Mengungkap Realitas Pahit PRT yang Sering Terabaikan
Pekerjaan merupakan kebutuhan dasar setiap individu, guna menunjang kebutuhan dan keberlangsungan hidup sehari-hari. Pekerjaan formal dalam hal ini mencakup pekerjaan yang terstruktur secara hukum dan institusional, seperti pegawai negeri, buruh di perusahaan swasta maupun di BUMN, serta tenaga profesional. Di luar itu, pekerjaan yang dianggap kecil, tidak secara resmi diatur oleh pemerintah, tapi berperan dalam perekonomian, dikategorikan sebagai pekerjaan sektor informal.
Pada perkembangannya, pekerjaan sektor informal makin tumbuh seiring dengan rapuhnya pekerjaan di sektor formal dan meningkatnya partisipasi pekerja perempuan. Dengan kata lain, sektor informal makin menunjukkan peran signifikan dalam ekonomi Indonesia.
Salah satu pekerjaan yang dianggap sebagai sektor informal adalah pekerjaan mengurus dan merawat di ranah domestik. Seperti memasak, merawat anak, membersihkan rumah dan pakaian, serta pekerjaan domestik lainnya yang dibebankan kepada Pekerja Rumah Tangga (PRT) oleh pemberi kerja. Di Indonesia, PRT banyak diperankan oleh perempuan. Fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: faktor kemiskinan dan meningkatnya kebutuhan rumah tangga akan bantuan tenaga kerja. PRT banyak ditemui di masyarakat urban yang memiliki dinamika sosial-ekonomi yang kompleks. Dalam konteks tersebut, keberadaan PRT menjadi solusi praktis bagi keluarga kelas menengah dan atas yang memiliki kesibukan di luar rumah dalam ranah ekonomi produksi. Dalam sistem sosial-ekonomi yang kapitalistik, PRT memiliki peran vital dalam kerja-kerja reproduksi untuk menopang kerja produksi.
Sayangnya, PRT dalam struktur ketenagakerjaan, cenderung terpinggirkan, bahkan sampai saat ini belum ada pengakuan mengenai status PRT sebagai pekerja. Kekosongan status hukum ini, memicu berbagai bentuk kerentanan, dari ketidakadilan upah, jam kerja yang tidak manusiawi, hingga kekerasan fisik dan psikis dari pemberi kerja.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setidaknya terdapat 25 pengaduan kasus terkait PRT selama periode 2019–2023 (Catahu Komnas Perempuan, 2023). Pada tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menemukan bahwa, 30% Anak dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) merupakan anak-anak yang bekerja sebagai PRT. Dalam beberapa kasus, PRT anak tersebut menjadi korban eksploitasi ekonomi dan seksual tanpa tindak lanjut hukum yang memadai. Sementara itu, Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT) mencatat terdapat 2.641 kasus kekerasan yang dialami PRT sepanjang 2018–2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92% PRT yang mengalami kekerasan adalah perempuan, dengan rentang usia 13 hingga 30 tahun, yang berasal dari perdesaan dan berpendidikan rendah. Jala PRT juga mencatat banyak pekerja rumah tangga di Indonesia adalah anak-anak, setidaknya ada 25% PRT di Indonesia diperkirakan berusia di bawah 15 tahun, dan 35% dari jumlah keseluruhan PRT diperkirakan berusia 17 tahun ke bawah.
Realitas ini menunjukkan bahwa peran perempuan di sektor ekonomi semakin meningkat. Banyaknya perempuan bekerja sebagai PRT tidak lepas dari adanya domestikasi perempuan yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat. Yaitu, peran-peran reproduktif dan kemampuan perempuan di dalam rumah tangga. Ketimpangan ini terjadi akibat pandangan yang menganggap dan memposisikan perempuan sebagai kaum lemah, sehingga cenderung kurang menghargai peran perempuan dalam perekonomian. Inilah realitas dalam sistem hukum nasional yang belum mampu memberikan perlindungan komprehensif bagi PRT, terutama pada perempuan.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis adanya kekosongan perlindungan hukum bagi PRT. Selain itu, artikel ini juga akan menelaah urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai instrumen hukum agar menjamin hak-hak PRT yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan norma ketenagakerjaan di Indonesia.
Menuntut Pengakuan Negara
Di Indonesia, salah satu organisasi yang sedari awal menyuarakan perlindungan terhadap PRT adalah Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Organisasi ini merupakan organisasi nirlaba yang mendedikasikan kerja-kerjanya untuk memperjuangkan hak-hak dan kondisi kerja layak bagi PRT di Indonesia. Jala PRT didirikan dengan misi utama, mewujudkan pengakuan terhadap hak normatif pekerjaan layak bagi PRT, khususnya melalui pengesahan UU PPRT.
