Judul Film: Cart
Tanggal Rilis: 13 November 2014 (Korea Selatan)
Produksi: Myung Films
Sutradara: Boo Ji-young
Produser: Jamie Shiem
Penulis Naskah: Kim Kyung-chan
Pemain: Yum Jung-ah, Moon Jung-hee
Film Korea selalu identik dengan keromantisannya. Hal ini membuat penonton baper (bawa perasaan) saat masuk ke setiap scene adegan yang seolah dialami penontonnya. Tak jarang para penggemar film Korea Selatan senyum-senyum atau menangis saat menonton. Barangkali ini yang membuat film korea banyak penggemar fanatik yang selalu menantikan film terbaru atau seri drama berikutnya.
Salah satu film Korea yang mampu memantik sisi emosi penonton adalah Cart. Film yang dirilis pada 2014 ini diangkat dari kisah nyata buruh-buruh Korea yang mengalami pemecatan di tempat kerjanya bernama However pada 2017. However adalah perusahaan ritel yang cukup besar dan bagian dari E-Land Group.
Dalam pembukanya, film ini langsung menampilkan suasana buruh perempuan yang berjajar rapi mengikuti briefing pagi sebelum memulai pekerjaan. Seperti pada umumnya, Briefing dipimpin langsung oleh atasan. Dengan panji-panji saktinya atasan berceramah tentang target perusahaan, atau tentang program perusahaan.
Di pembukaan film ini kita diajarkan bagaimana buruh diminta untuk bersaing dan terus patuh. Seorang atasan yang memimpin briefing tersebut memanggil salah satu buruh untuk maju kedepan, ia menjadikan buruh tersebut sebagai contoh. Han Sun-hee menjadi contoh buruh teladan, ia telah bergabung dengan perusahaan sekitar 5 tahun dan telah mengerjakan banyak jobdesk.
Han Sun-hee digambarkan dalam film sebagai buruh yang tidak pernah melanggar peraturan dan dipaksa untuk selalu patuh kepada perusahaan, karena jika tidak patuh akan kehilangan poin bahkan pekerjaan. Karena kepatuhannya Han Sun-hee dijanjikan oleh atasannya tiga bulan lagi akan diangkat sebagai buruh tetap dan dipindahkan pada bagian pusat pelayanan pelanggan alias kasir.
Setelah atasannya menunjukkan Han Sun-hee sebagai contoh buruh teladan, kemudian ia berteriak kepada buruh lain agar tidak iri atas prestasi Han Sun-hee. Ia juga meminta kepada buruh yang lain agar bisa seperti Han Sun-hee. Atasannya pun meminta Han Sun-hee untuk meneriakkan slogan perusahaan: “pelanggan adalah raja, kami mencintai pelanggan, jika perusahaan bertahan, kita bertahan hidup”.
Adegan meneriakkan slogan tersebut mengingatkan saya pada seorang buruh ritel bernama Ayu, seorang buruh perempuan yang bekerja di sebuah minimarket dan pernah saya tuliskan dalam artikel berjudul ‘Ketika Waktu Bercinta Dipisahkan Rezim Jam Kerja’. Ayu tetap bekerja dengan ramah walaupun dia terkadang diperlakukan tidak adil oleh pelanggan. Namun yang dibela adalah pelanggannya oleh perusahaan. Persoalan yang kerap dialami buruh ritel yang bekerja sebagai kasir adalah berhadapan dengan pelanggan yang menyebalkan dan terkadang usil. Sialnya buruh kasir tetap dituntut untuk selalu tersenyum dan ramah.
Berbeda dengan Han Sun-hee, Lee salah seorang buruh perempuan yang juga bekerja di bagian kasir. Lee digambarkan dalam film tersebut sebagai buruh perempuan yang tidak mau mengerjakan hal yang bukan menjadi job desk-nya, bahkan Lee pun berani menolak permintaan atasannya untuk lembur. Ketika pergantian sif dan jam kerjanya telah selesai, Lee langsung bergegas pulang. Karena sikapnya yang dinilai atasanya ‘tak taat perintah’, Lee pun mendapatkan intimidasi dalam bentuk dipandangi oleh atasannya ketika ia pulang.
Sekali waktu Lee pernah mendapatkan hukuman. Buntut dari kesalahpahaman dengan pelanggannya yang tidak terima dengan sikap Lee yang sebenarnya sedang menjalankan SOP perusahaan. Namun bukannya membela Lee, atasannya malah memanggil Lee untuk disidang dan menyuruh Lee untuk meminta maaf kepada pelanggan tersebut. Parahnya saat mau meminta maaf ke pelanggan, Lee diminta melakukannya dengan cara berlutut dihadapan pelanggan. Dengan berat hati Lee melakukannya agar tak kehilangan pekerjaan.
Pada bagian awal film kita disajikan dengan beberapa scene yang menunjukkan situasi kerja yang buruk, upah rendah, lembur kapanpun tanpa bayaran, kontrak berkepanjangan, dipaksa untuk tunduk kepada pelanggan yang bersikap kasar dan tidak sopan. Saat menonton bagian awal film ini pun saya sering mengumpat sendiri: anying!
Beban Ganda Buruh Perempuan
Selain seorang buruh perempuan, profil Han Sun-hee dalam film Cart digambarkan juga sebagai seorang ibu dari seorang remaja laki-laki bernama Tae-young. Ia membesarkan anaknya sendiri. Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai buruh awak kapal. Dengan begitu Han Sun-hee harus bekerja keras untuk mengurus dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Kisah Han Sun-hee mungkin sering kita jumpai pada buruh perempuan, selain harus bekerja, juga harus mengurus kebutuhan rumahnya.
