Listrik adalah kebutuhan dasar manusia. Terbukti, saat terjadi krisis listrik (blackout) di berbagai belahan dunia, manusia akan berada dalam kekacauan. Peristiwa padam totalnya listrik di Pulau Nias, Sumatera Utara pada 2016 merupakan contoh nyata. Selama dua minggu aktivitas masyarakat terganggu. Rumah tangga, sekolah, kantor swasta, kantor pemerintahan, dan fasilitas umum lainnya berhenti beroperasi. Tak hanya sekali, peristiwa serupa juga terjadi di Pulau Jawa bagian barat (2019), Pulau Sumatera (2025), dan Pulau Bali 2025. Blackout di Pulau Bali pada 2 Mei 2025, berdampak kepada 1,8 juta pelanggan yang melumpuhkan sektor pariwisata, layanan rumah sakit, perbankan, pelabuhan, dan bandara.1
Mati listrik total juga pernah melanda Eropa pada 24 April 2025. Spanyol dan Portugal menderita dampak yang luar biasa saat terjadi blackout. Kegelapan dan kekacauan segera menimpa karena jaringan telekomunikasi mati, jaringan kereta api lumpuh, hingga terganggunya sistem layanan rumah sakit yang menyebabkan ancaman kehilangan nyawa bagi pasien-pasien. Harus dicatat bahwa yang pertama dan paling menderita akibat ketiadaan sumber listrik adalah masyarakat. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika hajat hidup jutaan manusia diserahkan secara ceroboh kepada swasta?
Di Indonesia, Makhamah Konstitusi (MK) telah menunjukkan konsistensi dalam memberikan putusan atas pelanggaran konstitusional pada sektor ketenagalistrikan. Mahkamah ‘Penjaga’ Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, melalui putusan 001-021-022 Tahun 2003 hingga Putusan 039 Tahun 2024 telah menyatakan bahwa ketenagalistrikan merupakan cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, ketenagalistrikan harus dikuasai dan dikelola oleh negara. Putusan-putusan MK bukan keajaiban yang jatuh dari langit, melainkan bentuk dan hasil perjuangan serikat pekerja.
Putusan MK nomor 39/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 29 November 2024 memiliki dua arti penting bagi kehidupan rakyat. Pertama, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) tetap menjadi domain pemerintah tanpa intervensi DPR. Kedua, unbundling dilarang untuk penyediaan listrik umum. Putusan ini juga mempertegas perlunya negara menjaga kendali atas sektor strategis seperti ketenagalistrikan. Energi, sebagai salah satu pilar ekonomi, tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Energi adalah urat nadi bangsa, untuk itu harus kita pertahankan kedaulatannya agar masyarakat tidak dirugikan.
Namun, saat ini, perjuangan penguasaan ketenagalistrikan nasional dirancukan dengan isu transisi energi, di mana seakan-akan transisi energi dijadikan dasar sebagai masuknya pihak swasta yang merupakan oligarki negara untuk menguasai dan menjajah negara melalui tingginya subsidi dan kompensasi listrik yang diberikan oleh negara kepada PT PLN (Persero) sebagai penerjemahan negara dalam memastikan masyarakat mendapatkan listrik dengan harga yang terjangkau.
Transisi energi di Indonesia tidak terlepas dari komitmen global terhadap perubahan iklim. Dalam konteks ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan besar. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, porsi energi terbarukan direncanakan meningkat dari 13 persen menjadi 55 persen. Namun, sekitar 70 persen proyek energi terbarukan tersebut dikelola oleh swasta. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang peran PLN sebagai perusahaan negara. Sementara, pada sisi lain, skema seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), secara kualitatif, dapat disebutkan tidak berbeda dari serangkaian inisiatif reformasi neoliberal yang dapat ditelusuri kembali ke program penyesuaian struktural (SAP) IMF dan Bank Dunia pada akhir 1990-an.
Kontradiksinya semakin nyata, sehingga perjuangan untuk memastikan penguasaan negara dalam ketenagalistrikan nasional haruslah menjadi bentuk lain perjuangan oleh serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan gerakan masyarakat sipil secara luas. Kita, semestinya bersama-sama menjadikan agenda transisi energi menjadi transisi energi yang terdiri dari tiga pilar yaitu: pilar kesesuaian dengan konstitusi (dikuasai oleh negara), pilar memastikan transisi energi menjamin harga jual listrik yang terjangkau, dan pilar memastikan transisi energi aman bagi masyarakat dan lingkungan.
Perkuat pijakan kaki, perkuat gandengan tangan, untuk terus bersama dan berjuang. Perjuangan kita adalah untuk masa depan yang lebih adil, menjaga agar listrik tetap menyala dan perjuangan agar kemanusiaan kita tetap memiliki asa.
Andy Wijaya adalah Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power (PPIP).
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!