Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran.
Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata kita tersebut, ada hak-hak buruh yang kerap dilanggar oleh perusahaan. Bahkan negara dengan sengaja membiarkan praktik buruk perusahaan yang berakibat pada memburuknya situasi perburuhan di Semarang.
Pertengahan 2023 pemberitaan di media tentang pemecatan massal meningkat. Umumnya berita pemecatan massal, selalu ada cerita di kalangan buruh bahwa perusahaan enggan membayar pesangon, alih-alih merugi. Berbagai alasan pun dibangun perusahaan untuk mewajarkan pemecatan, dari dampak krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina.
Tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana kasus-kasus buruh yang bekerja di perusahaan furnitur di Semarang menghadapi tantangan pemecatan massal dan union busting setelah UU Cipta Kerja disahkan.
***
Desember 2023 lalu, saya diajak seorang kawan dari salah satu serikat di Semarang untuk mendatangi buruh-buruh PT San Yu Frame Moulding Industries (para buruh sering menyebutnya PT San Yu). Perusahaan PMA asal Taiwan ini telah beroperasi sejak 1990 di kawasan industri Tambak Aji Semarang. PT San Yu memproduksi berbagai jenis meja, kursi, lemari yang dipasarkan ke negara-negara Eropa dan Amerika. Pada 2023, jumlah buruh yang bekerja sekitar 600 orang yang didominasi laki-laki, dengan rata-rata masa kerja 10-30 tahun dengan status buruh tetap.
Setiba di PT San Yu, saya melihat tenda yang tampak dibikin dadakan dari potongan-potongan bambu, tripleks yang dilapisi dengan terpal dengan kapasitas cukup untuk di isi 5-10 orang. Layaknya rumah, di dalam tenda terdapat peralatan masak, kasur, dan sound system karaoke. Tenda tersebut berdiri persis di samping kiri pintu gerbang PT San Yu. Tepat di pintu gerbang, terpasang spanduk dengan ukuran jumbo bertuliskan “PT San Yu dalam pengawasan buruh, dilarang melakukan aktivitas di perusahaan sebelum hak-hak kami dibayarkan”. Di dalam pabrik, tak ada aktivitas apapun kecuali dua orang satpam yang berjaga di pos bagian dalam perusahaan.
Saya berkenalan dengan beberapa buruh yang sedang shift jaga tenda tersebut. Layaknya kerja, para buruh melakukan piket di tenda secara bergiliran selama 24 jam. Pada pagi hingga sore, tenda akan dijaga buruh perempuan, sementara buruh laki-laki akan berjaga pada malam hingga pagi. Aktifitas tersebut sudah berlangsung satu tahun, atau sejak perusahaan mengumumkan pemecatan massal dan tidak mampu membayar sisa upah dan hak pesangon buruh pada 21 Desember 2021.
“Ceritanya bermula pada 23 Juli 2021, direktur utama PT San Yu Mr. Chang meninggal, namun ahli warisnya tidak mau bertanggung jawab untuk meneruskan jalannya perusahaan sehingga pembayaran gaji dan pesangon tidak dibayarkan” tutur Pak Agus
Dampak berhentinya operasi perusahaan membuat para buruh mencari pekerjaan lain dengan mendaftar sebagai pengemudi ojek daring (ojol). Dengan usia rata-rata di atas 40 tahun, kesempatan yang paling mungkin adalah bekerja sebagai pengemudi ojol.
Selain obrolan tentang bagaiama buruh bertahan hidup selama perusahaan tutup, beberapa buruh juga bercerita tentang situasi kerja di PT San Yu. Beberapa masalah yang sering dihadapi buruh sebelum PT San Yu tutup secara permanen tahun 2023 yakni:
Tabel 1. Pelanggaran perburuhan PT San Yu
Eksploitasi dan kriminalisasi buruh
PT San Yu tidak hanya kali ini memperlakukan buruhnya dengan sewenang-wenang hingga melakukan union busting. Pada 2009, ketika buruh mendirikan serikat tingkat pabrik yang tercatat di Disnaker pada 18 Juni 2009, para buruh mulai mempersoalkan dan memprotes kebijakan perusahaan yang semena-mana terhadap buruh. Berikut merupakan potongan arsip perlawanan buruh terhadap PT San Yu.
