“Fadlaminallahi ta’ala wa ni’mah. Wa magfiratawarahamah. Allahumma salli ‘ala muhammad. …. As-salatu la ilaha illallah muhammadarasulullah. ….” Samar suara ‘bilal’ tarawih dari pengeras suara di masjid rumah sakit seolah mengiringi kepergian ibuku. Aku menyebutnya, mamah.
Kamis, 23 April 2020 adalah hari yang ditunggu oleh kaum muslimin. Di saat kaum muslimin sedang melaksanakan tarawih pertama, aku terguguk di salah satu kamar rumah sakit di Kota Tangerang. Rangkaian kalimat singkat dari dokter “Mohon maaf ibu sudah tidak ada” seolah menghentikan duniaku.
Aku ikhlas dengan kepergian mamah., Sakit gagal ginjal yang diderita membuatnya harus berteman dengan rasa sakit. Setahun belakangan hampir setiap minggu cuci darah. Aku sedih dan tidak tega melihatnya. Ia terlihat menderita.
Sebagai anak pertama aku merasa gagal. Aku sedih tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong mamah mengurangi rasa sakitnya. Mungkin kepergiannya membebaskan mamah dari rasa sakit. Aku ikhlas, tapi jujur aku tidak bisa mengingkari kalau aku belum siap kehilangan mamah.
Belum hilang rasa sakit atas kepergian mamah, istilahnya makam mamah saja masih basah. Tiga bulan kemudian ayah menikah lagi. Aku sebagai anak pertama tidak boleh egois, walaupun berat dan kecewa tapi aku paham ayah butuh teman hidup. Tapi keberadaan ibu tiri di rumah membuatku risih. Aku menghindar terlalu sering bertemu dengan ibu tiriku. Aku memilih ngendon di kamar.
Wabah pandemi Covid-19 semakin menggila. Hampir setiap hari aku mendengar suara ambulans. Pemerintah menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sejak 10 April 2020 dengan menetapkan social distancing. Aturan tersebut membuat aku semakin betah di kamar. Keluar kamar hanya untuk makan atau mandi. Selebihnya aku habiskan hari-hariku di kamar. Nonton, main game, dengerin musik. Keasyikan, membuatku lupa dengan aktivitasku yang lain, di mana selain bekerja aku juga kuliah dan aktif juga sebagai sekretaris di organisasi serikat buruh di tempat kerjaku.
Pandemik Covid-19 juga membuat aku kehilangan pekerjaan, 21 Maret 2020 aku dipecat. Perusahaan tempatku bekerja mengaku melakukan efisiensi. Lebih dari 600 buruh dipecat. Kehilangan mamah dan kehilangan pekerjaan, hidup bersama dengan ibu tiri membuatku kehilangan arah.
Semua itu belum cukup, Allah seakan ingin terus mengujiku. Ketika pandemi Covid-19 berganti varian Delta, ayahku juga terpapar dan dirawat di Rumah Sakit Hermina Bitung. Jumat 2 juli 2021 pihak rumah sakit memberi kabar kalau ayah meninggal dan dimakamkan di Balaraja.
Ayah meninggal sendirian. Tidak ada keluarga yang mendampingi. Hal ini membuat aku dan adikku marah, sedih dan kecewa. Yang akhirnya kami lampiaskan kemarahan ini sama ibu tiriku. Saat itu, memang terdapat aturan bahwa pasien Covid-19 yang meninggal tidak boleh diurus oleh keluarga.
Selain berbisnis kecil-kecilan, ayah bekerja di salah satu perusahaan Jepang yang sangat ketat menerapkan protokol kesehatan. Di saat bersamaan, ayah bolak-balik ke rumah sakit menengok ibu tiriku yang sakit. Aku dan adikku mengira, ayah terpapar di rumah sakit tempat ibu tiriku dirawat. Hal ini membuat kami semakin menjauhi ibu tiriku.
Setelah ayah meninggal, ibu tiriku kembali dengan keluarganya, adikku kembali ke Yogyakarta melanjutkan kuliahnya. Aku di rumah sendirian, hanya Uwa yang sering mengunjungiku dan memastikan aku baik-baik saja.
“Cab, gimana kabar lu”, “Cab, lu sehat”, “Cab lu dimana?”. Begitulah pesan chat-chat yang dikirim kawan-kawanku. Dari sekian chat yang dikirim kawan-kawan baik di organisasi, teman kerja atau teman kuliah tidak ada satu pun yang aku balas. Aku abaikan. Semua rangkaian kejadian yang menimpaku, membuatku memutuskan untuk menghindari dari teman-temanku. Aku merasa bahwa bulan-bulan itu seperti masa terburuk bagiku. Dunia seperti memusuhiku. Aku membenci semuanya. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi aku merasa ingin menjauh dari semua yang mengingatkanku pada waktu kedua orang tuaku masih ada. Aku tidak peduli dengan kasus pemecatan yang menimpaku, termasuk teman-temanku. Total yang dipecat di masa Covid-19 600 orang. Padahal 100 orang di antaranya adalah anggotaku. Sebagai sekretaris serikat buruh aku bertugas dan bertanggung jawab untuk menemami perjuangan anggota. Tapi aku tidak pedulikan semua itu. Aku ingin membuka circle pertemananku yang baru. ‘Aku mau tenggelam dari organisasi’ istilah yang aku gunakan atas ketidakaktifan di anggota.
