Di Desa Nagasari aku dibesarkan. Desa terpencil di sebuah Kecamatan Muara Kuang, Ogan Komering Ilir, Palembang Sumatera Selatan. Keluargaku miskin, aku hanya dapat menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Meskipun demikian, aku masih memiliki masa kecil yang menyenangkan. Aku sering bermain dengan alam seperti air sungai, kebun, hutan, serta semua isinya. Bisa digambarkan seperti kehidupan Si Bolang alias Bocah Petualang.
Sayangnya, kesenangan masa kecil itu tidak berlangsung lama. Pada usia 7 tahun ibuku meninggal dan ayahku menikah lagi. Aku bersama dua adikku kemudian tinggal bersama kakek dari keluarga ibu. Suatu hari di libur sekolah aku merasa rindu dengan ayah dan menginap di rumah keluarga ibu tiri. Aku ingat ketika itu usiaku baru 10 tahun, selama menginap di sana aku hampir di perkosa sebanyak duakali oleh paman tiriku. Aku sungguh ketakutan dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali diam.
Hidupku terlunta-lunta tidak tahu harus bagaimana. Dengan ijasah SD sudah pasti sulit mncari pekerjaan. Menginjak 14 tahun aku bekerja menjaga bayi, anak dari paman yang tinggal jauh di kota. Di tempatku, menikah di usia muda masih terjadi dan aku sempat dijodohkan untuk menikah oleh keluarga di usai 18 tahun. Aku pun memutuskan untuk lari dari rumah kakek menolak perjodohan.
Aku mendengar kabar kakak sepupuku pulang dari Jakarta, aku segera menemuinya dan meminta ikut bekerja di sana. Harapanku sederhana, agar aku dapat hidup lebih baik secara ekonomi dengan menjadi buruh pabrik. Dengan ijasah SD aku dibantu untuk dapat bekerja di pabrik melalui kenalan kakak sepupu seorang HRD. Aku pun diterima bekerja di pabrik, hingga saat ini sudah 24 tahun bekerja di pabrik yang sama. Namun perjalanan hidupku tidak mulus, ketika usia 21-22 tahun payudara kiriku terdapat tumor yang membuatku harus operasi dua kali.
Pada usia 23 aku memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang juga buruh di pabrik yang sama. Aku berusaha menerima, berjuang dan mensyukuri segala kehidupanku setelah menikah. Pasang surut pernikahan aku jalani. Sampai pada tahun 2017 bertepatan dengan 15 tahun pernikahan aku mendapatkan kabar buruk yang sangat menyakitkan. Adikku dari istri kedua ayahku diperkosa oleh paman yang merupakan adik dari ayahku. Pemerkosaan itu telah berlangsung 4 tahun sejak adikku berusia 10 tahun.
Lukaku menganga, ingatanku kembali pada peristiwa aku kampir diperkosa oleh paman tiri. Traumaku menjadi-jadi, aku marah semarah-marahnya hingga tak terkendali. Aku pun melakukan pendampingan atas kasus perkosaan adikku untuk diproses secara hukum. Menempuh jalur hukum untuk kasus pemerkosaan memang sulit, tidak mudah. Sayangnya niat baikku juga tidak didukung oleh suami, dia malah secara brutal melarangku melakukan pendampingan kasus. Perdebatan pun tak bisa dielakkan, suamiku mengusirku dari rumah. Aku bahkan tidak membawa apa-apa termasuk anak-anakku.
Tahun 2022 aku mengurus gugatan cerai hingga mendapatkan akta cerai. Bersamaan dengan itu, aku perlahan memperbaiki hubunganku dengan kedua anakku juga ibu mertua yang telah mengurus anak-anakku. Anak perempuan pertamaku sekarang sedang kuliah dan aku yang membiayainya. Sedangkan anak keduaku seorang laki-laki yang masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Semua hal berat yang aku alami dalam hidup tidak membuatku berlarut-larut. Ibuku adalah orang yang menjadi inspirasiku. Selain itu tentu kedua anakku, pasanganku sekarang dan teman-teman kolektif organisasi. Mereka adalah orang-orang penting dalam hidupku selain kehidupanku sendiri. Bersama mereka aku menjadi kuat dan terus berjuang. Aku meyakini bahwa segala proses yang dilakukan akan mendapatkan hal yang positif. Meskipun terkadang bukan hal yang kita harapkan atau ekspektasikan sebelumnya.
Kehidupanku tidak mudah, banyak sekali tantangan. Begitu juga ketika aku bekerja di pabrik, banyak kasus Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) yang terjadi. Kerja di pabrik yang berbasiskan target produksi sangat tinggi yang sudah ditentukan oleh pihak perusahaan tentu bukan hal yang mudah. Ada banyak kekerasan verbal yang terjadi, bahkan hampir setiap detik mendengarkan teriakan para mandor atau para atasan. Mereka MEMAKI-MAKI bawahannya jika membuat kesalahan. Dampaknya target produksi yang ditentukan semakin tidak terpenuhi.
Ada juga lembur yang tidak dibayarkan dari 1-2 jam bahkan lebih dari itu. Cuti haid yang tidak semua buruh perempuan berani mengambil kecuali pengurus serikat, pun juga tidak merata dapat diakses. Begitu juga dengan cuti hamil dan melahirkan yang dipersulit bahkan tidak diberikan. Praktik pungli di pabrik, bully terhadap teman-teman keragaman gender karena ekspresinya (tomboy). Bahkan mereka diberikan beban kerja yang lebih dari buruh perempuan lainnya. Belum lagi ketika hari Jum’at maka mereka ditanya kenapa tidak Jum’atan dan lain sebagainya.