Jala PRT mengupayakan pengakuan hak PRT sebagai pekerja dengan jalan pengesahan RUU PPRT. Perjuangan Jala PRT menuntut negara untuk melindungi PRT melalui UU sudah berlangsung kurang lebih selama 21 tahun. Keterbatasan UU Ketenagakerjaan tidak mengakomodir kepentingan atau tidak sampai menjangkau PRT. Sementara itu, sejumlah UU lainnya hanya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski dengan cara terpisah dan terbatas. Beberapa UU tersebut meliputi:
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD);
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP);
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan di Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU KDRT);
Undang-Undang 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Pendidikan Nasional);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU Hak Asasi Manusia);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Selain daftar UU di atas, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan untuk mengesahkan beberapa norma hukum internasional terkait, termasuk:
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right);
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (international Covenant on civil and Political Rights/ICCPR);
Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, sosial and Cultural Rights/ICESCR);
Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Covenants on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW);
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right);
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (international Covenant on civil and Political Rights/ICCPR);
Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, sosial and Cultural Rights/ICESCR);
Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Covenants on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW);
Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi, 1948;
Peran Organisasi Membuat PRT Menjadi Berdaya
Pada tanggal 23-24 Juli 2024 kami melakukan wawancara ke-4 orang PRT yang merupakan anggota dari Jala PRT. Dalam wawancara tersebut, para narasumber memaparkan realitas kelam yang sering dialami oleh PRT, dari kasus pelecehan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, upah yang tidak dibayarkan, hingga tuduhan atas pencurian yang dilakukan oleh majikan kepada PRT-nya.
Narasumber pertamayang berinisial Y menceritakan proses perjuangan dirinya selama menjadi seorang PRT. Ia pernah menjadi korban atas tuduhan pencurian, namun hal tersebut tidak dapat dibuktikan oleh majikannya. Selain itu, yang lebih menyayat hati Y bercerita pernah menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikannya sendiri. Dalam kenestapaan yang dihadapinya saat itu, ia tidak tahu upaya apa yangharus dilakukan.Bahkan, Y bercerita ia sempat berada di posisi hampir menyerah, hingga akhirnya ia bergabung dengan Organisasi Jala PRT. Ia bercerita bagaimana organisasi ini terus memberikan dukungan kepada dirinya, sehingga membentuk dirinya saat ini menjadi pribadi yang lebih berdaya. Semangat ini pun ia teruskan dengan terus berjuang untuk pengakuan dan pengesahan hak-hak PRT dan mendampingi rekan-rekan PRT yang sedang menghadapi problematika.
Narasumber kedua, yang berinisial W memaparkan hal yang tak jauh berbeda dengan narasumber Y. Ia menceritakan bagaimana kenestapaan hidup PRT di Indonesia saat ini. W adalah PRT yang pernah diupah secara tak kayak oleh majikannya. Saat ini ia mejadi salah satu paralegal di Jala PRT yang aktif dalam mendampingi rekan-rekan PRT yang sedang menghadapi problematika.
Narasumber Ketiga berinisial T, berbagi kisah yang ia alami sebelum dan sesudah ia bergabung ke Jala PRT. Menurutnya, sebelum bergabung ke organisasi, ia tidak bisa membantah apa yang sudah diperintahkan oleh majikannya, meskipun itu tidak sesuai dengan pekerjaannya.T juga bekerja tanpa adanya perjanjian sehingga ia tak tahu jam kerjanya. Namun, setelah bergabung ke organisasi, ia mendapatkan pendidikan mengenai hak-hak pekerja hingga ia bisa mengadvokasi dirinya sendiri. T melakukan negosiasi dengan majikan mengenai jam kerja, surat perjanjian, dan lain-lain.
Cerita yang sama darinarasumber terakhir yang berinisial NH. Pada awalnya NH bersama rekan-rekan PRT lainnya tidak mengetahui hak-hak seorang pekerja. Namun, ketika ia bergabung ke organisasi dan mendapatkan pendidikan di “Sekolah Wawasan” yang diinisiasi oleh Jala PRT, ia dapat memperkaya khazanah pengetahuannya mengenai hak-hak pekerja. Hal inilah juga yang mendorong kepercayaan NH untuk mengadvokasi dirinya serta rekan-rekan PRT lainnya.
Secercah Harapan Di Tengah Pengabaian
Problematika PRT merupakan permasalahan struktural yang perlu segera ditangani. Adapun sebagai upaya mendorong realisasi progresif atas pemenuhan Hak PRT, kami akan mengenalkan konsep Advokasi SAPA.
