Pada tahun 2018 dalam Seminar Borneo Forum II di Balikpapan, Mabes Polri yang diwakili oleh Brigjen Pol Ahmad Lumumba sebagai Direktur Pengamanan Objek Vital mengkategorikan industri sawit sebagai salah satu yang dapat ditetapkan sebagai objek vital nasional.1 Ia pun menyinggung mengenai kampanye negatif yang dilakukan oleh LSM terutama tindakan masuk kebun tanpa izin untuk mengambil dokumentasi dan data kampanye. Menurutnya dapat dilakukan penindakan apabila terbukti terjadi pelanggaran hukum. Ungkapannya, “Tidak ada yang kebal, termasuk LSM. Apabila memenuhi unsur pelanggaran bisa ditindak.”
Rujukan dari pernyataan itu bersumber pada Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Obyek Vital Nasional yang mendefinisikan Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Lebih lanjut beberapa ciri Obvitnas dalam aturan tersebut adala:
- Menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari;
- Ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan;
- Ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau
- Ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pada forum tersebut, Lumumba menjelaskan perkebunan sawit telah memenuhi ciri-ciri di atas khususnya pada poin a dan b, sehingga dapat dikategorikan sebagai objek vital nasional. Aturan tersebut memberikan legitimasi/kewenangan kepada kepolisian berupa kewajiban untuk memberikan bantuan pengamanan.
Tampak jelas peran kepolisian pada forum tersebut. Ia berupaya menjual alias mempromosikan jasa pengamanan yang akan dilakukan di Provinsi Kalimantan, sebuah provinsi yang mengalami deforestasi ekstrim akibat peralihan hutan menjadi perkebunan sawit.2 Hutan Kalimantan yang dikenal sebagai paru-paru dunia telah dibabat habis dan berdampak pada bencana ekologis baik di lokal maupun global.
Ancaman dan gangguan terhadap hutan tentu mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan sebagaimana pada ciri-ciri Obvitnas pada poin b. Hutan pun sebagai penghasil kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti pangan dan yang paling vital adalah menghasilkan oksigen bagi dunia sebagaimana masuk dalam ciri-ciri poin a. Sehingga berdasarkan fungsinya yang sangat vital dalam kehidupan, hutan wajib dikategorikan sebagai obyek vital nasional. Sebaliknya memprioritaskan kebun sawit dibandingkan hutan merupakan sebuah logika antisains (pengetahuan) dalam pengkategorian obyek vital nasional.
Kewajiban memberikan bantuan keamanan kemudian diterjemahkan dengan pengerahan kekuatan pengamanan (aparat) dengan dalih ancaman dan gangguan. Hal ini berlaku juga bagi tentara,3 namun di aturan ini membatasi jangka waktu pengamanan bagi tentara organik yaitu paling lama 6 bulan. Dengan kata lain porsi pengamanan dengan jangka waktu lebih lama diserahkan kepada aparat kepolisian.
Hal ini menjelaskan aturan-aturan turunan dari obyek vital nasional diatur juga dalam aturan internal kepolisian seperti pada Perkap No. 03 Tahun 2019 tentang Perubahan Perkap No 13 Tahun 2017 tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Obvitnas dan Objek Tertentu. “Aji mumpung” selanjutnya adalah kepolisian menambahkan “Objek Tertentu” sebagai bagian dari perluasan wilayah pengamanan. Sebagaimana dalam aturan ini yang mendefinisikan Objek Tertentu adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang dikelola oleh negara atau swasta dan bukan merupakan Obvitnas namun diamankan oleh anggota Polri atau oleh pengamanan internal. Sehingga pengamanan oleh kepolisian dapat dilakukan di luar obyek vital nasional yang telah ditentukan oleh negara.
Setidaknya terdapat 3 cara yang dapat dilakukan kepolisian dalam melakukan pengamanan terhadap Objek Vital Nasional:
- Preemtif
- Koordinasi dengan pengelola Obvitnas dan Objek tertentu serta warga masyarakat sekitar lokasi Obvitnas dan Objek Tertentu.
- Membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar lokasi Obvitnas dan Objek Tertentu.
- Preventif
- Pengaturan terhadap kegiatan, informasi, lalu lintas manusia, barang dan jasa serta kendaraan di lingkungan Obvitnas atau Objek Tertentu.
- Penjagaan pada lokasi untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran/kejahatan di lingkungan Obvitnas atau Objek Tertentu.
- Pengawalan, pengawasan dan pemeriksaan terhadap orang, brang, dokumen dan kendaraan yang masuk/keluar di lingkungan Obvitnas atau Objek Tertentu.
- Patroli pada lokasi lingkungan sekitar Obvitnas atau Objek Tertentu.
- Penegakan Hukum
- Tindakan pertama di Tempat Kejadian Perkara, untuk menjaga status quo dengan kegiatan :
- Menolong korban
- Mendata saksi
- Mengamankan barang bukti dan pelaku bila masih di TKP
- Melaporkan atau menginformasikan ke kantor kepolisian terdekat tentang terjadinya tindak pidana.
Aturan tersebut menjelaskan Obvitnas dan Objek Tertentu, paling sedikit meliputi: a. industri; b. instalasi; c. perhubungan; d. pertambangan dan energi; e. gedung perkantoran pemerintah/swasta/asing; f. kawasan wisata; g. lembaga negara; dan h. perhotelan. Salah satu perubahan aturan Perkap No. 03 Tahun 2017 ke Perkap No 03 Tahun 2019 menambahkan sektor perhotelan sebagai objek yang dapat dilakukan pengamanan oleh pihak kepolisian. Rupanya panti jompo dan panti asuhan (termasuk swasta) yang memiliki fungsi sosial dan kemanusiaan di masyarakat bukan bagian dari Obvitnas, jika dibandingkan dengan perhotelan/kawasan wisata seperti Pantai Indah Kapuk (PIK). Bukan fungsi sosial/kemanusiaan inti dari politik Obvitnas, melainkan fungsi keuntungan secara modal agar memenuhi syarat dilindungi dan dilayani. Seperti preman yang wajib diberikan setoran agar dapat memberikan keamanan lapak dagangan. Sebuah bentuk politik jatah preman berkedok seragam disertai hegemoni kepentingan umum. Berikut nilai investasi minimum yang harus dipenuhi jika merujuk dari peraturan menteri baik industri4 maupun ESDM:5
- Memiliki investasi paling sedikit Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) untuk sektor perindustrian.
- Memiliki total investasi paling sedikit Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah) untuk sektor mineral dan batubara.
- Memiliki nilai investasi paling sedikit Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) untuk sektor energi.
Kriteria perusahaan/industri yang dikategorikan sebagai Obyek Vital Nasional:
- Termasuk Industri strategis yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
- Memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak.
- Meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis.
- Mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
- Memproduksi mesin/peralatan, komponen mesin/peralatan, atau barang/bahan yang sangat mempengaruhi berjalannya pelayanan transportasi, komunikasi publik, atau pembangkit energi.
- Industri pionir yang berlokasi di daerah terpencil atau tertinggal di luar Pulau Jawa.
Untuk jenis-jenis industrinya adalah kegiatan pengusahaan bahan baku dan produksi dijalankan secara terintegrasi, khusus pada industri semen, industri pulp dan kertas, industri gula, dan industri pengolahan kelapa sawit. Sedangkan untuk kawasan industri selain memiliki izin usaha dan menyelesaikan kewajiban pajak, ia harus sudah beroperasi dan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas lahan kawasannya telah digunakan oleh perusahaan industri. Narasi penciptaan lapangan kerja yang digunakan dalam hegemoni kepentingan umum digunakan dalam syarat penetapan Obvitnas, di antaranya untuk sektor perindustrian wajib memiliki buruh minimal 500 orang, sedangkan sektor mineral dan batubara wajib memiliki buruh minimal 5.000 orang. Penciptaan lapangan pekerjaan di sini hanya kedok untuk syarat administrasi belaka, pemenuhan hak-hak buruh justru ditempatkan paling belakang.
