beberapa orang di antara kami.
“Ya, benar sekali, gue setuju. Pasti akan banyak orang yang bergabung jika bicara soal kenaikan gaji,” timpal Tora dengan yakin mendukung ide pengorganisasian buruh awak kabin melalui isu upah. Beberapa pasang mata tampak berbinar, membayangkan serikat yang dibangun akan tumbuh besar dengan menawarkan perjuangan atas upah. Begitu pun dengan Candra, Biko dan Dandy, mereka sepakat dengan ide yang dilontarkan Henry. Kecuali saya.
Meskipun tidak setuju, saya berusaha menjelaskannya. Pendapat saya, jika isu kenaikan upah yang ‘dimainkan’ di awal pembentukan serikat, akan mudah bagi perusahaan menyerang balik para penggagasnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan siapapun awak kabin yang mendukung gagasan itu, turut jadi korban. Kecuali serikat sudah terbentuk dan kuat.
Setelah saya menjelaskan ketidaksetujuan atas ide Henry, saya pun mencoba menyampaikan usulan. Menurut saya, usulan saya lebih strategis dan ringan. Yaitu: membangun wacana di kawan-kawan awak kabin yang masih berstatus kontrak tentang kepastian kerja. Tak hanya itu, Saya juga menyampaikan usulan strateginya. Bahwa, perekrutan anggota bisa dimulai dari awak kabin yang berstatus tetap terlebih dahulu, dan jangan terburu-buru merekrut awak kabin yang masih berstatus kontrak.
“Awak kabin yang masih berstatus kontrak memiliki risiko cukup besar, mudah dipecat perusahaan dengan alasan tidak diperpanjang kontrak. Sementara jika merekrut awak kabin tetap, perusahaan tidak dengan mudah memecatnya. Setidaknya perusahaan perlu banyak pertimbangan untuk memecatnya,” jelasku, pelan.
Mendengar penjelasan saya, semua orang terdiam, suasana mendadak hening sejenak. Tampak beberapa kawan saling menatap di antara mereka.
“Ngapain kita memprioritaskan pegawai tetap, mereka sudah aman, yang tidak aman itu kita yang masih kontrak,” ucap Henry, memecah hening. Bantahan Henry terhadap ide saya disambut dengan kawan lain yang membawa kami dalam perdebatan. Mereka menganggap ide saya pro manajemen, bahkan dinilai terlalu mementingkan service.
“Lu takut dipecat karena masih kontrak, ya? Kalo takut, lu gak usah jadi pengurus,” ucap Albert mematahkan ide saya yang dinilai terlalu takut dengan risiko berserikat.
Merespon tuduhan itu, saya pun berucap janji dengan mengatakan bahwa saya tetap mendukung pembentukan serikat, dengan menjadi anggota pertama. Tak hanya itu, saya juga berjanji, jika saya telah diangkat sebagai awak kabin dengan status tetap, saya akan totalitas berkerja untuk serikat.
Beberapa kawan terus mempertanyakan keseriusan saya. Pertanyaan demi pertanyaan, bantahan demi bantahan dari mereka memantik saya untuk berfikir keras membangun argumen, agar mereka memahami ide dan strategi yang saya tawarkan. Pengalaman saya berbisik, “fokus pada upah di awal pembentukan serikat bisa jadi bumerang”. Menghadapi perdebatan itu, beberapa kali saya menarik nafas untuk menenangkan diri agar tak larut pada perdebatan yang tak sehat.
“Tuang lagi gelasnya bro, perdebatan makin seru nih, satu lawan enam,” ucapku mencoba mencairkan suasana. Beberapa orang tertawa. Biko kembali mengambil gelas kosong dan menuangkan anggur dari botol ketiga.