Aku akan menceritakan satu fase hidup yang tidak layak dikenang. Tapi, menurutku, penting untuk diceritakan agar menjadi pelajaran buatku. Benar kata orang, ada tiga jenis manusia yang sulit menerima nasihat: politisi, pendukung capres dan orang yang jatuh cinta. Aku jenis manusia yang ketiga. Yang menjadi masalah bukan jatuh cintanya, tapi bagaimana hubungan antarmanusia bisa saling memajukan dan mendukung.
Aku membangun circle pertemanan baru, tepatnya sekitar tahun 2022. Dari circle, itu aku dikenalkan dengan seorang perempuan. Sebut saja namanya IA, single parent dengan anak satu berusia 5 tahun. Ia ngontrak di daerah L di Kota Tangerang. Dia adalah buruh dengan tugas sebagai waiters di sebuah restoran di kota yang sama. Sebelum dikenalkan dengan perempuan tersebut, temanku sudah memberikan warning agar tidak terlalu serius, bahkan dia melakukan profiling tentang perempuan tersebut: tentang sifatnya, pekerjaan sampingan perempuan tersebut dan usianya yang lebih tua dariku. “Elu jangan terlalu serius. Jangan pake hati. Ini biar elu gak kesepiaan aja. ‘Kan adik elu di Yogya,” jelas temanku.
Aku hanya mangut-mangut dengan nasihat itu. Ternyata perkenalan itu berjalan dengan cepat. Kami langsung merasa dekat dan menjalin hubungan seperti pasangan muda-mudi pada umumnya.
Ibarat gula pasir di air panas. Aku semakin dekat dengan perempuan itu dan semakin larut. Aku seperti menemukan dunia baru. Aku semakin menjauh dari lingkaran pertemanan lamaku. Aku tidak lagi tertarik apalagi peduli dengan kegiatan organisasi dan perjuangan serikat buruh. Pikiran, waktu, bahkan materi aku curahkan untuk bersama perempuan tersebut. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku selalu mengikuti permintaan pasanganku.
Saat itu, dunia terasa milik kami berdua. Aku rela melakukan apapun untuk pasanganku. Ya, selayaknya orang-orang yang menjalin hubungan: jalan-jalan, ngobrol, bercanda bersama, antar-jemput, menghabiskan waktu bersama, dan sebagainya. Karena IA memiliki anak, otomatis aku pun menghabiskan waktu, pikiran dan materi bersama anaknya. Aku dimabuk cinta.
Pernah suatu hari, karena khawatir dan resah, aku jemput IA dari tempat klub. Padahal saat itu aku sudah janji temu muka dengan Lord (bukan nama sebenarnya) di rumahku. Lord adalah teman baikku. Karena aku tidak berada di rumah, Lord menunggu berjam-jam di depan rumahku. Karena merasa bersalah membuat Lord menunggu, aku pun minta maaf tapi dengan alasan yang aku buat-buat. Rasa bersalah itu masih kuingat sampai sekarang.
Lord adalah sahabat yang selalu menasihati bila aku salah jalan. Sebenarnya, Lord pun ngasih tahu agar aku tidak terlalu berlebihan dalam menjalin relasi dengan perempuan yang aku kenal waktu itu. Tapi tidak pernah aku dengarkan. Menghadapi aku yang ‘kepala batu’, Lord pernah bilang, “Rasain saja dahulu, biar elu tahu rasanya dan jadi pengalaman lu, agar kedepannya lu ga mudah dibodoh-bodohi oleh perempuan seperti itu”.
Bukan hanya Lord yang mengingatkanku. Kawanku yang lain menilai bahwa model hubungan yang aku bangun toxic; tidak saling memajukan bahkan cenderung membahayakan. Begini ceritanya. Saat itu aku adalah pengangguran. Tapi aku memegang uang warisan dan sisa modal usaha bapakku. Nah, aku menggunakan uang warisan dan modal usaha almarhum bapakku untuk keperluan hidup sehari-hari termasuk dengan pasanganku. Aku pun jadi sering berbohong kepada kawan-kawanku, bahkan menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Kala itu, aku menganggap kawan-kawanku berusaha memisahkan aku yang tengah dilanda asmara. Tentu saja semua peringatan kawan-kawan aku abaikan.