Hal ini terlihat dari bagaimana perumusan Permen ESDM No 48 Tahun 2018 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Bidang Energi dan Sumber Daya Nasional. Perumusan Permen tersebut berdasarkan arahan dari Presiden Jokowi untuk melakukan pemangkasan dan penyederhanaan perizinan dan birokrasi yang memberatkan iklim investasi.6 Salah satunya perubahan dari peraturan sebelumnya yaitu Permen ESDM No 4 Tahun 2017 tentang Obyek Vital Nasional dan Sumber Daya Mineral. Pada peraturan tersebut persyaratan teknis mengenai gambaran potensi ancaman dan gangguan baik yang bersumber lingkungan internal dan eksternal. Di dalamnya mengklasifikasikan mogok kerja, kecelakaan kerja dan unjuk rasa bukan merupakan kejahatan. Namun pada peraturan yang terbaru kemudian menghapus klasifikasi ini, secara tidak langsung mengkategorikan hak-hak tersebut bagian ancaman dan kejahatan. Perubahan klasifikasi tersebut merupakan upaya untuk melegitimasi pembredelan hak-hak perburuhan dalam perusahaan.
Pemandangan serupa dapat dilihat di dalam Permen Industri No. 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan dan Evaluasi Penetapan Objek Vital Nasional Bidang Industri. Perusahaan yang ingin ditetapkan sebagai Obvitnas wajib menyelesaikan persyaratan-persyaratan dalam aturan ini, termasuk syarat-syarat administrasi. Perusahaan atau kawasan industri wajib mengisi surat permohonan, surat pernyataan, serta formulir-formulir tambahan lainnya. Hal ini tercantum pada lampiran peraturan, dimana perusahaan pemohon wajib mengisi dan mengirimkannya kepada kementerian perindustrian. Salah satu formulir yang wajib diisi adalah Daftar Isian Perusahaan Industri (baik kawasan ataupun sebuah perusahaan) dalam Rangka Verifikasi Administrasi dan Lapangan Penetapan Objek Vital Nasional Bidang Industri. Pada Formulir tersebut khusus bagian Aspek Pengamanan, perusahaan pemohon wajib memberikan gambaran umum terkait ancaman dan gangguan. Diantaranya “sejauh mana sistem pengamanan terhadap proses dan hasil produksi, rangkaian kegiatan produksi serta dampaknya bila terjadi gangguan baik berupa kriminalitas, unjuk rasa, mogok kerja ataupun gangguan yang bersumber dari faktor alam dan gangguan-gangguan lainnya”. Pertanyaan ini mencerminkan pengabaian terhadap hak-hak buruh dengan mengkategorisasikannya sebagai gangguan. Tidak menutup kemungkinan perusahaan diwajibkan memiliki formulasi pencegahan terhadap upaya demonstrasi dan mogok kerja. Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa beragam, dari pemetaan buruh/serikat pembangkang di dalam perusahaan, serta upaya pencegahannya seperti pendekatan kepada buruh/serikat hingga mekanisme sanksi ataupun metode pembungkaman lainnya.
Setelah proses tersebut maka dari pihak kementerian industri akan melakukan verifikasi terhadap perusahaan pemohon. Hasilnya adalah Berita Acara hasil verifikasi Obyek Vital Nasional Bidang Industri untuk memutuskan apakah perusahaan layak menjadi Obvitnas. Pada berita acara ini membutuhkan rekomendasi dari hasil observasi Polri untuk menentukan perusahaan pemohon telah memiliki kemampuan dasar Ovni (infrastruktur dan SDM). Selain pengerahan aparat secara fisik, peran kepolisian pada aspek administrasi termasuk mengaudit sistem keamanan dari perusahaan pemohon. Termasuk melakukan pelatihan keamanan serta koordinasi dengan pihak kepolisian.