“Sebenarnya itu kekhawatiran gua aja, karena kita sebagai buruh kontrak rentan sekali dipecat, apalagi kalau perusahaan melihat serikat sebagai ancaman. Ini bisa membahayakan kita semua,” lanjutku dengan nada pelan. Saya mencoba melempar pandangan bahwa serangan balik perusahaan adalah keniscayaan dan harus menjadi pertimbangan dalam memitigasi risiko.
Suasana yang sempat cair kembali tegang. Hening kembali. Beberapa orang menatapku aneh. Mereka memandangku seolah aku baru saja mengucapkan kutukan perjuangan.
“Lu terlalu pesimis, Tan! Ini itu kesempatan emas untuk menarik perhatian. Tak ada orang yang tak ingin gajinya besar” tegas Tora dengan nafas mendengus, menandakan kalimat yang diucapkannya bercampur dengan emosi karena ketidaksepakatan ku.
Aku mencoba menjelaskan lagi. Serikat yang kuat dibangun di atas fondasi yang kokoh, bukan sekadar janji-janji sesaat. Bagi saya, keamanan anggota dan keberlanjutan serikat, jauh lebih penting daripada popularitas instan. Sayangnya, penjelasan panjang-lebarku tenggelam dalam dukungan mayoritas dari ide yang kutolak. Ideku dianggap naif, bahkan kontraproduktif. Mereka terlalu yakin dengan isu kenaikan upah, terlalu percaya diri bisa menghadapi segala konsekuensi yang saya khawatirkan.
Perdebatan malam itu berakhir dengan berbagai penilaian tentang saya: pesimis, takut, kontraproduktif hingga dianggap pro manajemen. Meski begitu, bagi saya, perbedaan pandangan adalah keniscayaan dalam organisasi, perkumpulan, bahkan dalam pertemanan sekalipun. Dengan perbedaan pandangan itulah organisasi berdiri pada nilai-nilai demokrasi.
Perdebatan tak selesai. Menjelang dini hari, saya pun pulang dengan otak yang tak henti-hentinya berfikir. Meski ideku ditolak, aku selalu berusaha berfikir, apa yang harus saya lakukan dan berikan untuk organisasi yang akan kami dirikan. Enam kawanku memilih jalan yang aku tahu, akan penuh duri. Ketiadaan dukungan membuatku tetap tegar. Aku hanya bisa berharap, semoga kekhawatiranku salah. Tapi jauh di lubuk hati, aku tahu ini hanyalah awal dari sebuah kisah yang lambat-laun akan menemukan tantangannya.
Dari forum jadi serikat buruh ACCI
Tiga tahun berlalu, tepatnya pada 13 Desember 2017, saya mendengar kabar yang tak terduga dan mengejutkan. Enam kawan yang pernah berdiskusi dengan saya malam itu, berhasil membuat Forum Awak Kabin Citilink. Pembentukan forum itu merupakan inisiasi awal untuk persiapan pembentukan serikat, atau semacam komite pembentukan serikat. Saya sendiri tak terlibat pembentukan forum tersebut. Saat itu saya sedang terbang ke luar kota.
Kabar yang kudengar, pertemuan pertama forum tersebut membicarakan beberapa hal terkait persiapan pembentukan serikat. Setidaknya ada tiga hal yang disepakati dalam pertemuan inisiasi dari forum tersebut. Pertama Memilih ketua dan pengurus forum sebagai penggerak organisasi. Kedua, melakukan kerja-kerja perekrutan awak kabin sebagai anggota forum. Ketiga, jika secara kuantitas banyak awak kabin yang terlibat menjadi anggota forum, akan dipersiapkan untuk didaftarkan sebagai serikat buruh.
Entah mengapa, sejak perdebatan malam itu, saya hampir tak mendengar lagi cerita tentang gagasan pembentukan serikat. Selain karena jam terbang yang terlalu padat,1 perbedaan pendapat malam itu, barang kali membuat beberapa kawan, sungkan untuk berdiskusi denganku. Meski tak terlibat dalam prosesnya, jujur, saya sangat senang dan bangga mendengar kabar Forum Cabin Crew Citilink tersebut. Sebagaimana janji yang pernah saya ucapkan malam itu, saya segera mendaftarkan diri sebagai anggota forum, meskipun saat itu belum terdaftar sebagai serikat buruh.