Gambar 1. Surat protes Serikat terhadap PT San Yu Sumber: Arsip LBH Semarang tahun 2009
Arsip di atas merupakan potongan surat protes dari serikat tingkat pabrik yang berafiliasi ke Federasi Kahutindo karena perusahaan melakukan pelanggaran atas Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Yaitu, terkait dengan keterlambatan pembayaran upah buruh dengan jangka waktu yang cukup lama. Keterlambatan pembayaran upah tersebut diprotes buruh dengan melakukan mogok spontan selama 3 jam pada 12 Januari 2010. Persoalan tersebut dirundingkan di Disnaker Kota Semarang pada 7 Juni 2010 yang melahirkan kesepakatan PT San Yu akan memberikan hak buruh sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Alih-alih melaksanakan hasil kesepakatan perundingan, PT San Yu melakukan pemanggilan buruh yang tergabung di dalam serikat Kahutindo mulai dari ketua serikat hingga anggota secara bergantian dengan berkata kasar seperti; serikat teroris, pemberontak pembuat kacau, preman, jahat dan tidak punya otak. Ucapan tersebut diucapan langsung oleh presiden direktur PT San Yu.
Tak hanya itu, intimidasi terhadap pengurus dan anggota serikat terus berlanjut dengan melakukan mutasi para buruh. PT San Yu juga melibatkan aparat kepolisian sektor Ngaliyan Semarang Barat untuk mengawasi gerak-gerik buruh yang dianggap pemberontak. Presiden Direktur juga meminta buruh yang terlibat di serikat Kahutindo untuk meminta maaf dan mengundurkan diri dari perusahaan jika tidak keluar dari serikat Kahutindo. Bentuk kesewenangan lainnya perusahaan memotong upah buruh sebesar Rp20 ribu karena terlibat aksi mogok, memutasi, demosi, serta tidak diberikan lembur.
Perlawanan yang begitu kuat dari kalangan buruh membuat PT San Yu makin gerah dan mencari-cari kesalahan serikat dengan melibatkan buruh yang tidak tergabung di serikat untuk melaporkan Nurimah, ketua serikat Kahutindo atas tuduhan tindak pidana penganiayaan pasal 351 KUHP. Selama 3 kali Nurimah dipanggil penyidik kepolisian untuk diminta keterangan dan pada 9 Desember 2010 kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Semarang. Nurimah ditahan selama 20 hari, sejak 9 hingga 28 Desember 2010.
Kasus Nurimah mendapat nomor perkara 932/Pid.B/2010/PN.Smg, sidang perdananya pada Kamis 23 Desember 2010 di Pengadilan Negeri Semarang, dengan tuduhan Jaksa penuntut umum Nurimah melakukan pelanggaran Pasal 351 ayat (1) KUHP.[1] Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersama tim advokasi buruh mendampingi Nurimah.
Kriminalisasi terhadap Nurimah, seorang buruh perempuan berusia 34 tahun sempat menjadi perhatian publik. Dukungan dan solidaritas publik untuk membebaskan Nurimah datang dari serikat buruh dan masyarakat sipil, mereka tergabung dalam Aliansi bernama Solidaritas Pembebasan Nurimah (SOPAN).
Dukungan dan solidaritas tersebut berhasil mendesak pelapor yang juga sesama buruh untuk mencabut laporannya, serta meminta kasus kriminalisasi terhadap Nurimah dihentikan oleh kepolisian. Pelapor pun menyatakan bahwa tindakannya melaporkan Nurimah karena dorongan manajemen PT San Yu.
Gambar 2. Poster Solidaritas Pembebasan Nurimah buruh PT San Yu. Sumber: Arsip LBH Semarang tahun 2009
Pada keterangan di persidangan, Nurimah menyampaikan pledoi (pembelaan) di hadapan majelis hakim:
“Selama 15 tahun menjadi buruh PT San Yu hanya menerima upah standar Rp940 ribu per bulan. Berawal dari aksi mogok kerja selama 2 jam pada 12 Januari 2010 lalu, Saya merasa mendapat ancaman dan intimidasi secara mental oleh pihak perusahaan. Aksi itu sendiri dipicu keterlambatan dan diskriminasi penerimaan gaji yang dilakukan PT San Yu. Setelah aksi, beberapa pengurus dimutasi dan diturunkan upah pokoknya. Selanjutnya Saya harus menerima ucapan-ucapan yang tidak selayaknya diucapkan pimpinan perusahaan seperti tidak pakai otak, dicap seperti teroris, preman dan disidang serta ditahan layaknya kriminal seperti ini”
Dukungan serta solidaritas kepada Nurimah berbuah hasil, majelis hakim akhirnya memutus bebas Nurimah dengan nomor 931/Pid/B/2010/PN.SMG pada Rabu 19 Januari 2011. Kisah keberanian Nurimah melawan ketidakadilan dan kesewenangan perusahaan berhasil mengorganisasikan 80 persen buruh PT San Yu bergabung dengan serikat buruh.
Merawat solidaritas dari tenda
Kembali lagi ke tenda. Setelah berkenalan dengan buruh PT San Yu yang sedang menuntut haknya di tenda perjuangan, saya memiliki kesempatan untuk menginap di tenda perjuangan bersama mereka. Beberapa kali saya menginap untuk bersolidaritas dan mendengarkan cerita langsung pengalaman mereka bekerja sedari awal hingga akhirnya dipecat.
Untuk mengisi kejenuhan di tenda perjuangan pada malam hari para buruh biasanya mengisi aktivitas dengan karaoke, saya pun ikut bernyanyi bersama mereka. Aktivitas karaoke tersebut membuat tenda selalu ramai, banyak buruh membawa keluarganya ke tenda perjuangan. Bagi saya moment ini menjadi penting karena perlawanan buruh adalah perlawanan kelas yang harus melibatkan keluarga, baik hanya untuk sekedar ngobrol, atau membawakan ari minum dan makanan dari rumah. Barangkali yang membuat perjuangan para buruh masih bertahan meski sudah satu tahun karena keluarga dilibatkan dalam perjuangan.
Tenda selalu ramai diisi dengan berbagai kegiatan, dari kegiatan yang serius menyusun strategi hingga kegiatan yang bersifat hiburan, karaoke. Bahkan pada saat musim hujan, berkali-kali tenda rusak diterpa angin, berkali-kali juga para buruh bergotong royong membangun dan memperbaiki tenda. Artinya, tenda perjuangan menjadi media para buruh untuk terus merawat solidaritas sesama mereka, meski para buruh berasal dari daerah berbeda-beda karena kesamaan tujuan memperjuangkan hak mereka saling menguatkan.
Dari tenda, strategi dirancang
Sebelum mereka mendirikan tenda, kabar penutupan operasional perusahaan berseliweran dari mulut ke mulut para buruh. Menyikapi hal tersebut pengurus serikat FSPMI PT San Yu yang dipimpin oleh pak Agus melayangkan surat perundingan dengan manajemen. Pada 24 Desember 2021 perundingan pun terjadi. Dari perundingan tersebut akhirnya manajemen PT San Yu menginformasikan secara resmi bahwa pihak perusahaan akan menutup operasional pabrik secara permanen. Sialnya, PT San Yu tidak memberikan kepastian akan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak-hak para buruh.
Perusahaan berkelit bahwa izin ekspor PT San Yu telah berakhir dan perusahaan memiliki utang yang berujung pada diblokirnya akun bank perusahaan. Bahkan orang yang paling bertanggung jawab di perusahaan, Direktur, mengundurkan diri pada situasi tersebut. Satu-satunya strategi serikat agar hak buruh dibayarkan perusahaan adalah dengan mengambil alih aset perusahaan yang masih tersisa.
“Kita perlu mendirikan tenda perjuangan ini sebagai bukti perlawan terhadap perusahaan yang sewenang-wenang yang meninggalkan begitu saja hak-hak buruh, padahal banyak tunggakan hak yang harus ditunaikan perusahaan terhadap buruh dan mendirikan tenda perjuangan untuk menjaga aset perusahaan yang kapan saja akan diambil pemiliknya. Sampai uang pesangon kami diberikan, karena dalam aset tersebut terdapat hak-hak kita disana” pungkas pak Agus kepada saya
Berdasarkan hitung-hitungan serikat, bahwa aset yang dijaga secara ketat oleh buruh nominalnya cukup untuk melunasi seluruh hak-hak buruh PT San Yu dengan total mencapai miliaran rupiah. Karenanya buruh terus menjaga aset perusahaan. Sebab jika tidak dijaga, posisi tawar mereka akan hilang begitu saja.
Alih-alih berharap adanya peran Disnaker Kota Semarang untuk memfasilitasi serikat untuk mendesak PT San Yu membayar upah dan hak pesangon, pak Agus dan teman-temannya tidak mendapatkan titik terang mengenai penyelesaian kasus.
Strategi-strategi perjuangan menuntut hak selalu lahir dari tenda. Hal tersulit yang harus dihadapi, bahkan harus berdiskusi berkali-kali untuk melakukan upaya-upaya litigasi dengan melakukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kota Semarang. Pertimbangan menempuh litigasi semacam ini tentu akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dari membayar panjar perkara, biaya materai, hingga biaya wara-wiri selama persidangan. Belum lagi akan menempuh waktu yang cukup lama. Sementara ongkos kebutuhan hidup keluarga menjadi prioritas utama. Pertimbangan yang demikian membuat serikat berhitung kembali jika mengambil strategi litigasi gugatan PHI.
Diskusi demi diskusi untuk merumuskan strategi perlawanan penuh dengan pertimbangan yang matang akhirnya menemukan keputusan. Tetap bertahan ditenda hingga aset perusahaan berhasil dilelang menjadi cara bagi buruh untuk menagih haknya yang belum dibayarkan perusahaan.
Berdasarkan data lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), sebagian aset PT San-Yu yang menjadi agunan Bank HSBC laku terjual Rp 62,8 miliar. sementara uang pesangon buruh PT San Yu dengan total buruh sekitar 24 Miliar. Sehingga wajib perusahaan memberikan hak kompensasi buruh berdasarkan UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2]. Alhasil perjuangan PUK FSPMI PT San Yu mendapatkan kompensasi pesangon sesuai dengan Undang-undang, perusahaan akhirnya mau memberikan apa yang menjadi tuntutan para buruh.
Pemecatan dan pemberangusan serikat di industri furnitur
Sejak covid-19, para buruh di industri furnitur mengalami tekanan pemotongan upah, pengurangan buruh/efisiensi dan bahkan pemecatan massal, hal tersebut dilakukan perusahaan dengan dalih perusahaan sedang mengalami kondisi merugi karena covid-19, alasan lainnya perusahaan mengalami kerugian karena banjir air rob. Berikut data-data yang diolah dari berbagai media dan konsultasi serta penanganan kasus bersama LBH Semarang:
Tabel 2. Daftar Kasus pemecatan dan union busting perusahaan furnitur di Semarang
Ancaman pemecatan massal buruh di industri furnitur di Kota Semarang terus berlangsung hingga saat ini, kebanyakan kasus pemecatan di sektor ini pemecatan di bawah tanpa kompensasi pesangon atau di bawah ketentuan standar perburuhan di Indonesia. Situasi ini merupakan dampak dari UU Cipta Kerja yang memberikan jaminan kepada perusahaan untuk melakukan pemecatan dengan dalih kondisi merugi, pengurangan/efisiensi terhadap buruh serta memperbolehkan pemberian tali asih (uang pisah) sesuai kemampuan perusahaan.
Tantangan lainnya, buruh terus dihadapkan dengan perlakuan semena-mena, dengan memberikan sedikit ruang bagi buruh untuk berserikat dan bahkan perusahaan melakukan pemberangusan serikat buruh. Sementara lembaga-lembaga negara tidak memberikan perlindungan apapun terhadap buruh maupun serikat buruh. Sebaliknya, negara kerap menormalisasikan kasus pemecatan serta pemberangusan serikat dengan narasi yang cenderung membela kepentingan pengusaha ketimbang buruh.[]
[1] Ketua Serikat PT San Yu Moulding Industries di Kriminalkan | GSBI | Gabungan Serikat Buruh Indonesia (infogsbi.or.id)
[2] Pesangon Belum Cair, Karyawan PT San-Yu Mengeluh Tidak Dilibatkan Lelang – Jateng Today
Penulis
-
M. Safali
-
LBH Semarang