Hasil dari audit tersebut akan diterbitkan sertifikat SMP7 (Sistem Manajemen Pengamanan) sebagai salah satu syarat administrasi penetapan Obvitnas. Audit ini dilakukan berkala setiap 3 tahun selain adanya pengawasan dan pengendalian sistem manajemen pengamanan Perusahaan dari Kepolisian setiap tahun. Jasa SMP Obvitnas dan Objek Tertentu bertujuan untuk menciptakan sistem pengamanan di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang secara profesional terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kerugian akibat ancaman, gangguan dan/atau bencana serta mewujudkan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Keseluruhan kewenangan ini hanya diberikan kepada kepolisian di tingkat provinsi (Polda) dan nasional (Polri). Kerjasama ini dilakukan dengan menggunakan Nota Kesepahaman (MoU) antara kepolisian dengan pengusaha. Termasuk di dalamnya biaya yang akan disetor oleh pengusaha kepada kepolisian. Biaya-biaya ini didalilkan sebagai “Penerimaan negara bukan pajak yang harus disetorkan ke kas Negara”. Penetapan perusahaan sebagai Obvitnas akan dilakukan melalui keputusan menteri. Mirip dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), jangka waktunya selama 5 tahun dan dapat dilakukan perpanjangan. Salah satu bantuan pemerintah untuk memulihkan sektor industri akibat pandemi covid-19 adalah dengan memberikan jasa pengamanan.8
Legitimasi ini yang menjelaskan pengerahan aparat secara berlebihan di sektor Obvitnas, termasuk industri kelapa sawit. Baik dari tentara maupun kepolisian dalam hal ini seperti kesatuan Brimob dari Polda masing-masing wilayah. Hal ini akan menciptakan kekerasan berlebihan terhadap masyarakat sipil. Kekerasan fisik pemukulan, penembakan gas air mata dalam pembubaran aksi, hingga kriminalisasi. Seperti yang dialami Mulyanto seorang buruh PT Duta Palma Group, padahal ia hanya menuntut hak-hak normatif buruh di Bengkayang Kalimantan Barat.9 Bahkan di Seruyan Kalimantan Tengah para petani yang menuntut lahan plasma PT Hamparan Masawit Bangun Persada dihadapkan dengan aparat negara bersenjata lengkap. Ketika sedang melakukan aksi protes, pembubaran dilakukan tidak hanya dengan gas air mata tetapi dengan penembakan peluru tajam.10 Salah satu warga meninggal akibat tertembak peluru tajam dari kepolisian. Keberadaan aparat sendiri tidak menyelesaikan permasalahan di perkebunan sawit, sebaliknya memperumit permasalahan-permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh perusahaan. Sebagaimana yang terjadi di Buol Sulawesi Tengah, di mana PT Hardaya Inti Plantation tidak mampu memberikan hak-hak petani plasma yang sudah direnggut selama 16 tahun.11
Praktik bisnis keamanan oleh negara pada akhirnya menciptakan kekerasan sistemik baik pada isu agraria hingga isu perburuhan. Hal ini dilakukan dengan pemberian akses aparat keamanan negara di dalam konflik antara masyarakat/buruh dengan perusahaan. Negara secara aktif mengakomodasikan kekerasan melalui kebijakan-kebijakan dalih “Kepentingan Umum”. Tentu saja dengan dasar antisains bahwa “Kelapa sawit adalah pohon dan daun serta menyerap karbondioksida”. Pemasukan negara dari bisnis ini patut diketahui publik karena keuntungan yang dihasilkan dari kekerasan negara terhadap sipil. Dan sawit bagiku bukan cuma masalah pohon dan daun, lebih jauh dari itu melibatkan praktik bisnis kotor negara yang sunyi.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!