Singkat cerita, Forum Awak Kabin Citilink disambut secara antusias di kalangan awak kabin. Hal itu tercermin dalam waktu sembilan bulan Forum Cabin Crew Citilink memiliki anggota lebih dari 80 orang.
Per 4 September 2018, akhirnya forum tersebut secara resmi berhasil didaftarkan sebagai serikat buruh di Disnaker Kota Tangerang, dengan nama Asosiasi Cabin Crew Citilink (ACCI). Pada fase awal ini, saya sangat mengapresiasi keseriusan kawan-kawan selama lebih dari tiga tahun berjuang membentuk serikat. Rasanya ini mewakili kemenangan awal bagi awak kabin Citilink karena telah terbentuk wadah perjuangan.
Ketua pertama ACCI adalah seorang perempuan bernama Jesica. Saya mengenal Jesica sebagai sosok yang tangguh dan cukup cakap dalam berargumen. Lagi-lagi saya merasa gembira mendengar kabar lahirnya ACCI dengan sosok pemimpin yang kuat. Setidaknya kabar itu menumbuhkan secercah harapan bagi saya dan seluruh awak kabin Citilink. Tentu saja kami semua berharap ACCI dapat menjadi wadah untuk memperjuangkan hak-hak awak kabin.
Tantangan demi tantangan
Awalnya ACCI terlihat berjalan tanpa hambatan. Namun, seperti yang sering terjadi dalam banyak perjuangan, jalan tak selamanya mulus. Pasca pembentukan ACCI, kabar demi kabar mulai kudengar, sayup-sayup. Hambatan dan masalah tak henti-henti menerpa ACCI. Tantangan dari internal, tekanan dari eksternal, dan berbagai kendala pengorganisasian membuat semangat beberapa pengurus mulai kendor. Cahaya perjuangan yang sempat bersinar menerangi harapan anggota, mulai redup diterpa berbagai badai masalah. Sayangnya, sebagai anggota, saya tak dapat berbuat apa-apa.
Dari cerita yang kudengar, tantangan internal di pengurus ACCI adalah sulitnya mengatur jadwal pertemuan di antara pengurus. Intensitas jam terbang yang tinggi dan mobilitas awak kabin yang tersebar di berbagai rute penerbangan Citilink, menjadi pangkal soal dari gagalnya membangun kekompakan di antara pengurus. Di luar soal kekompakan, hal yang paling mendasar dari persoalan di internal ACCI adalah gagalnya membangun konsesus bersama dari setiap perbedaan pendapat di antara pengurus.
Akhirnya, serikat yang dibangun dengan susah payah itu tak mampu berdiri tegak. ACCI yang sebelumnya menjadi simbol harapan dan persatuan, harus menghadapi kenyataan pahit. Ia meredup, tak lagi terdengar gaungnya, seolah hilang ditelan bumi oleh berbagai masalah yang tak terselesaikan.
Mengingat kembali perdebatan sengit malam itu, tentang strategi, dan kini menyaksikan bagaimana organisasi yang dibangun mulai rapuh, menyisakan kesedihan yang mendalam bagi saya. Namun saya melihat ada pelajaran berharga di sini, tentang beratnya membangun dan mempertahankan sebuah organisasi. Terutama ketika gagal membangun fondasi dan prinsip-prinsip organisasi.