Sebelum berangkat bekerja, Han Sun-hee harus menyiapkan sarapan untuk anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Ia pun juga memikirkan biaya pendidikan dengan mengandalkan upah rendah yang ia dapatkan dari bekerja sebagai buruh ritel. Upah rendah tentu saja mempengaruhi kehidupan keluarganya. Tae-young yang masih bersekolah pun terkena dampak dari upah murah, ia tidak bisa mengakses makan siang di sekolah karena ibunya belum membayar uang SPP. Selain mendapatkan tekanan di tempat kerja ia pun mendapatkan tekanan situasi dalam rumah tangganya, dan memikirkan semuanya sendirian.
Begitu juga dengan Lee menjadi orangtua tunggal karena bercerai dengan suaminya. Lee harus membesarkan anaknya sendirian. Sebelumnya Lee bekerja disalah satu perusahaan ia dipecat karena hamil. Sebelum ia bekerja, ia harus mengantarkan anaknya ke sekolah atau menitipkannya.
Dari Pemecatan Menjadi Pemogokan
Suatu hari semua buruh kontrak mengetahui bahwa mereka akan di pecat. Padahal sebelumnya menjanjikan akan mengangkat buruh kontrak menjadi tetap yang telah bekerja 5 tahun. Sayangnya perusahaan memutuskan lain, semua buruh justru akan dialihdayakan. Bagi perusahaan mengalihdayakan buruh kontrak lebih menguntungkan ketimbang mengangkatnya menjadi buruh tetap.
Nama-nama buruh yang dipecat diumumkan oleh perusahaan yang ditempel di mading perusahaan pada ruang loker. Bahkan Sun-hee yang pernah menjadi contoh buruh yang patuh dan telah dijanjikan akan diangkat menjadi buruh tetap pun masuk dalam daftar pemecatan. Para buruh pun mempertanyakan kebijakan pemecatan tersebut kepada pimpinan perusahaan, dan tidak ada penjelasan apapun dari pimpinan perusahaan ketika buruh-buruh perempuan ini meminta penjelasan atas pemecatan yang akan dilakukan.
Lee dan soon-rye seorang buruh perempuan yang bekerja di bagian kebersihan yang sudah bekerja lima tahun mulai gusar. Mereka mulai mengorganisir buruh-buruh yang masuk dalam daftar pemecatan. Mereka melakukan pertemuan di salah satu tempat dan mempersiapkan pembentukan serikat.
Setelah pembentukan serikat, mereka meminta perusahaan untuk memberikan penjelasan kepada serikat tentang keputusan pemecatan, sayangnya, lagi-lagi perusahaan mengabaikan permintaan bipartit tersebut. Hingga pada akhirnya para buruh perempuan ini merencanakan pemogokan, agar perusahaan mendengar aspirasi para buruh. Pemogokan diatur ketika jam sibuk atau ketika pengunjung ritel ramai.
Pada pemogokan pertama, mereka berhasil untuk berorasi meminta dukungan kepada pelanggan yang datang. Namun pemogokan pertama ini hanya sebentar, perusahaan merespon pemogokan dengan mendatangkan buruh paruh waktu untuk mengganti buruh-buruh yang sedang melakukan pemogokan agar perusahaan tetap beroperasi. Keributan pun tidak terhindarkan antara buruh-buruh paruh waktu yang didatangkan perusahaan dan buruh yang sedang melakukan pemogokan. Perusahaan tidak akan pernah membiarkan kehilangan sepeserpun keuntungannya sehingga berbagai cara akan dilakukan untuk menggagalkan pemogokan.
Para buruh pun melakukan pendudukan perusahaan. Mereka menginap di dalam perusahaan dan membuat berbagai kegiatan di dalam pemogokan. Masak bersama, diskusi, teater untuk mengisi kegiatan pemogokan. Berbagai macam cara mereka lakukan pendudukan, meminta solidaritas kepada customer dan panggung solidaritas di depan perusahaan.
Setiap perjuangan selalu berhadapan dengan kesulitan bahkan dalam posisi terendah adalah kebuntuan mencari titik terang. Namun pertanyaannya bagaimana organisasi menyikapi itu semua. Buruh-buruh perempuan ini menghadapi represi dari preman perusakan tenda perjuangan bahkan kriminalisasi. Ada fase dimana akhirnya semua orang terpecah belah karena kebutuhan dan taktik perusahaan untuk melemahkan gerakan. 501 hari bukan waktu yang singkat melakukan pemogokan. Namun buruh-buruh perempuan ini bisa menghadapi itu semua.
Pasca terpecah belah karena ada yang menerima tawaran perusahaan dan memilih tidak melanjutkan perjuangan karena situasi rumah. Han Sun-hee disini mempunyai peran penting dalam mengkonsolidasikan kembali teman-temannya. Dengan sabar ia mendatangi satu persatu kawan seperjuangannya. Upaya Han Sun-hee pun berhasil mendorong kawan-kawannya untuk melakukan kembali aksi di depan perusahaan. Aksi kali ini tidak hanya buruh-buruh yang dipecat, tapi juga buruh-buruh yang masih bekerja di dalam turut bersolidaritas melawan represifitas dari perusahaan dan kepolisian.
Film yang layak untuk ditonton siapapun terutama buruh-buruh ritel. Cerita kemarahan atas situasi kerja dan perlakuan yang semena-mena perusahaan berubah menjadi perjuangan kolektif. Perjuangan serikat yang dikomandoi oleh perempuan-perempuan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya perusahaan memenuhi tuntutan para buruh.[]
Penulis
-
Lukman Ainul Hakim
-
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane