Agus (bukan nama sebenarnya), buruh manufaktur di Bogor diberitahu oleh atasannya melalui Whatsapp pada pukul 8 malam di bulan Juni 2024. Pesan tersebut seperti lonceng kematian untuknya.
Setelah mendapatkan pesan, Agus hanya memandang layar handphone dan bersandar pada dinding kontrakan. Ia melihat kepada istri dan dua anaknya yang tertidur lelap. Tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk membalas pesan tersebut pun. Ia tidak tahu-menahu mengenai dunia perburuhan.
Agus segera mengonfirmasi pesan tersebut kepada teman-temannya. Ternyata, beberapa temannya mendapatkan pesan yang sama. Hatinya segera lega karena terdapat banyak kawan yang senasib.
Keesokan harinya, Agus memperlihatkan pesan itu kepada istrinya. Istri Agus, Ita (bukan nama sebenarnya), hanya menangis. Agus dan Ita merawat dua anak. Anak pertama berumur sebelas tahun dan anak kedua delapan tahun. Keduanya masih sekolah dasar. Kedua anaknya dalam tahap tumbuh dan kembang. Itulah yang membuat istri Agus tertekan.
Ita memikirkan keberlanjutan anaknya sekolah. Meskipun sekolah kedua anaknya tidak mengeluarkan uang, tapi harus mengeluarkan ongkos jajan sekolah. Jenis pengeluaran anak-anak tidak dapat diperkirakan. Selain pengeluaran merawat kedua anaknya, Agus dan Ita pun sudah memiliki pengeluaran tetap yaitu pembayaran uang sewa kontrakan Rp800 ribu per bulan.
Agus tidak memiliki tabungan. Karena upahnya sekadar cukup untuk menyambung hidup.
Agus menceritakan, beberapa hari setelah pemecatan Ita setiap malam tidak dapat tidur nyenyak, bahkan tidak tidur sama sekali. Ita berpikir keras mencari sumber-sumber pendapatan. Akhirnya, Ita dan Agus memutuskan untuk berjualan kecil-kecilan dari modal hasil pinjaman. Namun percobaan berjualan hanya bertahan beberapa bulan. Usahanya bangkrut.
Ita merasa jiwanya tergoncang. Ia memutuskan untuk mendekatkan diri kepada ilahi dengan memperbanyak ibadah, salah satunya dengan menghadiri kegiatan-kegiatan pengajian yang mendatangkan habib-habib ternama. Namun, menurutnya, kondisi pikirannya tidak terobati.
Semakin hari kesehatan fisik dan mental Ita semakin menurun. Setelah beberapa bulan kondisinya semakin parah, bahkan beberapa kali ia kehilangan kontrol atas tubuhnya. Sekali waktu, Ita melakukan perjalanan yang tidak disadari, dan melakukan hal-hal yang membahayakan tubuhnya. Ita pun sering mengalami halusinasi yang semakin dalam. Sekali waktu, Ita pernah menelepon semua nomor kontak yang di HP-nya tanpa tujuan yang jelas.
Karena melihat kondisi Ita semakin memburuk, Agus dan keluarganya mencari cara untuk memenangkan Ita. Mereka membawa Ita ke guru supranatural. Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Agus dan keluarganya memutuskan untuk mendatangi psikolog.
Singkat cerita, setelah beberapa kali pertemuan Ita diharuskan dirawat inap di rumah sakit. Setelah beberapa minggu di rumah sakit, Ita diperbolehkan untuk pulang dan melakukan konsultasi dengan psikolog. Dengan uang terbatas Agus harus berutang dan meminta bantuan keluarganya untuk merawat Ita.
Kondisi Ita berangsur membaik. Semantara itu Agus terus berusaha mencari pekerjaan. Berbagai jenis pekerjaan kerjakan oleh Agus demi merawat keluarganya.
***
Pemecatan bukan sekadar peristiwa hukum: pemutusan hubungan kerja. Akibatnya tidak hanya dialami oleh satu orang, tapi satu keluarga. Orang yang dipecat berarti kehilangan status sebagai buruh, statusnya menjadi penganggur, kehilangan sumber penghasilan, dan kehilangan harapan. Karena itu, pemecatan merupakan peristiwa yang menakutkan bagi buruh dan keluarganya. Pemecatan dapat memporak-porandakan rencana hidup buruh yang sudah disusun atau menghancurkan rencana yang sedang berjalan. Dampak pemecatan dalam keluarga buruh dapat mengakibatkan kecemasan atas keberlangsungan hidupnya. Singkatnya pemecatan dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan mental buruh dan keluarganya.
Beberapa buruh yang saya temui ketika dihadapkan dengan pemecatan hampir seluruhnya mengalami stres. Penghasilan yang rutin mereka terima untuk menyambung hidup, hilang dalam sekejap. Stres bertambah jika buruh memiliki utang. Dari sini kita tahu faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab munculnya stres buruh dan keluarganya.
Persoalan terbesar yang kerap dihadapi buruh ketika dipecat adalah bagaimana membiayai semua yang menjadi tanggungannya. Seperti biaya pendidikan, biaya tempat tinggal, cicilan kredit kendaraan yang digunakan untuk bekerja atau bahkan tanggungan utang ke rentenir dan bank. Sialnya, dalam situasi seperti ini, buruh kerap dituduh tidak memiliki manajemen keuangan alias tidak pandai mengelola keuangan. Kenyataannya, tidak ada uang yang perlu dikelola. Karena upahnya hanya cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari selama dua minggu dan bayar kontrakan rumah. Dua minggu berikutnya terpaksa harus berutang, memperpanjang jam kerja dengan mengambil lembur terus-menerus atau mencari pekerjaan sampingan.
Temuan riset pengeluaran rumah tangga buruh yang dilakukan Komite Hidup Layak pada 2023 menunjukan rata-rata pengeluaran rumah tangga buruh untuk jenis pengeluaran konsumsi makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan dengan pengeluaran untuk jenis makanan sebesar Rp 2.332.641,44 atau 25,08 persen. Sedangkan, sebesar Rp 6.967.025,21 atau 74,92 persen merupakan pengeluaran jenis nonmakanan. Data ini memperlihatkan buruh di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah, upahnya tidak mencukupi untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, pengeluarannya dua kali lipat lebih besar ketimbang pendapatannya.
Temuan lainnya pengeluaran yang cukup besar ini bukan karena keinginan buruh makan enak, suka berfoya-foya atau keranjingan membeli barang mewah.
Sebaliknya, pengeluaran tersebut untuk memulihkan tenaganya agar tetap dapat bekerja, merawat dan membesarkan keluarga.
Dengan upah yang pas-pasan bahkan kurang, keluarga buruh sangat kecil sekali memiliki kemungkinan untuk menabung atau berinvestasi. Sehingga saat buruh kehilangan mata pencahariannya akan sangat memukul keluarga buruh.
Dalam beberapa kasus, buruh yang dipecat dan mendapatkan uang pesangon. Uang pesangon biasanya bertahan sekitar 4 bulan sampai 6 bulan. Jika dalam waktu tersebut buruh tidak mendapatkan pekerjaan baru dapat dipastikan mereka akan hidup dengan cara berutang sembari mengurangi kualitas hidup. Penurunan kualitas hidup ditandai dengan mengurangi kandungan gizi dan nutrisi, yang berarti asal kenyang.
Seperti yang dialami oleh keluarga Panjul (bukan nama sebenarnya) mantan buruh di kabupaten Tangerang. Ketika bekerja, Panjul dan keluarganya terbiasa mengonsumsi buah-buahan segar, ikan dan daging. Namun setelah dipecat, ia hanya sanggup membeli buah-buahan dari penjual gerobakan yang biasanya dijual dengan rujakan. Sedangkan untuk konsumsi makanan lauk-pauk sehari-hari digantikan dengan telur, tempe, tahu. Menurutnya, pertimbangan konsumsi bukan lagi kandungan gizi dan nutrisi, tapi yang penting keluarganya tidak kelaparan.
Tidak hanya berdampak kepada kesehatan fisik
Pemecatan buruh berdampak pada keluarga buruh baik yang sudah berkeluarga atau belum berkeluarga. Dalam penelitian KHL 2023, ternyata setiap buruh memiliki tanggungan. Buruh yang belum menikah memiliki tanggungan keluarga besarnya. Jika buruh tersebut menikah maka jumlah tanggungan tersebut semakin bertambah dari keluarga inti hingga keluarga besar.
Pemecatan bukan hanya menghancurkan rencana keluarga buruh. Pemecatan bisa juga menyebabkan keluarga buruh mengalami malnutrisi, ketidakstabilan mental, bahkan mendorong percobaan bunuh diri. Media massa memberitakan beberapa peristiwa percobaan bunuh diri akibat pemecatan, seperti Pria yang Bunuh Diri di Serpong Diduga Depresi Kena PHK (Kompas.com, 18 Juni 2020) dan Kronologi Buruh Bunuh Diri karena Kena PHK Massal: Anak Lihat Bercak Darah di Bawah Pintu Kamar (Tribunnews.com, 1 Mei 2020). Penelitian Anna Gassman-Pines (Sciencedaily.com, 14 Agustus 2014) menemukan, ketika 1 persen dari populasi buruh di suatu negara kehilangan pekerjaan, perilaku percobaan bunuh diri meningkat sebesar 2 hingga 3 persen.
Pemecatan merupakan cerita yang lumrah dalam isu perburuhan, apalagi di bawah rezim pasar kerja fleksibel. Tentu saja masalah pemecatan harus dilawan. Namun harus ditelakkan bahwa pemecatan bukan persoalan individual dan peristiwa hukum. Menurut saya, pemecatan merupakan peristiwa struktural dan bentuk dari kejahatan kemanusiaan. Karena itu, ketika mengorganisasikan korban pemecatan, penting untuk mengenali keluarga buruh dan keadaan-keadaan psikologis yang dialami buruh. Selanjutnya, solidaritas pun harus dikerangkakan dalam konteks menguatkan mental buruh dan keluarganya bahwa mereka tidak berjuang sendirian.