Kepedihan itu semakin menganga, mengukir luka yang dalam di hati. Lagi-lagi ingatanku tertuju pada perdebatan awal. Cara-cara menghadapi perbedaan pendapat itu sudah terlihat sejak kami berdebat tanpa menemukan mufakat. Perbedaan pendapat yang tak dihargai, sebagai penanda awal tidak terbangunnya prinsip demokrasi, kesetaraan. Konsensus yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam serikat buruh digerogoti oleh dominasi subjektif. Keputusan-keputusan mulai diambil tanpa musyawarah mufakat, mengabaikan suara-suara lain, menciptakan retakan yang semakin lebar di tubuh organisasi.
Saya melihat prinsip organisasi gagal dibangun bersama. Hal ini berpengaruh pada cara pengurus memperlakukan anggota. Pada titik kronis, persoalan yang dihadapi anggota akan mudah diabaikan. Pertemuan-pertemuan akan dipenuhi ketegangan, bukan lagi forum untuk mencari jalan keluar bersama. Tak jarang, pertemuan menjadi ajang untuk saling mengunggulkan diri. Jika situasinya demikian, kepercayaan yang susah payah dibangun lambat laun akan hancur.
Puncaknya, seperti pukulan telak yang menyakitkan, Ketika Umum ACCI, Jesica, memilih mundur dan pergi meninggalkan Indonesia, untuk keperluan pribadinya. Kepergiannya bukan sekadar absennya seorang pemimpin, tapi juga mencerminkan runtuhnya pilar terakhir yang menopang serikat. Mundurnya Jesica memberi kesan kuat: Setelah sekian lama ia berjuang melawan badai internal, akhirnya menyerah, lelah menghadapi friksi yang tak berujung.
Mundurnya ketua umum menyebabkan kekosongan nahkoda serikat ACCI dalam waktu yang cukup lama. ACCI yang semula digadang-gadang akan menjadi garda terdepan bagi perjuangan hak-hak awak kabin, nyaris jadi kenangan. Fase Ini adalah bagian yang menyedihkan dari perjuangan, sebuah pengingat abadi akan pentingnya persatuan dan kesetaraan dalam serikat.
Tumbuhnya kesadaran kolektif
Pada pertengahan 2019, Tora, salah satu pengurus ACCI yang masih bertahan, menemui saya. Ia menceritakan kondisi ACCI terakhir. Sejak Jesica mengundurkan diri, ACCI mengalami kevakuman hampir setahun. Beberapa orang pengurus tidak aktif. Sementara yang masih bertahan kesulitan berkoordinasi untuk membangun kembali organisasi.
“Kita perlu mengumpulkan kembali para pengurus ACCI dan beberapa orang anggota yang masih peduli dengan organisasi, untuk mengatasi kekosongan kepemimpinan,” jelas Tora kepadaku. Ceritanya menggambarkan keputusasaan namun tatapan matanya memberikan kesan tak rela jika ACCI hilang ditelan waktu.
“Lu kan banyak pengalaman di organisasi, ayolah sama-sama kita bangkitkan dan besarkan ACCI,” pintanya kepadaku.
Entah kenapa, Tora percaya saya bisa berbuat sesuatu di tengah kondisi ACCI yang terpuruk. Mungkin ia mengetahui latar belakang saya yang memiliki sedikit pengalaman dalam berorganisasi. Ia berharap saya bisa menjadi bagian dari solusi, atau setidaknya bisa memperlambat laju kehancuran ACCI.
Awalnya, saya sempat ragu. Membayangkan dunia perserikatburuhan masih awam untuk ku, penuh dengan intrik dan perjuangan yang tak mudah. Namun, setelah merenung panjang, saya menyadari bahwa ini bukan sekadar membantu seorang kawan, melainkan sebuah pertaruhan besar atas nasib banyak orang. Keraguan dalam diri saya tersapu oleh makna pentingnya keberadaan serikat, terutama dalam melindungi hak-hak pekerja di tengah situasi kerugian PT Garuda Indonesia yang sempat berdampak pada anak perusahaannya, Citilink. 2
Perenungan itu membawa saya pada kesadaran, kepedulian dan pentingnya persatuan bagi awak kabin untuk menghadapi situasi perusahaan yang mulai terseok-seok. Ancaman pemecatan, pemotongan upah dan perlakuan tidak adil, kapan saja bisa menyerang kami semua. Satu-satunya cara menghadapi situasi itu adalah dengan mempertahankan dan menguatkan kembali ACCI. Keyakinan inilah yang mengetuk rasa simpati dan empati saya untuk menerima ajakan Tora, memperbaiki ACCI, meskipun berat.