Persoalan lainnya adalah status kerja kontrak yang sangat pendek. Di pabrik kontrak kerja dalam rentang 1,2,3 bulan bahkan status kerja Harian Lepas (HL) yang membuat teman-teman buruh memilih diam. Jika mereka melaporkan dan memproses kasus KPBG yang mereka alami maka para buruh takut tidak dipekerjakan kembali dan berakhir dengan pemecatan karena status kerja mereka yang kontrak.
Permasalahan KBG di tempat kerja seperti di pabrik tidak ada habisnya jika aku dan semua tidak melawan. Aku korban, adikku korban, teman-teman perempuanku juga korban. Karena kami perempuan. Untuk mendapatkan keadilan atas segala KPBG yang kami alami, kami berani bersuara! Dengan bersuara kami perlahan mengobati luka-luka kami dan secara berdampak mengurangi beban yang dialami korban lainnya.
Di balik keberanianku tentu ada dukungan serikat. Aku berorganisasi, dengan berorganisasi kita dapat melawan dan berjuang atas hak-hak yang seharusnya diberikan kepada buruh. Capaian yang pernah kami lakukan adalah perubahan status kerja kontrak (PKWT) menjadi buruh tetap (PKWTT).
Pernah juga ada buruh perempuan hamil yang pernah melaporkan bahwa dia dipecat dan tidak diberikan hak cuti hamil dan melahirkan. Kami serikat berproses bersama sesuai dengan mekanisme dan melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan dengan bersurat. Kami tidak diberikan kesempatan untuk bernegosiasi maka kami kembali mengajukan mediasi Tripartit Sudisnaker. Bersamaan kami melakukan kampanye bersama jaringan Perempuan Mahardhika. Proses kasus berakhir dengan buruh tersebut mendapatkan hak untuk cuti hamil dan melahirkan tidak dipecat.
Aku bersama kerja kolektif organisasi, kami melakukan pendampingan penyelesaian kasus pelecehan seksual, pungli, menuntut hak maternitas, upah, dan persoalan lainnya hingga terjadi Perjanjian bersama (PB) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat buruh dan pihak perusahaan. Salah satunya adalah menghasilkan peraturan di dalam pasal PKB isinya; bagi buruh perempuan hamil dengan status kerja kontrak tidak boleh diputus kontrak kerjanya dan hak cuti hamil melahirkan harus dibayarkan oleh pihak perusahaan terkecuali buruh tersebut mengundurkan diri maka perusahaan tidak berkewajiban untuk memenuhi haknya cuti hamil melahirkan.
Dengan keberanian dan perjuangan bersama serikat, banyak perubahan positif yang kami menangkan di pabrik. Perubahan akan perbaikan jam kerja yang tidak sewenang-wenang. Meskipun masih ada praktik lembur tidak dibayarkan, kesulitan mengambil cuci hamil bagi buruh status kontrak, cuti haid, dan kasus lainnya. Suara buruh menjadi penting dalam proses menuntut hak-haknya meskipun bukan hal yang mudah dilakukan. Para buruh terbentur dengan tidak ada kepastian kerja dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Menjadi anggota dan pengurus serikat di pabrik adalah salah satu cara untuk meningkatkan keberanian. Penyadaran melalui organisasi pun menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi permasalahan KPBG di dunia kerja. Melalui organisasi pula kita memiliki banyak kesempatan untuk memperbanyak pengetahuan tentang isu HAM dan hukum perburuhan. Bekal itu menjadikanku dan teman-teman buruh menjadi saling belajar dan memberikan manfaat ke semua. Saling menguatkan sesama teman kolektif organisasi, tidak membatasi diri untuk memperoleh pengetahuan baru, terus melakukan propaganda, hingga mengorganisir adalah caraku untuk bertahan tetap melangkah maju di garis perjuangan.
Kisah hidupku cukup berat, penuh tantangan. Tidak ada yang mudah, bahkan untuk bermalas-malasan saja perlu usaha. Aku selalu ingin bermalasan, mungkin bisa dikatakan karena terlalu banyak tantangan dalam hidupku. Tapi belum pernah aku dapat waktu untuk melakukan itu.
Bagiku semua cerita itu dan yang telah terjadi di dalam hidupku adalah sebuah pelajaran yang sangat baik. Semua capaian-capaianku membuatku menjadi perempuan yang merdeka. Berani keluar, berorganisasi, belajar, bersuara, berproses, dan berjuang bersama-sama adalah cara yang tepat. Jika ditanya apa mimpiku di masa depan, aku berharapan semua menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kesetaraan dan kesejahteraan untuk semua manusia di dunia ini.
#Tulisan ini merupakan bagian dari peringatan Hari Pemogokan Perempuan Internasional, yang diperingati tiap 8 Maret, yang disebut dengan HPI (Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). HPI bermula dari pemogokan 15.000 buruh perempuan menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja di New York Amerika Serikat, pada 1908. Sejak 1910, konferensi perempuan internasional menetapkan setiap 8 Maret sebagai hari peringatan menuntut pemenuhan dan peningkatan hak buruh perempuan di berbagai negara. Kami mengundang para buruh, aktivis maupun pengamat perburuhan menulis dengan bebas dan kreatif seputar pemenuhan dan pemajuan hak-hak perempuan.