SAPA merupakan akronim dari Solidaritas dan Aliansi, Akulturasi pengetahuan publik, Pendorong kebijakan dan Aksi kampanye kreatif. Penjelasan masing-masing dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
KESIMPULAN
PRT tidak mengenal batas waktu kerja dan waktu istirahat, upahnya sangat minim, jauh di bawah ketentuan upah minimum. Selain itu, PRT juga kerap diperlakukan semena-mena oleh majikan. Berita-berita di media massa tentang kasus penganiayaan, perkosaan, bahkan pembunuhan yang dialami PRT menunjukkan situasi persoalan dimana negara harus hadir. Sayangnya, sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang memberikan perlindungan hukum bagi PRT. Perlindungan yang tersedia hanya dari peraturan menteri ketenagakerjaan yang di pandang belum mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi PRT. Hal ini berakibat pada munculnya berbagai bentuk kekerasan terhadap PRT. Bentuk-bentuk kekerasan yang sering dialami adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan kekerasan sosial.
Dengan melihat kompleksitas persoalan yang dialami PRT di atas, serta kekosongan perlindungan hukum bagi PRT maka diperlukan peran negara sebagai upaya struktural mengatasi masalah PRT. Negara perlu mempertegas bahwa PRT adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang dilindungi oleh UU dan konvensi perburuhan internasional. UU yang dimaksud adalah secara khusus menaruh perhatian pada PRT. UU yang memposisikan kesetaraan secara hukum antara PRT dan majikan untuk mengakhiri dan mencegah tindakan kesewenang-wenangan majikan terhadap PRT. Meskipun sudah ada peraturan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi PRT, namun pada praktiknya sulit untuk bisa memberikan pengawasan terhadap PRT, mengingat PRT bekerja di lingkungan rumah tangga dalam suatu keluarga. Oleh karena itu, PRT perlu mempunyai kekuatan yang besar untuk bisa memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Wadah atau organisasi yang bisa mereka gunakan adalah SERIKAT.
REFERENSI
Peraturan Undang-Undang;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU Hak Asasi Manusia);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan di Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU KDRT);
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (international Covenant on civil and Political Rights/ICCPR);
Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, sosial and Cultural Rights/ICESCR);
Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Covenants on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW).
Artikel/Jurnal
Azhari, M.Y dan Abdul Halim, Hak-hak Pekerja Rumah Tangga dan Perlindungan hukum di Indonesia, Jurnal Media Iuris Vol. 4 No. 2, Juni 2021. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). 2021. Kertas Posisi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: Komnas Perempuan.
Juanda, Enju. (2023). Kepastian Hukum Atas Tersedianya Lapangan Pekerjaan yang Layak Merupakan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Vol. 11 (1).
Purnama, Putri Kilas Balik Perjalanan Panjang 20 Tahun RUU PPRT Yang Tak Kunjung Disahkan, diambil dari https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/1bVr8gPb-kilas- balik-perjalanan-panjang-20-tahun-ruu-pprt-yang-tak-kunjung-disahkan, diakses pada 23 Juli 2025, pukul 23.13 WIB.
Refleksi Kemerdekaan dan Demokrasi yang Belum Tuntas Agustus selalu punya aroma yang khas. Bendera merah putih berkibar di sudut-sudut jalan, pengeras suara di balai warga memutar lagu kebangsaan, dan spanduk bertuliskan “Dirgahayu Republik Indonesia” membentang di mana-mana. Tapi di balik gegap gempita itu, saya menyimpan satu pertanyaan yang terus mengganjal: sudahkah kita benar-benar merdeka. Bukan […]
Industri elektronik seringkali tampak ramah lingkungan, dengan citra “ruang bersih” dan tanpa cerobong asap. Namun, di balik ponsel pintar dan laptop yang ditenagai oleh chip semikonduktor canggih, tersembunyi realitas yang lebih gelap. Industri ini memiliki sejarah panjang kerusakan lingkungan, pengabaian sistemik, dan bahaya kerja serius, khususnya bagi buruh di tingkat paling bawah rantai pasokan. Buruh […]
“Once men turned their thinking over to machines in the hope that this would set them free. But that only permitted other men with machines to enslave them.”— Frank Herbert, Dune (1965) Pernyataan Herbert, yang banyak dikutip dalam wacana kritis tentang teknologi, secara implisit memantulkan ketakutan liberal terhadap keruntuhan agensi manusia di tengah derasnya penetrasi […]