Setelah saya menerima ajakan Tora, kepercayaan pun datang, sebuah amanah berat diberikan kepada saya sebagai salah satu pengurus. Tidak lama kemudian, saya didapuk menjadi Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Sebuah jabatan yang menantang, karena disinilah kami harus merumuskan strategi, mencari celah, dan mengembangkan ide-ide baru untuk menjaga ACCI tetap relevan dan kuat. Dan yang terpenting kehadiran ACCI dirasakan oleh anggota. Sejak saat itu, saya mendedikasikan diri sepenuhnya untuk ACCI. Bersama rekan-rekan pengurus lainnya, kami bekerja keras, siang dan malam, dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan.
Menata kembali ACCI
‘Kehancuran’ ACCI menyisakan puing-puing, namun, di antara reruntuhan itu, masih ada percik harapan yang menyala meski redup. Setelah hampir setahun kepergian NK, di tengah tuntutan kerja yang tinggi, masih ada beberapa kawan pengurus yang tak ingin menyerah begitu saja. Kami berkumpul lagi, hati terasa berat, tapi ada tekad yang tak mau mati: ACCI harus bangkit!
Kami memulai perombakan, mencari wajah baru, sosok yang bisa menjadi pemimpin baru menggantikan Jesica. Proses itu penuh dengan keputusasaan. Hampir mustahil menemukan seseorang pemimpin yang mau memikul beban seberat ini di tengah tantangan perusahaan yang mulai goyah. Namun, tanggung jawab para pengurus yang loyal, yang telah berkorban banyak, tak boleh diabaikan.
Ini bukan hanya tentang jabatan, tapi tentang janji yang pernah kami ucapkan pada diri sendiri dan pada rekan-rekan awak kabin. Beberapa dari kami masih memegang erat keyakinan itu, bahwa ACCI masih bisa diselamatkan.
“Kita harus coba lagi, kita harus yakin apapun hasilnya semua itu tak akan sia-sia” ucap Tora dengan suara tegas dan penuh keyakinan dan harapan.
Peryataan Tora itu menguatkan hati kecil saya, meskipun secara logika belum menemukan cara agar tak sia-sia. Ada semacam kesedihan pahit yang menyelimuti setiap pertemuan untuk mendiskusikan tentang sosok ketua umum baru yang dapat memimpin. Kami seperti membangun istana pasir yang hancur berkali-kali diterpa ombak. Setiap nama yang muncul, setiap ide yang dilontarkan, selalu diiringi pertanyaan: mampukah kita bangkit untuk meraih keberhasilan? Namun, lagi-lagi kami berfikir ini bukan soal siapa sosok pemimpin, tapi bagaimana membangun konsensus yang bekerja di atas prinsip-prinsip yang demokratis, transparan dan independen. Di luar itu, tugas terpenting untuk melibatkan anggota dalam organisasi menjadi kunci utama untuk kembali membangun solidaritas sesama awak kabin.
Bekerja bersama, raih kemenangan
Hal yang pertama kami lakukan adalah membangun kembali kepercayaan anggota yang sempat runtuh. Kami juga mulai menggali aspirasi anggota yang selama ini masih terpendam, sembari memastikan hak-hak mereka terlindungi di tengah gonjang-ganjingnya Citilink. Peran Divisi Litbang di sini menjadi krusial. Kami mencoba merancang program-program edukasi yang mencerahkan, mengupayakan advokasi anggota tanpa kenal lelah, serta mencari cara-cara inovatif untuk memperkuat solidaritas antar anggota dan pengurus baru, agar kami bisa berdiri tegak bersama. Seperti pepatah mengatakan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, suka-duka, berat-ringan sama-sama ditanggung bersama.
Perlahan tapi pasti, upaya kami membuahkan hasil. Angka pertumbuhan anggota ACCI mulai menunjukkan grafik positif. Kami berhasil merekrut anggota yang semula tersisa hanya 80 orang anggota, dalam kurun waktu 3 bulan, anggota ACCI bertambah hingga lebih dari 500 orang.
Jumlah keanggotaan yang bertambah semakin menambah kepercayaan diri kami untuk melai melakukan kerja-kerja advokasi. Tak hanya itu, di internal pengurus serikat juga telah muncul orang-orang baru yang mengambil tanggung jawab sebagai pengurus. Keterlibatan orang di dalam kepengurusan menjadi penanda bekerjanya mesin regenerasi para pejuang di ACCI. Sebelumnya pengurus hanya kurang dari 10 orang, meningkat menjadi lebih dari 30 orang.
Kenaikan jumlah anggota, keterlibatan pengurus dalam kerja-kerja organisasi mendorong kami untuk kembali memikirkan sosok pemimpin ACCI. Di antara pengurus yang luar biasa, Albert akhirnya terpilih menjadi ketua umum dalam rapat musyawarah anggota yang dilaksanakan pada 20 September 2021 dan bertempat di Swiss-bel Hotel Airport.
Rapat Anggota tersebut juga memutuskan Tora dan Budi sebagai Sekretaris Jenderal 1 dan 2 ACCI, Viani dan Denita sebagai bendahara dan wakil bendahara ACCI. Beberapa Kepala Bidang (Kabid) dan Sekretaris Bidang (Sekbid) terpilih adalah: Joe dan Banu (Bidang Media); Reno dan Arsyad (Humas); Margaret dan Sari (Bidang Sosial); Widi dan Wanda (Bidang IT); Narko, Inayah dan Sartika (Badan Perwakilan Anggota); Inggrit dan Yona (Bidang Legal); Lukman (Bidang Entertain); Tora dan Eja (Bidang Olahraga); saya sendiri bersama Candra dan Farhan dipercaya di bidang Litbang. Sementara Henry, Amir dan Ishak ditunjuk sebagai badan pengawas ACCI.
Di luar soal struktur pengurus, hal yang penting kami sepakati dalam Rapat Anggota tersebut adalah mendorong perundingan PKB dengan Manajemen Citilink.
Singkat cerita, setelah beberapa bulan dengan semangat kebersamaan kami berhasil mendorong perusahaan untuk membuat PKB. Suatu keberhasilan yang makin mendorong keterlibatan anggota dalam kerja-kerja serikat.
Saya merasa bahagia dan bangga yang tak terkira karena bisa menjadi bagian dari perjalanan yang penuh liku ini. Hal yang mengharukan bagi saya adalah beberapa kawan mengatakan, saya memiliki peran penting dalam bangkitnya ACCI: sebagai penggerak perubahan dalam kebangkitan ACCI. Pujian itu tentu saja menjadi dorongan untuk saya agar terus memotivasi diri saya. Terlepas dari pujian itu, bagi saya, yang terpenting adalah melihat bagaimana ACCI, dari ambang pembubaran dan keputusasaan, kini menjelma menjadi serikat yang kokoh, disegani, dan menjadi harapan bagi banyak awak kabin. Setidaknya Ini adalah bukti nyata bahwa ketika ada kemauan yang tulus, kepercayaan yang diberikan, dan perjuangan yang tak kenal lelah, setiap tantangan, sekecil atau sebesar apa pun, bisa diubah menjadi peluang untuk bangkit dan berjuang bersama.
Note: Untuk alasan keamanan, nama-nama dalam tulisan ini sengaja penulis samarkan.