Lebih dari tiga bulan hubunganku dengan IA. Bulan keempat hubungan kami berakhir. Entah setan apa yang menyergapku. Waktu itu aku kehilangan kendali. Dengan alasan jenuh mengurus pergerakan buruh, aku malah menyibukkan diri dengan hal lain, yang membuat aku semakin jauh dengan kawan-kawan.
Jika aku amati persoalan relasi pasangan dalam serikat buruh maupun dalam pertemanan sudah sering terjadi. Ada yang memutuskan berhenti atau diminta berhenti dari organisasi karena pasangannya tidak terlalu suka berserikat. Hal itu bisa dialami perempuan atau laki-laki. Ada pula pertengkaran sesama laki-laki atau sesama perempuan di dalam organisasi karena berebut pasangan yang sama. Begitulah wajah serikat buruh kita. Menurutku persoalan ini harus segera diatasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Menurutku, berserikat itu seperti membangun perkawanan. Di dalamnya harus saling menjaga kepercayaan dan saling mengingatkan. Aku punya cerita tentang perkawananku selama kuliah. Jadi, aku memiliki tiga kawan yaitu sebut saja Lord, Fani, Vika. Kami berteman dari semester pertengahan. Kami selalu bersama: madol bareng, nongkrong bareng dan banyak hal lain.
Sekali waktu, saat semester akhir muncul masalah. Salah satu kawan kami, Fani, diduga selingkuh. Fani telah menikah dan memiliki anak. Kami pun mengetahui dengan baik keluarga Fani. Sehingga tindakan Fani tidak dapat dibenarkan. Setelah mengetahui kebenaran informasi perselingkuhan Fani, kami memutuskan untuk menegur dan menasihati Fani. Karena teguran dan nasihat tidak didengarkan, kami pun memutuskan ‘menyidang’ Fani. Akhirnya Fani pun menghentikan perselingkuhan tersebut.
Lepas dari IA aku kembali mencari organisasi baru yang bukan bergerak dalam perburuhan. Bergabunglah aku dengan salah satu organisasi relawan. Organisasi ini bertujuan membantu kelancaran perjalanan ambulans yang sedang dalam keadaan darurat atau membawa pasien di perjalanan. Semacam pengawal dan penyedia ambulans. Selain membuka jalan, kami juga menangani korban kecelakaan lalu lintas. Menurutku organisasi ini tetap melakukan pergerakan untuk kemanusian, walaupun tidak sama dengan gerakan buruh.
Namun di organisasi apapun faktor-faktor perusak perkawanan dalam organisasi tetap ada. Aku menyaksikan ada konflik yang menyebabkan keretakan di organisasi ini. Walaupun tidak berefek langsung terhadap organisasi, tetapi berimbas pada setiap individu di dalam organisasi. Aku sebetulnya tidak tahu dengan jelas masalahnya, tapi permasalahannya menjadi bahan gosipan dari kawan-kawan di organisasi. Dari gosip-gosip itu terlihat rasa saling tidak suka antarindividu menjadi masalah organisasi. Begitu pun sebaliknya.
Sepengetahuanku tarif ambulans swasta ini terbagi menjadi dua jenis yaitu ambulans komersial dan relawan. Ambulans komersial adalah ambulans yang mematok tarif mengikuti tarif pasaran pada umumnya. Sedangkan ambulans relawan itu berbasis sukarela.Aku mendapat informasi bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mengambil manfaat lebih dari praktik ambulans relawan.
Gambaran mencari keuntungan pribadi tersebut seperti ini. Jika ada pasien yang membutuhkan ambulans untuk keperluan ke rumah sakit atau mengantarkan jenazah maka akan ditawarkan ambulans atas nama organisasi. Dengan alasan ambulans rumah sakit mahal. Tentu saja praktik itu terjadi dengan bekerjasama dengan orang yang bekerja di rumah sakit. Padahal dalam aturan setiap rumah sakit terdapat larangan praktik percaloan. Begitu pula di organisasi tempatku bergabung, tidak diperbolehkan meminta atau mencalonkan tarif ambulans kepada pihak yang membutuhkan. Praktik itulah yang membuat pertengkaran di organisasiku.
Hancurnya pertemananku dan bubarnya organisasi tempat aku bergabung bukan karena faktor perempuan, laki-laki atau harta. Setelah berpikir akhirnya aku menyimpulkan semua itu terjadi karena kesadaranku yang belum terbangun. Sekarang aku aktif kembali di organisasi, aku berniat membayar kelalaianku di masa lalu. Saat ini aku banyak belajar menempa diri, agar aku semakin siap dalam memperjuangkan hakku dan seratus anggota serikat buruh di mana aku berpijak, yang selama tiga tahun ini diabaikan pengusaha.